Hakikat Nasehat

Posted by Admin 0 comments

(judul asli: Al-Farqu Bainan Nashihah wat Ta’yir karya Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Rojab Al-Hanbaly Rahimahulloh, meninggal 795 H)

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين ، وصلاته وسلامه على إمام المتقين ، وخاتم النبيين وآله وصحبه أجمعين ، والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين أما بعد :
Segala puji hanya bagi Robbul ‘Alamin (Robb Alam Semesta), sholawat dan salamNya kepada imam orang-orang yang bertaqwa dan penutup para Nabi. Serta keluarga, para shohabatnya seluruhnya, dan para pengikut mereka dalam kebaikan sampai hari kiamat. Amma ba’du,

Tulisan ini adalah sebuah kalimat yang ringkas, mencakup perbedaan-perbedaan antara nasehat dan ta’yir[1]. Karena kedua perkara ini bersatu dalam masalah, yaitu: “Membicarakan seseorang tentang perkara-perkara (pada dirinya) yang dibenci penyebutannya”. Sungguh perbedaan antara keduanya telah samar pada kebanyakan orang.  Sesungguhnya Allohlah yang memberikan taufik kepada kebenaran.
Ketahuilah, bahwasanya membicarakan seseorang tentang perkara-perkara (pada dirinya) yang tidak dia senangi, hukumnya adalah harom apabila tujuannya hanyalah semata-mata untuk mencela, menjelek-jelekkan dan merendahkan. Adapun jika pada perbuatan tersebut terdapat kemaslahatan bagi kaum muslimin keseluruhan atau terkhusus pada sebagian masyarakat, dan tujuan (pembicara) adalah untuk mencapai maslahat tersebut, maka hal itu bukanlah suatu keharoman bahkan hal itu merupakan perkara yang mandub (disenangi).
Para ulama hadist telah mengikrarkan perkara ini di buku-buku mereka tentang Jarh wa Ta’dil. Mereka menyebutkan perbedaan antara perkara menjarh[2] para rowi hadist dengan perkara ghibah (gunjing). Mereka juga membantah orang-orang yang menyamakan kedua perkara tersebut, dari kelompok Al-Muta’abbidin[3] dan selain mereka yang dangkal keilmuannya. Tidak ada perbedaan antara perkara celaan pada rowi-rowi hadist -siapa diantara mereka yang diterima riwayatnya dan siapa diantara mereka yang ditolak- dengan perkara penjelasan kesalahan orang-orang yang keliru dalam memahami makna-makna yang terkandung di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, orang-orang memalingkan makna keduanya kepada selain maknanya yang benar, atau orang-orang yang berpegang kepada sesuatu yang tidak pantas untuk berpegang teguh dengannya. Hal ini dengan tujuan untuk memperingatkan orang-orang yang mengikuti mereka (orang-orang yang terjatuh pada kesalahan) dan kesalahan-kesalahan tersebut. Para ulama telah sepakat tentang bolehnya perkara tersebut.
Karena itulah, kita dapatkan di buku-buku mereka, berupa karya tulis di berbagai cabang ilmu syari’ah, seperti ilmu tafsir, ilmu fiqih, syarah (penjelasan) hadist, perbedaan pendapat di kalangan ulama, serta bidang-bidang ilmu yang lain dipenuhi dengan diskusi-diskusi dan bantahan terhadap pendapat-pendapat yang muncul dari orang-orang yang pendapatnya lemah, baik dari kalangan ulama terdahulu maupun belakangan, dari kalangan shohabat, tabi’in dan orang-orang yang setelah mereka.
Tidak seorang pun dari kalangan ulama yang meninggalkan perkara tersebut, dan tidak pernah mereka mengatakan kalau itu adalah sebuah cacian bagi orang yang perkataannya dibantah, bukan pula celaan, dan tidak juga perendahan harga diri. Kecuali jika penulis (bantahan) adalah seorang yang kasar dalam perkataannya dan jelek adabnya dalam mengungkapkan, maka kekasaran dan kejelekannyalah yang diingkari, bukan pokok bantahan atau bentuk penyelisihannya (terhadap orang yang dibantah) yang merupakan upaya penegakan hujjah yang syar’i dan dalil-dalil yang bernilai. Hal tersebut disebabkan karena para ulama seluruhnya sepakat untuk menampakkan kebenaran yang dengannya Alloh mengutus rosulNya Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam, agar penegakan agama ini semata-mata hanya bagi Alloh dan agar agamaNya terjunjung tinggi.
Mereka (para ulama) semuanya mengakui kalau pelingkupan ilmu tanpa terdapat kekeliruan sedikitpun, bukanlah kedudukan yang bisa dicapai salah seorang diantara mereka. Tidak seorangpun dari kalangan ulama terdahulu maupun belakangan yang mengklaim (mengaku-ngaku) hal tersebut. Oleh karena itulah para imam salaf -yang diakui keilmuan dan keutamaannya- menerima kebenaran dari orang yang membawanya kepada mereka walau pun masih belia. Mereka mewasiatkan para murid-murid dan pengikutnya untuk menerima kebenaran apabila kebenaran itu terdapat pada pendapat orang lain selain pendapat mereka.
Sebagaimana ‘Umar Rodhiyallohu‘anhu dalam masalah mahar bagi perempuan. Maka seorang wanita membantahnya dengan perkataan Alloh Ta’ala:
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Jika kalian ingin mengganti salah satu istri dengan istri yang lain, sementara kalian telah memberikan mahar berupa harta yang melimpah kepada salah satu dari mereka, maka janganlah kalian mengambil sedikitpun dari mahar tersebut. Apakah kalian akan mengambil kembali dengan cara tuduhan palsu dan menempuh dosa yang nyata?” (QS An-Nisa’ 20)
Maka ‘Umar pun rujuk (kembali) dari pendapatnya dan berkata “Wanita benar, dan lelaki (yang) keliru”[4]. Juga diriwayatkan bahwa beliau berkata: “Setiap orang lebih faqih dari Umar”[5].
Sebagian (ulama) yang masyhur apabila berkata tentang sesuatu dengan pendapatnya, mereka berkata: “Ini adalah pendapat kami. Barangsiapa yang mendatangi kami dengan pendapat yang lebih baik, maka kami akan menerimanya”.
Dahulu Asy-Syafi’i menekankan perkara ini dan mewasiatkan murid-muridnya untuk mengikuti kebenaran serta menerima As-Sunnah jika mereka melihat sunnah yang menyelisihi perkataannya (Asy-Syafi’i), lalu membuang perkataannya kebelakang. Beliau berkomentar tentang buku-bukunya: “Mesti didapati di dalamnya yang menyelisihi Al-kitab dan As-Sunnah, karena Alloh berkata:
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Kalau saja dari sisi selain Alloh, sungguh mereka akan mendapatkan perselisihan yang banyak” (QS An-Nisa’ 82)
Yang lebih gamblang dari itu, bahwasanya beliau berkata: “Tidaklah seorang pun mendebatku, kemudian aku melayaninya, kecuali kebenaran akan terlihat pada ucapannya atau ucapanku”.
Perkataan ini menunjukkan bahwa beliau tidak memiliki tujuan kecuali hanya untuk menampakkan kebenaran walaupun kebenaran itu muncul pada ucapan selain dirinya, dari kalangan orang yang mendebatnya atau menyelisihinya. Maka barangsiapa yang kondisinya seperti ini (yakni seperti Imam Asy-Syafi’i), maka tidak mengapa dibantah perkataannya dan dijelaskan sisi penyelisihannya terhadap As-Sunnah baik semasa hidupnya maupun setelah matinya. Ini pun bentuk persangkaan kepada yang lainnya dari kalangan Imam agama ini, yang terdahulu ataupun belakangan.
Orang-orang yang membela agama ini dan menolongnya, tidaklah membenci penyelisihan dari orang yang menyelisihi mereka, yang datang dengan membawa dalil-dalil. Walaupun dalil tersebut bukanlah dalil yang kuat di sisi mereka (ulama yang dibantah), sehingga mereka (para ulama) bisa berpegang dengan dalil (yang dibawa pembantah) tersebut dan meninggalkan dalil-dalil mereka (yang mereka pegang selama ini).
Karenanyalah, dahulu Imam Ahmad Rohimahulloh ketika membicarakan Ishaq bin Rohawaih[6], maka beliau menyanjung dan memujinya, seraya berkata: “Walaupun dia menyelisihi di beberapa perkara. Karena senantiasa manusia, sebagian mereka menyelisihi yang lain”, atau sebagaimana ucapan beliau. Juga sering didatangkan kepada beliau pendapat Ishaq dan yang lain dari para imam beserta pendalilannya, namun beliau tidak sepakat dengan pendapat mereka tersebut Meski demikian, beliau tidak mengingkari pendapat dan pendalilan mereka, walaupun dia tidak menyepakatinya secara keseluruhan. Sungguh Imam Ahmad menganggap baik perbuatan tersebut[7], sebagaimana dihikayatkan oleh Hatim Al-Ashom[8], bahwasanya dikatakan kepadanya (Hatim): ”Engkau adalah seorang a’jam[9], yang tidak fasih berbicara, namun tidak seorangpun orang yang mendebatmu kecuali engkau patahkan hujjah (alasan-alasan)nya. Dengan apa engkau bisa mengalahkan lawanmu?”. Beliau menjawab dengan tiga perkara: “Aku merasa senang kalau lawanku benar, aku sedih kalau dia keliru dan aku menjaga ucapanku dari apa-apa yang akan menyakitinya” atau perkataan semakna. Maka Imam Ahmad berkata: “Betapa berakalnya orang ini”.
Dengan demikian, bantahan terhadap pendapat-pendapat yang lemah dan penjelasan kebenaran -yang berseberangan dengan pendapat tersebut- dengan dalil-dalil syar’i, bukanlah termasuk perkara yang dibenci para ulama, bahkan termasuk perkara yang mereka cintai. Mereka memuji pelakunya dan menyanjungnya.
Bukanlah perkara tersebut termasuk kedalam ghibah secara mutlak. Seandainya ada seseorang yang membenci pengungkapan kesalahannya yang menyelisihi kebenaran, maka kebenciannya terhadap pengungkapan tersebut tidaklah dianggap. Karena kebencian dengan nampaknya kebenaran jika berseberangan dengan perkataannya, bukanlah termasuk perkara yang terpuji. Bahkan wajib bagi seorang muslim untuk menyenangi pengungkapan kebenaran dan penjelasan hal tersebut kepada kaum muslimin, baik hal tersebut sesuai dengan pendapatnya atau menyelisihinya. Dan ini adalah bagian dari nasehat untuk Alloh, RosulNya, para pemimpin muslimin dan masyarakat awamnya. Demikianlah agama (Islam), sebagaimana telah dikabarkan oleh  Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Adapun mengenai penjelasan kesalahan orang-orang yang keliru dari kalangan ulama sebelumnya, apabila orang yang menjelaskan tersebut beradab dalam penyampaian dan bersikap baik dalam membantah dan menjawab, maka tidak perlu bimbang, dan tidak akan ada umpatan yang akan mengarah kepadanya. Dan jika (dikhawatirkan) pada pendapat seseorang akan ada orang yang tertipu, maka tidak mengapa (pendapat tersebut dibantah). Sungguh dahulu sebagian salaf, jika sampai kepadanya sebuah perkataan yang dia ingkari, maka dia akan berkata: “Si Fulan telah berdusta”. Diantara contohnya adalah perkataan Nabi Sholallohu’ Alaihi wa Sallam: “Abus Sanabil telah berdusta”[10], ketika sampai kabar kepada beliau bahwa dia (Abus Sanabil) berfatwa bahwasanya wanita yang ditinggal mati suaminya, apabila dia dalam keadaan hamil, maka dia belum halal untuk dinikahi walupun telah melahirkan, sampai berlalu (masa ‘iddahnya) empat bulan dan sepuluh hari.
Para Imam yang penuh sikap waro’[11], telah bersungguh-sungguh dalam mengingkari pendapat-pendapat yang lemah yang muncul dari sebagian ulama, kemudian membantahnya dengan sebenar-benar bantahan. Sebagaimana dahulu Imam Ahmad mengingkari Abu Tsaur[12] dan yang lainnya, menyangkut pendapat-pendapat lemah yang mereka menyendiri dengan pendapat tersebut.
Beliau sungguh-sungguh dalam membantah mereka, itulah hukum yang terlihat secara lahiriyah. Adapun permasalahan (membantah pendapat lemah) ini, jika ditinjau dari segi batiniyah, maka apabila tujuannya hanyalah semata-mata untuk menjelaskan kebenaran dan agar masyarakat tidak tertipu dengan pendapat orang-orang yang keliru, maka tidak diragukan bahwasanya dia akan mendapat pahala atas maksudnya. Amalannya ini bersama niat tersebut, tergolong kepada perbuatan nasehat untuk Alloh, RosulNya, para pemimpin muslimin dan masyarakat awamnya.
Baik orang yang menjelaskan kesalahan adalah (orang) kecil atau (orang) besar, karena sesungguhnya dia telah memiliki teladan dari kalangan ulama yang telah membantah pendapat ibnu ‘Abbas yang keliru, seperti dalam masalah nikah mut’ah, tukar menukar (dalam jual beli), umroh dua kali, dan sebagainya.
Dan juga telah meneladani orang-orang yang membantah pendapat Sa’id bin Al Musayyab[13] yang berpendapat bolehnya seorang lelaki menikahi kembali wanita yang telah dicerainya sebanyak  tiga kali, dengan sekedar akad dengan orang lain. Serta pendapat beliau selain itu yang menyelisihi As-sunnah yang jelas hukumnya. Juga bantahan terhadap Al Hasan[14] yang berpendapat  tidak adanya ihdad (tidak berhias karena kematian suaminya) bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Juga bantahan terhadap ‘Atho’[15] atas pendapatnya yang membolehkan i’adatul furuj[16]. Juga terhadap pendapat Thowus[17] dalam berbagai masalah yang beliau menyendiri dari para ulama. Dan bantahan terhadap orang-orang selain mereka yang kaum muslimin telah sepakat dalam mengakui petunjuk dan keilmuan mereka, serta rasa simpati dan pujian terhadap mereka.
Tak seorang pun dari mereka yang menganggap bahwasanya penyelisihan-penyelisihan terhadapnya di masalah-masalah tersebut dan yang semisal, merupakan celaan terhadap para imam tersebut, tidak juga menjelek-jelekkan mereka. Buku-buku ulama terdahulu ataupun belakangan dipenuhi penjelasan tentang pendapat-pendapat tersebut dan yang semisal. Seperti pendapat-pendapat pada buku-buku Asy-Syafi’i, Ishaq, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, dan orang-orang yang setelah mereka dari kalangan imam fiqih, hadist dan selainnya, dari kalangan orang-orang yang memiliki pendapat yang keliru. Dan ini sangatlah banyak, yang seandainya saya sebutkan satu persatu tentulah akan menjadi pembahasan yang sangat panjang.
Adapun jika tujuan pembantah dengan bantahannya tersebut untuk membuka kejelekan orang yang dibantahnya, merendahkan harga dirinya, menjelaskan kebodohan dan kekurangan ilmunya, serta tujuan yang semisal, maka perbuatan ini hukumnya haram, baik dia membantah langsung di depan orang yang dibantah atau membantahnya di belakang, baik semasa hidupnya atau pun selah matinya. Hal ini termasuk perkara yang Alloh Ta’ala cela di dalam kitabNya, serta ancaman terhadap perbuatan Hamz[18] dan Lamz[19], dan juga termasuk kedalam perkataan Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam.
يا معشر من آمن بلسانه ولم يؤمن بقلبه لا تؤذوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من يتبع عوراتهم يتبع الله عورته ومن يتبع الله عورته يفضحه ولو في جوف بيته
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya dan belum masuk keimanan ke dalam hatinya. Jangan kalian mengumpat muslimin. Dan jangan kalian mencari-cari aib mereka, karena sesungguhnya barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya yang muslim, Alloh akan mencari-cari aibnya. Dan barang siapa yang Alloh cari-cari aibnya maka Alloh akan memperlihatkannya walaupun (dikerjakan) di dalam rumahnya”[20]
Semua penjelasan ini, berlaku pada haknya ulama yang dipanuti dalam agama, adapun bagi para pengikut bid’ah dan kesesatan, dan orang-orang yang berlagak ulama tapi bukan, maka diperbolehkan untuk menerangkan kebodohannya, dan membongkar kejelekannya sebagai bentuk peringatan bagi orang-orang yang mencontohnya. Dan bukanlah pembahasan kita sekarang (dalam buku ini) menyangkut sisi ini, wallohu a’lam.
PASAL:
JENIS-JENIS NASEHAT

Barangsiapa yang telah diketahui bahwasanya dia menginginkan dengan bantahannya terhadap ulama adalah sebagai nasehat untuk Alloh dan rosulNya, maka orang yang seperti ini wajib untuk dimuliakan, dihormati dan dihargai sebagaimana halnya para imam muslimin -yang telah terdahulu penyebutannya- dan yang semisal dengan mereka, serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan.
Dan barangsiapa yang telah diketahui bahwasanya dia menginginkan dengan bantahannya terhadap ulama adalah untuk merendahkan mereka, mencela dan membuka kejekan-kejelekan mereka, maka orang yang seperti ini berhak dibalas dengan hukuman agar dia dan orang-orang semisalnya menjadi takut untuk melakukan perbuatan keji yang diharomkan.
Tujuan pembantah dapat diketahui, terkadang berupa penetapan darinya atau pengakuan. Terkadang berupa indikasi-indikasi yang terbaca dari perbuatan dan perkataannya. Maka barangsiapa yang sudah dikenal tingkat keilmuan dan keagamaannya, pemuliaan terhadap para imam serta penghormatan kepada mereka, maka orang seperti ini tidaklah membantah atau menerangkan kesalahan orang lain kecuali dari sisi pandang  yang sesuai dengan para imam.  Adapun jika ditemukan (kritikan –pent) dalam penulisan dan penelitian mereka, maka wajib untuk membawa makna perkataannya kepada (persangkaan baik) yang terdahulu. Barangsiapa yang membawa makna perkataannya kepada selain itu -sementara keadaan orangnya sebagaimana disebutkan- maka dia telah berprasangka buruk kepada orang yang tidak bersalah. Dugaan tersebut merupakan dugaan yang diharomkan oleh Alloh dan rosulNya, dan masuk ke dalam perkataan Alloh Subhanahu:
وَمَنْ يَكْسِبْ خَطِيئَةً أَوْ إِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِهِ بَرِيئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Barangsiapa yang berbuat suatu kesalahan atau dosa, kemudian dia menuduh orang yang tidak bersalah, maka dia telah memikul suatu kebohongan dan dosa yang nyata” (QS An-Nisa’ 112)
Karena prasangka buruk terhadap orang yang tidak tampak padanya tanda-tanda kejelekan, merupakan perkara yang diharomkan oleh Alloh dan rosulnya. Dan dengan dugaannya ini, si penduga telah mengumpulkan antara berbuat kesalahan dan dosa, dengan menuduh orang yang tidak bersalah.
Semakin kuat masuknya orang ini ke dalam ancaman (ayat) tersebut, jika terlihat padanya -maksudku si Penduga tersebut- tanda-tanda kejelekan seperti kesemena-menaan, permusuhan, kurangnya sikap waro’, perkataan yang lancang, banyak menggunjing, memfitnah, kedengkian kepada orang lain atas apa yang Alloh berikan kepada mereka berupa keutamaan dan karunia, serta semangat yang bergelora untuk bersaing dalam memperoleh kemimpinan yang belum waktunya. Maka barangsiapa yang diketahui padanya terdapat sifat-sifat tersebut -yaitu sifat-sifat yang tidak diridhoi oleh pengikut ilmu dan keimanan-, maka sesungguhnya orang ini hanyalah sekedar mengangkat kekurangan ulama. Apabila bantahannya terhadap ulama dengan sisi (tujuan) yang kedua ini, maka yang pantas baginya adalah mendapatkan penghinaan.
Adapun orang-orang yang tidak terlihat padanya tanda-tanda yang menunjukkan “sesuatu”, maka wajib untuk membawa makna perkataannya kepada kemungkinan yang terbaik, dan tidak boleh membawanya kepada kemungkinan yang terjelek. ‘Umar Rodhiyallohu ‘anhu mengatakan: “Janganlah engkau berprasangka jelek dengan perkataan yang terlontar dari saudaramu yang muslim, sementara kamu mendapatkan pada perkataannya itu ada kemungkinan dalam hal kebaikan”

PASAL:
TATA CARA NASEHAT
Termasuk dalam pembahasan ini adalah, apabila disebutkan di depan seseorang sesuatu yang tidak disenanginya[21]. Apabila perbuatan tersebut adalah dalam rangka nasehat, maka itu adalah sebuah kebaikan. Sebagian salaf berkata kepada saudaranya: “Engkau tidaklah menasehatiku sampai engkau menyebutkan di depanku sesuatu yang tidak aku senangi”.
Apabila seseorang berkata kepada saudaranya suatu kejelekan (yang ada padanya), maka itu adalah sebuah kebaikan. Bagi orang yang diberitahukan kesalahannya, agar mengemukakan alasan jika dia memiliki alasan. Namun apabila hal tersebut dengan tujuan mencerca dengan dosa saudaranya itu, maka itu adalah tindakan keji lagi tercela.
Dikatakan pada sebagian salaf: “Apakah engkau senang kalau dia memberitahukanmu tentang kejelekan-kejelekanmu?”. Maka dia menjawab: ‘Kalau dia ingin mencaciku, maka aku tidak mau”.
Maka mencaci dan menta’yir seseorang dengan dosa yang dia perbuat adalah perbuatan yang tercela. Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang untuk mencela seorang budak yang telah berzina, bersamaan dengan itu beliau memerintahkan untuk mencambuknya. Maka dia dicambuk sebagai hukuman, tapi dia tidak dijatuhkan (dipermalukan) dengan dosa yang dilakukannya, dan tidak dicaci. Di dalam Sunan At Tirmidzy dan selainnya secara marfu’[22] :
من عيَّر أخاه بذنب لم يمت حتى يعمله
“Barangsiapa yang menta’yir saudaranya karena suatu perbuatan, maka dia tidak akan mati sampai dia melakukan perbuatan tersebut”[23]. Dibawakan makna hadist ini kepada dosa yang pelakunya telah bertobat darinya.
Al-Fudhail[24] berkata: “Seorang mukmin ditutupi (dosanya) dan dinasehati. Sementara seorang pendosa dicela dan dijatuhkan”
Yang disebutkan Al-Fudhail adalah diantara ciri nasehat dan ta’yir. Dimana nasehat berkaitan dengan penyembunyian, dan ta’yir berkaitan dengan pembeberan terang-terangan. Sebagaimana dikatakan: “Barangsiapa yang membawa perkara saudaranya kepada khayalak ramai, maka dia telah menta’yir saudaranya” atau semakna dengannya.
Dahulu para salaf tidak suka melakukan amrul ma’ruf nahi munkar dengan cara ini, mereka lebih senang untuk melakukannya secara sembunyi antara yang menasehati dan yang dinasehati, karena hal tersebut adalah tanda nasehat. Bukanlah yang menjadi tujuan penasehat pembeberan kejelekan-kejelekan orang yang dinasehati, melainkan tujuannya hanyalah untuk menghilangkan kerusakan yang dia (orang yang dinasehati) telah terjerumus di dalamnya. Adapun pembeberan dan penyebutan kesalahan-kesalahannya (di depan orang), maka itu adalah sebuah perkara yang diharomkan Alloh dan rosulNya. Alloh mengatakan:
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya, yang senang dengan tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan akhirat. Alloh mengetahui, sementara kalian tidak mengetahui” (QS An-Nur 19)
Hadist-hadist yang menunjukkan keutamaan nasehat secara sembunyi-sembunyi, sangatlah banyak. Berkata sebagian ulama: “Bersungguh-sungguhlah untuk menutup pelaku maksiat, karena membuka aurat mereka adalah kelemahan dalam Islam. Dan yang paling berhak untuk ditutupi adalah aurat”.
Karena inilah, maka pembeberan perbuatan keji berkaitan dengan ta’yir. Dan keduanya merupakan perbuatan dosa. Karena seorang yang pendosa, tidak memiliki tujuan untuk menghilangkan kerusakan, tidak juga ingin menjauhkan saudaranya dari kekurangan dan kejelekan. Yang diinginkannya hanyalah membongkar kesalahan-kesalahan saudaranya yang mukmin serta menyebarkan aibnya. Tujuannya hanyalah untuk merendahkan saudaranya yang beriman dan membongkar kesalahan-kesalahan serta kejelekan-kejelekan saudaranya di depan orang banyak, agar membahayakan saudaranya tersebut di dunia.
Adapun seorang penasehat, maka tujuannya adalah untuk menghilangkan kejelekan saudaranya yang mukmin serta menjauhkannya dari kesalahan tersebut. Dengan sifat itulah Alloh Ta’ala mensifatkan Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam, Dia mengatakan:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepada kalian seorang rosul dari kalangan kalian sendiri, berat terasa baginya penderitaan yang kalian alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian, dan dia seorang penyantun serta penyayang terhadap orang-orang yang beriman” (QS At-Taubah 129)
Dan Alloh mensifatkan para shohabat dengan sifat tersebut, Dia berkata:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad adalah utusan Alloh, dan orang-orang yang bersamanya, memiliki sikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kalian melihat mereka rukuk dan sujud mencari keutaman dari Alloh serta keridhoanNya. Pada wajah mereka terdapat tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka yang disebutkan di dalam Taurot. Dan permisalan mereka di Injil, seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas tersebut semakit kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya, sehingga tanaman itu menyenangkan hati para penanamnya, (hal itu) agar orang-orang kafir menjadi jengkel. Alloh menjanjikan kepada orang-orang beriman dan mengerjakan amal kebajikan diantara mereka, ampunan dan pahala yang besar” (Al Fath 29)
Alloh mensifatkan kaum mukminin dengan kesabaran dan saling menasehati dengan penuh kasih sayang.
Adapun yang mendorong seorang pendosa untuk membeberkan kesalahan dan kejelekan seseorang hanyalah sekedar unjuk kekuatan, kekerasan, dan kesenangan untuk menyakiti saudaranya yang mukmin, serta ingin mendatangkan sesuatu yang bisa membahayakannya. Ini adalah sifat Syaithon yang dihias-hiasi di mata anak Adam yang kafir, pelaku maksiat dan durhaka , agar mereka menjadi penduduk neraka dengan perbuatan mereka tersebut, sebagaimana Alloh mengatakan:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Sesungguhnya Syaithon hanyalah seorang musuh bagi kalian, maka perlakukanlah dia sebagai musuh. Karena sesungguhnya Syaithon itu hanyalah akan mengajak golongannya agar mereka penjadi penduduk neraka yang menyala-nyala” (QS Fathir 6)
Dan Alloh mengatakan -setelah mengisahkan kepada kita kisah Syaithon dengan Nabiyulloh Adam ‘Alaihis Salam, dan tipu dayanya yang menyebabkan dikeluarkannya (Adam) dari surga:
يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا
“Dia melepaskan pakaian keduanya, untuk menampakkan aurot keduanya” (QS Al-A’rof 27)
Maka sangatlah jauh perbedaan antara orang-orang yang tujuannya nasehat dengan orang yang tujuannya kejelekan. Dan tidak tersamar kedua perkara tersebut kecuali bagi orang-orang yang tidak memiliki akal yang beres.

PASAL:
BALASAN PELAKU TA’YIR[25]
Balasan bagi orang yang membeberkan kejelekan saudaranya yang mukmin serta mencari-cari aibnya dan membuka aurat (kesalahan)nya, adalah bahwasanya Alloh akan membuka auratnya dan akan membongkar aibnya, walaupun di kegelapan rumahnya, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam lebih dari satu sisi (hadist). Dan telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud dan At Tirmidzi, dengan berbagai sisi. Iman At Tirmidzi juga meriwayatkan dari Watsilah bin Al Asqo’ dari Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa sallam, bahwasanya Beliau berkata:
لا تُظْهِر الشماتة بأخيك فيعافيه الله ويبتليك
“Janganlah engkau tampakkan syamatah[26] kepada saudaramu, sehingga Alloh akan mengampuninya dan menimpakan cobaan kepadamu”. Dia (At Tirmidzi) berkata: “(Hadist ini derajatnya) Hasan Ghorib[27].
At Tirmidzi juga meriwayatkan dari Muadz secara marfu’:
من عيَّر أخاه بذنب لم يمت حتى يعمله
“Barangsiapa yang menta’yir saudaranya, maka dia tidak akan mati sampai dia melakukan perbuatan tersebut”[28]. Sanadnya munqoti[29].
Al Hasan berkata: “Barangsiapa yang menta’yir saudaranya dengan dosa yang telah tobat darinya, maka dia tidak akan mati sebelum Alloh timpakan baginya cobaan dengan perbuatan dosa tersebut”.
Dari diriwayatkan dari hadist Ibnu Mas’ud, dengan sanad yang dho’if:
البلاء موكل بالمنطق فلو أن رجلاً عيَّر رجلاً برضاع كلبة لرضعها
“Bala’ (cobaan) itu tergantung dengan apa yang diucapkan. Seandainya seseorang menta’yir orang lain untuk menyusui kucing, maka hal itu akan menimpanya”[30]
Juga diriwayatkan makna ini dari sekelompok salaf. Ketika Ibnu Sirin terbelit hutang dan dipenjara karenanya, beliau berkata: “Aku sungguh mengetahui dosa yang aku lakukan sehingga keadaan ini menimpaku. Aku telah menta’yir seseorang empat puluh tahun yang lalu, Aku katakan padanya: “Wahai orang yang bangkrut”
PASAL:
TA’YIR (MEMPERMALUKAN ORANG LAIN DENGAN LAGAK NASIHAT)
Bentuk ta’yir yang paling gamblang adalah: membongkar kejelekan dan membeberkannya dalam bentuk nasehat dan sangkaan bahwa yang mendorongnya untuk melakukannya hanyalah dikarenakan munculnya kesalahan, baik kesalahan tersebut bersifat umum atau kesalahan tertentu. Adapun di batinnya, tujuannya hanyalah untuk ta’yir dan menyakiti. Maka orang tersebut termasuk saudaranya para munafik yang telah dikecam Alloh di dalam kitabNya pada berbagai tempat. Sesungguhnya Alloh mengecam seseorang yang menampakkan perbuatan atau perkataan yang terpuji, namun menginginkan dengan perbuatan tersebut tujuan yang merusak yang dipendam di batinnya. Alloh menghitung perbuatan tersebut sebagai sebuah unsur kemunafikan, sebagaimana di dalam surat Baro’ah. Dimana Dia membongkar para munafik serta menghina mereka dengan sifat-sifat yang keji.
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Dan orang-orang (munafik) yang membangun masjid untuk menimbulkan bencana dan kekafiran, memecah belah kaum muslimin, serta untuk menunggu orang-orang yang sebelumnya telah memerangi Alloh dan rosulNya, pastilah mereka akan bersumpah: “Kami hanya menginginkan kebaikan”. Dan Alloh adalah saksi bahwa mereka itu adalah para pendusta” (QS At-Taubah 107)
Dan Alloh Ta’ala mengatakan:
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Janganlah sekali-kali kamu mengira bahwasanya orang-orang yang merasa gembira dengan perbuatan mereka dan senang dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan kamu kira bahwa mereka itu akan lolos dari azab. Mereka akan mendapatkan azab yang pedih” (QS Ali ‘Imron 188)
Ayat ini turun pada kisah kaum Yahudi ketika Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepada mereka, namun mereka menyembunyikannya dan mengabarkan kepada beliau sesuatu yang berbeda dengan kenyataannya. Mereka memandang bahwa mereka telah berhasil menjawab apa yang ditanyakan kepada mereka, dan mereka menginginkan pujian atas hal tersebut, serta gembira dengan perbuatan yang telah mereka lakukan berupa penyembunyian ilmu yang ditanyakan kepada mereka.
Demikian penafsiran Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ’Anhuma, dan hadist ini dikeluarkan di Shohihain dan selainnya.
Dari Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ’Anhu, beliau berkata: “Bahwasanya kebiasaan para lelaki dari kaum munafik, apabila Rosululloh Sholallohu ’Alaihi wa Sallam keluar untuk berperang, maka mereka bolos dan gembira dengan tinggalnya mereka yang menyelisihi Rosululloh Sholallohu ’Alaihi wa Sallam. Apabila Rosululloh kembali, maka mereka datang dengan alasan-alasan dan sumpah. Mereka senang dipuji pada perbuatan yang tidak mereka lakukan, maka turunlah ayat ini.
Maka perbuatan ini termasuk perbuatan Yahudi dan munafik, dimana seseorang menampakkan perkataan dan perbuatan yang secara lahiriyah sebuah tindakan yang terpuji, namun tujuan adalah menimbulkan kerusakan. Kemudian dia dipuji karena tindakannya yang kelihatan terpuji sementara dia telah mencapai tujuannya yang rusak yang dipendamnya. Dia pun senang dengan pujian atas perbuatannya yang kelihatan terpuji tersebut -sementara dibatinnya kejelekan-, serta tercapainya tujuannya yang merusak. Maka sempurnalah manfaat yang didapatkannya, dan berhasil skenarionya dengan penipuan ini.
Barang siapa yang hasratnya seperti ini, maka dia termasuk ke dalam ayat tersebut, terkena ancaman azab yang menyakitkan. Contohnya adalah: Seseorang mencela lelaki lain, merendahkannya, serta membeberkan kesalahannya dengan harapan agar orang lari darinya. Bisa jadi karena dia senang menyakiti orang tersebut atau karena terdapat permusuhan, atau takut tersaingi dalam masalah harta, kepemimpinan atau yang lainnya dari sebab-sebab yang tercela. Dan itu tidak akan tercapai kecuali dia menampakkan bahwa celaannya kepada orang tersebut adalah dilatarbelakangi masalah agama. Misalnya, seseorang telah membantah pendapat yang lemah dari seorang Alim yang masyhur. Lalu datanglah (penasehat gadungan) menyebarkan di tengah orang-orang yang mengagungkan si Alim (yang dibantah), bahwasanya si Fulan (pembantah) membenci Alim tersebut, mencelanya dan mencacinya. Maka tertipulah setiap orang yang mengagungkan si Alim tersebut, sehingga mereka pun menduga bahwa membenci si Pembantah dan menyakitinya termasuk perbuatan yang terpuji, karena mereka berarti telah membela Alim tersebut dan menyingkirkan sesuatu yang menyakitkan darinya. Dan itu adalah -menurut sangkaan mereka- bentuk amalan yang mendekatkan diri kepada Alloh dan ketaatan kepadaNya. Maka si Penasehat Gadungan ini, telah menggabungkan dua perkara harom yang tercela:
Perkara pertama: Dia membawa makna perkataan seorang alim ketika membantah yang lain kepada makna kebencian, caci-maki dan nafsu. Padahal bisa saja si Pembantah hanya menginginkan nasehat bagi kaum mukminin dan menampakkan ilmu yang tidak boleh baginya untuk disembunyikan.
Perkara kedua: Dia menampakkan kepada masyarakat bahwa bantahan adalah sebuah celaan, agar terpenuhi nafsu dan tujuannya yang rusak dalam “bungkus” nasehat dan membela ulama syar’i.
Tipu daya seperti ini dipergunakan oleh Bani Marwan ketika memalingkan manusia dan membuat hati-hati mereka lari dari ‘Ali bin Abi Tholib, Al Hasan, Al Husain serta anak cucu mereka Rodhiyallohu ‘Anhum Ajma’in. Ketika ‘Utsman Rodhiyallohu ‘Anhu dibunuh, umat tidak melihat seorangpun yang pantas untuk menggantikannya daripada ‘Ali Rodhiyallohu ’Anhu, maka mereka pun membai’at[31]nya.
Kemudian mulailah orang-orang yang berusaha menjauhkan umat dari ‘Ali, membesar-besarkan pembunuhan ‘Utsman dan mencela pembunuhnya. Memang begitulah kenyataannya, namun mereka menyisipkan bahwa yang berkomplot dan menjalankan operasi pembunuhan ‘Utsman adalah ‘Ali Rhodiyallohu ’Anhu. Dan itu sungguh merupakan sebuah tipu daya dan fitnah. ‘Ali Rhodiyallohu’anhu pun bersumpah dan keras dalam sumpahnya itu untuk membantah tuduhan tersebut, dan dia Rhodiyallohu ’Anhu adalah seorang yang benar dan jujur dalam sumpahnya.
Kemudian, mereka (Bani Marwan) berusaha untuk membunuh ‘Ali dengan alasan agama dan pendekatan kepada Alloh, dan beralih ke pembantaian anak-anaknya  Ridhwanullohu ‘Alaihim. Mereka bersungguh-sunggguh untuk menampakkan hal tersebut dan menyebarkannya di mimbar-mimbar pada hari jum’at dan selainnya dari waktu-waktu perkumpulan masyarakat. Sehingga tertanamlah di hati-hati para pengikut mereka bahwasanya hakikat perkara adalah sebagaimana yang mereka katakan. Dan Bani Marwan lebih berhak dengan kekuasaan ketimbang ‘Ali dan anak-anaknya, dan berhak untuk menuntut balas pembunuhnya karena kekerabatan mereka dengan ‘Utsman. Akibatnya, mereka mampu menarik hati masyarakat kepada mereka untuk memerangi ‘Ali dan anak-anaknya, sehingga dengannya mereka dapat memperoleh kekuasan dan urusan berada pada mereka.
Di dalam kesendirian, sebagian mereka mengatakan kepada orang yang dipercayainya, perkataan yang maknanya “Sesungguhnya tidak seorangpun dari shohabat pun yang paling sebanding dengan ‘Utsman daripada Ali”. Maka dikatakan kepadanya: “Lalu kenapa engkau mencacinya?”. Dia menjawab: “Sesungguhnya kekusaan tidak akan tegak kecuali dengan cara itu”. Maksudnya adalah, kalau bukan dengan cara membuat lari hati-hati masyarakat dari ‘Ali dan anak-anaknya, serta menekankan kepada mereka tentang kezholiman pembunuhan ‘Utsman, maka hati-hati masyarakat tidak akan cenderung kepada mereka (Bani Marwan) karena masyarakat mengetahui sifat-sifat mereka (’Ali dan anak-anaknya) yang terpuji dan kekhususan mereka yang mulia. Masyarakat tentunya akan bersegera untuk mengikuti dan membai’at mereka, sehingga hilanglah kekuasaan ‘Umayyah dan masyarakat akan berpaling dari ketaatan.

PASAL:
PENAWAR BAGI KORBAN TIPU DAYA

Barangsiapa terkena tipu daya ini, maka wajib baginya untuk bertaqwa kepada Alloh, meminta pertolonganNya dan bersabar, karena kesabaran akan berdampak kebaikan bagi orang yang bertaqwa. Sebagaimana perkataan Alloh setelah menceritakan kisah Yusuf ‘Alaihis Salam dan apa-apa yang menimpanya dengan berbagai bentuk gangguan, berupa makar dan tipu daya.
وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ
“Demikianlah kami memberikan kedudukan kepada Yusuf di negeri (Mesir)” (QS Yusuf 21)
Alloh menghikayatkan ketika dia berkata kepada saudara-saudaranya.
أَنَا يُوسُفُ وَهَذَا أَخِي قَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا
“Saya adalah Yusuf dan ini saudaraku, sungguh Alloh telah memberikan karuniaNya kepada kami” (QS Yusuf 90)
Alloh mengatakan di dalam kisah Musa ‘Alaihis Salam dan apa yang terjadi pada kaumnya berupa gangguan dari Fir’aun serta tipu dayanya. Maka Musa berkata kepada kaumnya:
اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا
“Meminta tolonglah kalian kepada Alloh, dan bersabarlah” (QS Al A’rof 128)
Dan Alloh Ta’ala telah mengkabarkan bahwa tipu daya dan bala’ (bencana) akan kembali kepada pelakunya:
وَلَا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِ
“Rencana jahat itu, hanyalah akan menimpa orang yang merencanakannya sendiri” (QS Fathir 43)
Alloh Ta’ala mengatakan:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ أَكَابِرَ مُجْرِمِيهَا لِيَمْكُرُوا فِيهَا
“Demikianlah Kami menjadikan di setiap negeri, para pembesar yang jahat untuk melakukan tipu daya di negeri tersebut” (QS Al-An’am 123)
Dan kenyataan menjadi saksi atas semua itu, karena barangsiapa yang menelusuri kabar-kabar yang beredar di masyarakat dan sejarah dunia, akan menemukan kabar bahwa barangsiapa yang berbuat makar kepada saudaranya, maka makarnya itu  akan kembali kepadanya dan malah menjadi penyebab keselamatan bagi saudaranya tersebut, betapa menakjubkan. Kalau kami sebutkan sebagian dari perkara-perkara yang terjadi , tentulah buku ini akan menjadi panjang lebar.
Allohlah yang memberikan taufik kepada kebenaran dan kepadaNyalah tujuan jalan ini, cukuplah Alloh bagi kita dan Dialah sebaik-baik tempat bergantung. Sholallohu ‘ala Muhammad wa alihi wa shohbihi wa sallama taslima.[32]
Alih Bahasa: Abu Ja’far Al-Harits bin Dasril Al-Minangkabawy Hafizhohulloh


[1] Mempermalukan seseorang karena kesalahan yang dia perbuat
[2] Menerangkan kejelekan atau kelemahan
[3] Orang-orang yang gila ibadah tapi mengabaikan ilmu
[4] Atsar Dho’if, sebagaimana dijelaskan Syaikh Abu ‘Amr di dalam bukunya tentang Haromnya Meninggalkan Mahar
[5] Idem
[6] Meninggal tahun 238 H. Beliau adalah Imam Besar, pemimpin para huffadz (pencari dan penghapal riwayat-riwayat hadits).
Imam Ahmad  -ketika ditanya tentang Ishaq-,  beliau berkata: “Orang seperti Ishaq ditanya?? Disisiku dia adalah seorang Imam”.
Abu Daud Al Khoffaf mengatakan: “Ishaq mendiktekan kepada kami sebelas ribu hadist dari hapalannya, kemudian membacakannya (kembali) kepada kami, tidak kurang atau berlebih sepatah katapun”. Beliau juga berkata, bahwasanya Ishaq mengatakan kepadanya: “Sungguh (saat ini) aku seolah-olah sedang melihat seratus ribu hadist yang ada di bukuku, tiga puluh ribunya, akan aku bacakan”
[7] Yakni menerima kebenaran walau datang dari orang yang membantahnya
[8] Meninggal tahun 137 H. Beliau adalah seorang orator ulung dan dikenal sebagai seorang yang bijaksana. Dahulu dijuliki sebagai Luqman (Al Hakim) umat ini.
[9] Di luar Bangsa Arob
[10] Hadist ini dishohihkan As Syaikh Al Albany Ash Shohihah nomor hadist 3274
[11] Maknanya adalah: Meninggalkan perbuatan yang akan membahayakannya di akhirat
[12] Meninggal tahun  125 H. Namanya ‘Amr bin Qois, beliau seorang Imam Besar.
[13] Meninggal Tahun 94 H. Imam Besar, salah seorang ulama Madinah, dan pemimpin para tabi’in di zamannya. Dahulu beliau sudah berfatwa, sementara para shohabat masih hidup.
Ibnu ‘Umar berkata: “Demi Alloh, dia adalah salah seorang mufti (yang berhak berfatwa)”
[14] Meninggal tahun 110 H. Al-Imam Al-Bashry. Seorang pemimpin dalam keilmuan dan amal di zamannya.
[15] Meninggal tahun 115 H. Syaikhul Islam, Mufti Tanah Suci. Beliau berjumpa dengan 200 orang shohabat Rosululloh.
[16] Saya telah memeriksa atsar-atsar Atho’ Rohimahulloh yang berkaitan dengan masalah tersebut, namun qoddarulloh saya tidak menemukan makna sesuai yang diinginkan Ibnu Rojab Rohimahulloh. Wallohu A’lam
[17] Meninggal tahun 106 H. Imam, faqih, seorang panutan dari ulama Yaman. Beliau berjumpa dengan 50 orang shohabat Rosululloh.
‘Atho’ meriwayatkan dari ibnu ‘Abbas, bahwasanya beliau berkata: “Aku sungguh menyangka bahwa Thowus adalah salah seorang penduduk surga”.
[18] Ghibah dengan isyarat
[19] Ghibah dengan kata-kata kasar dan keras
[20] Ahmad 4/420, Abu Daud (4880)
[21] Maksudnya: kesalahan yang ada padanya
[22] Maksudnya: Imam At Tirmidzy menyebutkan rantaian rowi-rowi sampai berakhir kepada Rosululloh
[23] Syaikh Al Albany mengatakan di As Silsilah Adh Dho’ifah no 178: “Maudhu’ (Hadist palsu)”
[24] Meninggal tahun 180 H. Syaikhul Islam, seorang Imam Besar yang penjadi panutan.
[25] Beberapa dalil yang dibawakan oleh Imam Ibnu Rojab dalam masalah ini adalah dalil-dalil yang lemah. Diantara dalil yang kuat dalam masalah ini adalah sebagaimana di Shohihain (Bukhory-Muslim), dari hadist Abu Hurairoh  Rodhiyallohu ‘Anhu, bahwasanya Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Sungguh seorang lelaki, berbicara dengan sepatah kata tanpa  peduli dengan apa yang dia ucapkan, maka dia akan tergelincir ke dalam neraka lebih jauh dari apa-apa diantara timur dan barat”
[26] Senang jika orang lain ditimpa musibah
[27] Hadist ini didho’ifkan Imam Al Albany, sebagaimana di Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir no hadits 14394
[28] Telah lewat penjelasan hadist ini
[29] Yakni: terputus. Dikarenakan dalan rantaian rowi, terdapat rowi yang tidak mendengar dari rowi sebelumnya. Jenis yang seperti ini tergolong kedalam hadist dho’if
[30] Hadist ini didho’ifkan Imam Al-Albany dalam Dho’if Al Jami’ nomor hadist 2380
[31] Sumpah setia
[32] Selesai penerjemahan dan catatan ringan bagi risalah yang kaya manfaat ini, setelah tertunda sekian lama, hanya Dialah yang memudahkan. Semoga menjadi nasehat berharga bagi saya pribadi –hujjatan li laa ‘alayya- dan segenap kaum muslimin. Kita berlindung dari kejelekan orang-orang yang menta’yir saudaranya terutama para da’i yang menyeru ke jalan Alloh sementara kesalahannya tidak bersifat manhajy dan belum keluar dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Saya berlepas diri dari perbuatan orang-orang semisal itu baik yang dekat maupun yang jauh, cukuplah risalah ini sebagai teguran bagi yang telah terjatuh untuk segera memperbaiki kesalahannya dan peringatan bagi yang lain untuk berhati-hati menjaga mulutnya dan menggoreskan tintanya.
وَلَا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلَّا عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Setiap perbuatan dosa seseorang, dirinya sendirilah yang akan bertanggung jawab. Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain” (QS Al-An’am 164)
مَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan petunjuk, maka sesungguhnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa yang tersesat maka sesungguhnya itu adalah bagi dirinya sendiri. Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain”. (QS Al-Isro’ 15)
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39) وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى
“Bahwasanya manusia itu hanya akan memperoleh apa yang diusahakannya. Sesungguhnya kelak usahanya itu akan diperlihatkan” (QS An-Najm 39-40)
الحمد لله رب العالمين سبحانك وبحمدك أشهد أن لا إله إلاّ أنت أستغفرك وأتوب إليك
Rabu 24 Jumadil Ula 1432. Di Lembah penuh ilmu, DAMMAJ

Sumber: ahlussunnah.web.id 
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Hakikat Nasehat
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/hakikat-nasehat.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
credit for cara membuat email - Copyright of Risalah Kajian.