Pelajaran Surat Al-Faatihah

Posted by Admin 0 comments
PELAJARAN: SURAT AL-FAATIHAH
ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy Al-Andalasy
-semoga Alloh mengampuni dosa dan kesalahannya-
1 Robi’uts Tsany 1434
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد:
Dalam menjalankan perintah Alloh untuk mentadabburi Al-Qur’an maka pada pembahasan ini kita akan mempelajari Surat Al-Faatihah, surat yang wajib
dihapal bagi setiap muslim karena tidak akan sah sholat seseorang kecuali dengannya. Walaupun yang disinggung dalam tulisan ini tidaklah seberapa dibandingkan dalamnya hikmah yang terkandung di dalamnya, namun upaya untuk mempelajari makna, dan hukum-hukum seputarnya termasuk langkah mencapai tadabbur, semoga Alloh memahamkan kita tentang agama-Nya.
SURAT PALING AGUNG DI AL-QUR’AN, KEUTAMAAN ALLOH BAGI UMMAT MUHAMMAD SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Dari Abu Sa’id bin Al-Mu’alla Rodhiyallohu ‘Anhu beliau berkata: “Suatu ketika aku sholat di mesjid, maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memanggilku namun aku tak menjawabnya. Maka aku katakan (selesai sholat): “Wahai Rosululloh, sesungguhnya tadi aku sedang sholat”. Beliau berkata: “Bukanlah Alloh berkata:
اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
“(Hai orang-orang yang beriman) penuhilah seruan Alloh dan seruan rosul apabila rosul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu”. (QS Al-Anfaal 24)
Kemudian beliau berkata kepadaku: “Aku akan mengajari kamu sebuah surat yang merupakan surat paling agung dalam Al-Qur’an, sebelum engkau keluar dari masjid ini”. Kemudian beliau menarik tanganku. Ketika beliau ingin keluar, aku katakan kepadanya: “Bukankah engkau mengatakan bahwa engkau akan mengajariku sebuah surat yang merupakan surat yang paling agung dalam Al-Qur’an?”. Beliau berkata: الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِينَ
Ialah As-Sab’ul Matsaany dan Al-Qur’anul ‘Azhim yang didatangkan kepadaku”. (HR Bukhory)”.
Perkataan beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tersebut isyarat kepada firman Alloh Ta’aala:
وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيم
“Sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu As-Sab’ul Matsaany (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang) dan Al-Qur’anul ‘Azhim (Al-Quran yang agung)”. (QS Al-Hijr 87)
Pada hadits di atas Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam cuma menyebutkan ayat pertama dari Al-Faatihah tapi yang diinginkan adalah surat Al-Faatihah secara keseluruhan. Hal ni sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat lain dimana terjadi kisah yang mirip pada Ubay bin Ka’ab Rodhiyallohu ‘Anhu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam lantas  mengatakan: “Maukah kamu aku ajarkan sebuah surat yang tidak diturunkan yang semisal dengannya di Taurat, tidak di Zabur, Injil, dan tidak pula di Furqon?”. (Ubay berkata) Aku katakan: “Ya wahai Rosululloh”. Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Aku sungguh berharap engkau tidak keluar dari pintu ini sampai engkau mengetahuinya”. Kemudian Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memegang tanganku dan berbicara denganku, aku sengaja berjalan pelan karena khawatir beliau mencapai pintu sebelum menyelesaikan pembicaraannya. Ketika kami sudah mendekati pintu, aku katakan: “Wahai Rosululloh apakah surat yang engkau janjikan kepadaku?”. Beliau berkata: “Apa yang engkau baca di dalam sholat?”. Ubay berkata: “Aku membaca Ummul Qur’an”. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, Alloh tidak menurunkan di Taurat, Injil, Zabur dan tidak pula di Furqon yang semisalnya, ia (Ummul Qur’an) adalah As-Sab’ul Matsaany”. (HR Ahmad, At-Tirmidzy dll, dishohihkan Syaikh Al-Albany dan dihasankan Syaikh Muqbil Rahimahumalloh)
Ummul Qur’an adalah Al-Faatihah, sebagaimana disebutkan di hadits dari ‘Ubadah bin Shomit Rodhiyallohu ‘Anhu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ
“Tidak sah sholat bagi siapa yang tidak membaca Faatihatul Kitab”. (HR Bukhory-Muslim)
Dalam riwayat lain:
لا صلاة لمن لم يقترئ بأم القرآن
“Tidak sah sholat bagi siapa yang tidak membaca Ummul Qur’an”. (HR Muslim)
PELAJARAN AYAT KE 1 & 2
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Segala puji bagi Alloh Robbul ‘Aalamiin (Robb Alam semesta). Ar-Rohmaan (Yang Maha memiliki Sifat Rahmat) Ar-Rohiim (Yang Maha Merahmati Makhluk-Nya)”. (QS Al-Fatihah 1-2)
MAKNA KATA ROBB
Telah lalu pembahasan tentang nama-nama: “Alloh, Ar-Rohmaan dan Ar-Rohiim”[1], adapun makna kata robb, Imam Ibnu Jarir Ath-Thobary Rahimahulloh menyebutkan bahwa kata tersebut dalam perkataan orang arob (terdahulu) dipergunakan untuk beberapa makna. Penguasa yang ditaati di kalangan mereka dipanggil dengan robb. Seorang lelaki yang membuat sesuatu dengan baik dinamakan robb. Pemilik sesuatu dinamakan robb sesuatu tersebut. Terkadang kata ini juga dipakai untuk makna lain namun makna-makna itu kembalinya ke tiga sisi makna (yang telah disebutkan) ini.
Robb kita Jalla Tsana-uhu adalah penguasa kita yang tidak ada sesuatu yang mirip dan semisal dengan kekuasaan-Nya. Dialah yang membuat dengan baik perkara makhluknya dengan menyempurnakan nikmat-nikmat-Nya kepada mereka. Dialah pemilik makhluk dan perkara-perkara. [Lihat Tafsir beliau tentang ayat pertama di atas]
Adapun makana Robbul ‘Aalamiin adalah sebagaimana dijelaskan pada ayat yang lain:
قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ * قَالَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا إِنْ كُنْتُمْ مُوقِنِينَ
“Fir’aun bertanya: “Siapa Robbul ‘Aalamiin itu?”. Musa menjawab: “Robb langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya. Itulah Robb kalian jika kalian termasuk orang-orang mempercayai-Nya”. (QS Asy-Syu’aro’ 23-24) [Lihat Adhwa-ul Bayan – Imam Syinqity Rahimahullohu Ta’ala]
KATA AR-ROBB SECARA MUTLAK YANG DIPERUNTUKKAN BAGI ALLOH
Ibnul Atsir Rahimahulloh mengatakan: “Kata robb secara mutlak dalam bahasa diperuntukkan bagi pemilik, penguasa, pengatur, pemelihara, yang mengurusi, dan yang memberi nikmat. Apabila kata ini tidak disandarkan maka tidak boleh dipergunakan kecuali bagi Alloh Ta’ala. Apabila ingin dipakai dengan untuk selain-Nya maka kata ini harus disandarkan. Dikatakan: “Robbnya ini”. [An-Nihayah fii Ghoriibil Hadits 1/179]
Sebagaimana disebutkan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tentang tanda-tanda kiamat:
إِذَا وَلَدَتِ الأَمَةُ رَبَّهَا
“Apabila budak perempuan melahirkan robbnya”. (HR Bukhory Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu). Yakni tuannya yang memilikinya dan berkuasa atasnya.
Juga di hadits lain:
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَكْثُرَ فِيكُمُ المَالُ، فَيَفِيضَ حَتَّى يُهِمَّ رَبَّ المَالِ مَنْ يَقْبَلُ صَدَقَتَه
“Tidak akan terjadi kiamat sampai harta-harta kalian menjadi banyak sampai melimpah ruah, sehingga robb harta menjadi risau tidak ada yang mau menerima sedekahnya”. (HR Bukhory Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu). Yakni pemilik harta.
Masih banyak lagi contoh seperti ini yang kita temukan di hadits-hadits.
Nama Ar-Robb ini menjadi kekhususan Alloh jika disebut secara mutlak, menunjukkan kepada segenap makna-makna asma’ wa shifat yang terkait dengan makna-makna asalnya [Lihat Bada-i’ul Fawa-id 2/212]
Tidak dikenal umat-umat terdahulu yang mengingkari nama Robb ini dan sifat-sifat yang terkandung di dalamnya melainkan beberapa kelompok diantaranya Ad-Dahriyyah dan Majusy.[2]
Sementara kaum musyrikin Quraiys yang dihadapi Rosululloh Shollallohu ‘Alihi wa Sallam ketika itu, adalah sebagaimana yang Alloh sebutkan:
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُون
“Katakanlah (Wahai Muhammad): “Siapakah yang memberikan kalian rezki dari langit dan bumi. Atau siapakah yang berkuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan serta mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, serta yang mengatur segala urusan ?”. Mereka akan menjawab: “Alloh”. Maka katakanlah: “Maka kenapa kalian tidak bertakwa kepada-Nya ?” (QS Yunus 31)
TIGA NAMA ALLOH YANG DISEBUTKAN DALAM DUA AYAT DI ATAS (1&2) MERUPAKAN POROS ASMAA-UL HUSNA DAN SIFAT-SIFATNYA YANG MAHA TINGGI DAN SEMPURNA
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Surat ini mengandung pengenalan dengan Al-Ma’buud (Yang Berhak Diibadahi) Tabaaroka wa Ta’aala dengan tiga nama. (Ketiganya) merupakan tempat kembali dan poros Asmaa-ul Husna serta sifat-sifat-Nya yang maha tinggi dan sempurna, yaitu: Alloh, Ar-Robb dan Ar-Rohmaan”. [Madaarijus Saalikiin 1/7]
PELAJARAN AYAT KE 3
مَالِكِ يَوْمِ الدِّين
“Maalik Yaumid Diin (Penguasa Hari Pembalasan)”. (QS Al-Faatihah 3)
Di kalangan ulama ada yang menghitung Maalik Yaumid Diin sebagai nama Alloh, diantaranya Asy-Syarbaashy dan Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah. [Mu’taqod Ahlis Sunnah wal jama’ah fii Asmaa-illlah 1/204]
Kata Diin dalam bahasa arab memiliki beberapa makna, yang diinginkan di ayat di atas adalah pembalasan, sebagaimana diterangkan pada ayat yang lain:
يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ * يَوْمَئِذٍ يُوَفِّيهِمُ اللَهُ دِينَهُمُ الْحَقَّ
“Pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Alloh akan memberi dengan penuh balasan mereka menurut semestinya”. (QS An-Nuur 24-5) [Adhwaa-ul Bayaan 1/6]
Juga dijelaskan di tempat yang lain:
إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ * وَإِنَّ الْفُجَّارَ لَفِي جَحِيمٍ * يَصْلَوْنَهَا يَوْمَ الدِّينِ * وَمَا هُمْ عَنْهَا بِغَائِبِينَ * وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ * ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ * يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِله
“Sesungguhnya orang-orang baik-baik benar-benar berada dalam syurga yang penuh kenikmatan, sementara orang-orang yang durhaka sungguh benar-benar berada dalam neraka. Mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan dan mereka sekali-kali tidak dapat keluar dari neraka itu. Tahukah kamu Apakah hari pembalasan itu?. Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? Yaitu hari ketika seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Alloh”. (QS Al-Infithoor 13-19)
Sebagaimana juga dipahami di ayat-ayat yang lain:
وَيَوْمَ تَشَقَّقُ السَّمَاءُ بِالْغَمَامِ وَنُزِّلَ الْمَلَائِكَةُ تَنْزِيلًا * الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمَنِ وَكَانَ يَوْمًا عَلَى الْكَافِرِينَ عَسِيرًا * وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا * يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا * لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا
“Pada hari ketika langit pecah belah mengeluarkan kabut putih dan diturunkanlah malaikat bergelombang-gelombang. Kekuasaan yang mutlak yang tak dapat disertai oleh suatu apapun juga pada hari itu adalah kepunyaan Ar-Rohmaan. Hari itu adalah hari penuh kesukaran bagi orang-orang kafir. Hari yang ketika itu orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rosul. Kecelakaan besarlah bagiku, seandainya dahulu aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu telah datang kepadaku. Sungguh syaitan itu tidak mau menolong manusia”. (QS Al-Furqoon 25-29)
Imam ahli Tafsir Abu Ja’far Ath-Thobary Rahimahulloh mengatakan bahwa pada hari pembalasan tersebut kekuasaan hanyalah milik Alloh sebagaimana Alloh mengatakan:
يَوْمَ هُمْ بَارِزُونَ لا يَخْفَى عَلَى اللهِ مِنْهُمْ شَيْءٌ لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
“Pada hari ketika mereka bangkit dari kubur tiada suatupun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Alloh. Lalu Alloh berfirman: “Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Hanya kepunyaan Alloh Al-Waahid Al-Qohhaar”. (QS Ghoofir 16) [lihat Tafsir Ath-Thobary pada surat Al-Faatihah]
PELAJARAN AYAT KE 4
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين
“Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan”. (QS Al-Faatihah 5)
Pada ayat ini terdapat penjelasan bahwa peribadahan baik perkataan, perbuatan ataupun amalan hati, hanyalah diikhlaskan demi Alloh Shubhanahu wa Ta’aala tidak boleh adanya penyekutuan dalam hal itu, demikianlah tuntutan kalimat Laa ilaha illalloh, karena yang diinginkan dari kalimat tersebut adalah pengesaan Alloh dalam peribadahan. Inilah dakwah para nabi dan rosul seluruhnya ‘Alaihimush Sholaatu was Salaam. Alloh berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Kami telah mengutus rasul pada setiap umat yang mengatakan: “Beribadahlah kalian kepada Alloh dan jauhilah Thogut (apa-apa yang diibadahi selain Alloh dan dia ridho dengannya)” (QS An-Nahl 36)
Ibnu Rojab Rahimahulloh mengatakan, kalimat ini, bisa dikatakan mencakup rahasia kitab-kitab yang diturunkan (samawiy) seluruhnya. Karena makhluk diciptakan hanyalah agar diperintahkan untuk beribadah, sebagaimana perkataan Alloh Ta’aala:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالأِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku”. (QS Adz-Dzaariyaat 56)
Para rosul dan kitab-kitab diturunkan dalam rangka menjelaskan hal tersebut. Ibadah adalah hak Alloh atas para hamba-Nya. Tidak ada kemampuan bagi para hamba untuk melakukannya kecuali dengan adanya pertolongan Alloh bagi mereka”. [Fathul Baary 7/103]
Pada ayat ini juga dijelaskan bahwa isti’anah (meminta pertolongan) secara mutlak hanyalah khusus bagi Alloh, adapun permintaan tolong kepada makhluk –sebagaimana dijelaskan di dalil-dalil yang lain- hanyalah sebatas perkara yang diketahuinya dan dia mampu melakukannya. Mampunya orang yang menolong untuk memberi pertolongan juga tidak terlepas dari pertolongan Alloh.
Sangat banyak ilmu yang kita dapatkan dalam memahami ayat ini, bahkan Ibnul Qoyyim menulis kitab Madaarijus Saalikin khusus seputar ayat ini.
MELIHAT PERBEDAAN KONDISI MANUSIA BERDASARKAN PENGAMALAN AYAT INI
Kelompok pertama adalah kelompok yang mengamalkan ayat ini dengan sebenar-benarnya, dengannya mereka bisa terlepas dari penyakit yang diderita kebanyakan manusia: ‘ujub (sangat kagum terhadap diri sendiri) dan riya’ (beramal karena ingin dilihat orang lain).
Syaikhul Islam Rahimahullohu Ta’ala mengatakan: “Banyak manusia menggandengkan riya’ dan ‘ujub. Riya’ merupakan bentuk penyekutuan Alloh dengan makhluk, sementara ‘ujub merupakan bentuk penyekutuan Alloh dengan diri sendiri, inilah kondisi orang yang congkak. Orang yang melakukan riya’ tidak menerapkan betul-betul perkataan-Nya: إياك نعبد. Sementara orang yang berbuat ‘ujub menerapkan betul-betul perkataan-Nya: وإياك نستعين. Barangsiapa yang menerapkan betul-betul perkataan-Nya: إياك نعبد, maka dia keluar dari amalan riya’. Dan barangsiapa yang menerapkan betul-betul perkataan-Nya: وإياك نستعين, maka dia keluar dari sikap ‘ujub”. [Majmu’ul Fatawa 10/277]
… dan kelompok yang lain, mereka bertujuan untuk mentaati Alloh dan rosul-Nya, namun tidak menerapkan sikap meminta tolong dan bertawakkal kepada Alloh. Maka orang-orang seperti ini, diberikan pahala atas niatnya dan atas ketaatannya, namun mereka tidak dibantu untuk mewujudkan tujuan mereka tersebut, disebabkan mereka tidak menerapkan sikap meminta tolong dan bertawakkal kepada Alloh. Akibatnya, diantara mereka ada yang diuji dengan kelemahan, kegelisahan, atau kekaguman pada diri sendiri. Apabila dia tidak mencapai kebaikan yang ingin ditujunya, maka itu disebabkan kelemahan dan kegelisahannya. Apabila dia merasa tujuannya tercapai, maka dia melihat kepada dirinya, merasa kagum dengan keadaannya dan menyangka bahwa keinginannya telah tercapai, maka dia tidak akan ditolong. Alloh Ta’ala mengatakan:
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
“Pada hari perang Hunain ketika jumlah kalian yang besar membanggakan kalian, namun jumlah yang besar tersebut sama sekali tidak berguna bagi kalian, bumi yang luas terasa sempit bagi kalian, kemudian kalian berbalik ke belakang dan lari tunggang langgang”. –sampai kepada firman-Nya-
ثُمَّ يَتُوبُ اللهُ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Setelah itu Alloh menerima taubat orang yang Dia kehendaki. Alloh adalah Ghofur (Maha Pengampun) dan Rohiim (Maha Pemberi Rahmat)”. (QS At-Taubah 25-27) [Majmu’ul Fatawa 10/ 277]
Kelompok ketiga adalah yang terjadi pada sebagian orang-orang kafir dan pelaku kesyirikan, terkadang mereka berdo’a dengan ikhlas kepada Alloh dalam kondisi tertentu seperti dalam keadaan genting atau terzholimi sehingga permintaan tolong mereka dikabulkan.
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Adapun terkabulkannya do’a orang-orang yang berdo’a maka berlaku umum. Karena sesungguhnya Alloh menjawab do’a orang yang dalam keadaan genting dan terzholimi walaupun kafir”. [Majmu’ul Fatawa 1/223]
Ibnu Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Alloh Subhanahu menjawab do’a orang yang dalam keadaan genting walaupun dia kafir. Alloh Ta’aala berfirman:
كُلاَّ نُمِدُّ هؤُلاءِ وَهؤُلاءِ مِنْ عَطَاءِ ربك ومَا كَانَ عَطَاءُ رَبكَ مَحْظُورًا
“Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu (mukmin ataupun kafir) Kami berikan bantuan dari kemurahan Robbmu dan kemurahan Robbmu tidak dapat dihalangi”. (QS Al-Isroo’ 20)
Al-Kholiil (Ibrohim ‘Alaihis Salaam) berkata:
وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
“(Ya Robbku) berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Alloh dan hari kemudian”. (QS Al-Baqoroh 126)
Maka Alloh mengatakan:
وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتعُهُ قَلِيلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ المَصِيُر
“Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa dia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali”. (QS Al-Baqoroh 126)
Tidak semua yang Alloh kabulkan permintaannya berarti Alloh ridho dengannya atau mencintainya, tidak juga berarti ridho dengan perbuatannya. Karena Dia menjawab do’a orang baik-baik ataupun para pendosa, mukmin ataupun kafir. [Ighootsatul Lahfaan 1/215]
Kelompok yang paling parah, terkadang kita jumpai pelaku kesyirikan yang terkesan ditolong untuk mencapai tujuan mereka. Sebagian mereka mengatakan bahwa do’a mereka terkabul setelah mereka melakukan kesyirikan, entah itu dengan meminta-minta kepada wali di kuburan, atau ke dukun. Atau seperti kaum musyrikin dahulu yang berdo’a kepada berhala mereka dengan untuk menyampaikan permintaan mereka kepada Alloh. Mereka berbuat kesyirikan dalam peribadahan kepada Alloh, sekaligus meminta pertolongan kepada selain-Nya.
Mesti diyakini bahwa apapun yang terjadi di atas dunia ini tidak terlepas dari pertolongan Alloh, dan bisa saja Alloh menjadikan sebuah keharaman sebagai sebab atas ketentuan-Nya pada perkara yang lain. Seperti mengkonsumsi narkotika adalah perkara yang diharamkan, bisa saja Alloh menjadikannya sebagai sebab kenikmatan namun setelah itu akan berujung kepada munculnya berbagai penyakit bahkan kematian.
Bentuk terkabulkannya do’a orang-orang seperti ini tidak lain merupakan ujian dan istidrooj (Alloh berikan apa yang mereka inginkan, kemudian tersisa azab) bagi mereka. [Lihat: Iqtidho’ Sirothil Mustaqim 2/222-224, Syarh Masa-ilil Jahilillyah karya Syaikh Sholih Al-Fauzan 301]
PELAJARAN AYAT KE 5
Alloh Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah kami ke jalan yang lurus”. (QS Al-Faatihah 5)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh mengatakan: “Do’a yang paling bermanfaat, paling agung dan paling mengandung hikmah adalah do’a Al-Fatihah:
اهدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
Karena barangsiapa yang Dia beri petunjuk ke jalan (yang lurus) ini berarti Dia menolong orang tersebut untuk melakukan ketaatan kepada-Nya dan menolongnya untuk meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya, orang ini tidak akan tertimpa kejelekan di dunia maupun akhirat. Akan tetapi dosa-dosa adalah kemestian jiwa seorang insan yang butuh kepada hidayah di setiap waktu. Seorang insan lebih butuh kepada hidayah lebih besar dari kebutuhannya terhadap makanan dan minuman. Bukanlah perkara ini sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ahli tafsir: “Alloh telah memberinya hidayah, untuk apa lagi dia meminta hidayah?”.
Yang dimaksud dengan memintah hidayah adalah meminta kekokohan atau meminta tambahan hidayah. Bahkan seorang hamba butuh pengajaran Robbnya dalam mengajarkan setiap kegiatannya dengan rinci. Serta butuh pengajaran tentang dampak-dampak kegiatannya yang dilakukannya setiap hari dengan terperinti, hamba butuh ilham (petunjuk ilahi) untuk melakukan itu semua.
Sekedar adanya ilmu pada seorang hamba tidaklah cukup, jika Alloh tidak menjadikannya sebagai seseorang yang beramal dengan ilmunya, karena kalau dia tidak beramal dengan ilmunya maka itu akan menjadi hujjah atas dirinya (yakni sebagai tuntutan baginya pada hari kiamat: kenapa dia tidak mengamalkan sementara dia mengetahuinya-pent), dan bukanlah dia dikatakan sebagai seseorang yang mendapat petunjuk. Para hamba butuh pertolongan Alloh untuk menjadikannya mampu melakukan amalan dengan adanya keinginan baik darinya. Karena seseorang tidak dikatakan mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus –jalannya orang-orang yang Alloh beri nikmat dari kalangan para nabi, para shiddiq, syuhada’ dan orang-orang sholih- kecuali dengan adanya ilmu, keinginan yang baik serta kemampuan untuk beramal. Masuk juga ke dalam pembahasan ini berbagai jenis kebutuhan yang tidak mungkin dibatasi.
Karena itulah manusia senantiasa diperintahkan untuk membaca do’a ini di setiap sholat karena sangat butuhnya mereka akan hal itu. Tak ada yang lebih mereka butuhkan dari pada do’a ini. Hanyasaja, yang mengetahui sebagian dari kedudukan do’a ini adalah orang-orang yang menimbang-nimbang kondisi jiwanya serta kejiwaan manusia dan jin yang diperintahkan dengan do’a ini. Orang-orang yang bisa melihat apa yang ada pada jiwa-jiwa berupa kebodohan dan kezholiman yang bakal berdampak pada kesengsaraan di dunia dan akhirat. Maka orang ini bakal meyakini bahwa sesungguhnya Alloh dengan keutamaan dan rahmat-Nya telah menjadikan do’a ini sebegai sebab yang paling agung untuk mendatangkan kebaikan dan menolak kejelekan.
Diantara perkara yang menjelaskan makna tersebut bahwasanya tidaklah Alloh Ta’aala mengisahkan seorangpun di Al-Qur’an kecuali agar kita mengambil pelajaran dengan kisah tersebut. Karena di dalamnya terdapat pelajaran yang kita butuhkan serta kemaslahatan yang lain bagi kita.
Pelajaran (pada sesuatu) baru bisa diambil jika kita membandingkan yang kedua dengan yang pertama, apabila kedua pihak yang dibandingkan tersebut sama-sama berada dalam dampak hukum yang dibicarakan. Kalaulah bukan karena pada jiwa-jiwa manusia terdapat unsur sejenis dengan apa-apa yang ada pada jiwa orang-orang yang telah mendustakan para rosul –Fir’aun dan yang sebelumnya- maka tidak ada kebutuhan kita kepada pelajaran dari orang-orang yang tidak ada kemiripannya dengan kita sama sekali”. [Al-Hasanah was Sayyi-ah 83-85]
PELAJARAN AYAT KE 6
Alloh Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“Yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat”. (QS Al-Faatihah 6)
Ayat ini menjelaskan diantara kandungan ayat yang sebelumnya, bahwa jalan yang lurus adalah jalannya orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Alloh Subhanahu wa Ta’aala.
Dari sini juga bisa dipetik bahwa cukup bagi kita untuk mengikuti jalan mereka, tidak perlu kita membuat jalan-jalan baru dalam beribadah kepada Alloh, karena jalan orang-orang yang diberi nikmat tersebut telah dinyatakan kelurusannya oleh Alloh, sementara jalan yang dibuat-buat siapa yang bisa menjaminnya??
Orang-orang yang diberi nikmat, adalah sebagaimana dijelaskan Alloh di ayat yang lain:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُول فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Barangsiapa yang mentaati Alloh dan Rosul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu:  para nabi, orang-orang yang shiddiiq, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS An-Nisa’ 69)
Shiddiiq adalah orang-orang yang sempurna dalam membenarkan dan mengikuti petunjuk nabi mereka, baik dalam perkataan, perbuatan maupun kondisi mereka. [Rawaa-i’ut Tafsir karya Imam Ibnu Rojab Al-Hanbaly 1/498]
Pada ayat ini terdapat bantahan bagi syi’ah yang tidak mengakui kekholifahan Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman Rodhiyallohu ‘Anhum bahkan di antara sekte mereka sampai mengkafirkan mereka bertiga.
Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘anhu mengatakan: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menaiki gunung Uhud, bersama beliau Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman. Maka gunung Uhud bergoncang, lantas Rosululloh menghentaknya dengan kakinya, beliau berkata:
اثبت أحد فما عليك إلا نبي أو صديق أو شهيدان
“Tetaplah kamu wahai Uhud. Tidak yang yang di atas kamu melainkan seorang nabi, seorang shiddiiq dan dua orang syahid”. (HR Bukhory)
Ayat ini juga menunjukkan sebab bergabungnya seseorang ke dalam kelompok orang-orang yang diberi nikmat adalah dengan ketaatan kepada Alloh dan rosul-Nya. Ketaatan mencakup dua perkara ilmu dan amal. Apabila seorang tidak memiliki ilmu tentang agamanya apa yang mau ditaati? Demiakian halnya jika seseorang sudah memiliki keilmuan tapi enggan mengamalkan.
AYAT PENYEJUK BAGI YANG DIHINGGAPI KESENDIRIAN
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan –tentang ayat ini-: “… untuk menghilangkan kesedihan –pada jiwa para penuntut hidayah dan penempuh jalan yang lurus- karena kesendirian di tengah orang-orang yang sezaman dan sekalangan dengannya. Agar dia mengetahui bahwa sobatnya di jalan ini adalah orang-orang yang Alloh beri nikmat. Maka janganlah dia sedih dengan banyaknya penyelisihan dari orang-orang yang menyimpang dari jalan tersebut. Karena sesungguhnya mereka lebih rendah kedudukannya walaupun lebih banyak jumlahnya, sebagaimana perkataan sebagian salaf: “Wajib bagimu menempuh jalan kebenaran dan jangan merasa sedih karena sedikitnya orang yang menempuh jalan tersebut. Jangan sekali-kali kamu menempuh jalan kebatilan dan jangan tertipu dengan banyaknya orang-orang yang celaka”.
Semakin engkau merasakan kesedihan akan kesendirianmu maka lihatlah siapa sobatmu yang telah mendahului. Bersemangatlah untuk mencapai kebenaran bersama mereka dan tutuplah mata dari selain mereka, karena mereka (orang-orang banyak yang menyimpang) sedikitpun tidak dapat menolak siksa Alloh darimu. Apabila mereka meneriakimu dalam perjalananmu janganlah kamu menoleh kepada mereka, karena kapan saja kamu menoleh kepada mereka maka mereka akan mengambilmu dan menghalang-halangimu”. [Tafsiirul Qoyyim 25]
PELAJARAN AYAT KE 7
Alloh Subhaanahu wa Ta’aala berfirman:
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai dan bukan juga jalan orang-orang yang sesat”. (QS Al-Faatihah 7)
Telah lewat sebelumnya penjelasan bahwa jalannya orang-orang yang diberi nikmat adalah jalan yang ditempuh di atas ilmu dengan pengamalan dari ilmu tersebut. Pada ayat ini Alloh menyebutkan dua jenis kelompok yang berjalan di kehidupan dunia ini tidak di atas kedua pondasi ini. Yang satu memiliki ilmu tapi tidak mengamalkannya maka merekalah orang-orang yang Alloh murkai. Sementara yang satu melakukan amalan namun tidak didasari oleh ilmu maka mereka itulah orang-orang yang sesat.
Datang di berbagai hadits lewat jalan beberapa orang shohabat bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai adalah Yahudi sementara orang-orang yang sesat adalah Nashrani. [Dishohihkan Syaikh Al-Albany. Lihat Tafsir Ath-Thobary]
Imam Ibnu Abi Hatim Rahimahulloh (wafat 327) menyebutkan bahwa tidak ada perselisihan di kalangan ulama tafsir bahwa yang dimaksud di ayat ini adalah Yahudi dan Nashroni. [Tafsir Ibnu Abi Hatim 1/37]
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Ketika di dalam hati ada dua kekuatan yaitu kekuatan ilmu dengan pembedaan (antara yang benar dengan yang batil) dan kekuatan keinginan dengan kecintaan (untuk berbuat sesuatu), maka tercapainya kesempurnaan dan baiknya hati adalah dengan menggunakan kedua kekuatan tersebut pada apa-apa yang bermanfaat bagi pemiliknya, serta yang bisa mengakibatkan kebaikan dan kesejahteraan baginya.
Kesempurnaannya adalah dengan menggunakan kekuatan ilmu untuk mengenal kebenaran, mengetahuinya, serta membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Juga dengan menggunakan kekuatan keinginan dan kecintaan dalam mencari kebenaran, mencintainya serta mengedepankannya daripada kebatilan. Barangsiapa yang tidak mengenal kebenaran maka dia adalah orang yang sesat, barangsiapa yang mengenal kebenaran namun lebih mengepankan kebatilan maka dia adalah orang yang dimurkai, barangsiapa yang mengenal kebenaran dan mengikutinya maka dialah orang yang diberi nikmat. Alloh Subhaanahu wa Ta’aala telah memerintahkan kita untuk meminta kepada-Nya –dalam sholat kita- agar Dia memberi kita hidayah kepada jalannya orang-orang yang Alloh beri nikmat bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.
Karena itulah penganut Nashrani lebih identik dengan kesesatan karena mereka adalah umat yang bodoh. Sementara Yahudi lebih identik dengan kemurkaan karena mereka adalah umat yang membangkang. Adapun umat ini (Islam) adalah umat yang diberi nikmat. Karena itu Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: “Barangsiapa yang rusak dari ahli ibadah (yang gemar beribadah) kita, maka dia memiliki kemiripan dengan Nashroni. Barangsiapa yang rusak dari ulama kita maka dia memilik kemiripan dengan Yahudi. Karena Nashroni beribadah tanpa ilmu sementara Yahudi mengetahui kebenaran namun mereka berpaling darinya”. [Ighootsatul Lahfaan 1/24]
Betapa banyak kedua golongan ini kita lihat di kalangan kaum muslimin yang tak lain karena mereka malah mengikuti penyakit umat-umat sebelumnya. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوه
“Sungguh kalian (yakni dari umat ini) bakal mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, bahkan kalau mereka berjalan ke sarang dhobb niscaya kalian akan menempuhnya”. (HR Bukhory dari Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ‘Anhu)
Dhobb adalah sejenis reptile yang hidup di daerah gurun, membuat sarang di tanah dengan lobang yang berliku-liku. Permisalan ini menunjukkan betapa kuatnya kesungguhan orang-orang di kalangan muslimin untuk mengikuti jalan Yahudi dan Nashroni walaupun harus menempuh jalan yang susah payah, maka bagaimana jika jalan kedua kaum tersebut malah dibentangkan ke pintu rumah-rumah kaum muslimin sebagaimana di zaman kita ini??
Sungguh tak ada yang pantas dilakukan bagi orang telah Alloh tunjukkan jalan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para salafus sholeh, kecuali banyak-banyak bersyukur dan berdo’a kepada Alloh serta berusaha keras untuk mempertahankan petunjuk yang dia dapatkan, diantaranya dengan menimba ilmu dan berusaha memperbaiki amalan-amalannya, kalau tidak maka jiwa kita ini senantiasa siap untuk mengajak kepada kemungkaran. Wallohul Musta’aan wa ilaihit Tuklaan
RUQYAH DENGAN AL-FAATIHAH
Banyak di kalangan muslimin yang sibuk kesana kemari mencari obat untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya, padahal syari’at ini telah mengajarkan salah satu sebab kesembuhannya yaitu ruqyah. Demikian halnya banyak di kalangan mereka yang telah mengenal ruqyah tapi sibuk mencari ruqyah-ruqyah center ataupun melakukannya dengan sifat-sifat yang diada-adakan. Padahal syari’at ini telah mengajarkan mereka untuk melakukan ruqyah dengan cara yang sederhana yang mampu dilakukan masing-masing mereka, diantaranya adalah dengan membaca Al-Faatihah.
Abu Sa’id Al-Khudry Rosdhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Sekelompok shohabat Nabi Shollallohu ‘A’alihi wa Sallam berangkat dalam salah satu perjalanan mereka. Sampailah mereka di salah satu kaum a’rob (badui) maka para shohabat meminta bertamu kepada mereka namun mereka enggan.
Kemudian tersengatlah (oleh binatang berbisa) pemimpin kaum tersebut, mereka melakukan segala cara namun tidak memberikan manfaat sedikitpun. Maka sebagian mereka mengatakan: “Coba kalian datangi sekelompok orang yang singgah tersebut, mungkin diantara mereka memiliki sesuatu. Orang-orang badui itu pun lantas mendatangi para shohabat, mereka berkata: “Wahai sekelompok (musafir) sesungguhnya pemimpin kami tersengat, kami telah mencoba segala cara namun tidak bermanfaat sedikitpun. Apakah salah seorang diantara kalian memiliki sesuatu?”. Diantara mereka (shohabat) menjawab: “Ya, demi Alloh aku adalah orang yang bisa meruqyah. Namun demi Alloh kami minta bertamu kepada kalian namun kalian tidak menerima kami. Aku tidak mau meruqyah untuk kalian sampai kalian memberikan upah kepada kami. Maka mereka membuat kesepakatan atas sekawanan domba sebagai upahnya.[3] Kemudian shohabat tersebut pergi meniup bagian yang disengat tersebut dengan sedikit percikan ludah, lalu membaca:
الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ (yakni Al-Faatihah)
Maka seakan-akan orang tersebut terlepas dari tali yang mengekangnya. Pemimpin kaum tersebut kemudian berjalan tanpa ada rasa sakit, dia berkata: “Penuhilah upah mereka yang telah disepakati”.
Kemudian diantara shohabat berkata: “(Ayo) kalian bagi”. Lantas shohabat yang meruqyah berkata: “Jangan kalian lakukan sampai kita mendatangi Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan kita menceritakan kepada beliau apa yang telah terjadi, lalu kita tunggu apa yang beliau perintahkan kepada kita”. Maka mereka mendatangi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan menceritakan kepada beliau, maka beliau berkata:
وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ
“Bagaimana kamu mengetahui bahwa ia adalah ruqyah?”.
Lalu beliau berkata:
قَدْ أَصَبْتُمْ، اقْسِمُوا، وَاضْرِبُوا لِي مَعَكُمْ سَهْمًا
“Kalian benar. Bagilah, dan jadikan bagian untukku bersama kalian”.[4]
Kemudian Rosululloh Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam tertawa”. (HR Bukhory)
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Ia adalah obat yang paling gampang dan mudah. Kalaulah seorang hamba mampu berobat dengan baik menggunakan Al-Faatihah, maka dia akan melihat dampak yang menakjubkan dalam kesembuhan. Dahulu aku tinggal di Makkah beberapa waktu, aku ditimpa penyakit dan tidak mendapatkan tabib ataupun obat. Lalu akupun mengobati diriku dengan Al-Faatihah dan aku melihat dampak yang mengagumkan. Aku menyebutkan cara ini kepada siapa saja yang mengeluhkan penyakitnya, dan kebanyakan mereka sembuh dengan cepat.
Akan tetapi terdapat sebuah perkara yang mesti dipahami bahwasanya dzikir-dzikir, ayat-ayat dan do’a-do’a yang dipakai untuk berobat dan meruqyah, secara dzat dia bermanfaat dan menyembuhkan akan tetapi menuntut penerimaan tempat (yaitu orang yang sakit), serta kuatnya keinginan dan pengaruh orang yang meruqyah (baik jika meruqyah sendiri maupun jika yang meruqyah adalah orang lain). Apabila tidak terjadi kesembuhan maka itu disebabkan lemahnya pengaruh orang yang meruqyah ataupun tidak adanya penerimaan dari kondisi jiwa orang yang meruqyah, atau bisa karena adanya penghalang yang kuat yang mengalangi pengaruh obat. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada obat dan penyakit yang bisa kita tangkap dengan panca indera. Sesungguhnya tidak adanya pengaruh obat terkadang disebabkan kondisi tubuh pasien yang tidak bisa menerima obat tersebut atau karena adanya faktor penghalang yang kuat yang menghalangi efek obat. Apabila kondisi pasien menerima obat tersebut dengan sempurna maka manfaat yang bisa dirasakan tubuh sesuai dengan kadar penerimaan itu. Demikian halnya dengan hati, apabila hati tersebut bisa menerima ruqyah -ataupun do’a-do’a meminta perlindungan kepada Alloh- dengan penerimaan yang sempurna, orang yang meruqyah akan memiliki jiwa dan keinginan yang berpengaruh untuk menghilangkan penyakit tersebut”. [Al-Jawaabul Kaafy 9]
Tentunya penerimaan hati tersebut didukung dengan pemahaman dan penghayatan do’a-do’a, ayat-ayat ataupun dzikir-dzikir yang dibaca ketika meruqyah, wallohu a’lam.
BID’AH TERKAIT SURAT AL-FAATIHAH
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Sebagian orang di zaman ini telah membuat kebid’ahan dengan surat ini. Mereka menjadikannya sebagai penutup do’a, atau menjadikannya sebagai pembukaan khutbah (atau pembicaraan), atau pada sebagian acara, ini adalah kekeliruan.
Engkau mendapatkan mereka -sebagai misal- apabila berdo’a, kemudian (orang yang berdo’a) berkata kepada orang yang di sekelilingnya: “Al-Faatihah” maksudnya adalah “bacalah oleh kalian Al-Faatihah”. Sebagian memulai khutbah atau acara tertentu dengannya, maka ini adalah sebuah kekeliruan karena ibadah-ibadah mesti dibangun di atas dalil dan pengikutan terhadap Rosululloh. [Tafsir Al-Fatihah]
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد ألا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

[1] Dalam artikel: Beberapa Faidah Seputar Basmalah
[2] Lihat lagi arikel Tauhid Dulu Baru Itu
[3] Dalam riwayat Ahmad, Ibnu Majah dll disebutkan bahwa jumlah domba yang disepakati adalah tiga puluh ekor.
[4] Ibnu Baththol Rahimahulloh mengatakan: “(Beliau menyebutkan perkataan tersebut) untuk menenangkan mereka ketika melihat mereka merasa bimbang”. [Syarhul Bukhory 7/88, lihat juga Nailul Author – Asy-Syaukany 5/346]
Imam Bukhory Rahimahulloh membuat bab atas hadits ini: “BAB Barangsiapa yang meminta sesuatu kepada para shohabatnya”. Al-Qostholany Rahimahulloh mengatakan: “Baik berupa benda maupun manfaat maka perkara tersebut boleh tanpa ada kemakruhan apabila telah diketahui kerelaan hati mereka”. [Irsyadus Saary 4/336]

Sumber: ahlussunnah.web.id

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Pelajaran Surat Al-Faatihah
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/pelajaran-surat-al-faatihah.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
credit for cara membuat email - Copyright of Risalah Kajian.