Faidah seputar Basmalah (Bismillahirrohmanirrohiim)

Posted by Admin 0 comments

BEBERAPA FAIDAH SEPUTAR BASMALAH

ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy Al-Minangkabawy
-Semoga Alloh mengampuni kesalahannya-
15 Robi’ul Awwal 1434
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، وبه نستعين، والصلاة والسلام على سيد المرسلين، وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، أما بعد:
Telah lewat pembahasan artikel “Apakah basmalah termasuk Al-Fatihah” yang kesimpulannya bahwa basmalah yang dibaca di awal surat adalah ayat tersendiri, tidak dihitung sebagai bagian dari surat setelahnya, tidak pada Al-Fatihah dan tidak juga surat yang lain.

Dalam pembahasan kali ini kita akan menyinggung beberapa faidah terkait dengannya, baik dalam posisi sebagai salah satu ayat Al-Qur’an maupun posisinya sebagai salah satu dzikr. Semoga bisa membantu kita untuk beramal di atas ilmu.
Yang dimaksudkan dengan basmalah adalah lafazh: بسم الله الرحمن الرحيم atau بسم الله [Lisanul ‘Arob, Al-Mishbahul Muniir, Tafsir Al-Qurthuby 1/97]
MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM BASMALAH
بسم الله
“Hanya dengan nama Alloh”
Kata (ب) atau “dengan”, dalam bahasa arab bermakna Mushohabah (bersama-sama dalam suatu kondisi atau kejadian), dan bisa juga bermakna Isti’anah (menjadikan atau meminta sesuatu sebagai bantuan). Makna pertama dijumpai dalam bahasa yang kita pakai, seperti: “Dia pulang dengan pamanku” yakni bersama pamanku, atau “Kapal terus berlayar dengan hantaman gelombang yang tiada henti” yakni bersamaan adanya hantaman gelombang yang tiada henti, dsb. Makna kedua juga biasa dipakai dalam bahasa kita, seperti: “Saya baru bisa memanjat pohon itu dengan tangga” yakni menjadikan tangga sebagai alat bantu”, atau “Mereka baru diterima di perusahaan itu dengan beking yang kuat” yakni meminta bantuan beking.
Kemudian, dalam kaidah bahasa arab, susunan kalimat seperti pada ayat ini menuntut adanya kalimat tersirat yang terkait dengan pembacaan kalimat tersebut. Misalnya, ketika saya ingin menulis dan membaca bismillah, maka itu maknanya: Hanya dengan nama Alloh saya menulis dalam keadaan saya meminta pertolongan kepada-Nya dengan menyebut nama-Nya dan mengharap keberkatan dengannya. [Lihat Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid]
Mengenai perkataan sebagian orang bahwa makna (ب) menurut Ahlussunnah adalah Isti’anah, maka ungkapan tersebut dalam rangka menolak pemahaman mu’tazilah seperti Az-Zamakhsyary penulis tafsir Al-Kasysyaf, dimana dia menetapkan maknanya hanyalah Mushohabah. Hal ini terkait dengan keyakinan mu’tazilah bahwa hambalah yang menciptakan perbuatannya sendiri tanpa campur tangan Alloh. Jadi mereka menolak adanya makna Isti’anah berdasar keyakinan yang rusak tersebut. Sementara ahlussunnah meyakini bahwa Allohlah yang menciptakan hamba dan perbuatannya. Alloh berfirman:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan perbuatan kalian”. (QS Ash-Shoffaat 96)
Adapun jika kedua makna digabung sebagaimana disebutkan Al-‘Allamah ‘Abdurrahman bin Hasan (penulis Fathul Majid) di atas, maka tidak ada makna yang keliru, wallohu a’lam.
Meminta dan berdo’a kepada Alloh dengan memakai nama-Nya adalah perkara yang disyari’atkan. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Alloh Asmaa-ul Husna (Nama-nama yang Agung yang mengandung sifat-sifat-Nya), maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya”. (Al-A’rof 180)
MAKNA LAFAZH “ALLOH”
Secara asal makna, lafazh yang agung “Alloh” memiliki asal makna yang semisal dengan “Al-Ilah” yaitu yang diibadahi. Al-Ilah termasuk nama Alloh sebagaimana disebutkan di Al-Qur’an dan sunnah, diantaranya firman Alloh Ta’ala:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُون
“Padahal mereka hanya disuruh beribadah kepada Ilah yang Esa, tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Dia. Maha suci Dia dari apa yang mereka persekutukan”. (QS At-Taubah 31)
Yang diibadahi atau yang disembah oleh orang kafir juga disebut dengan ilah. Alloh berfirman:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ آزَرَ أَتَتَّخِذُ أَصْنَامًا آلِهَةً إِنِّي أَرَاكَ وَقَوْمَكَ فِي ضَلَالٍ مُبِين
“Ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai ilah-ilah (sesembahan-sesembahan)? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”. (QS Al-An’am 74)
Alloh berfirman:
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَهُمْ قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُون
“Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, Maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala-berhala mereka, Bani lsrail berkata: “Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah ilah sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (sembahan)”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kalian ini adalah kaum yang tidak mengetahui”. (QS AL-A’rof 138)
Alloh menyebutkan tentang perkataan Fir’aun:
قَالَ لَئِنِ اتَّخَذْتَ إِلَهًا غَيْرِي لَأَجْعَلَنَّكَ مِنَ الْمَسْجُونِين
“Fir’aun berkata: “Sungguh jika kamu menyembah ilah selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan”. (QS Asy-Syu’aro’ 29)
Perhatian: Dalam bahasa Indonesia kata “ilah” diartikan sebagai tuhan yaitu yang diibadahi atau yang disembah. Kekeliruan yang sering dilakukan sebagian orang adalah mereka juga mengganti kata “Ilah” dengan kata “tuhan” dalam konteks penyebutan nama Alloh, padahal tuhan bukanlah termasuk nama-nama Alloh yang datang dalam kitab-kitab dan sunnah. Tidak boleh mengganti nama-Nya yang telah Dia tetapkan dengan suatu penamaan yang tidak datang dalilnya dari Al-Qur’an dan sunnah. Hal ini tak jauh berbeda dengan kaum Nashoro yang menamakan Alloh dengan Bapa. Alloh berfirman:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُون
33. Katakanlah: “Robbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Alloh dengan sesuatu yang Alloh tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Alloh apa yang tidak kamu ketahui.”. (QS Al-A’rof 33)
Kesalahan yang lain, adalah ketika langsung menterjemahkan Ar-Rahmaan dengan Maha Pengasih, padahal Ar-Rohman adalah nama tidak boleh diganti dengan terjemahannya. Kita tidak mengartikan seseorang yang bernama Ahmad dengan paling terpuji ketika menterjemahkan, dan tidak juga mengartikan nama Dzul-Qornain dengan pemilik dua tanduk, ketika menterjemahkan, maka bagaimana bisa nama-nama Alloh langsung diganti dengan terjemahannya padahal diantara kewajiban dalam keimanan kepada Alloh adalah menetapkan nama-nama-Nya yang mulia sebagaimana yang ditetapkan Alloh dan rosul-Nya. Akan tetapi ketika mengartikan, disebutkan nama-Nya, kemudian kalau ingin baru disebutkan maknanya setelahnya karena memang setiap nama Alloh menunjukkan kandungan makna dari nama-nama tersebut, demikian juga nama-nama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Berbeda dengan nama-nama hamba. Bisa saja seorang namanya Sholih sementara dia adalah orang yang banyak berbuat zholim, bisa saja namanya ‘Adil padahal dia adalah orang yang paling curang, dsb
Alloh adalah nama-Nya yang paling mulia, yang menuntut segenap makna-makna Asmaa-ul Husna, sebaliknya Asmaa-ul Husna merupakan perincian dan penjelasan dari sifat ilahiyyah (ketuhanan). Karena itulah dalam ayat dalam surat Al-A’rof di  atas Asmaa-ul Husna disandarkan kepada Alloh.
Dalam sebuah riwayat: Buraidah Rodhiyallohu ‘Anhu keluar di waktu malam dan bertemu Nabi Shollallohu’Alaihi wa Sallam, maka beliau menarik Buraidah dengan tangannya dan memasukannya ke dalam masjid, ternyata terdengar suara seorang lelaki yang sedang membaca. Rosululloh Shollallohu ’Alaihi wa Sallam berkata: “Apakah engkau memandangnya sedang berbuat riya’?”. Buraidah terdiam. Lelaki itu ternyata sedang berdo’a, dia berkata:
اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ. الْأَحَد الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Yaa Alloh aku meminta kepada-Mu, dengan wasilah[1] bahwa sesungguhnya aku bersaksi sungguh Engkau adalah Alloh yang tidak adalah ilah (sembahan) yang berhak diibadahi selain Engkau. Engkau adalah Al-Ahad Ash-Shomad yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada yang setara dengan-Mu”.
Maka Nabi Shollallohu’Alaihi wa Sallam berkata:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، أَوْ قَالَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَقَدْ سَأَلَ اللهَ بِاسْمِهِ الْأَعْظَمِ الَّذِي إِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى، وَإِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ
“Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya –atau beliau mengatakan: “Demi Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya”- sungguh dia telah meminta kepada Alloh dengan nama-Nya yang paling agung yang jika Dia diminta dengan (wasilah) nama tersebut maka Dia akan memberikannya, jika Dia diseru dengan (wasilah) nama tersebut maka Dia akan menjawabnya,”.
Keesokan malamnya, Buraidah keluar lagi dan bertemu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, maka beliau menarik Buraidah dengan tangannya dan memasukkannya ke dalam masjid, ternyata terdengar suara lelaki tersebut sedang membaca. Rosululloh Shollallohu’Alaihi wa Sallam berkata: “Apakah engkau memandangnya sedang berbuat riya’?”. Buraidah berkata: “Apakah engkau mengatakan dia sedang berbuat riya’ wahai Rosululloh?”. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
لَا. بَلْ مُؤْمِنٌ مُنِيبٌ، لَا. بَلْ مُؤْمِنٌ مُنِيبٌ
“Tidak, bahkan dia adalah seorang mukmin yang bertaubat dan kembali (kepada Robbnya), tidak, bahkan dia adalah seorang mukmin yang bertaubat dan kembali (kepada Robbnya)”. (HR Ahmad dan lainnya, dishohihkan Syaikh Al-Albany)
Dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu, beliau mengatakan: “Sesungguhnya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mendengar seorang lelaki mengatakan:
اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدَ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، وَحْدَكَ لَا شَرِيكَ لَكَ، الْمَنَّانَ بَدِيعَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Yaa Alloh, aku meminta kepadamu dengan wasilah sesungguhnya segala sanjungan hanya bagi-Mu, tidak ada yang berhak diibadahi selain Engkau sendiri tidak ada sekutu bagi-Mu. Al-Mannan (Dzat Yang Maha Luas Karunianya), Badi’us Samawaati wal Ardh[2] (Yang menciptakan langit dan bumi dengan puncak ketelitian, tanpa contoh sebelumnya), Dzul Jalaali wal Ikrom (Yang berhak atas segenap pengagungan, pujian  dan kecintaan)[3]”.
Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
لَقَدْ سَأَلْتَ اللهَ بِاسْمِ اللهِ الْأَعْظَمِ الَّذِي إِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ، وَإِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى
“Engkau telah meminta kepada Alloh dengan nama Alloh yang paling agung, jika Dia diseru dengan (wasilah) nama tersebut maka Dia akan menjawabnya, jika Dia diminta dengan (wasilah) nama tersebut maka Dia akan menberikannya”. (HR Ahmad dan lainnya, dishohihkan Syaikh Al-Albany)
Lafazh “Alloh” terdapat pada kedua riwayat tersebut, jadi jelaslah apa yang dimaksud dengan nama yang paling agung.
Diantara kekhususannya nama ini digandengkan pada seluruh dzikir-dzikir yang datang dari as-Sunnah, seperti: tahlil, takbir, tahmid, hauqolah (laa haula wa laa quwwata illa billah), hasbalah (hasbunalloh wa ni’mal wakiil), istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi roji’un), basmalah.
MAKNA LAFAZH “AR-ROHMAAN” DAN “AR-ROHIIM”
Kedua nama ini menunjukkan akan sifat rahmat (belas kasih) Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi para ulama menyebutkan bahwa Ar-Rohmaan menjelaskan sifat yang terkait dengan diri-Nya, sementara Ar-Rohiim juga menjelaskan sifat rahmat-Nya yang terkait dengan makhluk-Nya.
Ibnul Qoyyim Rahimahullohu Ta’ala mengatakan: “Sesungguhnya Ar-Rohmaan menunjukkan kepada sifat Alloh Subhanahu, sementara Ar-Rohiim menunjukkan keterkaitannya dengan (makhluk) yang dirahmati. Maka yang pertama (yakni Ar-Rohmaan –pent) untuk sifat dan yang kedua (yakni Ar-Rohiim –pent) untuk perbuatan. Yang pertama menunjukkan bahwa rahmat adalah sifat-Nya, sementara yang kedua menunjukkan bahwa Dia merahmati makhluk-Nya dengan rahmat-Nya. Apabila anda ingin memahami hal ini, maka cermatilah firman-Nya:
وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
“Dan adalah Dia Rahiim kepada orang-orang yang beriman”. (QS Al-Ahzab 43)
إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيم
“Sesungguhnya Dia Ro-uuf lagi Rohiim kepada mereka”. (QS Al-At-Taubah 117)
Tidak pernah datang (dalam dalil-dalil) “Rohmaan kepada mereka”, maka diketahui bahwa Ar-Rohmaan adalah Yang disifati dengan rahmat, sementara Ar-Rohiim adalah Yang merahmati dengan rahmat-Nya. Inilah point yang nyaris tidak anda dapatkan di kitab apapun, walaupun kaca hatimu berada di dekatnya, tidak akan jelas bagimu gambarannya”. [Bada’iul Fawa’id 1/24]
MENULIS BASMALAH DENGAN HURUF LATIN DI AWAL SURAT ATAU SMS
Permasalahan ini kembalinya kepada perkara: Apakah yang diinginkan dengannya adalah sekedar tasmiyyah yakni sebagai dzikr dan do’a sebagaimana perkara ini disyari’atkan pada awal-awal perkara-perkara yang lain? Ataukah basmalah yang ditulis oleh Rosululloh merupakan ayat dari Al-Qur’an sebagaimana Alloh menurunkannya sebagai pembuka setiap surat dalam kitab-Nya yang mulia?.
Karena pelarangan ulama dalam mengubah tulisan arab kepada ejaan latin adalah pada Al-Qur’an, berdasarkan firman Alloh Ta’ala:
أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Alloh, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?”. (QS Al-Baqoroh 75)
Adapun jika basmalah yang ditulis di awal surat adalah dalam posisi sebagai dzikr, bukan sebagai salah satu ayat dari Al-Qur’an, maka tidak mengapa menulisnya dengan ejaan latin sebagaimana kita menulis Alhamdulillah atau Subhanalloh, padahal keduanya ada di Al-Qur’an.
Beberapa alasan yang bisa dijadikan sandaran untuk kemungkinan pertama (sebagai dzikr):
1. Digantinya lafazh basmalah pada Perjanjian Hudaibiyyah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan penulisan bukanlah ayat Al-Qur’an. Karena jika yang dimaksud adalah ayat Al-Qur’an maka tidak diganti baik ke bahasa latin maupun ke kalimat lain dalam bahasa arab.
Al-Miswar bin Makhromah Rodhiyallohu ‘Anhu menyebutkan -ketika terjadi Perjanjian Hudaibiyah-: “
Maka datanglah Suhail bin ‘Amr berkata: “Ayo tulislah antara kami dan kalian sebuah kitab (perjanjian)”. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memanggil juru tulis lalu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: بسم الله الرحمنِ الرحيم
Suhail berkata: “Adapun Ar-Rohmaan, maka demi Alloh aku tidak tahu apa ia. Namun tulislah Bismika Allohumma sebagaimana engkau dahulu menulis”.
Kaum muslimin mengatakan: Kami tidak akan menulisnya kecuali: بسم الله الرحمنِ الرحيم
Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Tulislah: Bismika Allohumma”. Kemudian beliau berkata: “Ini adalah apa yang diputuskan Muhammad Rosululloh”. Suhail berkata: “Demi Alloh kalau kami tahu bahwa kamu adalah rosul (utusan) Alloh, maka kami tidak akan menghalangi kalian dari baitulloh dan kami tidak akan memerangimu, akan tetapi tulislah: Muhammad bin ‘Abdillah”.
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Demi Alloh aku benar-benar rosululloh walaupun kalian mendustakanku. Tulislah: Muhammad bin ‘Abdillah”.
(Kemudian setelah menyebutkan kisah yang panjang setelah peristiwa perjanjian itu) Al-Mishwar mengatakan: Kemudian Alloh Ta’ala menurunkan:
وَهُوَ الَّذِي كَفَّ أَيْدِيَهُمْ عَنْكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ عَنْهُمْ بِبَطْنِ مَكَّةَ مِنْ بَعْدِ أَنْ أَظْفَرَكُمْ عَلَيْهِمْ وَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرًا * هُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْهَدْيَ مَعْكُوفًا أَنْ يَبْلُغَ مَحِلَّهُ وَلَوْلَا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا * إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ
“Dia-lah yang menahan tangan mereka dari membinasakan kalian dan menahan tangan kalian dari membinasakan mereka di tengah kota Mekah sesudah Allah memenangkan kamu atas mereka, dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan.
Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalangi kalian dari memasuki Masjidil Haram dan menghalangi hewan korban sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Kalaulah bukan karena laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kalian ketahui, tentulah kalian akan membunuh mereka yang menyebabkan kalian ditimpa kesusahan tanpa kalian sadari.
Karena Allah akan memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang yang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih. Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan Jahiliyah”. (QS Al-Fath 24-26)
Kesombongan mereka adalah mereka tidak mengakui bahwa beliau adalah Nabiyulloh, dan tidak mengakui بسم الله الرحمن الرحيم, serta menghalangi mereka dari baitulloh”. (HR Bukhory).
Dalam riwayat lain:
Sesungguhnya Quraisy mengajak Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berunding, pada mereka terdapat Suhail bin ‘Amr. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada ‘Ali: “Tulislah: بسم الله الرحمنِ الرحيم”.
Suhail berkata: “Adapun bismillah, maka kami tidak tahu apa itu Bismillahirrohmaanirrohim. Akan tetapi tulislah apa yang kami ketahui: Bismika Allohumma”.
Beliau berkata: “Tulis: Dari Muhammad Rosululloh”. Mereka berkata: “Kalau kami tahu engkau dalah rosul Alloh niscaya kami akan mengikutimu. Akan tetapi tulislah namamu dan nama bapakmu”. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Tulis: Dari Muhammad bin ‘Abdillah”. (HR Muslim dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu)
2. Basmalah yang merupakan ayat Al-Qur’an adalah pembatas antar surat,  sebagaimana hadits Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘anhuma, bahwasanya beliau berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَعْرِفُ فَصْلَ السُّورَةِ حَتَّى تَنَزَّلَ عَلَيْهِ: بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ.
“Dahulu Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak mengetahui pembatas pada tiap-tiap surat hingga diturunkan kepada beliau: بسم الله الرحمن الرحيم.”. (HR Abu Daud dengan sanad yang shohih)
Maka konsekwensinya, setelah basmalah mestinya disebutkan surat Al-Qur’an yang baru, sementara basmalah yang disunnahkan ditulis di awal penulisan perkara yang lain, tidaklah demikian.
3. Dari penjelasan para ulama tentang basmalah di awal-awal kitab, disebutkan bahwa makna yang disiratkan di dalamnya adalah: “Dengan nama Alloh aku membuat tulisan atau karangan”, sementara pada Al-Qur’an makna-makna tersirat semacam ini tidak berlaku, karena Al-Qur’an adalah perkataan Alloh bukan makhluk.[4]
Karena itu tidak mengapa basmalah ditulis huruf latin di awal penulisan jika tidak memungkinkan dengan bahasa arab karena penulis menginginkannya sebagai sebuah dzikr. Adapun Al-Qur’an maka tidak boleh ditulis dengan huruf latin dalam keadaan apapun, dan meninggalkannya adalah sebuah keharusan, karena hukum menulis basmalah di awal penulisan adalah mustahab, sementara mengubah lafazh Al-Qur’an hukumnya haram. Gambarannya seperti orang yang merampok untuk bersedekah, namun masalah pengubahan lafazh jauh lebih parah karena terkait dengan sifat Alloh. wallohu a’lam.
Karena itu Syaikh kami Muhammad bin Hizam Hafizhohulloh[5] menyarankan kepada orang yang ingin menulis basmalah di awal surat dengan huruf latin untuk meniatkannya sebagai dzikr, adapun jika dia menulis basmalah tersebut dengan niat itu adalah Al-Qur’an maka tidak boleh dengan huruf latin. Wabillahit Taufiiq
سبحنك وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

[1] Wasilah adalah apa-apa yang mendekatkan diri kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Alloh berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan carilah wasilah (jalan yang mendekatkan diri) kepada-Nya”. (QS Al-Ma’idah 35)
Imamnya Ahli Tafsir Al-Hafizh Ibnu Jarir Rahimahulloh dalam tafsirnya mengatakan: “Wahai orang-orang yang membenarkan Alloh dan rosul-Nya pada apa-apa yang dikabarkan kebada mereka, pahala yang dijanjikan dan azab yang diancamkan: “Bertakwalah kalian kepada Alloh”, Alloh mengatakan: Jawablah panggilan Alloh pada apa-apa yang Dia perintahkan dan apa-apa yang Dia larang, dengan mentaati-Nya pada perkara-perkara tersebut. Carilah wasilah kepada-Nya”, Alloh mengatakan: carilah apa-apa yang mendekatkan kepada-Nya dengan beramal pada apa-apa yang diridhoi-Nya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahulloh menukilan dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhuma bahwasanya makna wasilah pada ayat tersebut adalah sesuatu yang mendekatkan. Beliau juga menukilkan semisal makna tersebut dari Mujahid, Abu Wa’il, Al-Hasan, ‘Abdulloh bin Abi Katsir, As-Suddy, Ibmu Zaid dan selainnya. Dinukilkan dari Qotadah tentang ayat tersebut: “Maksudnya, mendekatlah kalian kepada-Nya dengan mentaatinya dan beramal dengan apa yang diridhoinya”. Kemudian Ibnu Katsir mengatakan: “Yang dikatakan pada Imam ini, tidak ada perselisihan di kalangan ahli tafsir padanya”. [Lihat At-Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal 13 –Syaikh Al-Albany]
[2] Sebagian ulama menetapkan nama ini dengan dalil hadits ini seperti Syaikh As-Sa’di Rahimahullohu Ta’ala.
[3] Inilah makna yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullohu Ta’ala (lihat Majmu’ul Fatawa 16/317-322)
[4] Faidah yang ketiga ini ana dapatkan dari Akh Fath Al-Qodasy Hafizhohulloh
[5] Jawaban Syaikh Muhammad atas pertanyaan Akh Abu Zakaria Irham.

Sumber: ahlussunnah.web.id 

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Faidah seputar Basmalah (Bismillahirrohmanirrohiim)
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/faidah-seputar-basmalah.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
credit for cara membuat email - Copyright of Risalah Kajian.