BISMILLAH Dalam Surat Al Fatihah Dan Hukumnya di Dalam Sholat
0
comments
BISMILLAH Dalam Surat Al Fatihah Dan Hukumnya di Dalam Sholat
بسم الله الرحمن الرحيم
بسم الله الرحمن الرحيم
مقدمة
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد
لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا
من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وأشهد أن لا إله إلا الله
وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
﴿ يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون﴾ .
﴿يا
أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما
رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم
رقيبا﴾
﴿ يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما .﴾
أما
بعد: فإن خير الحديث كلام الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وعلى
آله وسلم وشر الأمور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في
النار .
Telah datang
surat dari tanah air yang isinya menanyakan jawaban yang benar dalam
masalah silang pendapat di kalangan ulama seputar bacaan basmalah di
dalam Al Fatihah.
Dalam
kesempatan yang sempit ini ana cukupkan dengan menukil sebagian dari
kitab ana yang berjudul “Syarhus Sunnah Lil Imam Ats Tsauriy” yang telah
mendapatkan pengantar dari pimpinan Darul Hadits di Dammaj: Fadhilatusy
Syaikh Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al Hajuriy -hafizhohumulloh-, dan
pengajar di sini: Asy Syaikh Abu ‘Amr Ahmad bin Abdil Karim Al Hajuriy
Al ‘Umariy -hafizhohulloh-.
Sebelum ana
mulai menerjemahkan cuplikan tadi, perlu ana sampaikan bahwasanya
permasalahan ini merupakan perkara ijtihadiyyah yang lapang, yang dalam
hal ini para ulama Ahlussunnah saling bertoleransi dalam perselisihan
tersebut.
Berikut ini adalah cuplikan kitab yang ana sebutkan di atas:
Al Imam
Sufyan Ats Tsauriy -rohimahulloh- setelah menyebutkan beberapa pokok As
Sunnah berkata pada muridnya: “Wahai Syu’aib bin Harb, apa yang engkau
tulis ini tidak bermanfaat bagimu sampai engkau meyakini bahwasanya
membaca Bismillahir Rohmanir Rohim dengan pelan di dalam sholat itu
lebih utama di sisimu daripada membacanya dengan keras.”
Penjelasan:
Al Imam
Sufyan Ats Tsauriy -rohimahulloh- memasukkan masalah keras pelannya
bacaan bismillah di dalam sholat jahriyyah (sholat yang bacaan Qur’annya
dikeraskan seperti: sholat Subh, Maghrib, ‘Isya, Jum’ah, ‘Idain,
gerhana dan semisalnya), dalam rangka membantah Rofidhoh yang menjadikan
kerasnya bismillah sebagai syi’ar mereka( Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh- berkata: “Banyak sekali kedustaan
dalam hadits-hadits yang menyebutkan dikeraskannya bacaan Basmalah,
karena Syi’ah menganggap disyariatkkannya bacaan Basmalah secara keras,
dan memang mereka itu adalah kelompok yang paling pendusta. Mereka
membikin-bikin hadits-hadits untuk mendukung pendapat mereka dan
membikin kerancuan agama terhadap masyarakat. Oleh karena itulah
didapati pada ucapan sebagian imam Ahlussunnah dari penduduk Kufah
seperti Sufyan Ats Tsauriy yang menyebutkan pokok-pokok As Sunnah di
antaranya adalah: mengusap khuf (sepatu yang menutupi mata kaki) saat
berwudhu dan meninggalkan dikeraskannya bacaan basmalah, sebagaimana
mereka juga menyebutkan mendahulukan Abu Bakar sebelum Umar, dan semisal
itu, dikarenakan permasalahan ini termasuk dari syi’ar Rofidhoh. Karena
itulah Abu Ali bin Abi Huroiroh –salah satu imam dari pengikut Asy
Syafi’iy berpendapat untuk meninggalkan dikeraskannya bacaan basmalah,
dan beliau berkata: dikeraskannya bacaan basmalah telah menjadi syiar
para penyelisih sunnah.” (“Majmu’ul Fatawa”/22/hal. 423).
Pondasi bab ini adalah hadits Anas -rodhiyallohu ‘anhu-:
أن النبي صلى الله عليه و سلم وأبا بكر وعمر رضي الله عنهما كانوا يفتتحون الصلاة بالحمد لله رب العالمين.
“Bahwasanya
Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- dan Abu Bakr serta Umar
-rodhiyallohu ‘anhuma- selalu memulai sholat dengan Alhamdulillahirobbil
‘alamin.” (HR. Al Bukhoriy/Kitabul Adzan/Bab Ma Yaqulu Ba’dat
Takbir/743/Daru Ibnu Hazm).
Dari Abdah dari Qotadah bahwasanya dia menulis surat kepadanya, mengabarinya dari Anas bin Malik bahwasanya beliau mengabarkan:
صليت
خلف النبي صلى الله عليه و سلم، وأبي بكر، وعمر، وعثمان، فكانوا يستفتحون
بالحمد لله رب العالمين لا يذكرون بسم الله الرحمن الرحم في أول قراءة ولا
في آخرها.
“Aku sholat
di belakang Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam-, Abu Bakr, Umar, dan
Utsman, mereka selalu membuka sholatnya dengan Alhamdulillahirobbil
‘alamin. Mereka tidak menyebutkan bismillahirrohmanirrohim di awal
bacaan atau di akhirnya.” (HR. Muslim (Kitabush Sholah/Bab Man qola la
yajhar bil basmalah/399/Dar Ibnil Jauziy).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh- berkata:
“Adapun sifat
sholat dan termasuk dari syiarnya adalah masalah basmalah, maka sungguh
orang-orang telah mengalami kegoncangan dalam masalah ini, ada yang
menetapkan dan ada yang meniadakan, apakah dia itu ayat dari Al Qur’an,
dan bagaimana bacaannya. Kedua kelompok tersebut telah menulis
kitab-kitab, yang nampak dari sebagian perkataannya tadi ada sedikit
kebodohan dan kezholiman, padahal permasalahannya itu ringan. Adapun
pembentukan kelompok hanya karena masalah-masalah seperti ini merupakan
syiar-syiar perpecahan dan perselisihan yang kita dilarang darinya,
karena yang menarik mereka untuk berbuat semacam itu adalah kembalinya
syiar-syiar yang memecah-belah umat. Jika tidak demikian, maka
masalah-masalah ini adalah termasuk masalah khilaf yang paling ringan
sekali, andaikata setan tidak mengajak kepada ditampakkannya syiar
perpecahan.
Adapun
masalah basmalah itu sebagai satu ayat dari Al Qur’an, maka satu
kelompok –seperti Malik- berkata: “Basmalah itu bukan bagian dari Al
Qur’an kecuali dalam surat An Naml.” Mereka memegang konsekuensi dari
keyakinan itu bahwasanya para Shohabat meletakkan ke dalam mushaf
kalimat yang bukan bagian dari kalamulloh dalam rangka mencari berkah.
Ada satu
kelompok dari pengikut Ahmad yang menyatakan bahwasanya ini juga satu
riwayat dari beliau –Al Imam Ahmad-. Terkadang sebagian orang dari
mereka meyakini bahwasanya ini merupakan madzhab beliau.
Ada kelompok
lain –di antaranya Asy Syafi’iy- yang berkata: “Tidaklah para Shohabat
menulisnya di dalam Mushaf dengan pena Mushaf bersamaan dengan
pembersihan Mushaf dari apa-apa yang bukan dari Al Qur’an kecuali dia
itu adalah bagian dari surat, bersamaan dengan dalil-dalil yang lain.
Kebanyakan
fuqoha ahli hadits –seperti Ahmad, dan para peneliti dari pengikut Abu
Hanifah- mengambil jalan tengah dan berkata: “Penulisan basmalah di
dalam Mushaf mengharuskan bahwasanya dia itu bagian dari Al Qur’an
karena kita semua telah tahu bahwasanya para Shohabat itu tidak menulis
di dalam Mushaf apa-apa yang bukan Al Qur’an. Akan tetapi hal itu tidak
mengharuskan basmalah tadi bagian dari surat. Bahkan dia itu merupakan
ayat tersendiri yang diturunkan di awal setiap surat, sebagaimana
ditulis oleh para Shohabat dalam satu baris yang terpisah, sebagaimana
ucapan Ibnu ‘Abbas:
كان لا يعرف فصل السورة السورة حتى ينزل بسم الله الرحمن الرحيم.
“Dulunya
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- tidak mengetahui pemisah
antara satu surat dengan surat yang lain sampai turun
Bismillahirrohmanirrohim.”(Maka menurut mereka tadi Basmalah adalah ayat
dari Kitabulloh di awal setiap surat yang tertulis di Mushaf, tapi
bukan bagian dari surat-surat tadi. Inilah nash (yang jelas dan pasti)
dari Ahmad di beberapa sumber. Dan tidak didapatkan dari beliau
penukilan yang jelas yang menyelisihi hal ini. Ini juga pendapat
Abdulloh Ibnul Mubarok dan yang lainnya, dan ini merupakan pendapat yang
paling tengah dan adil.
Demikian pula
perkaranya dalam masalah bacaan Basmalah di dalam sholat. Satu kelompok
–seperti Malik dan Al Auza’iy- tidak membacanya baik secara pelan-pelan
ataupun keras.
Satu kelompok lagi –seperti pengikut Ibnu Juroij dan Asy Syafi’iy- membacanya dengan keras.
Dan kelompok
ketiga yang pertengahan adalah mayoritas dari para fuqoha ahlil hadits
bersama dengan fuqoha ahlur ro’yi, mereka membaca Basmalah dengan
perlahan, sebagaimana dinukilkan dari mayoritas Shohabat. Bersamaan
dengan itu Ahmad melaksanakan apa yang diriwayatkan dari Shohabat dalam
bab ini, yaitu disunnahkan untuk mengeraskan Basmalah demi maslahat yang
lebih berat, sampai-sampai beliau menegaskan bahwasanya barangsiapa
sholat di Madinah hendaknya dia mengeraskan Basmalah. Sebagian
sahabatnya berkata: “Karena mereka mengingkari orang yang membacanya
dengan keras.”(Dan disunnahkan bagi seseorang yang ingin melunakkan hati
masyarakat untuk meninggalkan perkara-perkara mustahabbah (yang
dianjurkan dan tidak sampai wajib) ini karena maslahat pelunakan hati di
dalam agama ini lebih besar daripada maslahat pelaksanaan perkara
seperti itu tadi, sebagaimana Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam-
meninggalkan perubahan bangunan Ka’bah, karena jika Ka’bah dibiarkan
tetap seperti itu hati-hati orang Quroisy dan yang lainnya bisa
dilunakkan(Dan sebagaimana Ibnu Mas’ud mengingkari Utsman karena sholat
di perjalanan secara sempurna (tidak meng-qoshor), lalu dia sendiri
sholat di belakang Utsman secara sempurna dan berkata: “Perselisihan itu
jelek”(Ini sungguh merupakan pendapat yang bagus, akan tetapi maksud
Ahmad adalah bahwasanya penduduk Madinah itu dulu tidak membaca
Basmalah, maka beliau membacanya dengan keras untuk menjelaskan pada
mereka bahwasanya membacanya itu sunnah, sebagaimana Ibnu ‘Abbas membaca
Ummul Kitab (Al Fatihah) dengan keras saat sholat jenazah, dan beliau
berkata: “Agar kalian tahu bahwasanya hal ini adalah sunnah(Oleh karena
itulah dinukilkan dari kebanyakan Shohabat yang meriwayatkan bacaan
keras dari beliau -shollallohu ‘alaihi wasallam- bahwasanya mereka
sendiri membacanya dengan pelan, seakan-akan mereka mengeraskan bacaan
adalah untuk menunjukkan bahwasanya mereka itu membacanya juga,
sebagaimana sebagian dari mereka membaca isti’adzah (A’udzubillahi
minasy syaithonir rojim) dengan keras juga.
Sikap tengah
dalam segala sesuatu adalah dengan jalan melaksanakan atsar-atsar tadi
sesuai dengan dengan bentuknya. Karena tidak mungkin Nabi -shollallohu
‘alaihi wasallam- mengeraskan bacaan tadi terus-menerus tapi kebanyakan
Shohabat tidak menukilkan yang demikian itu. Justru telah pasti berita
dari lebih dari satu Shohabat yang meniadakan bacaan Basmalah secara
keras dari Nabi. Dan tidaklah ada berita yang tetap yang menentangnya
kecuali memiliki beberapa kemungkinan.
Masalah tidak
disyariatkannya bacaan Basmalah dengan keras, telah tetap berita dari
beberapa Shohabat yang memakruhkan perbuatan itu, tapi juga
membiarkannya, bersamaan dengan disyariatkannya mengeraskannya di dalam
sholat sirriyyah (sholat yang bacaannya pelan) karena suatu keperluan,
sebagaimana telah terdahulu pembahasannya.
Masalah
dimakruhkannya bacaan Basmalah walaupun ada atsar yang tetap dari
Shohabat yang menyebutkan bacaan tadi, dan sebagiannya diriwayatkan dari
Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam-, dan masalah para Shohabat
menulisnya di dalam Mushaf, dan masalah Basmalah itu diturunkan
bersamaan dengan turunnya surat butuh pembahasan lebih lanjut, bersamaan
dengan bahwasanya Basmalah itu jika dibaca di awal surat Nabi Sulaiman, maka pembacaannya di awal Kitabulloh adalah paling cocok.
Maka seharusnya kita mengikuti atsar-atsar yang berbicara tentang
masalah itu dengan lurus, saling bersikap lunak, dan sikap tengah, yang
mana itulah perkara yang paling utama.
Kemudian
tentang kadar sholat, para fuqoha hadits memilih sholat Nabi
-shollallohu ‘alaihi wasallam- yang beliau sering mengerjakannya. Itulah
sholat yang pertengahan yang saling berdekatan, yang mana beliau
mempersingkat berdiri dan duduknya, dan memanjangkan ruku’ dan sujudnya,
menyamakan ruku’, sujud, dan I’tidalnya(«إني لأدخل فى الصلاة وأنا أريد
أن أطيلها، فأسمع بكاء الصبي فأخفف لما أعلم من وجد أمه به»
“Sungguh aku
masuk ke dalam sholat dan ingin memanjangkannya, lalu aku mendengar
tangisan bayi maka akupun menyingkatnya karena aku tahu kegundahan
ibunya karenanya.”(Sebagaimana beliau terkadang memanjangkannya karena
suatu sebab, sebagaimana Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- membaca
pada sholat Maghrib dengan surat yang terpanjang(Di antara fuqoha ada
juga yang tidak menganggap mustahab pemanjangan I’tidal dari ruku’ dan
sujud. Dari mereka ada yang menganggapnya sebagai rukun yang singkat
dibangun dari anggapan bahwasanya I’tidal tadi itu disyariatkan sebagai
penyerta saja dalam rangka sebagai pemisah dan bukan sebagai tujuan. Di
antara mereka ada yang menyamakan antara dua rekaat yang pertama, ada
juga yang menganggap mustahab bahwasanya imam tidak membaca tasbih dalam
ruku’ dan sujud lebih dari tiga tasbih. Ada juga pendapat-pendapat yang
lain.” (“Majmu’ul Fatawa”/22/hal. 405 dst).
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh- juga berkata: “Alhamdulillahi robbil
‘alamin. Adapun hadits Anas tentang peniadaan jahr (baca basmalah
dengan keras), maka hadits tadi jelas sekali dan tidak bisa dita’wilkan
seperti itu, karena diriwayatkan oleh Muslim dalam “Shohih” beliau, Anas
berkata:
“Aku sholat
di belakang Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam-, Abu Bakr, Umar, dan
Utsman, mereka selalu membuka sholatnya dengan Alhamdulillahirobbil
‘alamin. Mereka tidak menyebutkan bismillahirrohmanirrohim di awal
bacaan atau di akhirnya.” (sudah lewat di awal kitab ini, HR. Muslim
(399)).
Peniadaan
seperti ini tidak boleh dilakukan kecuali berdasarkan ilmu tentang hal
itu. Tidak boleh ditiadakan hanya semata-mata karena beliau tidak
mendengarnya, bersamaan dengan kemungkinan Nabi membacanya dengan keras
tapi beliau tidak mendengarnya.
Dan lafazh lain yang ada di “Shohih Muslim”:
صليت خلف النبي وأبي بكر وعمر وعثمان فلم أسمع أحداً منهم يجهر أو قال يصلى ببسم الله الرحمن الرحيم.
“Aku sholat
di belakang Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam-, Abu Bakr, Umar, dan
Utsman, tapi aku tidak mendengar seorangpun dari mereka membaca keras
–atau berkata: sholat dengan bismillahirrohmanirrohim.”
Di sini
beliau meniadakan pendengaran basmalah. Andaikata hadits Anas tadi tidak
diriwayatkan kecuali dengan lafazh ini, tidak boleh dita’wilkan
bahwasanya Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- dulu membacanya dengan
keras tapi tidak didengar oleh Anas, dari beberapa sisi:
Sisi pertama: Bahwasanya
Anas hanyalah meriwayatkan ini untuk menjelaskan pada mereka apa yang
sering dikerjakan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam-, karena
orang-orang tidaklah butuh untuk tahu apakah Anas mendengar ataukah
tidak selain untuk menjadikan tidak mendengarnya beliau bacaan basmalah tadi sebagai dalil tentang tidak dikeraskannya basmalah. Andaikata
apa yang disebutkan beliau tadi tidak bisa jadi dalil peniadaan, tak
mungkin Anas meriwayatkan perkara yang tidak berfaidah buat mereka, dan
tak akan mereka meriwayatkan hadits yang tak berfaidah buat mereka
seperti ini.
Sisi kedua: Lafazh
seperti ini di dalam adat kebiasaan menjadi penunjuk tentang tidak
adanya perkara yang tidak diketahui. Jika seseorang berkata: “Kami tidak
mendengar” atau “kami tidak melihat” terhadap sesuatu yang biasanya
bisa didengar atau dilihat, maka maksudnya dengan gaya ucapan tadi
adalah: peniadaan wujud dari sesuatu tadi. Ungkapan
ketidaktahuan seperti tadi merupakan dalil peniadaan wujud dari sesuatu
tadi. Sudah diketahui bersama bahwasanya ungkapan tadi adalah dalil
terhadap perkara yang adat kebiasaan itu bisa mengetahuinya. Ini menjadi
jelas dengan sisi yang ketiga.
Sisi ketiga: Anas
itu selalu melayani Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- sejak
kedatangan beliau ke Madinah sampai beliau wafat(Kemudian beliau juga
menyertai Abu Bakr, Umar dan Utsman, mengurusi berbagai urusan untuk Abu
Bakr dan Umar, dan tidak mungkin bersamaan dengan panjangnya masa
pemerintahan mereka(Maka dengan ini jelaslah bahwasanya barangsiapa
mengartikan hadits tadi bahwasanya: “mereka membacanya dengan keras tapi
Anaslah yang barangkali tidak mendengar”, maka yang demikian itu adalah
penyelewengan makna hadits, bukan lagi ta’wil, meskipun tidak
diriwayatkan kecuali lafazh tadi. Bagaimana sementara lafazh yang lain
terang-terangan meniadakan penyebutan basmalah? Maka lafazh yang ini
lebih utama daripada riwayat tadi. Dan kedua riwayat ini meniadakan
ta’wil orang yang mena’wilkan ucapannya: (يفتتحون الصلاة بالحمد لله رب
العالمين)
“Mereka selalu membuka sholatnya dengan Alhamdulillahirobbil ‘alamin”
Bahwasanya maksud Anas adalah: surat(Karena ucapan beliau:
يفتتحون بالحمد لله رب العالمين، لا يذكرون بسم الله الرحمن الرحيم فى أول قراءة ولا فى فى آخرها
“Mereka
selalu membuka sholat mereka dengan Alhamdulillahirobbil ‘alamin. Mereka
tidak menyebutkan bismillahirrohmanirrohim di awal bacaan atau di
akhirnya.”
Ini adalah
kalimat yang terang dan jelas bahwasanya maksud beliau adalah bahwasanya
mereka itu selalu membuka sholat mereka dengan ayat
BISMILLAHIRROHMANIRROHIM, bukan dengan surat Al fatihah yang awalnya
adalah BISMILLAHIRROHMANIRROHIM, karena jika maksud Anas adalah surat Al
Fatihah, pastilah kedua hadits beliau tadi akan bertolak belakang.
Lagi pula,
andaikata pembukaan sholat dengan fatihah itu sebelum pembacaan surat,
maka yang demikian itu merupakan pengetahuan yang telah nampak dan umum,
yang diketahui oleh orang khusus (ulama) dan awam, sebagaimana mereka
tahu bahwasanya ruku’ itu sebelum sujud. Seluruh imam selain Nabi, Abu
Bakr, Umar dan Utsman juga menjalankan ini. Tak ada faidahnya penukilan
semacam ini. Dan ini juga merupakan perkara tidak membutuhkan penukilan
Anas dalam keadaan mereka menanyainya tentang ini. Dan ini memang
bukanlah perkara yang perlu ditanyakan(أن النبي كان يفتتح الصلاة بالتكبير والقراءة بالحمد لله رب العالمين إلى آخره
“Bahwasanya
Nabi selalu memulai sholat dengan takbir dan bacaan Alhamdulillahirobbil
‘alamin dan seterusnya.”(Diriwayatkan juga: “Beliau memulai bacaan
dengan Alhamdulillahirobbil ‘alamin, Arrohmanirrohim,
Malikiyaumiddin.”(Riwayat ini terang sekali bahwasanya yang diinginkan
dari kalimat: Alhadulillahirobbil ‘alamin adalah ayat,(bersamaan
penjelasan ini semua, tidak ada di dalam hadits Anas peniadaan bacaan
Basmalah secara pelan-pelan, karena beliau juga meriwayatkan:
فكانوا لا يجهرون ببسم الله الرحمن الرحيم،
“Mereka itu tidak mengeraskan Bismillahirrohmanirrohim.”
Beliau hanya meniadakan pembacaan basmalah secara keras.”
Selesai sampai di sini penukilan dari ucapan Syaikhul Islam di “Majmu’ul Fatawa” (22/hal. 410- 414).
Ditulis Oleh:
Al Faqir Ilalloh Abu Fairuz Abdurrohman Bin Sukaya
Aluth Thury Al Indonesy Al Qudsy
عفى الله عنه
Di Markiz Dakwah Salafiyyah
Darul Hadits Dammaj Sho’dah
Yaman
حرسها الله
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: BISMILLAH Dalam Surat Al Fatihah Dan Hukumnya di Dalam Sholat
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/bismillah-dalam-surat-al-fatihah-dan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5