Laknat Alloh bagi yang memberi dan menerima suap

Posted by Admin 0 comments

MEMAHAMI MAKNA RISYWAH (SUAP)
YANG TERLAKNAT DALAM AS-SUNNAH

ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy Al-Minangkabawy
-Semoga Alloh mengampuni kesalahannya-

20 Robi’ul Awwal 1434
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، وبه نستعين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد:
Pembahasan kita kali ini mengenai perkara yang terkait dengan sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
“Laknat Alloh atas orang yang memberi risywah dan menerima risywah”. (HR Ahmad dan selainnya, dengan sanad yang shohih dari ‘Abdulloh bin ‘Amr Rodhiyallohu ‘Anhu)
Juga datang dengan beberapa tambahan lafazh dari riwayat Abu Hurairoh dan Tsauban Rodhiyallohu ‘Anhuma.
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahullohu Ta’ala mengatakan: “Risywah ibarat sesuatu yang dikeluarkan seseorang untuk sampai kepada maksudnya. Maksud tersebut bisa jadi haram bisa pula halal. Apabila maksudnya haram seperti memberi risywah untuk mendapatkan sebuah kebatilan yang didakwakannya karena bukan haknya, atau untuk menyampaikannya dalam menggugurkan kewajibannya sementara dia diharuskan untuk melakukan kewajiban itu, maka ini adalah risywah yang diharamkan tanpa ada keraguan. Keharamannya dari dua sisi:
Pertama: Ia membantu untuk memakan harta dengan cara yang batil, dimana pengambil risywah memakan harta dengan cara yang batil tanpa hak.
Kedua: Dia memakai risywah sebagai wasilah untuk membatalkan perkara yang benar atau menetapkan kebatilan, tidak ada keraguan akan keharaman perkara ini. Tidak ada keraguan bahwasanya hal ini –wal ‘iyadzu billah- merupakan kerusakan besar yang melanda masyarakat.
Adapun jenis yang kedua dalam perkara risywah, apabila risywah tersebut dijadikan seseorang sebagai wasilah untuk mendapatkan haknya akan tetapi ditunda-tunda, sehingga dia mesti membayar risywah tersebut. Maka ini dibolehkan bagi orang yang membayar risywah jika dia bisa mendapatkan haknya hanya lewat risywah tersebut. Akan tetapi hal tersebut haram bagi yang menerima risywah karena dengan perbuatannya itu dia telah berkhianat atas apa yang diamanahkan pemerintah kepadanya, serta dia telah memakan harta orang lain dengan cara yang batil, karena dia tidak punya hak atas harta yang diberikan oleh orang yang diminta”. [Fatawa Nur ‘Ala Darb kaset 97b]
Beliau juga mengatakan: “(Risywah) pada hakikatnya terbagi dua:
(1). Risywah yang dijadikan wasilah bagi seseorang kepada kebatilan, untuk menolak kewajiban yang diharuskan kepadanya atau mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Maka yang seperti ini diharamkan bagi orang yang mengambil risywah dan orang yang memberikannya. Telah datang hadits dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau melaknat orang yang memberi risywah dan yang meminta risywah. Laknat adalah terusir dan terjauhkan dari rahmat Alloh. Hal ini menunjukkan bahwa ia termasuk dalam dosa-dosa besar, dimana perbuatan ini mengakibatkan azab yang besar.
(2). Jenis yang kedua adalah risywah yang dijadikan wasilah bagi seseorang untuk mendapatkan haknya yang disyari’atkan, atau menolak sesuatu yang batil. Maka risywah seperti ini diharamkan bagi yang mengambil dan dibolehkan bagi yang diambil, karena dia ingin membebaskan diri dari kezholiman atau mendapatkan haknya. Orang ini (yang memberikan risywah) tidak dicela atas perbuatannya”. [Fatawa Nur ‘Ala Darb kaset 71a]
Dengarkan juga perincian beliau masalah risywah pada: Fatawa Nur ‘Ala Darb kaset 270 a, Durus Zaadul Mustaqni’ kaset 10a, Fatwa Al-Haram An-Nabawy kaset 64b.
PERKATAAN PARA ULAMA TENTANG HUKUM RISYWAH
Jenis pertama yang disebutkan oleh Syaikh ‘Utsaimin di atas tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama akan keharamannya.
Adapun jenis yang kedua maka:
  • Jumhur ulama berpendapat akan bolehnya hal tersebut bagi yang memberi dan haram bagi yang mengambil.
[Lihat: Kasyful Qonna’ 3/316, Nihayatul Muhtaaj 6/243, Tafsir Al-Qurthuby 6/183, Haasyiyah ibni ‘Abidin 4/304, Al-Muhalla 9/157, Nailul Author 8/308, Matholib Ulin Nuha 6/479, Manhul Jalil Syarh Mukhtashor Kholil 5/404, As-Syarhus Shogir ‘Ala ‘Aqrobil Masail fi madzhab Imam Malik 3/294, Al-Mughny 3/215, 10/69]
Bahkan para ulama Hanafiyyah sepakat dalam masalah ini. [Al-Muhithul Burhany fil Fiqhin Nu’many 8/35 - Abul Ma’aly Al-Hanafy Rahimahulloh (wafat 616)]
Pendapat jumhur ini dikuatkan oleh: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Abu Ja’far Ath-Thobary, Imam Al-Qurthuby, Ash-Shon’any, Ibnu Hazm, Ibnul ‘Aroby dll. Adapun ulama belakangan, disamping Syaikh Utsaimin, pendapat ini juga dikuatkan oleh Syaikh Al-Albany, Syaikh Muqbil dan Syaikh kami Yahya Al-Hajury.
Imam Al-Khoththoby (wafat 388) menyebutkan bahwa pendapat ini dinukilkan dari sekalangan Imam Tabi’i  seperti: Jabir bin Zaid, Al-Hasan Al-Bashry, Asy-Sya’by dan ‘Atho’. [Ma’alimus Sunan 4/161]
Atsar Jabir bin Zaid diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah di Mushonnafnya (21990) dengan sanad yang shohih, dimana Jabir berkata: “Kami (orang-orang di zaman Bani Umayyah) tidak mendapatkan di waktu itu sesuatu yang lebih bermanfaat daripada risywah”.
Atsar Al-Hasan Al-Bashry sanadnya shohih (Di Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah 21994) dan atsar Asy-Sya’by (Di Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah 21993)
Dahulu Ibnu Sirin memandang bolehnya memberi upah kepada Al-Qossam (pegawai pemerintah yang ditunjuk untuk membagi tanah), beliau berkata: “Dahulu dikatakan As-Suht adalah risywah dalam masalah hukum (yakni berkilah dari hukum syar’i- pent). Dahulu (di zaman beliau) mereka (pegawai pemerintah yang diutus pemerintah untuk menghitung zakat –pen) diberi bayaran atas penakaran”. [Shohih Al-Bukhory]
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Ibnu Sirin mengisyaratkan dengan perkataannya tersebut kepada perkataan yang datang dari ‘Umar, ‘Ali, Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Tsabit tentang tafsir As-Suht bahwasanya ia adalah risywah dalam masalah hukum. Riwayat-riwayat tersebut dikeluarkan Ibnu Jarir dengan sanad-sanadnya”. [Fathul Bary 4/454]
Perkataan “As-Suht adalah makna risywah dalam masalah hukum”, diriwayatkan juga dari Ibrohim An-Nakho’i dan ‘Ikrimah [Syarhul Bukhory Ibnu Baththol 8/334]
Atsar Ibrohim An-Nakho’i sanadnya shohih (Di Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah 21955)
Apa yang ditafsirkan tersebut semakna dengan firman Alloh Ta’ala:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُون
“Dan janganlah sebahagian kalian memakan harta sebahagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, Padahal kalian mengetahui”. (QS Al-Baqoroh 188)
As-Suht yang dimaksud adalah sebagaimana dalam firman Alloh Ta’ala;
قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ أُولَئِكَ شَرٌّ مَكَانًا وَأَضَلُّ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ * وَإِذَا جَاءُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَقَدْ دَخَلُوا بِالْكُفْرِ وَهُمْ قَدْ خَرَجُوا بِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا يَكْتُمُونَ * وَتَرَى كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Katakanlah: “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi Alloh, Yaitu orang-orang yang dilaknat dan dimurkai Alloh, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?”. mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. Apabila orang-orang (Yahudi atau munafik) datang kepada kalian, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”, Padahal mereka datang kepada kalian dengan kekafirannya dan mereka pergi (dari kalian) dengan kekafirannya pula, dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan. Kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang as-suht. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu”. (QS Al-Maidah 60-62)
Karena itulah ayat ini dijadikan pokok dalam masalah risywah.
Tafsir ini adalah bentuk penafsiran As-suht dengan salah satu contohnya. Adapun sebagian salaf dan ulama yang lain menafsirkan As-Suht dengan makna yang lebih luas. Mereka menjelaskan bahwa As-Suht mencakup seluruh harta yang didapat dengan cara haram, seperti: riba, bayaran pelacur, mahar dukun, upah orang untuk berbuat kezholiman, dll.
Namun bisa kita petik dari penafsiran As-Suht tersebut bahwasanya: mereka mengkaitkan risywah dengan “dalam masalah hukum”, padahal risywah dalam masalah hukum” kembalinya ke jenis pertama. Imam Ibnu ‘Abdil Barr Rahimahulloh mengatakan: “Setiap risywah adalah As-Suht, dan setiap As-Suht adalah risywah haram dan tidak boleh dimakan. Hal ini tidak ada khilaf antara ulama muslimin. [At-Tamhid 9/140] Yang tidak ada khilaf untuk memberi dan mengambil adalah jenis pertama, adapun jenis kedua yang “dibolehkan bagi pemberi dan diharamkan bagi penerima”, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Diantara dalil yang dipakai untuk pendapat ini adalah atsar Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu, dimana ketika beliau sampai ke Habasyah (Ethiopia) maka dia ditangkap karena suatu perkara, kemudian dia memberikan dua dinar sehingga dia dilepaskan. [Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah 21991, sanadnya Shohih]
  • Pendapat ulama yang menyatakan haramnya risywah secara mutlak
Diantara ulama yang berpendapat tidak bolehnya risywah pada jenis yang kedua, (yakni terlarang juga bagi pemberi): Imam Asy-Syaukany. Adapun dari kalangan ulama di zaman kita yang memfatwakan pendapat ini adalah Syaikh Ibnu Baz dan para ulama anggota Lajnah Da’imah: ‘Abdulloh bin Qu’ud, ‘Abdur Rozzaq ‘Afify dan ‘Abdulloh Ghudoyyan. [Lihat: Majmu’ Fatawa ibnu Baz 6/384, Fatwa Lajnah Da-imah 1:23/230 dan 548].
Rata-rata dalil yang dipakai oleh para ulama yang berpegang dengan pendapat ini adalah keumuman lafazh hadits.
Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh mengatakan: “Mengkhususkan orang yang meminta haknya dalam pembolehan menyerahkan risywah kepada pemegang perkara, saya tidak tahu apa dalil yang mengkhususkannya. Yang benar adalah pengharaman secara mutlak berdasarkan keumuman hadits. Barangsiapa yang menyangka bahwa perkara tersebut boleh pada kondisi tertentu, apabila dia datang dengan dalil yang bisa diterima (maka pendapat ini sah –pent), kalau tidak maka pengkhususan tersebut menjadi bantahan baginya. Karena hukum asal bagi harta seorang muslim adalah haram.
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah sebahagian kalian memakan harta sebahagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang bathil”. (QS Al-Baqoroh 188)
لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إلَّا بِطِيبَةٍ مِنْ نَفْسِهِ
“Harta seorang muslim tidak dihalalkan kecuali karena kerelaan dari dirinya”.
Terkadang digabungkan juga kepada pokok ini berdasar kondisi orang yang membayar risywah, yang tak terlepas dari dua keadaan:
Bisa jadi dia membayarnya untuk mendapatkan hukum Alloh jika dia berhak. Hal itu tidak boleh karena yang dibayarkan merupakan imbalan untuk mengerjakan sebuah kewajiban yang telah Alloh wajibkan kepada pemegang perkara untuk menjalankannya dengan teguh. Bagaimana bisa dia tidak melakukannya sampai dia mendapatkan sesuatu dari harta dunia?
Adapun bila harta dari pemberi risywah dimaksudkan untuk menyelisihi apa yang disyari’atkan Alloh, walaupun (hal tersebut juga) perbuatan batil, namun keadaannya lebih tercela karena dibayarkan sebagai imbalan atas perbuatan terlarang”.  [Nailul Author 8/308]
Ada satu point tambahan yang terkandung dalam penjelasan Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh di atas: Bagaimana boleh dia membayar orang untuk melakukan sesuatu yang Alloh wajibkan? Dengan makna lain, bagaimana boleh dia membayar orang untuk meninggalkan sesuatu yang Alloh haramkan?
ALASAN ADANYA PERINCIAN
Syaikh Al-Albany Rahimahulloh ketika ditanya tentang perbedaan pendapat ulama antara yang memberi perincian dan yang menetapkan haram secara mutlak, beliau mengatakan bahwa apabila kita telah memahami makna risywah dalam bahasa arab yang datang dengannya sunnah Nabawy, maka kita bisa mengambil jawaban yang terang dan jelas. Risywah adalah memberikan harta untuk membatalkan haq atau mewujudkan kebatilan. Dengan memahami acuan ini kita bisa melepaskan diri dari permasalahan terkait. [Simak Silsilatul Huda wan Nuur kaset 142, beliau menegaskan pendapat dengan perincian, serta memberikan contoh-contoh untuk perincian tersebut].
Acuan yang beliau sebutkan memang mau tidak mau harus ditetapkan, karena selain mencocoki atsar Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu dan para ulama tabi’in yang telah disebutkan, tidak adanya acuan ini juga akan berdampak kepada kesamaran hukum karena beragamnya makna risywah dari sisi bahasa, sebagaimana akan terlihat dari penjelasan berikut, wallohu a’lam.
  • Makna Risywah di kamus-kamus bahasa
Abu Hilal Al-‘Asykary (wafat 395) mengatakan: “Dahulu orang-orang arob menyebutnya dengan Al-Itaawah. Abu Zaid mengatakan: “Aku memberikan seorang lelaki Al-Itaawah maksudnya adalah risywah”. Zuhair mengatakan –dalam syair yang panjang-:
أفي كل أسواق الْعرَاق إتاوة … وَفِي كل مَا بَاعَ امْرُؤ مكس دِرْهَم
“Apakah di setiap pasar di Irak ada Al-Itaawah … dan di setiap apa yang dijual seorang lelaki terdapat pajak dengan dirham”. [Al-Furuq Al-Lughowiyyah 173]
Al-Kholil Al-Faroohidy (wafat 170) mengatakan: “Al-Itaawah adalah upeti, dan setiap bagian diwajibkan atas suatu kaum dari apa-apa yang kena pajak. Terkadang mereka menyebut risywah dengan Al-Itaabah[1]. [Kitabul ‘Ain 8/147]
Al-Khoththoby (wafat 388) mengatakan: “Abu ‘Ubaidah mengatakan: “Dahulu orang arab menamakan upeti dengan Al-Itaawah dan Al-Aryaan”. [Ghoriibul Hadits 3/55]
Abu Bakr Al-Azdy (wafat 312) mengatakan: “Al-Itaawah adalah upeti yang dahulu diserahkan kepada raja-raja di zaman Jahiliyyah”. Kemudian beliau membawakan penguat dari syair arob. [Hamzatul Lughoh 2/1033]
Al-Harowy (Wafat 370): “Ar-Rosyi adalah orang yang memberi risywah kepada hakim agar memberikan keputusan yang memenangkannya atas lawannya. Baik dengan sewenang-wenang sehingga hakim tersebut mengambil keputusan yang menyelisi haq, atau dia menunda-nunda penetapan hukum sampai si pemilik hak memberinya risywah dengan sesuatu, sehingga saat itu baru dia memutuskan haknya. Hakim tersebut telah berbuat lalim pada kedua kondisi tersebut. Adapun yang memberi risywah, dia diberi udzur pada salah satu dari keadaan tersebut”. [Tahdzibul lughoh L1/281]
Terkadang risywah diartikan juga dengan Al-Muhaabah (pemberian atau hadiah). [Kitabul ‘Ain 6/281] dengan ibarat lain: Pemberian dengan tujuan. [Masyariqul Anwar – Iyadh bin Musa (wafat 544)]
Terkadang risywah diartikan juga dengan Al-Ja’alah (upah atau komisi). [Al-Muhkam wal Muhith – Abul Hasan Al-Marisy (wafat 458), Lisanul Arob 14/332]
Kesimpulannya: Makna yang disebutkan adalah seputar jenis pertama, atau bisa juga mencakup makna yang sangat luas yang tidak diragukan kebolehannya seperti hadiah, upah komisi dll. Semua ini menujukkan bahwa perincian tentang makna risywah adalah sebuah kemestian, untuk mengetahui mana yang masuk ke dalam larangan dan mana yang tidak.
  • Makna risywah dalam kitab-kitab Ghoriibul Hadits (kata-kata yang asing maknanya di dalam hadits)
Qosim As-Sirqisty (wafat 302) –dalam konteks menyebutkan makna risywah adalah mudaaroh (mengorbankan perkara dunia demi akhirat)- membawakan atsar dengan sanad yang hasan sampai ke Fudhoil bin Marzuq, dia berkata: “Aku bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury: Aku memiliki anak lelaki yang tidak sholat, apakah aku memukulnya?”. Dia menjawab: “Beri dia risywah”. [Dala-il fii Ghoriibil Hadits 377]
Imam An-Nawawy mengatakan: “Risywah haram bagi qodhi dan selainnya dari kalangan pegawai. Adapun orang yang membayarnya untuk mendapatkan hak, maka tidak diharamkan baginya untuk membayarnya. Apabila risywah dipakai sebagai jalan untuk mendapatkan kebatilan atau membatalkan hak, maka hal itu haram”. [Tahriir Alfaazhit Tanbiih 333]
Muhammad Al-Ba’ly (wafat 709) mengatakan: “Ia (risywah) adalah perantara kepada sesuatu yang tertahan. Apabila yang tertahan adalah kebenaran maka dosa adalah bagi penerima risywah, sementara jika yang tertahan adalah kebatilan maka dosa atas mereka berdua”. [Al-Muththol’ ‘Ala Alfaazhil Muqni’ 259]
Ibnul Atsir (wafat 606) mengatakan: “Ar-Rosyi adalah orang yang memberi sesuatu kepada orang yang menolongnya dalam kebatilan –sampai perkataan beliau- adapun apa-apa yang diberi untuk mendapatkan hak ataupun menolak kezholiman, maka hal ini tak masuk ke dalamnya (ancaman hadits –pent)”. [An-Nihayah fii Ghoriibul Hadits wal Atsar 2/226].
Makna semisal juga disebutkan Az-Zamakhsyary Al-Mu’tazily [Al-Fa’iq fi Ghoriibil Hadits 2/60]
Kesimpulannya: Makna risywah yang terlarang adalah seputar jenis pertama, adapun jenis kedua tidak termasuk ke dalam laknat.
  • Makna risywah di kitab-kitab ulama
Sebagaimana yang dijelaskan terdahulu, dari atsar Ibnu mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu serta dari kalangan ulama tabi’in, maka makna -risywah terlarang dalam hadits- yang bakal anda dapati di mayoritas kitab-kitab fiqh ataupun para pensyarah hadits, tak jauh dari jenis pertama yang disebutkan Syaikh Al-Albany di atas yaitu: memberikan harta untuk membatalkan haq atau mewujudkan kebatilan.
BAGAIMANA BISA DIBOLEHKAN MEMBERIKAN SESUATU SEMENTARA DI PIHAK LAIN DIHARAMKAN BAGI YANG MENGAMBILNYA?
Jawaban atas masalah ini sekaligus jawaban bagi point tambahan yang disebutkan oleh Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh di atas, telah dijawab oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh, beliau berkata: “Tidakkah engkau melihat orang yang menghias-hiasi barang dagangan yang jelek serta penipu dan sejenisnya, apabila mereka menjual barang yang sudah dihias-hiasi itu kepada orang lain maka barang tersebut tidaklah haram bagi pembeli? Karena pembeli tersebut mendapatkan barang dari penipu itu dengan bayaran lebih dari semestinya, walapun kelebihan harga yang diambil penipu itu haram baginya. Contoh yang semisal ini banyak dalam syari’at ini –sampai perkataan beliau- karena itu para ulama mengatakan boleh membayar risywah kepada pegawai untuk menolak kezholiman tidak untuk menolak hak sementara (harta) risywah sendiri haram pada kedua kondisi itu.
Demikian juga pada masalah tawanan[2], atau hamba yang telah dimerdekakan. Apabila tuannya mengingkari kemerdekaannya maka boleh baginya untuk menebus dirinya dengan harta yang dia keluarkan walaupun tidak boleh bagi orang yang menguasainya dengan cara paksa untuk mengabil harta itu.
Demikian juga dengan perempuan yang telah dicerai tiga kali. Apabila suaminya ngotot menolak memisahkannya maka dia menebusnya dengan cara khulu’ secara dzohir (yakni formalitas) maka uang tebusan yang dikeluarkan si perempuan haram bagi mantan suaminya itu, dan mantan suami tersebut mesti melepaskan si wanita dari cengkeramannya.
Karena itulah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan (Syaikhul Islam meriwayatkan dengan makna): “Sungguh aku akan memberikan salah seorang mereka dengan pemberian, kemudian dia keluar dengannya dengan menjadikannya sebagai api yang menyala”. Para shohabat berkata: “Wahai Rosululloh, maka mengapa engkau memberi mereka?”. Beliau berkata: “Mereka enggan kecuali meminta kepadaku, dan Alloh enggan bagiku untuk pelit”. [3]
Juga perkataan beliau:
ما وقى به المرء عرضه فهو صدقة
“Apa-apa yang dijadikan seorang lelaki untuk melindungi kehormatannya adalah sedekah”.[4]
Kalau seseorang memberi sesuatu kepada penyair ataupun selain penyair agar dia tidak berbuat dusta atas orang (yang memberikan) tersebut dengan ejekan dalam syair atau selainnya, ataupun agar dia (penyair dan selainnya) tidak berbicara pada kehormatannya apa-apa yang diharamkan baginya untuk membicarakannya, maka pengeluaran yang dia (pemberi) lakukan untuk hal-hal tersebut boleh, sementara pemberian yang diberikan agar orang yang menerima tidak mendzoliminya, diharamkan bagi si pengambil tersebut karena yang wajib baginya adalah meninggalkan kezholimannya.
-Sampai pada perkataan beliau-: Perkara-perkara yang diperbolehkan (secara syari’at) bagi semua kaum muslimin seperti binatang tangkapan (atau buruan) baik di laut maupun di darat, segenap yang dibolehkan dari tumbuhan di bumi, serta apa-apa yang dibolehkan di gunung-gunung atau dataran rendah seperti barang tambang, garam dan selainnya, apabila penguasa (pemimpin negara) melarangnya[5] dan memerintahkan bahwa tidak boleh mengambilnya kecuali orang yang dia tunjuk, kemudian semua itu dia perintahkan untuk dijual kepada masyarakat maka tidak haram bagi mereka (masyarakat) untuk membelinya, karena mereka (pembeli) tidak mendzolimi seorangpun dalam masalah itu, dan karena merekalah yang dizholimi dengan adanya pembatasan bagi mereka. Bagaimana diharamkan bagi mereka untuk membeli sesuatu yang pada asalnya boleh bagi mereka untuk mengambilnya dengan percuma? sementara orang yang ditunjuk penguasa tidak memberikan barang-barang tersebut kepada mereka kecuali dengan harganya yang mereka ambil secara zholim atau yang sejenisnya dari kezholiman”. [Majmu’ul Fatawa 29/258-259]
Dalam catatan kaki Ar-Rohuny Rahimahulloh disebutkan bahwa sebagian ulama mengatakan: “Apabila engkau lemah untuk menegakkan hujjah syar’i lalu engkau minta pertolongan dalam masalah itu kepada wali yang tidak berhukum dengan hujjah syar’iyyah, maka yang selainmu berdosa. Apabila itu dalam masalah istri (yakni masalah perceraian yang talak tiga) sehingga dibolehkan dinikahi orang lain, bahkan wajib bagimu untuk melakukannya (meminta bantuan pemerintah untuk segera memisahkan dari mantan istrinya) karena mafsadah (kerusakan) yang dilakukan permerintah tersebut lebih ringan daripada mafsadah zina dan “memakai” tanpa izin. Demikian halnya kamu meminta bantuan kepada tentara, mereka yang berdosa kamu tidak. Demikian halnya dengan masalah hewan yang dirampas dan sebagainya”. [Kasyful Qonna’ 3/316]
KONTRADIKSI DALAM BEBERAPA FATWA IMAM AL-ALBANY RAHIMAHULLOH
Dalam salah satu fatwa beliau di Silsilatul Huda wan Nuur beliau melarang memberikan risywah kepada pegawai agar bisa lepas dari cukai, sehingga terkesan bertentangan dengan pendapat beliau yang membolehkan membayar risywah untuk menolak kebatilan karena cukai termasuk sesuatu yang tidak diperbolehkan dipungut dari kaum muslimin.
Maka Syaikh Al-Albany Rahimahulloh menjelaskan titik temu dari kedua pendapatnya tersebut, beliau mengatakan: “Tidak ada pertentangan dengan kedua pendapat, karena ketika risywah diberikan kepada petugas cukai (pajak, bea dan sejenisnya) bisa saja perkaranya terbongkar sehingga berpengaruh ke dakwah Islam dengan adanya celaan, dikatakan: “Orang-orang yang mengetahui agama, melakukan begini dan begitu”.
Memberikan risywah untuk mencapai haq, bukan untuk menghilangkan hukum (syar’i), maka hukumnya boleh sebagaimana yang engkau dengar, hukumnya haram bagi yang memakan risywah tersebut dan tidak haram bagi yang memberi. Akan tetapi jika risywah tersebut pada keadaan yang dikhawatirkan terbuka, maka pada kondisi ini kami katakan tidak boleh”. [Silsilatul Huda wan Nuur kaset 345]
Jadi jelas pelarangan beliau bukan pada risywah itu sendiri, karena bentuk yang seperti ini tidak termasuk ke dalam makna risywah secara bahasa arab maupun yang dimaksud dalam hadits. Akan tetapi ketika terjadi kesalah pahaman di masyarakat yang menyebabkan mereka memukul rata setiap kondisi maka dikhawatirkan jika mereka melihat perkara ini akan berdampak jelek. Dengan kata lain apabila sebab larangan (yaitu kekhawatiran) hilang maka kembali ke hukum asal, sebagaimana dimaklumi dalam dalam kaidah fiqh: “Al-Hukmu yaduuru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman”.[6] Makna seperti ini juga beliau sebutkan di kesempatan lain. [Silsilatul Huda wan Nuur kaset 36]
HAK DAN KEWAJIBAN DARI SISI PANDANG SEORANG MUSLIM
Sebagai penutup pembahasan ini, ada perkara penting yang luput bahkan dijadikan syubhat (alasan yang rancu) bagi sebagian orang. Dimana mereka menjadikan standar hak dan kewajiban adalah legalitas. Bahkan sebagian mereka berbangga-bangga kalau maksiat ataupun kebid’ahan mereka dilegalkan oleh pemerintah dan menuding orang yang bisa melepaskan diri dari kezholiman yang menimpanya dianggap sebagai pemberontak, tidak taat pemerintah.
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh Ta’ala mengatakan: “Apabila hal itu (risywah) untuk menolak kejelekan mereka dan kejelekan itu hanya bisa dicegah dengan memberi mereka, maka hal ini tidak apa-apa. Seperti pegawai cukai, seandainya kamu memberi mereka harta untuk mencegah mereka dari mengambil cukai, maka hal ini tidak apa-apa karena ini merupakan bentuk menolak kezholiman. Adapun yang utama dalam kondisi ini engkau tunduk (membayar cukai), namun ketika tidak terdapat penentangan secara terangan-terangan kepada pemerintah, maka perkara ini boleh. Adapun jika engkau menentang mereka (pemerintah) terang-terangan dan mengatakan; “Aku tidak akan memberikan kalian (cukai)!! Kalian orang-orang zholim sebab harta orang-orang muslim terlindungi (syari’at)!!”.
Maka perbuatan ini (menentang mereka terang-terangan di depan khalayak) haram bagimu, karena wajib bagi seorang mukmin untuk mendengar dan taat (kepada pemimpin negara) walaupun punggungnya dipukul dan hartanya diambil. Adapun masalah perlindungan diri (dari kezholiman) dengan harta maka tidaklah mengapa”. [Liqo’ul Baabil Maftuuh kaset 106]
Pemerintah muslim dan masyarakatnya, semuanya dituntut untuk menegakkan hukum Alloh, mengembalikan hak serta kewajiban pemimpin muslim ataupun masyarakatnya kepada hukum Alloh, bukan kepada perundangan buatan manusia yang kebanyakannya menjiplak hukum-hukum buatan orang kafir yang sesat lagi menyesatkan. Meninggalkan hukum Alloh adalah kemaksiatan kepada-Nya, yang kadar kemaksiatan tersebut tergantung kepada kadar penyimpangan, Alloh berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُون
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang Alloh turunkan maka mereka adalah orang-orang kafir”. (QS Al-Ma’idah 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang Alloh turunkan maka mereka adalah orang-orang zholim”. (QS Al-Ma’idah 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُون
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang Alloh turunkan maka mereka adalah orang-orang fasiq (pendosa)”. (QS Al-Ma’idah 47)
Ketaatan kepada pemimpin mengharuskan kaum muslimin untuk tidak memberontak kepada mereka tidak merongrong kekuasaan mereka baik dengan senjata maupun yel-yel demonstran.
Namun perintah untuk taat tersebut tidak dalam perkara-perkara maksiat kepada Alloh, jadi tidak bisa dikatakan bahwa orang yang yang tidak mengikuti mereka dalam perkara maksiat dibilang pembangkang.
Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
لا طاعة في المعصية إنما الطاعة في المعروف
“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, ketaatan hanyalah pada perkara ma’ruf (kebajikan)”. (HR Bukhory-Muslim dari ‘Ali bin Abi Tholib Rodhiyallohu ‘Anhu)
Karena itulah pemimpin masyarakat muslim wajib mengembalikan penentuan hak dan kewajiban masyarakatnya kepada Al-kitab dan Sunnah.
Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا * يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Sesungguhnya Alloh menyuruh kalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, serta jika kalian menetapkan hukum di antara manusia agar menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Alloh memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Samii’ (Maha mendengar) lagi Bashiir (Maha melihat).
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah rosul-Nya, serta ulil amri di antara kalian. kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah perselisihan itu kepada Alloh (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya”. (QS AN-Nisa’ 58-59)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh mengatakan: “Para ulama mengatakan: “Ayat pertama (ayat 58)  turun dalam masalah penguasa. Wajib bagi mereka menunaikan amanat (sesuai syari’at) kepada pemiliknya. Apabila mereka menghukumi suatu perkara di kalangan manusia maka hukumilah dengan adil. Ayat kedua turun kepada masyarakat dari kalangan tentara dan selain mereka. Wajib bagi mereka mentaati penguasa dalam pembagian, penegakan hukum, peperangan dan selainnya, kecuali jika mereka (penguasa) memerintahkan untuk melakukan perkara maksiat kepada Alloh. Apabila mereka memerintahkan perkara untuk bermaksiat kepada Alloh maka tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam memaksiati Al-Kholiq (Yang Maha Pencipta). Apabila kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Kitabulloh dan Sunnah Rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam karena hal tersebut merupakan ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Apabila pemimpin tidak mau kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah maka taatilah mereka pada apa-apa yang mereka perintahkan berupa ketaatan kepada Alloh dan Rosul-Nya, tunaikanlah hak-hak mereka (yang syar’i) sebagaimana diperintahkan Alloh dan Rosul-Nya”. [As-Siyasatusy Syar’iyyah fi Ishlahir Ro’i war Ro’iyyah 6]
Adapun orang yang berbangga-bangga dengan legalitas maksiat dan bid’ahnya maka hendaklah dia takut kepada Alloh dan hari akhir. Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا المُجَاهِرِين
“Setiap umatku diampuni (Alloh dengan keutamaan dan rahmat-Nya) kecuali orang-orang yang terang-terangan dengan perbuatan maksiat dan kefasikan”. (HR Bukhory-Muslim dari Abu Hurairoh)
Beliau Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إنه يستعمل عليكم أمراء، فتعرفون وتنكرون، فمن كره فقد برئ، ومن أنكر فقد سلم، ولكن من رضي وتابع
“Sesungguhnya akan berkuasa atas kalian para pemimpin, kalian mengetahui amalan kebajikan dan amalan kemungkaran -secara syari’at- dari mereka, barang siapa yang membenci (yang tidak mampu mengingkari dengan tangan dan lisan) kemungkaran tersebut maka dia telah terlepas dari dosa. Barangsiapa yang mampu mengingkari kemungkaran tersebut (sesuai kemampuannya) maka dia selamat. Akan tetapi barangsiapa yang ridho dan mengikuti kemungkaran tersebut maka dialah yang mendapat dosa”. (HR Muslim dari Ummu Salamah Rodhiyallohu ‘Anha). [Lihat Syarh (penjelasan) Shohih Muslim karya An-Nawawi dan Asy-Syuyuthi]
Kita memohon kepada Alloh taufiq dan hidayah-Nya serta kelembutan-Nya kepada segenap kaum muslimin
سبحانك اللهم وبحمدك، لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

[1] Mirip sekali dengan makna upeti dalam bahasa Indonesia, yang berarti: 1. Uang (emas dsb) yang wajib dibayarkan (dipersembahkan) oleh negara-negara kecil kepada raja atau negara yang berkuasa atau yang menaklukkan. 2. Uang dsb yang diberikan (diantarkan) kepada seorang pejabat dsb dengan maksud menyuap. [Lihat KBBI]
[2] Yakni membayar tebusan, karena haram bagi orang kafir untuk mengambil harta kaum muslimin.
[3] Lafazh haditsnya, dari Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ‘Anhu: “’Umar berkata: “Wahai Rosulullloh sungguh aku mendengar si fulan bersyukur dan dia menyebutkan bahwa engkau memberinya dua dinar”. Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
لَكِنْ فُلَانٌ لَا يَقُولُ ذَلِكَ، وَلَا يُثْنِي بِهِ، لَقَدْ أَعْطَيْتُهُ مَا بَيْنَ الْعَشَرَةِ إِلَى الْمِائَةِ – أَوْ قَالَ: إِلَى الْمِائَتَيْنِ – وَإِنَّ أَحَدَهُمْ لَيَسْأَلُنِي الْمَسْأَلَةَ، فَأُعْطِيهَا إِيَّاهُ، فَيَخْرُجُ بِهَا مُتَأَبِّطُهَا، وَمَا هِيَ لَهُمْ إِلَّا نَار
“Akan tetapi demi Alloh, si fulan (orang yang lain) tidaklah bersyukur. Aku telah memberinya sepuluh sampai seratus –atau beliau mengatakan: “Sampai dua ratus”-. Sesungguhnya salah seorang diantara kalian meminta-minta kepadaku maka aku memberikannya kemudian dia keluar dengan mengepitnya di ketiaknya. Tidaklah itu bagi mereka kecuali api”.
‘Umar berkata: “Wahai Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Mengapa engkau memberi mereka?”. Beliau menjawab:
إِنَّهُمْ يَأْبَوْنَ إِلَّا أَنْ يَسْأَلُونِي، وَيَأْبَى اللهُ لِي الْبُخْلَ
“Mereka enggan kecuali meminta-minta kepadaku, sementara Alloh enggan bagiku untuk pelit”. (HR Ahmad, dishohihkan Syaikh Al-Albany)
[4] HR Ad-Daruqutny dan selainnya. Didho’ifkan Syaikh Al-Albany, karena di dalam sanadnya terdapat ‘Abdul Hamid bin Al-Hasan Al-Hilaly
[5] Beda dengan perkara-perkara yang dilarang pemerintah untuk kemaslahatan muslimin seperti hutan lindung dll, maka yang seperti ini ada dalil lain yang membolehkannya, sebagaimana sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
لا حمى إلا لله ولرسوله
“Tidak ada hima (kawasan yang dilindungi) kecuali milik Alloh dan rosul-Nya”.
Ibnu Hajar Rahimahulloh mengatakan: “Asy-Syafi’i mengatakan: “Makna hadits ini memiliki dua kemungkinan. Pertama: Tidak boleh bagi seorangpun untuk membuat kawasan yang dilindungi kecuali apa-apa yang telah dilindungi oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Makna yang lain: (Tidak boleh) kecuali semisal dengan kawasan yang dilindungi oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Maka atas makna pertama tidak boleh bagi seorang penguasa pun untuk membuat kawasan lindung. Sementara atas makna kedua maka pembuatan kawasan lindung khusus bagi orang yang berada pada posisi Rosululloh (sebagai pemimpin) yaitu khusus bagi kholifah”. [Fathul Bari 5/44]
Kemudian beliau Rahimahulloh menyebutkan bahwa makna pertama lebih dekat dengan lafazh namun makna kedua lebih kuat karena didukung atsar ‘Umar Ibnul Khoththob dimana ketika menjadi kholifah beliau menjadikan Asy-Syarof dan Ar-Robadzah sebagai kawasan yang dilindungi.
[6] Ada tidaknya hukum-hukum sejalan dengan keberadaan sebabnya. Kecuali bentuk perkara yang langsung ada dalilnya. Seperti melakukan roml (berlari kecil ketika thowaf), pada awalnya hal tersebut dilakukan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk membuat gentar orang musyrikin yang ketika itu menyangka fisik kaum muslimin dalam keadaan lemah. Tidak bisa dikatakan apabila hikmahnya hilang (yaitu untuk membuat gentar orang musyrikin) maka tidak ada roml lagi. Hal itu dikarenakan bahwa perbuatan ini dicontohkan langsung oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, walaupun salah satu hikmah yang kita ketahui tidak ada, masih banyak hikmah lain yang tidak kita ketahui dari perbuatan beliau karena beliau adalah sebaik-baik teladan.

Sumber: ahlussunnah.web.id 

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Laknat Alloh bagi yang memberi dan menerima suap
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/laknat-alloh-bagi-yang-memberi-dan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
credit for cara membuat email - Copyright of Risalah Kajian.