Hakikat Nasehat
0
comments
(judul asli: Al-Farqu Bainan Nashihah wat Ta’yir karya Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Rojab Al-Hanbaly Rahimahulloh, meninggal 795 H)
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين ، وصلاته وسلامه على
إمام المتقين ، وخاتم النبيين وآله وصحبه أجمعين ، والتابعين لهم بإحسان
إلى يوم الدين أما بعد :
Segala puji hanya bagi Robbul ‘Alamin
(Robb Alam Semesta), sholawat dan salamNya kepada imam orang-orang yang
bertaqwa dan penutup para Nabi. Serta keluarga, para shohabatnya
seluruhnya, dan para pengikut mereka dalam kebaikan sampai hari kiamat. Amma ba’du,
Tulisan ini adalah sebuah kalimat yang ringkas, mencakup perbedaan-perbedaan antara nasehat dan ta’yir[1].
Karena kedua perkara ini bersatu dalam masalah, yaitu: “Membicarakan
seseorang tentang perkara-perkara (pada dirinya) yang dibenci
penyebutannya”. Sungguh perbedaan antara keduanya telah samar pada
kebanyakan orang. Sesungguhnya Allohlah yang memberikan taufik kepada
kebenaran.
Ketahuilah, bahwasanya membicarakan
seseorang tentang perkara-perkara (pada dirinya) yang tidak dia senangi,
hukumnya adalah harom apabila tujuannya hanyalah semata-mata untuk
mencela, menjelek-jelekkan dan merendahkan. Adapun jika pada perbuatan
tersebut terdapat kemaslahatan bagi kaum muslimin keseluruhan atau
terkhusus pada sebagian masyarakat, dan tujuan (pembicara) adalah untuk
mencapai maslahat tersebut, maka hal itu bukanlah suatu keharoman bahkan
hal itu merupakan perkara yang mandub (disenangi).
Para ulama hadist telah mengikrarkan perkara ini di buku-buku mereka tentang Jarh wa Ta’dil. Mereka menyebutkan perbedaan antara perkara menjarh[2] para rowi hadist dengan perkara ghibah (gunjing). Mereka juga membantah orang-orang yang menyamakan kedua perkara tersebut, dari kelompok Al-Muta’abbidin[3]
dan selain mereka yang dangkal keilmuannya. Tidak ada perbedaan antara
perkara celaan pada rowi-rowi hadist -siapa diantara mereka yang
diterima riwayatnya dan siapa diantara mereka yang ditolak- dengan
perkara penjelasan kesalahan orang-orang yang keliru dalam memahami
makna-makna yang terkandung di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, orang-orang
memalingkan makna keduanya kepada selain maknanya yang benar, atau
orang-orang yang berpegang kepada sesuatu yang tidak pantas untuk
berpegang teguh dengannya. Hal ini dengan tujuan untuk memperingatkan
orang-orang yang mengikuti mereka (orang-orang yang terjatuh pada
kesalahan) dan kesalahan-kesalahan tersebut. Para ulama telah sepakat
tentang bolehnya perkara tersebut.
Karena itulah, kita dapatkan di
buku-buku mereka, berupa karya tulis di berbagai cabang ilmu syari’ah,
seperti ilmu tafsir, ilmu fiqih, syarah (penjelasan) hadist, perbedaan
pendapat di kalangan ulama, serta bidang-bidang ilmu yang lain dipenuhi
dengan diskusi-diskusi dan bantahan terhadap pendapat-pendapat yang
muncul dari orang-orang yang pendapatnya lemah, baik dari kalangan ulama
terdahulu maupun belakangan, dari kalangan shohabat, tabi’in dan
orang-orang yang setelah mereka.
Tidak seorang pun dari kalangan ulama
yang meninggalkan perkara tersebut, dan tidak pernah mereka mengatakan
kalau itu adalah sebuah cacian bagi orang yang perkataannya dibantah,
bukan pula celaan, dan tidak juga perendahan harga diri. Kecuali jika
penulis (bantahan) adalah seorang yang kasar dalam perkataannya dan
jelek adabnya dalam mengungkapkan, maka kekasaran dan kejelekannyalah
yang diingkari, bukan pokok bantahan atau bentuk penyelisihannya
(terhadap orang yang dibantah) yang merupakan upaya penegakan hujjah
yang syar’i dan dalil-dalil yang bernilai. Hal tersebut disebabkan
karena para ulama seluruhnya sepakat untuk menampakkan kebenaran yang
dengannya Alloh mengutus rosulNya Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam, agar penegakan agama ini semata-mata hanya bagi Alloh dan agar agamaNya terjunjung tinggi.
Mereka (para ulama) semuanya mengakui
kalau pelingkupan ilmu tanpa terdapat kekeliruan sedikitpun, bukanlah
kedudukan yang bisa dicapai salah seorang diantara mereka. Tidak
seorangpun dari kalangan ulama terdahulu maupun belakangan yang
mengklaim (mengaku-ngaku) hal tersebut. Oleh karena itulah para imam
salaf -yang diakui keilmuan dan keutamaannya- menerima kebenaran dari
orang yang membawanya kepada mereka walau pun masih belia. Mereka
mewasiatkan para murid-murid dan pengikutnya untuk menerima kebenaran
apabila kebenaran itu terdapat pada pendapat orang lain selain pendapat
mereka.
Sebagaimana ‘Umar Rodhiyallohu‘anhu dalam masalah mahar bagi perempuan. Maka seorang wanita membantahnya dengan perkataan Alloh Ta’ala:
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ
مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا
مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Jika kalian ingin mengganti salah
satu istri dengan istri yang lain, sementara kalian telah memberikan
mahar berupa harta yang melimpah kepada salah satu dari mereka, maka
janganlah kalian mengambil sedikitpun dari mahar tersebut. Apakah kalian
akan mengambil kembali dengan cara tuduhan palsu dan menempuh dosa yang
nyata?” (QS An-Nisa’ 20)
Maka ‘Umar pun rujuk (kembali) dari pendapatnya dan berkata “Wanita benar, dan lelaki (yang) keliru”[4]. Juga diriwayatkan bahwa beliau berkata: “Setiap orang lebih faqih dari Umar”[5].
Sebagian (ulama) yang masyhur apabila
berkata tentang sesuatu dengan pendapatnya, mereka berkata: “Ini adalah
pendapat kami. Barangsiapa yang mendatangi kami dengan pendapat yang
lebih baik, maka kami akan menerimanya”.
Dahulu Asy-Syafi’i menekankan perkara
ini dan mewasiatkan murid-muridnya untuk mengikuti kebenaran serta
menerima As-Sunnah jika mereka melihat sunnah yang menyelisihi
perkataannya (Asy-Syafi’i), lalu membuang perkataannya kebelakang.
Beliau berkomentar tentang buku-bukunya: “Mesti didapati di dalamnya
yang menyelisihi Al-kitab dan As-Sunnah, karena Alloh berkata:
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Kalau saja dari sisi selain Alloh, sungguh mereka akan mendapatkan perselisihan yang banyak” (QS An-Nisa’ 82)
Yang lebih gamblang dari itu, bahwasanya
beliau berkata: “Tidaklah seorang pun mendebatku, kemudian aku
melayaninya, kecuali kebenaran akan terlihat pada ucapannya atau
ucapanku”.
Perkataan ini menunjukkan bahwa beliau
tidak memiliki tujuan kecuali hanya untuk menampakkan kebenaran walaupun
kebenaran itu muncul pada ucapan selain dirinya, dari kalangan orang
yang mendebatnya atau menyelisihinya. Maka barangsiapa yang kondisinya
seperti ini (yakni seperti Imam Asy-Syafi’i), maka tidak mengapa
dibantah perkataannya dan dijelaskan sisi penyelisihannya terhadap
As-Sunnah baik semasa hidupnya maupun setelah matinya. Ini pun bentuk
persangkaan kepada yang lainnya dari kalangan Imam agama ini, yang
terdahulu ataupun belakangan.
Orang-orang yang membela agama ini dan
menolongnya, tidaklah membenci penyelisihan dari orang yang menyelisihi
mereka, yang datang dengan membawa dalil-dalil. Walaupun dalil tersebut
bukanlah dalil yang kuat di sisi mereka (ulama yang dibantah), sehingga
mereka (para ulama) bisa berpegang dengan dalil (yang dibawa pembantah)
tersebut dan meninggalkan dalil-dalil mereka (yang mereka pegang selama
ini).
Karenanyalah, dahulu Imam Ahmad Rohimahulloh ketika membicarakan Ishaq bin Rohawaih[6],
maka beliau menyanjung dan memujinya, seraya berkata: “Walaupun dia
menyelisihi di beberapa perkara. Karena senantiasa manusia, sebagian
mereka menyelisihi yang lain”, atau sebagaimana ucapan beliau. Juga
sering didatangkan kepada beliau pendapat Ishaq dan yang lain dari para
imam beserta pendalilannya, namun beliau tidak sepakat dengan pendapat
mereka tersebut Meski demikian, beliau tidak mengingkari pendapat dan
pendalilan mereka, walaupun dia tidak menyepakatinya secara keseluruhan.
Sungguh Imam Ahmad menganggap baik perbuatan tersebut[7], sebagaimana dihikayatkan oleh Hatim Al-Ashom[8], bahwasanya dikatakan kepadanya (Hatim): ”Engkau adalah seorang a’jam[9], yang tidak fasih berbicara, namun tidak seorangpun orang yang mendebatmu kecuali engkau patahkan hujjah
(alasan-alasan)nya. Dengan apa engkau bisa mengalahkan lawanmu?”.
Beliau menjawab dengan tiga perkara: “Aku merasa senang kalau lawanku
benar, aku sedih kalau dia keliru dan aku menjaga ucapanku dari apa-apa
yang akan menyakitinya” atau perkataan semakna. Maka Imam Ahmad berkata:
“Betapa berakalnya orang ini”.
Dengan demikian, bantahan terhadap
pendapat-pendapat yang lemah dan penjelasan kebenaran -yang
berseberangan dengan pendapat tersebut- dengan dalil-dalil syar’i,
bukanlah termasuk perkara yang dibenci para ulama, bahkan termasuk
perkara yang mereka cintai. Mereka memuji pelakunya dan menyanjungnya.
Bukanlah perkara tersebut termasuk kedalam ghibah
secara mutlak. Seandainya ada seseorang yang membenci pengungkapan
kesalahannya yang menyelisihi kebenaran, maka kebenciannya terhadap
pengungkapan tersebut tidaklah dianggap. Karena kebencian dengan
nampaknya kebenaran jika berseberangan dengan perkataannya, bukanlah
termasuk perkara yang terpuji. Bahkan wajib bagi seorang muslim untuk
menyenangi pengungkapan kebenaran dan penjelasan hal tersebut kepada
kaum muslimin, baik hal tersebut sesuai dengan pendapatnya atau
menyelisihinya. Dan ini adalah bagian dari nasehat untuk Alloh,
RosulNya, para pemimpin muslimin dan masyarakat awamnya. Demikianlah
agama (Islam), sebagaimana telah dikabarkan oleh Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Adapun mengenai penjelasan kesalahan
orang-orang yang keliru dari kalangan ulama sebelumnya, apabila orang
yang menjelaskan tersebut beradab dalam penyampaian dan bersikap baik
dalam membantah dan menjawab, maka tidak perlu bimbang, dan tidak akan
ada umpatan yang akan mengarah kepadanya. Dan jika (dikhawatirkan) pada
pendapat seseorang akan ada orang yang tertipu, maka tidak mengapa
(pendapat tersebut dibantah). Sungguh dahulu sebagian salaf, jika sampai
kepadanya sebuah perkataan yang dia ingkari, maka dia akan berkata: “Si
Fulan telah berdusta”. Diantara contohnya adalah perkataan Nabi Sholallohu’ Alaihi wa Sallam: “Abus Sanabil telah berdusta”[10],
ketika sampai kabar kepada beliau bahwa dia (Abus Sanabil) berfatwa
bahwasanya wanita yang ditinggal mati suaminya, apabila dia dalam
keadaan hamil, maka dia belum halal untuk dinikahi walupun telah
melahirkan, sampai berlalu (masa ‘iddahnya) empat bulan dan sepuluh hari.
Para Imam yang penuh sikap waro’[11],
telah bersungguh-sungguh dalam mengingkari pendapat-pendapat yang lemah
yang muncul dari sebagian ulama, kemudian membantahnya dengan
sebenar-benar bantahan. Sebagaimana dahulu Imam Ahmad mengingkari Abu
Tsaur[12] dan yang lainnya, menyangkut pendapat-pendapat lemah yang mereka menyendiri dengan pendapat tersebut.
Beliau sungguh-sungguh dalam membantah
mereka, itulah hukum yang terlihat secara lahiriyah. Adapun permasalahan
(membantah pendapat lemah) ini, jika ditinjau dari segi batiniyah, maka
apabila tujuannya hanyalah semata-mata untuk menjelaskan kebenaran dan
agar masyarakat tidak tertipu dengan pendapat orang-orang yang keliru,
maka tidak diragukan bahwasanya dia akan mendapat pahala atas maksudnya.
Amalannya ini bersama niat tersebut, tergolong kepada perbuatan nasehat
untuk Alloh, RosulNya, para pemimpin muslimin dan masyarakat awamnya.
Baik orang yang menjelaskan kesalahan
adalah (orang) kecil atau (orang) besar, karena sesungguhnya dia telah
memiliki teladan dari kalangan ulama yang telah membantah pendapat ibnu
‘Abbas yang keliru, seperti dalam masalah nikah mut’ah, tukar menukar (dalam jual beli), umroh dua kali, dan sebagainya.
Dan juga telah meneladani orang-orang yang membantah pendapat Sa’id bin Al Musayyab[13]
yang berpendapat bolehnya seorang lelaki menikahi kembali wanita yang
telah dicerainya sebanyak tiga kali, dengan sekedar akad dengan orang
lain. Serta pendapat beliau selain itu yang menyelisihi As-sunnah yang
jelas hukumnya. Juga bantahan terhadap Al Hasan[14] yang berpendapat tidak adanya ihdad (tidak berhias karena kematian suaminya) bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Juga bantahan terhadap ‘Atho’[15] atas pendapatnya yang membolehkan i’adatul furuj[16]. Juga terhadap pendapat Thowus[17]
dalam berbagai masalah yang beliau menyendiri dari para ulama. Dan
bantahan terhadap orang-orang selain mereka yang kaum muslimin telah
sepakat dalam mengakui petunjuk dan keilmuan mereka, serta rasa simpati
dan pujian terhadap mereka.
Tak seorang pun dari mereka yang
menganggap bahwasanya penyelisihan-penyelisihan terhadapnya di
masalah-masalah tersebut dan yang semisal, merupakan celaan terhadap
para imam tersebut, tidak juga menjelek-jelekkan mereka. Buku-buku ulama
terdahulu ataupun belakangan dipenuhi penjelasan tentang
pendapat-pendapat tersebut dan yang semisal. Seperti pendapat-pendapat
pada buku-buku Asy-Syafi’i, Ishaq, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, dan
orang-orang yang setelah mereka dari kalangan imam fiqih, hadist dan
selainnya, dari kalangan orang-orang yang memiliki pendapat yang keliru.
Dan ini sangatlah banyak, yang seandainya saya sebutkan satu persatu
tentulah akan menjadi pembahasan yang sangat panjang.
Adapun jika tujuan pembantah dengan
bantahannya tersebut untuk membuka kejelekan orang yang dibantahnya,
merendahkan harga dirinya, menjelaskan kebodohan dan kekurangan ilmunya,
serta tujuan yang semisal, maka perbuatan ini hukumnya haram, baik dia
membantah langsung di depan orang yang dibantah atau membantahnya di
belakang, baik semasa hidupnya atau pun selah matinya. Hal ini termasuk
perkara yang Alloh Ta’ala cela di dalam kitabNya, serta ancaman terhadap
perbuatan Hamz[18] dan Lamz[19], dan juga termasuk kedalam perkataan Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam.
يا معشر من آمن بلسانه ولم يؤمن بقلبه لا
تؤذوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من يتبع عوراتهم يتبع الله عورته
ومن يتبع الله عورته يفضحه ولو في جوف بيته
“Wahai orang-orang yang beriman
dengan lisannya dan belum masuk keimanan ke dalam hatinya. Jangan kalian
mengumpat muslimin. Dan jangan kalian mencari-cari aib mereka, karena
sesungguhnya barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya yang muslim,
Alloh akan mencari-cari aibnya. Dan barang siapa yang Alloh cari-cari
aibnya maka Alloh akan memperlihatkannya walaupun (dikerjakan) di dalam
rumahnya”[20]
Semua penjelasan ini, berlaku
pada haknya ulama yang dipanuti dalam agama, adapun bagi para pengikut
bid’ah dan kesesatan, dan orang-orang yang berlagak ulama tapi bukan,
maka diperbolehkan untuk menerangkan kebodohannya, dan membongkar
kejelekannya sebagai bentuk peringatan bagi orang-orang yang
mencontohnya. Dan bukanlah pembahasan kita sekarang (dalam buku ini) menyangkut sisi ini, wallohu a’lam.
PASAL:
JENIS-JENIS NASEHAT
Barangsiapa yang telah diketahui
bahwasanya dia menginginkan dengan bantahannya terhadap ulama adalah
sebagai nasehat untuk Alloh dan rosulNya, maka orang yang seperti ini
wajib untuk dimuliakan, dihormati dan dihargai sebagaimana halnya para
imam muslimin -yang telah terdahulu penyebutannya- dan yang semisal
dengan mereka, serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan.
Dan barangsiapa yang telah diketahui
bahwasanya dia menginginkan dengan bantahannya terhadap ulama adalah
untuk merendahkan mereka, mencela dan membuka kejekan-kejelekan mereka,
maka orang yang seperti ini berhak dibalas dengan hukuman agar dia dan
orang-orang semisalnya menjadi takut untuk melakukan perbuatan keji yang
diharomkan.
Tujuan pembantah dapat diketahui,
terkadang berupa penetapan darinya atau pengakuan. Terkadang berupa
indikasi-indikasi yang terbaca dari perbuatan dan perkataannya. Maka
barangsiapa yang sudah dikenal tingkat keilmuan dan keagamaannya,
pemuliaan terhadap para imam serta penghormatan kepada mereka, maka
orang seperti ini tidaklah membantah atau menerangkan kesalahan orang
lain kecuali dari sisi pandang yang sesuai dengan para imam. Adapun
jika ditemukan (kritikan –pent) dalam penulisan dan penelitian mereka,
maka wajib untuk membawa makna perkataannya kepada (persangkaan baik)
yang terdahulu. Barangsiapa yang membawa makna perkataannya kepada
selain itu -sementara keadaan orangnya sebagaimana disebutkan- maka dia
telah berprasangka buruk kepada orang yang tidak bersalah. Dugaan
tersebut merupakan dugaan yang diharomkan oleh Alloh dan rosulNya, dan
masuk ke dalam perkataan Alloh Subhanahu:
وَمَنْ يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Barangsiapa yang berbuat suatu
kesalahan atau dosa, kemudian dia menuduh orang yang tidak bersalah,
maka dia telah memikul suatu kebohongan dan dosa yang nyata” (QS An-Nisa’ 112)
Karena prasangka buruk terhadap orang
yang tidak tampak padanya tanda-tanda kejelekan, merupakan perkara yang
diharomkan oleh Alloh dan rosulnya. Dan dengan dugaannya ini, si penduga
telah mengumpulkan antara berbuat kesalahan dan dosa, dengan menuduh
orang yang tidak bersalah.
Semakin kuat masuknya orang ini ke dalam
ancaman (ayat) tersebut, jika terlihat padanya -maksudku si Penduga
tersebut- tanda-tanda kejelekan seperti kesemena-menaan, permusuhan,
kurangnya sikap waro’, perkataan yang lancang, banyak menggunjing,
memfitnah, kedengkian kepada orang lain atas apa yang Alloh berikan
kepada mereka berupa keutamaan dan karunia, serta semangat yang
bergelora untuk bersaing dalam memperoleh kemimpinan yang belum
waktunya. Maka barangsiapa yang diketahui padanya terdapat sifat-sifat
tersebut -yaitu sifat-sifat yang tidak diridhoi oleh pengikut ilmu dan
keimanan-, maka sesungguhnya orang ini hanyalah sekedar mengangkat
kekurangan ulama. Apabila bantahannya terhadap ulama dengan sisi
(tujuan) yang kedua ini, maka yang pantas baginya adalah mendapatkan
penghinaan.
Adapun orang-orang yang tidak terlihat
padanya tanda-tanda yang menunjukkan “sesuatu”, maka wajib untuk membawa
makna perkataannya kepada kemungkinan yang terbaik, dan tidak boleh
membawanya kepada kemungkinan yang terjelek. ‘Umar Rodhiyallohu ‘anhu
mengatakan: “Janganlah engkau berprasangka jelek dengan perkataan yang
terlontar dari saudaramu yang muslim, sementara kamu mendapatkan pada
perkataannya itu ada kemungkinan dalam hal kebaikan”
PASAL:
TATA CARA NASEHAT
Termasuk dalam pembahasan ini adalah, apabila disebutkan di depan seseorang sesuatu yang tidak disenanginya[21].
Apabila perbuatan tersebut adalah dalam rangka nasehat, maka itu adalah
sebuah kebaikan. Sebagian salaf berkata kepada saudaranya: “Engkau
tidaklah menasehatiku sampai engkau menyebutkan di depanku sesuatu yang
tidak aku senangi”.
Apabila seseorang berkata kepada
saudaranya suatu kejelekan (yang ada padanya), maka itu adalah sebuah
kebaikan. Bagi orang yang diberitahukan kesalahannya, agar mengemukakan
alasan jika dia memiliki alasan. Namun apabila hal tersebut dengan
tujuan mencerca dengan dosa saudaranya itu, maka itu adalah tindakan
keji lagi tercela.
Dikatakan pada sebagian salaf: “Apakah
engkau senang kalau dia memberitahukanmu tentang
kejelekan-kejelekanmu?”. Maka dia menjawab: ‘Kalau dia ingin mencaciku,
maka aku tidak mau”.
Maka mencaci dan menta’yir seseorang dengan dosa yang dia perbuat adalah perbuatan yang tercela. Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam
telah melarang untuk mencela seorang budak yang telah berzina,
bersamaan dengan itu beliau memerintahkan untuk mencambuknya. Maka dia
dicambuk sebagai hukuman, tapi dia tidak dijatuhkan (dipermalukan)
dengan dosa yang dilakukannya, dan tidak dicaci. Di dalam Sunan At
Tirmidzy dan selainnya secara marfu’[22] :
من عيَّر أخاه بذنب لم يمت حتى يعمله
“Barangsiapa yang menta’yir
saudaranya karena suatu perbuatan, maka dia tidak akan mati sampai dia
melakukan perbuatan tersebut”[23]. Dibawakan makna hadist ini kepada dosa yang pelakunya telah bertobat darinya.
Al-Fudhail[24] berkata: “Seorang mukmin ditutupi (dosanya) dan dinasehati. Sementara seorang pendosa dicela dan dijatuhkan”
Yang disebutkan Al-Fudhail adalah diantara ciri nasehat dan ta’yir. Dimana nasehat berkaitan dengan penyembunyian, dan ta’yir
berkaitan dengan pembeberan terang-terangan. Sebagaimana dikatakan:
“Barangsiapa yang membawa perkara saudaranya kepada khayalak ramai, maka
dia telah menta’yir saudaranya” atau semakna dengannya.
Dahulu para salaf tidak suka melakukan amrul ma’ruf nahi munkar
dengan cara ini, mereka lebih senang untuk melakukannya secara sembunyi
antara yang menasehati dan yang dinasehati, karena hal tersebut adalah
tanda nasehat. Bukanlah yang menjadi tujuan penasehat pembeberan
kejelekan-kejelekan orang yang dinasehati, melainkan tujuannya hanyalah
untuk menghilangkan kerusakan yang dia (orang yang dinasehati) telah
terjerumus di dalamnya. Adapun pembeberan dan penyebutan
kesalahan-kesalahannya (di depan orang), maka itu adalah sebuah perkara
yang diharomkan Alloh dan rosulNya. Alloh mengatakan:
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ
الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya, yang senang dengan
tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, bagi mereka
azab yang pedih di dunia dan akhirat. Alloh mengetahui, sementara kalian
tidak mengetahui” (QS An-Nur 19)
Hadist-hadist yang menunjukkan keutamaan
nasehat secara sembunyi-sembunyi, sangatlah banyak. Berkata sebagian
ulama: “Bersungguh-sungguhlah untuk menutup pelaku maksiat, karena
membuka aurat mereka adalah kelemahan dalam Islam. Dan yang paling
berhak untuk ditutupi adalah aurat”.
Karena inilah, maka pembeberan perbuatan keji berkaitan dengan ta’yir.
Dan keduanya merupakan perbuatan dosa. Karena seorang yang pendosa,
tidak memiliki tujuan untuk menghilangkan kerusakan, tidak juga ingin
menjauhkan saudaranya dari kekurangan dan kejelekan. Yang diinginkannya
hanyalah membongkar kesalahan-kesalahan saudaranya yang mukmin serta
menyebarkan aibnya. Tujuannya hanyalah untuk merendahkan saudaranya yang
beriman dan membongkar kesalahan-kesalahan serta kejelekan-kejelekan
saudaranya di depan orang banyak, agar membahayakan saudaranya tersebut
di dunia.
Adapun seorang penasehat, maka tujuannya
adalah untuk menghilangkan kejelekan saudaranya yang mukmin serta
menjauhkannya dari kesalahan tersebut. Dengan sifat itulah Alloh Ta’ala
mensifatkan Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam, Dia mengatakan:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepada kalian
seorang rosul dari kalangan kalian sendiri, berat terasa baginya
penderitaan yang kalian alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagi kalian, dan dia seorang penyantun serta penyayang
terhadap orang-orang yang beriman” (QS At-Taubah 129)
Dan Alloh mensifatkan para shohabat dengan sifat tersebut, Dia berkata:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ
مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ
رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا
سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي
التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ
فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ
لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad adalah utusan Alloh, dan
orang-orang yang bersamanya, memiliki sikap keras terhadap orang-orang
kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kalian melihat mereka rukuk
dan sujud mencari keutaman dari Alloh serta keridhoanNya. Pada wajah
mereka terdapat tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka yang
disebutkan di dalam Taurot. Dan permisalan mereka di Injil, seperti
benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas tersebut semakit kuat,
lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya, sehingga tanaman
itu menyenangkan hati para penanamnya, (hal itu) agar orang-orang kafir
menjadi jengkel. Alloh menjanjikan kepada orang-orang beriman dan
mengerjakan amal kebajikan diantara mereka, ampunan dan pahala yang
besar” (Al Fath 29)
Alloh mensifatkan kaum mukminin dengan kesabaran dan saling menasehati dengan penuh kasih sayang.
Adapun yang mendorong seorang pendosa
untuk membeberkan kesalahan dan kejelekan seseorang hanyalah sekedar
unjuk kekuatan, kekerasan, dan kesenangan untuk menyakiti saudaranya
yang mukmin, serta ingin mendatangkan sesuatu yang bisa membahayakannya.
Ini adalah sifat Syaithon yang dihias-hiasi di mata anak Adam yang
kafir, pelaku maksiat dan durhaka , agar mereka menjadi penduduk neraka
dengan perbuatan mereka tersebut, sebagaimana Alloh mengatakan:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya Syaithon hanyalah
seorang musuh bagi kalian, maka perlakukanlah dia sebagai musuh. Karena
sesungguhnya Syaithon itu hanyalah akan mengajak golongannya agar mereka
penjadi penduduk neraka yang menyala-nyala” (QS Fathir 6)
Dan Alloh mengatakan -setelah mengisahkan kepada kita kisah Syaithon dengan Nabiyulloh Adam ‘Alaihis Salam, dan tipu dayanya yang menyebabkan dikeluarkannya (Adam) dari surga:
يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا
“Dia melepaskan pakaian keduanya, untuk menampakkan aurot keduanya” (QS Al-A’rof 27)
Maka sangatlah jauh perbedaan antara
orang-orang yang tujuannya nasehat dengan orang yang tujuannya
kejelekan. Dan tidak tersamar kedua perkara tersebut kecuali bagi
orang-orang yang tidak memiliki akal yang beres.
PASAL:
BALASAN PELAKU TA’YIR[25]
Balasan bagi orang yang membeberkan
kejelekan saudaranya yang mukmin serta mencari-cari aibnya dan membuka
aurat (kesalahan)nya, adalah bahwasanya Alloh akan membuka auratnya dan
akan membongkar aibnya, walaupun di kegelapan rumahnya, sebagaimana
diriwayatkan dari Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam lebih dari
satu sisi (hadist). Dan telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud dan
At Tirmidzi, dengan berbagai sisi. Iman At Tirmidzi juga meriwayatkan
dari Watsilah bin Al Asqo’ dari Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa sallam, bahwasanya Beliau berkata:
لا تُظْهِر الشماتة بأخيك فيعافيه الله ويبتليك
“Janganlah engkau tampakkan syamatah[26] kepada saudaramu, sehingga Alloh akan mengampuninya dan menimpakan cobaan kepadamu”. Dia (At Tirmidzi) berkata: “(Hadist ini derajatnya) Hasan Ghorib[27].
At Tirmidzi juga meriwayatkan dari Muadz secara marfu’:
من عيَّر أخاه بذنب لم يمت حتى يعمله
“Barangsiapa yang menta’yir saudaranya, maka dia tidak akan mati sampai dia melakukan perbuatan tersebut”[28]. Sanadnya munqoti’[29].
Al Hasan berkata: “Barangsiapa yang menta’yir
saudaranya dengan dosa yang telah tobat darinya, maka dia tidak akan
mati sebelum Alloh timpakan baginya cobaan dengan perbuatan dosa
tersebut”.
Dari diriwayatkan dari hadist Ibnu Mas’ud, dengan sanad yang dho’if:
البلاء موكل بالمنطق فلو أن رجلاً عيَّر رجلاً برضاع كلبة لرضعها
“Bala’ (cobaan) itu tergantung
dengan apa yang diucapkan. Seandainya seseorang menta’yir orang lain
untuk menyusui kucing, maka hal itu akan menimpanya”[30]
Juga diriwayatkan makna ini dari
sekelompok salaf. Ketika Ibnu Sirin terbelit hutang dan dipenjara
karenanya, beliau berkata: “Aku sungguh mengetahui dosa yang aku lakukan
sehingga keadaan ini menimpaku. Aku telah menta’yir seseorang empat puluh tahun yang lalu, Aku katakan padanya: “Wahai orang yang bangkrut”
PASAL:
TA’YIR (MEMPERMALUKAN ORANG LAIN DENGAN LAGAK NASIHAT)
Bentuk ta’yir yang paling
gamblang adalah: membongkar kejelekan dan membeberkannya dalam bentuk
nasehat dan sangkaan bahwa yang mendorongnya untuk melakukannya hanyalah
dikarenakan munculnya kesalahan, baik kesalahan tersebut bersifat umum
atau kesalahan tertentu. Adapun di batinnya, tujuannya hanyalah untuk ta’yir
dan menyakiti. Maka orang tersebut termasuk saudaranya para munafik
yang telah dikecam Alloh di dalam kitabNya pada berbagai tempat.
Sesungguhnya Alloh mengecam seseorang yang menampakkan perbuatan atau
perkataan yang terpuji, namun menginginkan dengan perbuatan tersebut
tujuan yang merusak yang dipendam di batinnya. Alloh menghitung
perbuatan tersebut sebagai sebuah unsur kemunafikan, sebagaimana di
dalam surat Baro’ah. Dimana Dia membongkar para munafik serta menghina
mereka dengan sifat-sifat yang keji.
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا
ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا
لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ
أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Dan orang-orang (munafik) yang
membangun masjid untuk menimbulkan bencana dan kekafiran, memecah belah
kaum muslimin, serta untuk menunggu orang-orang yang sebelumnya telah
memerangi Alloh dan rosulNya, pastilah mereka akan bersumpah: “Kami
hanya menginginkan kebaikan”. Dan Alloh adalah saksi bahwa mereka itu
adalah para pendusta” (QS At-Taubah 107)
Dan Alloh Ta’ala mengatakan:
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ
بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا
تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Janganlah sekali-kali kamu mengira
bahwasanya orang-orang yang merasa gembira dengan perbuatan mereka dan
senang dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan kamu kira
bahwa mereka itu akan lolos dari azab. Mereka akan mendapatkan azab
yang pedih” (QS Ali ‘Imron 188)
Ayat ini turun pada kisah kaum Yahudi ketika Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam
bertanya kepada mereka, namun mereka menyembunyikannya dan mengabarkan
kepada beliau sesuatu yang berbeda dengan kenyataannya. Mereka memandang
bahwa mereka telah berhasil menjawab apa yang ditanyakan kepada mereka,
dan mereka menginginkan pujian atas hal tersebut, serta gembira dengan
perbuatan yang telah mereka lakukan berupa penyembunyian ilmu yang
ditanyakan kepada mereka.
Demikian penafsiran Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ’Anhuma, dan hadist ini dikeluarkan di Shohihain dan selainnya.
Dari Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ’Anhu, beliau berkata: “Bahwasanya kebiasaan para lelaki dari kaum munafik, apabila Rosululloh Sholallohu ’Alaihi wa Sallam keluar untuk berperang, maka mereka bolos dan gembira dengan tinggalnya mereka yang menyelisihi Rosululloh Sholallohu ’Alaihi wa Sallam.
Apabila Rosululloh kembali, maka mereka datang dengan alasan-alasan dan
sumpah. Mereka senang dipuji pada perbuatan yang tidak mereka lakukan,
maka turunlah ayat ini.
Maka perbuatan ini termasuk perbuatan
Yahudi dan munafik, dimana seseorang menampakkan perkataan dan perbuatan
yang secara lahiriyah sebuah tindakan yang terpuji, namun tujuan adalah
menimbulkan kerusakan. Kemudian dia dipuji karena tindakannya yang
kelihatan terpuji sementara dia telah mencapai tujuannya yang rusak yang
dipendamnya. Dia pun senang dengan pujian atas perbuatannya yang
kelihatan terpuji tersebut -sementara dibatinnya kejelekan-, serta
tercapainya tujuannya yang merusak. Maka sempurnalah manfaat yang
didapatkannya, dan berhasil skenarionya dengan penipuan ini.
Barang siapa yang hasratnya seperti ini,
maka dia termasuk ke dalam ayat tersebut, terkena ancaman azab yang
menyakitkan. Contohnya adalah: Seseorang mencela lelaki lain,
merendahkannya, serta membeberkan kesalahannya dengan harapan agar orang
lari darinya. Bisa jadi karena dia senang menyakiti orang tersebut atau
karena terdapat permusuhan, atau takut tersaingi dalam masalah harta,
kepemimpinan atau yang lainnya dari sebab-sebab yang tercela. Dan itu
tidak akan tercapai kecuali dia menampakkan bahwa celaannya kepada orang
tersebut adalah dilatarbelakangi masalah agama. Misalnya, seseorang
telah membantah pendapat yang lemah dari seorang Alim yang masyhur. Lalu
datanglah (penasehat gadungan) menyebarkan di tengah orang-orang yang
mengagungkan si Alim (yang dibantah), bahwasanya si Fulan (pembantah)
membenci Alim tersebut, mencelanya dan mencacinya. Maka tertipulah
setiap orang yang mengagungkan si Alim tersebut, sehingga mereka pun
menduga bahwa membenci si Pembantah dan menyakitinya termasuk perbuatan
yang terpuji, karena mereka berarti telah membela Alim tersebut dan
menyingkirkan sesuatu yang menyakitkan darinya. Dan itu adalah -menurut
sangkaan mereka- bentuk amalan yang mendekatkan diri kepada Alloh dan
ketaatan kepadaNya. Maka si Penasehat Gadungan ini, telah menggabungkan
dua perkara harom yang tercela:
Perkara pertama: Dia membawa
makna perkataan seorang alim ketika membantah yang lain kepada makna
kebencian, caci-maki dan nafsu. Padahal bisa saja si Pembantah hanya
menginginkan nasehat bagi kaum mukminin dan menampakkan ilmu yang tidak
boleh baginya untuk disembunyikan.
Perkara kedua: Dia menampakkan
kepada masyarakat bahwa bantahan adalah sebuah celaan, agar terpenuhi
nafsu dan tujuannya yang rusak dalam “bungkus” nasehat dan membela ulama
syar’i.
Tipu daya seperti ini dipergunakan oleh
Bani Marwan ketika memalingkan manusia dan membuat hati-hati mereka lari
dari ‘Ali bin Abi Tholib, Al Hasan, Al Husain serta anak cucu mereka Rodhiyallohu ‘Anhum Ajma’in. Ketika ‘Utsman Rodhiyallohu ‘Anhu dibunuh, umat tidak melihat seorangpun yang pantas untuk menggantikannya daripada ‘Ali Rodhiyallohu ’Anhu, maka mereka pun membai’at[31]nya.
Kemudian mulailah orang-orang yang
berusaha menjauhkan umat dari ‘Ali, membesar-besarkan pembunuhan ‘Utsman
dan mencela pembunuhnya. Memang begitulah kenyataannya, namun mereka
menyisipkan bahwa yang berkomplot dan menjalankan operasi pembunuhan
‘Utsman adalah ‘Ali Rhodiyallohu ’Anhu. Dan itu sungguh merupakan sebuah tipu daya dan fitnah. ‘Ali Rhodiyallohu’anhu pun bersumpah dan keras dalam sumpahnya itu untuk membantah tuduhan tersebut, dan dia Rhodiyallohu ’Anhu adalah seorang yang benar dan jujur dalam sumpahnya.
Kemudian, mereka (Bani Marwan) berusaha
untuk membunuh ‘Ali dengan alasan agama dan pendekatan kepada Alloh, dan
beralih ke pembantaian anak-anaknya Ridhwanullohu ‘Alaihim.
Mereka bersungguh-sunggguh untuk menampakkan hal tersebut dan
menyebarkannya di mimbar-mimbar pada hari jum’at dan selainnya dari
waktu-waktu perkumpulan masyarakat. Sehingga tertanamlah di hati-hati
para pengikut mereka bahwasanya hakikat perkara adalah sebagaimana yang
mereka katakan. Dan Bani Marwan lebih berhak dengan kekuasaan ketimbang
‘Ali dan anak-anaknya, dan berhak untuk menuntut balas pembunuhnya
karena kekerabatan mereka dengan ‘Utsman. Akibatnya, mereka mampu
menarik hati masyarakat kepada mereka untuk memerangi ‘Ali dan
anak-anaknya, sehingga dengannya mereka dapat memperoleh kekuasan dan
urusan berada pada mereka.
Di dalam kesendirian, sebagian mereka
mengatakan kepada orang yang dipercayainya, perkataan yang maknanya
“Sesungguhnya tidak seorangpun dari shohabat pun yang paling sebanding
dengan ‘Utsman daripada Ali”. Maka dikatakan kepadanya: “Lalu kenapa
engkau mencacinya?”. Dia menjawab: “Sesungguhnya kekusaan tidak akan
tegak kecuali dengan cara itu”. Maksudnya adalah, kalau bukan dengan
cara membuat lari hati-hati masyarakat dari ‘Ali dan anak-anaknya, serta
menekankan kepada mereka tentang kezholiman pembunuhan ‘Utsman, maka
hati-hati masyarakat tidak akan cenderung kepada mereka (Bani Marwan)
karena masyarakat mengetahui sifat-sifat mereka (’Ali dan anak-anaknya)
yang terpuji dan kekhususan mereka yang mulia. Masyarakat tentunya akan
bersegera untuk mengikuti dan membai’at mereka, sehingga hilanglah
kekuasaan ‘Umayyah dan masyarakat akan berpaling dari ketaatan.
PASAL:
PENAWAR BAGI KORBAN TIPU DAYA
Barangsiapa terkena tipu daya ini, maka
wajib baginya untuk bertaqwa kepada Alloh, meminta pertolonganNya dan
bersabar, karena kesabaran akan berdampak kebaikan bagi orang yang
bertaqwa. Sebagaimana perkataan Alloh setelah menceritakan kisah Yusuf ‘Alaihis Salam dan apa-apa yang menimpanya dengan berbagai bentuk gangguan, berupa makar dan tipu daya.
وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ
“Demikianlah kami memberikan kedudukan kepada Yusuf di negeri (Mesir)” (QS Yusuf 21)
Alloh menghikayatkan ketika dia berkata kepada saudara-saudaranya.
أَنَا يُوسُفُ وَهَذَا أَخِي قَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا
“Saya adalah Yusuf dan ini saudaraku, sungguh Alloh telah memberikan karuniaNya kepada kami” (QS Yusuf 90)
Alloh mengatakan di dalam kisah Musa ‘Alaihis Salam dan apa yang terjadi pada kaumnya berupa gangguan dari Fir’aun serta tipu dayanya. Maka Musa berkata kepada kaumnya:
اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا
“Meminta tolonglah kalian kepada Alloh, dan bersabarlah” (QS Al A’rof 128)
Dan Alloh Ta’ala telah mengkabarkan bahwa tipu daya dan bala’ (bencana) akan kembali kepada pelakunya:
وَلَا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِ
“Rencana jahat itu, hanyalah akan menimpa orang yang merencanakannya sendiri” (QS Fathir 43)
Alloh Ta’ala mengatakan:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ أَكَابِرَ مُجْرِمِيهَا لِيَمْكُرُوا فِيهَا
“Demikianlah Kami menjadikan di setiap negeri, para pembesar yang jahat untuk melakukan tipu daya di negeri tersebut” (QS Al-An’am 123)
Dan kenyataan menjadi saksi atas semua
itu, karena barangsiapa yang menelusuri kabar-kabar yang beredar di
masyarakat dan sejarah dunia, akan menemukan kabar bahwa barangsiapa
yang berbuat makar kepada saudaranya, maka makarnya itu akan kembali
kepadanya dan malah menjadi penyebab keselamatan bagi saudaranya
tersebut, betapa menakjubkan. Kalau kami sebutkan sebagian dari
perkara-perkara yang terjadi , tentulah buku ini akan menjadi panjang
lebar.
Allohlah yang memberikan taufik kepada
kebenaran dan kepadaNyalah tujuan jalan ini, cukuplah Alloh bagi kita
dan Dialah sebaik-baik tempat bergantung. Sholallohu ‘ala Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallama taslima.[32]
Alih Bahasa: Abu Ja’far Al-Harits bin Dasril Al-Minangkabawy Hafizhohulloh
[1] Mempermalukan seseorang karena kesalahan yang dia perbuat
[2] Menerangkan kejelekan atau kelemahan
[3] Orang-orang yang gila ibadah tapi mengabaikan ilmu
[4] Atsar Dho’if, sebagaimana dijelaskan Syaikh Abu ‘Amr di dalam bukunya tentang Haromnya Meninggalkan Mahar
[5] Idem
[6] Meninggal tahun 238 H. Beliau adalah Imam Besar, pemimpin para huffadz (pencari dan penghapal riwayat-riwayat hadits).
Imam Ahmad -ketika ditanya tentang Ishaq-, beliau berkata: “Orang seperti Ishaq ditanya?? Disisiku dia adalah seorang Imam”.
Abu Daud Al Khoffaf mengatakan: “Ishaq mendiktekan kepada kami sebelas ribu hadist dari hapalannya, kemudian membacakannya (kembali) kepada kami, tidak kurang atau berlebih sepatah katapun”. Beliau juga berkata, bahwasanya Ishaq mengatakan kepadanya: “Sungguh (saat ini) aku seolah-olah sedang melihat seratus ribu hadist yang ada di bukuku, tiga puluh ribunya, akan aku bacakan”
Imam Ahmad -ketika ditanya tentang Ishaq-, beliau berkata: “Orang seperti Ishaq ditanya?? Disisiku dia adalah seorang Imam”.
Abu Daud Al Khoffaf mengatakan: “Ishaq mendiktekan kepada kami sebelas ribu hadist dari hapalannya, kemudian membacakannya (kembali) kepada kami, tidak kurang atau berlebih sepatah katapun”. Beliau juga berkata, bahwasanya Ishaq mengatakan kepadanya: “Sungguh (saat ini) aku seolah-olah sedang melihat seratus ribu hadist yang ada di bukuku, tiga puluh ribunya, akan aku bacakan”
[7] Yakni menerima kebenaran walau datang dari orang yang membantahnya
[8]
Meninggal tahun 137 H. Beliau adalah seorang orator ulung dan dikenal
sebagai seorang yang bijaksana. Dahulu dijuliki sebagai Luqman (Al
Hakim) umat ini.
[9] Di luar Bangsa Arob
[10] Hadist ini dishohihkan As Syaikh Al Albany Ash Shohihah nomor hadist 3274
[11] Maknanya adalah: Meninggalkan perbuatan yang akan membahayakannya di akhirat
[12] Meninggal tahun 125 H. Namanya ‘Amr bin Qois, beliau seorang Imam Besar.
[13]
Meninggal Tahun 94 H. Imam Besar, salah seorang ulama Madinah, dan
pemimpin para tabi’in di zamannya. Dahulu beliau sudah berfatwa,
sementara para shohabat masih hidup.
Ibnu ‘Umar berkata: “Demi Alloh, dia adalah salah seorang mufti (yang berhak berfatwa)”
Ibnu ‘Umar berkata: “Demi Alloh, dia adalah salah seorang mufti (yang berhak berfatwa)”
[14] Meninggal tahun 110 H. Al-Imam Al-Bashry. Seorang pemimpin dalam keilmuan dan amal di zamannya.
[15] Meninggal tahun 115 H. Syaikhul Islam, Mufti Tanah Suci. Beliau berjumpa dengan 200 orang shohabat Rosululloh.
[16] Saya telah memeriksa atsar-atsar Atho’ Rohimahulloh yang berkaitan dengan masalah tersebut, namun qoddarulloh saya tidak menemukan makna sesuai yang diinginkan Ibnu Rojab Rohimahulloh. Wallohu A’lam
[17] Meninggal tahun 106 H. Imam, faqih, seorang panutan dari ulama Yaman. Beliau berjumpa dengan 50 orang shohabat Rosululloh.
‘Atho’ meriwayatkan dari ibnu ‘Abbas, bahwasanya beliau berkata: “Aku sungguh menyangka bahwa Thowus adalah salah seorang penduduk surga”.
‘Atho’ meriwayatkan dari ibnu ‘Abbas, bahwasanya beliau berkata: “Aku sungguh menyangka bahwa Thowus adalah salah seorang penduduk surga”.
[18] Ghibah dengan isyarat
[19] Ghibah dengan kata-kata kasar dan keras
[20] Ahmad 4/420, Abu Daud (4880)
[21] Maksudnya: kesalahan yang ada padanya
[22] Maksudnya: Imam At Tirmidzy menyebutkan rantaian rowi-rowi sampai berakhir kepada Rosululloh
[23] Syaikh Al Albany mengatakan di As Silsilah Adh Dho’ifah no 178: “Maudhu’ (Hadist palsu)”
[24] Meninggal tahun 180 H. Syaikhul Islam, seorang Imam Besar yang penjadi panutan.
[25]
Beberapa dalil yang dibawakan oleh Imam Ibnu Rojab dalam masalah ini
adalah dalil-dalil yang lemah. Diantara dalil yang kuat dalam masalah
ini adalah sebagaimana di Shohihain (Bukhory-Muslim), dari hadist Abu
Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu, bahwasanya Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Sungguh
seorang lelaki, berbicara dengan sepatah kata tanpa peduli dengan apa
yang dia ucapkan, maka dia akan tergelincir ke dalam neraka lebih jauh
dari apa-apa diantara timur dan barat”
[26] Senang jika orang lain ditimpa musibah
[27] Hadist ini didho’ifkan Imam Al Albany, sebagaimana di Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir no hadits 14394
[28] Telah lewat penjelasan hadist ini
[29]
Yakni: terputus. Dikarenakan dalan rantaian rowi, terdapat rowi yang
tidak mendengar dari rowi sebelumnya. Jenis yang seperti ini tergolong
kedalam hadist dho’if
[30] Hadist ini didho’ifkan Imam Al-Albany dalam Dho’if Al Jami’ nomor hadist 2380
[31] Sumpah setia
[32]
Selesai penerjemahan dan catatan ringan bagi risalah yang kaya manfaat
ini, setelah tertunda sekian lama, hanya Dialah yang memudahkan. Semoga
menjadi nasehat berharga bagi saya pribadi –hujjatan li laa ‘alayya-
dan segenap kaum muslimin. Kita berlindung dari kejelekan orang-orang
yang menta’yir saudaranya terutama para da’i yang menyeru ke jalan Alloh
sementara kesalahannya tidak bersifat manhajy dan belum keluar dari
lingkup Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Saya berlepas diri dari perbuatan
orang-orang semisal itu baik yang dekat maupun yang jauh, cukuplah
risalah ini sebagai teguran bagi yang telah terjatuh untuk segera
memperbaiki kesalahannya dan peringatan bagi yang lain untuk
berhati-hati menjaga mulutnya dan menggoreskan tintanya.
وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Setiap perbuatan dosa seseorang, dirinya sendirilah yang akan bertanggung jawab. Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain” (QS Al-An’am 164)
مَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan petunjuk, maka sesungguhnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa yang tersesat maka sesungguhnya itu adalah bagi dirinya sendiri. Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain”. (QS Al-Isro’ 15)
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39) وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى
“Bahwasanya manusia itu hanya akan memperoleh apa yang diusahakannya. Sesungguhnya kelak usahanya itu akan diperlihatkan” (QS An-Najm 39-40)
الحمد لله رب العالمين سبحانك وبحمدك أشهد أن لا إله إلاّ أنت أستغفرك وأتوب إليك
Rabu 24 Jumadil Ula 1432. Di Lembah penuh ilmu, DAMMAJ
Sumber: ahlussunnah.web.id
وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Setiap perbuatan dosa seseorang, dirinya sendirilah yang akan bertanggung jawab. Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain” (QS Al-An’am 164)
مَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan petunjuk, maka sesungguhnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa yang tersesat maka sesungguhnya itu adalah bagi dirinya sendiri. Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain”. (QS Al-Isro’ 15)
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39) وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى
“Bahwasanya manusia itu hanya akan memperoleh apa yang diusahakannya. Sesungguhnya kelak usahanya itu akan diperlihatkan” (QS An-Najm 39-40)
الحمد لله رب العالمين سبحانك وبحمدك أشهد أن لا إله إلاّ أنت أستغفرك وأتوب إليك
Rabu 24 Jumadil Ula 1432. Di Lembah penuh ilmu, DAMMAJ
Sumber: ahlussunnah.web.id
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Hakikat Nasehat
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/hakikat-nasehat.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5