Wajibkah memakai Sarowil (Celana Lebar) dengan Sarung ?
0
comments
WAJIBKAH MEMAKAI SIRWAL DENGAN SARUNG?
ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy
Waffaqohulloh
Darul Hadits, Dammaj-Yaman
8 Shofar 1434H
Waffaqohulloh
Darul Hadits, Dammaj-Yaman
8 Shofar 1434H
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه
ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده
ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد
Pembahasan yang akan kita lewati dalam topik ini –insya Alloh- terkait dengan hadits di Musnad Imam Ahmad dari Abu Umamah Rodhiyallohu ‘Anhu, dimana beliau berkata:
خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مَشْيَخَةٍ مِنَ الْأَنْصَارٍ بِيضٌ لِحَاهُمْ
فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ حَمِّرُوا وَصَفِّرُوا، وَخَالِفُوا
أَهْلَ الْكِتَابِ. قَالَ: فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَهْلَ
الْكِتَابِ يَتَسَرْوَلَونَ وَلْا يَأْتَزِرُونَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَسَرْوَلُوا وَائْتَزِرُوا وَخَالِفُوا
أَهْلَ الْكِتَابِ. قَالَ: فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَهْلَ
الْكِتَابِ يَتَخَفَّفُونَ وَلَا يَنْتَعِلُونَ. قَالَ: فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَتَخَفَّفُوا وَانْتَعِلُوا
وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ “. قَالَ: فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ
إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يَقُصُّونَ عَثَانِينَهُمْ وَيُوَفِّرُونَ
سِبَالَهُمْ. قَالَ: فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
قُصُّوا سِبَالَكُمْ وَوَفِّرُوا عَثَانِينَكُمْ وَخَالِفُوا أَهْلَ
الْكِتَابِ
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam keluar kepada para orang tua dari kalangan Anshor yang jenggot mereka telah memutih. Maka beliau berkata: “Wahai segenap Anshor, (semirlah dengan) merah dan kuning, serta selisihilah ahlul kitab”.
Abu Hurairoh berkata: Kami katakan: “Wahai Rosululloh sesungguhnya Ahlul kitab memakai sirwal namun tidak memakai sarung. Maka Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Pakailah sirwal dan sarung serta selisihilah Ahlul kitab”.
Abu Hurairoh berkata: Kami katakan: “Wahai Rosululloh sesungguhnya Ahlul kitab memakai khuf (alas kaki yang menutupi mata kaki) dan tidak memakai sandal. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Pakailah khuf dan sandal kalian, serta selisihilah Ahlul kitab”.
Abu Hurairoh berkata: Kami katakan:
“Wahai Rosululloh sesungguhnya Ahlul kitab memotong jenggot mereka dan
melebatkan kumis mereka. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Potonglah kumis kalian dan lebatkanlah jenggot kalian serta selisihilah ahlul kitab”. (Hadits ini dihasankan Imam Al-Albany Rahimahulloh di As-Silsilatush Shohihah no 1245)
PERBEDAAN ANTARA “PERINTAH UNTUK MENYELISIHI ORANG KAFIR” DENGAN “LARANGAN UNTUK TASYABBUH (MENYERUPAI MEREKA)”.
Sebagian orang keliru dalam menetapkan
hubungan antara dua perkara ini. Mereka menganggap di antara keterkaitan
antara kedua perkara ini adalah: “Jika terdapat perintah
untuk menyelisihi orang kafir dalam suatu perbuatan, kemudian ada orang
yang melakukan perbuatan tersebut maka dia –menurut mereka- telah jatuh
kepada perbuatan tasyabbuh”.
Apakah benar begitu? Syaikh Al-Albany Rahimahulloh telah
menjelaskan kesalah-pahaman ini, beliau mengatakan: “Sesungguhnya
bentuk penyelisihan (terhadap orang kafir) yang diperintahkan, lebih
umum daripada perkara tasyabbuh yang dilarang.
Hal itu karena tasyabbuh adalah
(ketika) seorang muslim melakukan perbuatan orang kafir (yakni
kekhususan mereka -pent), walaupun dia tidak bermaksud menyerupai. Maka
orang tersebut diperintahkan untuk meninggalkan perbuatan tersebut.
Sementara hukumnya, berbeda-beda tergantung kuat atau lemah tampaknya
penyerupaan tersebut.
Adapun penyelisihan (bentuk amalannya
–pent) adalah sebaliknya. Yang diinginkan dengan penyelisihan adalah
(ketika) seorang muslim melakukan sebuah perbuatan yang tidak dilakukan
oleh orang kafir meskipun secara syari’at perkara tersebut tidaklah menyelisihi syari’at, seperti sholat dengan sandal. Nabi Shollallohu ‘alaihi wa Sallam
telah memerintahkan untuk menggunakannya untuk menyelisihi Yahudi. Bisa
juga bentuk penyelisihan terhadap orang-orang kafir pada perkara yang
merupakan ciptaan Alloh bagi setiap manusia, tidak ada perbedaan antara
muslim dan kafir, serta lelaki dengan perempuan, misalnya uban.
Bersamaan dengan itu Rosululloh memerintahkan untuk mewarnainya dalam
rangka menyelisihi mereka (yaitu orang kafir) sebagaimana telah lewat”. [Silsilatul Ahaditsis Shohihah 6/807-808]
Syaikh Al-Albany Rahimahulloh juga mencontohkan dengan jaket. Bersamaan dengan hukumnya bukan tasyabbuh
namun seseorang bisa melakukan amalan menyelisihi orang kafir dengan
niat sengaja tidak memakainya karena orang kafir banyak memakainya. [Fatawa Jeddah kaset no 21]
Dari penjelasan beliau dapat dipetik perbedaannya:
1. Tasyabbuh terjadi dengan niat meniru ataupun tidak. Apabila perbuatan tersebut terbukti menjadi kekhususan suatu kaum yang ditiru.
2. Penyelisihan orang kafir adalah melakukan perbuatan yang tidak dilakukan oleh kaum kafir.
Dikatakan penyelisihan jika memang seorang muslim ketika melakukan
sebuah perkara dengan niat menyelisihi orang kafir, jika tidak maka dia
tidak termasuk kepada amalan ini. Perbuatan yang diselisihi bisa jadi merupakan kekhususan orang kafir, bisa juga tidak.
Jika ada seseorang tidak
menyelisihi orang kafir dalam suatu perkara, apakah dia otomatis jatuh
ke tasyabbuh? Jawabnya: Jika perbuatannya itu merupakan kekhususan orang
kafir maka dia telah jatuh kepada tasyabbuh. Namun jika perbuatan
tersebut adalah perbuatan yang juga dibolehkan bagi muslimin, maka tidak
dikatakan tasyabbuh.
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Tasyabbuh
umum (mencakup) perbuatan sesuatu karena mereka melakukannya –yang
seperti ini jarang-, serta barangsiapa yang mengikuti orang lain dalam
sebuah perbuatan karena ada kepentingannya dalam perkara itu, apabila
asal perbuatan tersebut diambil dari orang lain itu.
Akan tetapi barang siapa yang melakukan
sesuatu pas dengan orang lain yang melakukan perbuatan itu juga,
masing-masing mereka tidak mengambil perbuatan itu dari temannya, maka
untuk menyatakannya sebagai tasyabbuh, perlu pemeriksaan. Akan tetapi bisa saja dilarang karena merupakan dzari’ah (perbuatan yang mengarah) kepada tasyabbuh”. [Iqtidho’ Sirothil Mustaqim 1/271-272]
Contoh: Kaum muslimin
diperintahkan untuk menyelisihi kaum kafir dengan memakai sirwal dan
sarung. Apakah jika seseorang memakai sirwal saja, maka dia telah tasyabbuh dengan kafir?.
Jika memang terbukti perbuatan itu merupakan kekhususan mereka atau ada dalil langsung dari Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam bahwa beliau menyatakan bahwa perbuatan itu tasyabbuh, maka perbuatan itu dihukumi sebagai tasyabbuh.
Namun jika kaum muslimin diperbolehkan untuk memakai sirwal tanpa sarung, maka tidak bisa perbuatan tersebut dinamakan tasyabbuh, karena menunjukkan hal itu bukanlah kekhususan mereka.
Dengan demikian ada dua bentuk perintah penyelisihan:
1. Perintah penyelisihan semata. Jika
ada orang yang melakukan perbuatan tersebut maka dia tidak bisa
dikatakan jatuh perbuatan tasyabbuh.
2. Perintah penyelisihan pada perkara yang:
* dinyatakan Rosululloh sebagai perbuatan tasyabbuh,
* yang terbukti merupakan kekhususan mereka, yang menjadi ciri orang kafir, dengannya mereka dikenal atau
* perkara yang diperintahkan untuk
diselisihi adalah perkara yang diharamkan bagi kaum muslimin, sehingga
barang siapa yang melakukannya maka dia telah tasyabbuh karena melakukan perbuatan haram bukanlah ciri muslimin dan bukan pula perkara yang diperbolehkan bagi mereka.
APA DALIL ATAS PERINCIAN DI ATAS?
Untuk ini, kita tak perlu jauh-jauh, -sebagai telah sedikit disinggung oleh Syaikh Al-Albany Rahimahulloh di awal pembahasan- kita kembali ke hadits yang menjadi pokok perbincangan.
[Contoh untuk bentuk pertama]: Sholat Tanpa Alas Kaki
Sebelum lanjut, ada perkara lain yang perlu disinggung:
1. Terkait lafazh hadits:
قَالَ: فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ،
إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يَتَخَفَّفُونَ وَلَا يَنْتَعِلُونَ. قَالَ:
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَتَخَفَّفُوا
وَانْتَعِلُوا وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ
Abu Hurairoh berkata: Kami katakan:
“Wahai Rosululloh sesungguhnya Ahlul kitab memakai khuf (alas kaki yang
menutupi mata kaki) dan tidak memakai sandal (alas kaki yang di bawah
mata kaki). Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Pakailah khuf dan sandal kalian, serta selisihilah Ahlul kitab”.
Dalam sebuat riwayat yang dibawakan oleh Imam Ath-Thobrony di Al-Mu’jamul Kabir terdapat:
فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَهْلُ
الْكِتَابِ، لَا يَتَخَفَّفُونَ، وَلَا يَنْتَعِلُونَ، فَقَالَ:
تَخَفَّفُوا وَانْتَعِلُوا، وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ
Abu Hurairoh berkata: Kami katakan: “Wahai Rosululloh sesungguhnya Ahlul kitab tidak memakai khuf dan tidak memakai sandal. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan: “Pakailah khuf dan sandal kalian, serta selisihilah Ahlul kitab”.
Di riwayat ini ada tambahan kata “tidak”, namun riwayat ini dho’if (lemah). Di isnadnya terdapat: Ibrohim bin Muhammad Al-Himshy: majhul haal, dan Sulaiman bin Salamah Al-Khoba’iry: matruk.
Namun datang dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka tidak memakai khuf akan tetapi dikaitkan dengan hal mereka ketika sholat, yaitu di hadits Syaddad bin Aus Rodhiyallohu ‘Anhu diriwayatkan Abu Daud dan Al-Hakim selainnya, bahwa beliau berkata:
خالفوا اليهود، فإنّهم لا يصلّون في نعالهم ولا خفافهم
“Selisihilah Yahudi karena sesungguhnya mereka tidak sholat dengan sendal-sendal mereka dan tidak juga dengan khuf-khuf mereka”.
Pada riwayat Ibnu Hibban sebagaimana di Mawariduzh Zhom’an (107)
terdapat tambahan: “… dan Nashoro”. (Hadits ini dishohihkan Al-Hakim,
Al-Albany, Al-Wadi’iy dan selain mereka Rahimahumulloh).
Yang bisa disimpulkan dari kedua hadits
ini bahwa dahulu Yahudi –di luar sholat-lebih dominan memakai khuf
sebagai alas kaki (sebagaimana di hadits pertama), walau mungkin
didapatkan di antara mereka yang memakai sendal dengan dalil: “sendal-sendal mereka”. Hal ini karena sendal adalah pakaian asal orang arab, sebagaimana disebutkan di atsar ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu yang insya Alloh akan datang penyebutannya.
Adapun di dalam sholat, maka mereka
melepasnya sama sekali, tidak memakai sendal dan tidak memakai khuf.
Karena itulah diperintahkan untuk memakai alas kaki dalam rangka
menyelisihi mereka. wallohu a’lam
2. Apakah orang yang sholat tanpa alas kaki dikatakan tasyabbuh dengan Ahlul kitab?.
Imam Ath-Thobrony membawakan sebuah riwayat di Al-Mu’jamul Kabir (no 7164) bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صَلُّوا فِي نِعَالِكُمْ، وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ
“Sholatlah dengan sendal-sendal kalian dan jangan tasyabbuh dengan Yahudi”.
Perintah untuk sholat dengan sendal telah banyak dalil-dalilnya. Yang kita bicarakan sekarang adalah tambahan: “dan jangan tasyabbuh dengan Yahudi” pada hadits ini, karena bisa dijadikan sebagai dalil bahwa sholat memakai sendal adalah tasyabbuh dengan hukum langsung dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Hadits tersebut diriwayatkan Imam Ath-Thobrony dari gurunya: Bakr bin Sahl Ad-Dimyathy, dia berkata: “’Abdulloh bin Yusuf berkata kepada kami bahwa: “Abu Mu’awiyyah berkata kepada kami, dari Hilal bin Maimun dari Ya’la bin Syaddad dari bapaknya (Syaddad bin Aus) dan yang lainnya dari kalangan shohabat, dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Guru Ad-Dimyathy adalah Abu Muhammad ‘Abdulloh bin Yusuf At-Tunisy (meninggal tahun 218 H). Adapun Abu Mu’awiyyah yang merupakan murid Hilal bin Maimun adalah Muhammad bin Khozim yang dikenal dengan Adh-Dhoriir Al-Khufy (213-295 H). Dari
tanggal, jelas bahwa ‘Abdulloh bin Yusuf meninggal ketika Abu Mu’awiyah
berumur lima tahun. Artinya jika mereka bertemu maka ‘Abdulloh bin
Yusuf mengambil hadits dari balita, dan ini jelas tidak betul.
Sementara Abu Mu’awiyah lain –jika ada-
yang menjadi perantara antara ‘Abdulloh bin Yusuf dan Hilal bin Maimun,
sejauh ini tidak penulis dapatkan biografinya. Andaipun ada dan dia
adalah orang yang tsiqoh, maka lafazh tambahan dalam hadits ini tetap dho’if karena guru Imam Ath-Thobrony: Bakr Ad-Dimyathy, dho’if.
Adapun pada kaum muslimin (terdahulu),
maka terdapat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa mereka melakukan sholat
dengan sendal (dan ini yang paling sering), khuff ataupun tanpa mengenakan alas kaki. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa sholat tanpa alas kaki merupakan bentuk tasyabbuh. Adapun perintah untuk memakai alas kaki ketika sholat hukumnya adalah mustahab (sunat) karena ada unsur penyelisihan terhadap ahlul kitab disebabkan kebiasaan mereka tidak sholat dengan alas kaki.
Selain hadits Abu Umamah yang menjadi pokok pembahasan, diantara hadits yang terkait:
- Hadits ‘Abdulloh bin ‘Amr Rodhiyallohu ‘Anhu dimana beliau berkata:
رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلّي حافيًا ومنتعلاً
“Saya melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sholat
dengan tanpa alas kaki dan dengan memakai sendal”. (HR Ahmad, Abu Daud
dan selain mereka. Dihasankan Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil Rahimahullohu Ta’ala).
Dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu, Rosululloh berkata
إذا توضّأ أحدكم ولبس خفّيه فليصلّ فيهما
Jika salah seorang dari kalian telah
berwudhu’, kemudian memakai kedua khufnya, maka sholatlah dengan
keduanya”. (HR Daruquthny, dishohihkan Syaikh kami Muhammad bin ‘Ali bin
Hizam)
Imam Ibnu Rojab Rahimahullohu Ta’ala -setelah menyebutkan hadits-hadits tentang sholat dengan sendal-, beliau berkata: “Ini menunjukkan bahwa kebiasaan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
terus-menerus sholat dengan sendalnya. Perkataan mayoritas salaf
menunjukkan bahwa sholat dengan kedua sendal lebih afdhol dari sholat
tanpa beralas kaki. Ibnu Mas’ud telah mengingkari Abu Musa melepaskan
kedua sendalnya ketika hendak melakukan sholat, beliau (Abu Mas’ud)
berkata kepadanya: “Apakah engkau sedang berada di lembah yang
disucikan?”.[1]
Dahulu Abu ‘Amr Asy-Syaibany memukul orang-orang jika mereka melepas sendal-sendal mereka ketika sholat”. [Fathul Bary 2/274]
Karena itu bagi kaum muslimin yang
memungkinkan baginya untuk menerapkan sunnah ini agar melakukannya,
kalau tidak bisa di mesjid, maka hendaknya dia menerapkannya ketika dia
sholat di rumahnya, baik ketika melakukan sholat sunat bagi lelaki, atau
sholat wajib ketika ada udzur, maupun melakukan seluruh sholatnya bagi
perempuan. Tapi bukan berarti yang sholat tanpa alas kaki dikatakan tasyabbuh.
[Contoh untuk bentuk kedua]: Mencukur Jenggot
Sebagaimana dimaklumi, selain hadits Abu ‘Umamah Rodhiyallohu ‘Anhu tadi, terdapat hadits yang sangat banyak mengenai perintah untuk membiarkan jenggot. Hukum asal dari perintah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah wajib. Tidak didapatkan satu dalil pun yang memalingkan perintah tersebut dari hukum wajib ke hukum istihbab (sunat). Hal ini juga bisa dilihat dari amalan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para salaf.
Para ulama sepakat bahwa mencukur seluruh jenggot adalah mutslah[2], tidak boleh. [Marotibul Ijma’ karya Ibnu Hazm 182, Al-Iqna’ fi Masailil Ijma’ karya Ibnul Qoththon 2/3953]
Perselisihan ulama hanyalah pada boleh
tidaknya memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan sebagaimana
dimaklumi. Karena itulah maka mencukur jenggot atau memendekkannya
(kurang dari segenggam) merupakan kekhususan orang kafir, karena kaum
muslimin diharamkan untuk itu. Maka selain maksiat, perkara ini juga tasyabbuh, wallahu a’lam.
“Yang dimaksud dengan peniruan orang
kafir yang dilarang adalah menyerupai mereka pada apa-apa yang menjadi
kekhususan mereka berupa adat atau apa-apa yang meruka ada-adakan dalam
agama mereka baik berupa keyakinan atau peribadatan, seperti menyerupai
mereka dalam mencukur jenggot”. [Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah
(Syaikh Ibnu Baaz, Syaikh ‘Abdulloh bin Ghudayyan, Syaikh ‘Abdurrozzaq
Al-‘Afify dan Syaikh ‘Abdulloh bin Qu’ud), 3/431 Kumpulan 1]
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Maka ia (maksudnya mencukur jenggot pent) adalah maksiat terhadap Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan tasyabbuh dengan musuh-musuh Alloh ‘Azza wa Jalla”. [Majmu’ul Fatawa wa Rosa’il Al-‘Utsaimin 15/131]
Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullohu Ta’ala mengatakan:
“Tidak diragukan bahwa mencukur lebih keras dosanya, karena hal itu
menghabiskan jenggot seluruhnya dan berlebih-lebihan dalam melakukan
kemungkaran serta tasyabbuh dengan wanita. Adapun memotong dan
menipiskan maka tidak diragukan bahwa hal itu adalah kemungkaran dan
menyelisihi hadits-hadits yang shohih, akan tetapi (dosanya) tak seperti
mencukur. Adapun hukum yang melakukan perbuatan tersebut maka dia
adalah pelaku maksiat tapi tidak kafir kalau dia meyakini bolehnya hal
tersebut karena dibangun atas pemahaman yang keliru atau sekedar taqlid sebagian ulama”. [Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz 10/81]
SIRWAL DALAM ISLAM
Surat ‘Umar bin Al-Khoththob Rodhiyallohu ‘Anhu kepada ‘Uqbah bin Farqod Rodhiyallohu ‘Anhu
yang ketika itu di Azerbaijan tentang larangan memakai sutra bagi
laki-laki, adalah surat yang masyhur sebagaimana disebutkan diriwayatkan
di Shohih Al-Bukhory, Shohih Muslim serta kitab-kitab hadits yang lain.
Yang ingin disebutkan berikut ini adalah beberapa pesan lain dalam surat ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu tersebut -yang ketika itu sebagai Kholifah- kepada ‘Uqbah Rodhiyallohu ‘Anhu -yang ditugaskan untuk memimpin daerah Azerbaijan-, karena beberapa pesan tersebut terkait dengan pembahasan ini.
Dalam sebuah riwayat, Abu ‘Utsman An-Nahdi Rahimahulloh mengatakan:
أَتَانَا كِتَابُ عُمَرَ وَنَحْنُ
بِأَذْرَبِيجَانَ مَعَ عُتْبَةَ بْنِ فَرْقَدٍ: أَمَّا بَعْدُ،
فَاتَّزِرُوا وَارْتَدُوا وَانْتَعِلُوا وَارْمُوا بِالْخِفَافِ
وَاقْطَعُوا السَّرَاوِيلَاتِ، وَعَلَيْكُمْ بِلِبَاسِ أَبِيكُمْ
إِسْمَاعِيلَ، وَإِيَّاكُمْ وَالتَّنَعُّمَ وَزِيَّ الْعَجَمِ،
وَعَلَيْكُمْ بِالشَّمْسِ فَإِنَّهَا حَمَّامُ الْعَرَبِ، وَاخْشَوْشِنُوا
وَاخْلَوْلِقُوا وَارْمُوا الْأَغْرَاضَ، وَانْزُوا نَزْوًا، وَالنَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا عَنِ الْحَرِيرِ إِلَّا
هَكَذَا
“Surat ‘Umar datang, sementara itu kami sedang di Azerbaijan bersama ‘Uqbah bin Farqod. (Isinya): “Amma ba’du pakailah oleh kalian sarung, pakailah rida’ (kain yang dipakai untuk menutup tubuh bagian atas sebagaimana jema’ah haji), lemparkanlah khuf-khuf
dan potonglah sirwal-sirwal, pakailah oleh kalian pakaian bapak kalian:
Isma’il. Janganlah kalian bermewah-mewahan, dan berpenampilan orang ‘ajam. Berjemurlah kalian dengan matahari karena itu adalah hammaamnya (tempat
pemandian air panas) orang arab, hiduplah kasar dan lusuh (yaitu dalam
makanan atau pakaian) serta buanglah kebutuhan-kebutuhan, meloncatlah
kalian di atas kuda, dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
melarang kita untuk memakai sutra kecuali segini (para perowi
memberikan isyarat dengan merapatkan jari telunjuk dan jari tengah,
maksudnya: seukuran kedua jari tersebut-pent)”. (HR Ibnu Hibban
dan lainnya, dishohihkan Syaikh Al-Albany. Dalam riwayat Al-Baihaqy
(Syu’abul Iman), Abu ‘Awanah, Al-Baghowy dan lainnya: “lemparkanlah
sirwal-sirwal”, sebagai ganti dari lafazh “potonglah sirwal-sirwal”)
Imam An-Nawawy Rahimahulloh mengatakan: “Maksud ‘Umar Rodhiyallohu Ta’ala ‘Anhu adalah menganjurkan mereka untuk hidup kasar dan keras dan menjaga mereka atas adat kebiasaan arab”. [Syarh Shohih Muslim 14/46]
Makna yang beliau sebutkan mencocoki
riwayat yang mengisahkan asal muasal penulisan surat tersebut
sebagaimana di “Musnad Al-Harits Ibnu Abi Usamah”, dari Yazid bin Harun
dari ‘Ashim bin Sulaiman Al-Ahwal dari Abu ‘Ustman An-Nahdy, Rahimahumullohu Ajma’in, dimana Abu ‘Utsman berkata:
كُنْتُ مَعَ عُتْبَةَ بْنِ فَرْقَدٍ
بِأَذْرِبَيْجَانَ فَبَعَثَ سُحَيْمًا وَرَجُلًا آخَرَ إِلَى عُمَرَ عَلَى
ثَلَاثِ رَوَاحِلَ وَبَعَثَ سفطَيْنِ وَجَعَلَ فِيهِمَا خَبِيصًا، وَجَعَلَ
عَلَيْهِمَا أَدَمًا وَجَعَلَ فَوْقَ الْأَدَمِ لَبُودًا، فَلَمَّا قَدِمَ
الْمَدِينَةَ قِيلَ جَاءَ سُحَيْمٌ مَوْلَى عُتْبَةَ وَآخَرُ عَلَى
ثَلَاثِ رَوَاحِلَ فَأَذِنَ لَهُمَا فَدَخَلَا فَسَأَلَهُمَا عُمَرُ: ”
أَذَهَبًا أَوْ وَرِقًا؟ قَالَا: لَا، قَالَ: فَمَا جِئْتُمَا بِهِ؟
قَالَا: طَعَامٌ، قَالَ: طَعَامُ رَجُلَيْنِ عَلَى ثَلَاثِ رَوَاحِلَ
هَاتُوا مَا جِئْتُمْ بِهِ، فَجِيءَ بِهِمَا لِكَشْفِ اللَّبُودِ
وَالْأَدَمِ فَجَاءَ، فَقَالَ بِيَدِهِ فِيهِ فَوَجَدَهُ لَيِّنًا فَقَالَ:
أَكُلُّ الْمُهَاجِرِينَ يَشْبَعُ مِنْ هَذَا؟ قَالَا: لَا وَلَكِنَّ
هَذَا شَيْءٌ اخْتُصَّ بِهِ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَ: يَا فُلَانُ
هَاتِ الدَّوَاةَ، اكْتُبْ: ” مِنْ عَبْدِ اللَّهِ عُمَرَ أَمِيرِ
الْمُؤْمِنِينَ إِلَى عُتْبَةَ بْنِ فَرْقَدٍ وَمَنْ مَعَهُ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ، أَمَّا بَعْدُ،
فَإِنِّي أَحْمَدُ اللَّهَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ، أَمَّا بَعْدُ
فَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ كَسْبِكَ وَلَا كَسْبِ أَبِيكَ وَلَا كَسْبِ أُمِّكَ
يَا عُتْبَةٌ بْنَ فَرْقَدٍ، فَأَعَادَ ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: أَمَّا
بَعْدُ، فَأَشْبِعِ الْمُسْلِمِينَ الْمُهَاجِرِينَ مِمَّا تَشْبَعُ مِنْهُ
فِي بَيْتِكَ، فَأَعَادَهَا ثَلَاثًا
“Dahulu aku bersama ‘Uqbah bin Farqod di
Azerbaijan. Maka ‘Uqbah mengutus Suhaim dan seorang lelaki lain kepada
‘Umar dengan (membawa) tiga tunggangan. Dikirim bersama mereka dua buah safath (tempat yang biasa diisi dengan wewangian atau peralatan perempuan) dan ‘Uqbah memasukkan ke dalam keduanya Khobish (sejenis
manisan yang terkenal, berupa campuran korma dan mentega), kemudian
diletakkan kulit (sebagai kain penutup) di atasnya, dan diletakkan di
atas kulit tersebut, penutup dari wol. Ketika sampai di Madinah,
dikatakan kepada ‘Umar bahwa telah datang Suhail Maula ‘Uqbah serta
seorang lagi dengan tiga tunggangan. Kemudian ‘Umar memberi izin kepada
keduanya, maka mereka pun masuk.
‘Umar bertanya kepada keduanya:
“Emaskah, atau perak?”. Mereka berdua berkata: “Tidak”. Maka ‘Umar
berkata: “Maka apa yang kalian bawa?”. Mereka berdua berkata: “Makanan”.
‘Umar berkata: “Makanan dua orang lelaki di atas tiga tunggangan? Bawa
kesini apa yang kalian bawa”.
Maka didatangkanlah kedua safath untuk
disingkapkan wool dan kulit tersebut. Maka ‘Umar memasukkan tangannya
ke dalamnya dan mendapatkannya sesuatu yang lembek. ‘Umar berkata:
“Apakah setiap muhajirin (di Azerbaijan) kenyang dengan memakan ini?”.
Mereka berdua berkata: “Tidak, akan tetapi ini adalah sesuatu yang
dikhususkan bagi Amirul Mu’minin”. Maka ‘Umar berkata: “Wahai fulan,
tolong datangkan tempat tinta”, (kemudian) tulislah:
Dari hamba Alloh, ‘Umar Amirul Mukminin,
kepada ‘Uqbah bin Farqod dan orang-orang yang bersamanya dari kalangan
mukminin muslimin, salaamun ‘alaikum.
Sesungguhnya aku memuji Alloh yang tidak
ada yang pantas diibadahi selain-Nya, Amma ba’du, Sesungguhnya (harta
negara –pent) bukanlah dari usahamu, bukan usaha ayahmu dan bukan juga
hasil usaha ibumu wahai ‘Uqbah bin Farqod” –‘Umar mengulangnya tiga
kali-.
Kemudian beliau berkata: “Amma ba’du,
kenyangkanlah kaum muslimin yang muhajirin dengan apa-apa yang
mengenyangkanmu di rumahmu” –‘Umar mengulangnya tiga kali-. (Kemudian
disebutkan atsar sebagaimana pada riwayat sebelumnya, dengan sedikit
perbedaan lafazh)
(Atsar dan hadits ini shohih, seluruh perowinya tsiqoh dan termasuk perowi Bukhory-Muslim)
Yang diinginkan dari penyampaian atsar
ini bahwa pada asalnya pakaian arab adalah sarung dan rida’ bukan
sirwal, sebagaimana diperkuat dengan kisah pembangunan Ka’bah oleh
Quraisy di zaman dimana ketika itu Rosululloh belum diutus sebagai
rosul. Jabir Rodhiyallohu ‘Anhu mengisahkan:
“Ketika ka’bah dibangun (setelah rusak di zaman Jahiliyyah), Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pergi bersama (pamannya) ‘Abbas untuk mengangkat batu. Maka ‘Abbas berkata kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Jadikan
sarungmu di atas tengkukmu untuk melindungi dari batu. Beliau
melakukannya, kemudian tersungkur ke tanah, kedua matanya menatap ke
langit. Ketika beliau sadar, beliau berkata: “Sarungku! mana sarungku!
lantas beliau mengencangkan sarungnya”. (HR Bukhory-Muslim, dan ini
lafazh dalam riwayat Muslim)
Dalam riwayat lain di Shohih Muslim:
“Maka pamannya “Al-Abbas, berkata kepada beliau: “Wahai anak saudaraku,
seandainya engkau melepas sarungmu dan meletakkannya di atas kedua
bahumu di bawah batu tersebut”. Maka beliau melepasnya dan meletakkan di
atas kedua bahunya, lalu tersungkur pingsan.
Jabir berkata: “Beliau tidak terlihat telanjang setelah itu”.
Imam An-Nawawi Rahimahulloh mengatakan: “Pada hadits ini terdapat penjelasan sebagian pemuliaan yang diberikan Alloh Subhanahu wa Ta’ala kepada rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam¸ beliau dijaga dan dilindungi pada masa kecilnya dari kejelekan dan akhlak jahiliyyah”. [Syarh Shohih Muslim 4/ 34-35]
Demikian juga kisah Al-Miswar bin Makhromah Rodhiyallohu ‘Anhu
–ketika itu-, beliau berkata: “Aku mendatangi sebuah batu berat dan
mengangkatnya, dan aku mengenakan sarung yang ringan. Maka sarungku
terlepas, sementara aku membawa batu yang aku tidak bisa melepasnya
sampai aku membawanya ke tempatnya. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Kembalilah engkau ke pakaianmu dan ambillah. Janganlah kalian berjalan dalam keadaan telanjang”. (HR Muslim)
Kesimpulannya: bahwa pada asalnya
pakaian arab adalah sarung dan rida’, sebagaimana sendal merupakan alas
kaki mereka. Pakaian-pakaian inilah yang sering dipakai oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, dan para shohabatnya sebagainya yang disebutkan di hadits-hadits dan atsar.
Sibawaih Rahimahulloh mengatakan: “Sarowil kata tunggal yang diarabkan. Asalnya adalah bahasa ‘ajam”. [Al-Ushul
fin Nahwi 2/88 karya Ibnus Siroj An-Nahwy (meninggal tahun 316 H),
Ash-Shihah karya Al-Jauhary (meninggal tahun 393 H)]
Ibnul Manzhur Rahimahulloh mengatakan: “Sarowil, bahasa Persia yang kemudian diarabkan”. [Lisanul ‘Arob, pada huruf siin]
Sirwal adalah pakaian yang dikenal
sebagai pakaian yang syar’i, mulai dari zaman shohabat sampai sekarang.
Selain hadits Abu ‘Umamah di atas, di antara hadits yang menunjukkan
makna tersebut adalah, perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam ketika ditanya tentang pakaian muhrim (orang yang berihrom):
يَلْبَسُ القَمِيصَ، وَلاَ العِمَامَةَ، وَلاَ السَّرَاوِيلَ، وَلاَ البُرْنُسَ …
“Jangan memakai qomis, tidak ‘imamah, tidak sirwal, tidak burnus … al-hadits”. (HR Bukhory-Muslim dari ‘Abdulloh bin ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhuma)
Sisi pendalilan: Bahwa larangan pengkhususan pakaian-pakaian tersebut bagi muhrim menunjukkan pembolehan bagi yang tidak muhrim.
Demikian juga sebagaimana disebutkan dalam hadits Suwaid bin Qois Rodhiyallohu ‘Anhu dimana beliau berkata:
جَلَبْتُ أَنَا وَمَخْرَفَةُ
الْعَبْدِيُّ، بَزًّا مِنْ هَجَرَ فَأَتَيْنَا بِهِ مَكَّةَ فَجَاءَنَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْشِي فَسَاوَمَنَا
بِسَرَاوِيلَ، فَبِعْنَاهُ، وَثَمَّ رَجُلٌ يَزِنُ بِالْأَجْرِ، فَقَالَ
لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: زِنْ وَأَرْجِحْ
“Saya dan Makhrofah Al-‘Abdy datang
membawa pakaian dari daerah Hajar (dekat Madinah), lalu kami mendatangi
Makkah dengan pakaian tersebut. Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berjalan
mendatangi kami. Beliaupun menawar sirwal, maka kami menjualnya. Disitu
ada seseorang lelaki upahan yang biasa menakar harga, maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata
kepadanya: “Tentukanlah harga (sirwal tersebut) dan lebihkan”. (HR Abu
Daud dan lainnya, dishohihkan Syaikh Al-Albany dan dihasankan Syaikh
Muqbil Rahimahumalloh)
HUKUM MEMAKAI SIRWAL TANPA SARUNG
Memang hukum asal perintah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah wajib, akan tetapi hukum itu bisa menjadi mustahab
jika ada dalil lain yang memalingkannya. Penghukuman terhadap suatu
hukum dalam syari’at ini tidak boleh dengan sebagian dalil saja, akan
tetapi harus digabungkan dalil-dalil yang sah dalam sebuah masalah
sehingga bisa ditarik kesimpulannya. Luputnya sebagian dalil maupun
luputnya pemahaman dalil bagi seseorang sangat berpengaruh dalam
menentukan pendapat yang dikuatkannya.
Masalah pemakaian sirwal tanpa sarung
terdapat beberapa yang terkait dengan penentuan hukum, yang bisa
memalingkan hukum perintah penyelisihan terebut menjadi istihbab (sunat), diantaranya:
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan ketika khutbah Hari ‘Arofah:
مَنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الخُفَّيْنِ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ لِلْمُحْرِمِ
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan
sepasang sendal maka pakailah sepasang khuf, barang siapa yang tidak
mendapatkan sarung maka pakailah sirwal, bagi orang-orang yang ihrom”.
(HR Bukhory-Muslim dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhuma)
Sisi pendalilan: Pengkhususan penyebutan
sirwal ketika tidak mendapatkan sarung. Kalaulah alasannya karena
dhoruroh –sebagaimana disebutkan sebagaian orang- masih ada pakaian lain
yang bisa menutupi aurat, yang bukan termasuk jenis pakaian yang
diperintahkan untuk diselisihi, semisal qomis, burnus ataupun qoba’.
Justru jika mereka (jemaah haji pria) memakai salah satu dari pakaian
itu ketika tidak ada sarung, mereka malah terkena fidyah. Adapun jika
mereka memakai sirwal, mereka tidak terkena fidyah sama sekali.
Tidak ada dalil yang
mengharuskan sirwal tersebut disobek hingga menyerupai sarung,
sebagaimana dikatakan sebagian ulama. Inilah pendapat Imam Ahmad, jumhur
Asy-Syafi’iyyah, dan yang dipilih Syaikhuna Muhammad bin ‘Ali bin Hizam
sebagaimana di Fathul ‘Allam 3/15.
Dalam hadits Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu, beliau berkata:
قَامَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنِ الصَّلاَةِ فِي الثَّوْبِ
الوَاحِدِ، فَقَالَ: «أَوَكُلُّكُمْ يَجِدُ ثَوْبَيْنِ» ثُمَّ سَأَلَ
رَجُلٌ عُمَرَ، فَقَالَ: إِذَا وَسَّعَ اللَّهُ فَأَوْسِعُوا، جَمَعَ
رَجُلٌ عَلَيْهِ ثِيَابَهُ، صَلَّى رَجُلٌ فِي إِزَارٍ وَرِدَاءٍ، فِي
إِزَارٍ وَقَمِيصٍ فِي إِزَارٍ وَقَبَاءٍ، فِي سَرَاوِيلَ وَرِدَاءٍ، فِي
سَرَاوِيلَ وَقَمِيصٍ، فِي سَرَاوِيلَ وَقَبَاءٍ، فِي تُبَّانٍ وَقَبَاءٍ،
فِي تُبَّانٍ وَقَمِيصٍ، قَالَ: وَأَحْسِبُهُ قَالَ: فِي تُبَّانٍ
وَرِدَاءٍ
“Seorang lelaki berdiri berdiri kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, menanyai beliau tentang sholat dengan satu pakaian, maka beliau berkata: “Tidak semua kalian yang memiliki dua pakaian”.
Kemudian seorang lelaki bertanya
kepada‘Umar maka ‘Umar berkata: “Apabila Alloh melapangkan kalian maka
lapangkanlah, hendaknya seorang lelaki menggabungkan pakaiannya, dan
sholat dengan sarung dan rida’, sarung dan qomis, sarung dan qoba’ (pakaian yang terdapat belahan di bagian depan dengan adanya ikatan, semisal mantel), sirwal dan rida’, sirwal dan qomis, sirwal dan qoba’, tubban dan qoba’, tubban dan qomis”.
Abu Hurairoh berkata: “Aku menduganya mengatakan: “… dengan tubban dan rida’”. (HR Bukhory-Muslim, kecuali atsar ‘Umar hanya ada di riwayat Bukhory saja)
Sisi pendalilannya disini adalah perkataan ‘Umar: “sirwal dan rida’, sirwal dan qomis, sirwal dan qoba’”. Bahkan pada lafazh: sirwal dan rida’, nyata
menunjukkan bahwa sirwal dipakai tanpa penutup karena yang namanya
rida’ adalah kain yang dipakai untuk menutupi tubuh bagian atas.
Tidak diketahui di kalangan shohabat yang mengingkari perkataan ‘Umar ini, Karena itulah hukum memakai sarung di atas sirwal adalah mustahab. Inilah pendapat Syaikh kami Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Hafizhohulloh.[3]
Bahkan terdapat juga atsar dari perbuatan salaf, diantaranya:
‘Atswam bin Nisthos Rahimahulloh mengatakan: “Aku melihat Sa’id bin Al-Musayyab menghadiri sholat ‘isya dengan sirwal dan rida’”. (Diriwayatkan Ibnu Sa’ad di Ath-Thobaqotul Qubro 5/106, isnadnya hasan sampai ke Hatsyam)
Abu Kholdah Rahimahulloh
mengatakan: “Aku melihat Abul ‘Aliyah memakai sirwal, maka aku berkata
kepadanya: “Mengapa kamu memakai sirwal di rumah”. Dia berkata:
“Sesungguhnya ia adalah pakaian lelaki, sungguh ia menutupi”.
(Diriwayatkan Ibnu Sa’ad di Ath-Thobaqotul Kubro 7/83 dengan sanad yang
shohih).
Adapun yang namanya tasyabbuh, terjadi baik di rumah maupun di luar rumah.
Hammaam bin ‘Abdulloh At-Taimy Rahimahulloh mengatakan: “Aku melihat ‘Abdurrohman bin Laila menjadi korban pemukulan, dia memakai sirwal afwaf
(jenis katun dari Yaman), Hajjajlah yang memukulnya”. (Diriwayatkan
Ibnu Sa’ad di Ath-Thobaqotul Kubro 7/83 dengan sanad yang hasan).
Atsar-atsar salaf tersebut juga
menunjukkan bahwa memakai sirwal tanpa sarung bukanlah kekhususan ahlul
kitab karena itu tak bisa dikatakan tasyabbuh, hanya saja ahlul kitab tidak mau memakai sarung maka disyari’atkan untuk menyelisihi mereka, wallohu a’lam.
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Yang menjadi pembicaraan kita hanyalah pada perkara yang kita dilarang untuk tasyabbuh dengan mereka, yaitu pada perkara yang salaful ummah tidak pernah melakukannya. Adapun jika salaful ummah
melakukannya, maka tidak ada keraguan baik mereka (orang kafir)
melakukannya atau tidak, karena kita tidak meninggalkan apa yang Alloh
perintahkan gara-gara orang kafir melakukannya”. [Majmu’ul Fatawa wa Rosa’il Al-‘Utsaimin 7/189]
Demikian juga pada perkara yang salaful ummah
melakukannya namun yang hukumnya sekedar menunjukkan hukum bolehnya
saja, maka tidak ada alasan kita mengharamkannya gara-gara orang kafir
melakukannya, sebagaimana disimpulkan dari perkataan para ulama dalam
penjelasan yang telah lewat, wallohu a’lam.
Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh mengatakan: Adapun pertanyaan penanya –semoga Alloh memaafkannya- tentang berjalan di jalan dan pasar tanpa memakai sarung:
Apabila yang dimaksud dengan sarung
adalah sarung yang dengannya seseorang menutupi auratnya, dan “orang
yang berjalan” yang ditanyakan adalah dalam keadaan telanjang maka ini
haram, tanpa ragu dan samar …
Apabila yang dimaksudkan dengan
“berjalan di jalan dan pasar tanpa memakai sarung” adalah makna yang
lain selain makna yang nampak ini, misalkan dia ingin meninggalkan sarung yang dahulu merupakan syi’ar shohabat Rodhiyallohu ‘Anhum
dan memakai selainnya seperti sirwal, maka yang seperti ini tidak
diingkari, karena dia telah menutup auratnya dengan sesuatu yang lebih
memadai dalam menutup (aurat) dari pada sarung”. [Al-Fathur Robbany
6/3196]
Beliau juga berkata dalam mensyarah
hadits Abu ‘Umamah: “Pada hadits ini terdapat izin untuk memakai sirwal,
serta bahwasanya penyelisihan terhadap ahlul kitab bisa dihasilkan dengan semata-mata memakai sarung di sebagian waktu bukan dengan meninggalkan sirwal di seluruh keadaan.” [Nailul Author 2/123]
Abu Ja’far Al-Andalasy waffaqohulloh mengatakan: Sepertinya ini makna lain dari pemahaman hadits, dimana makna perintah disini mirip dengan makna perintah “Pakailah khuf dan sandal kalian”, yakni terkadang pakai khuf atau sandal,
bukan memakai keduanya sekaligus. Jadi jika terkadang memakai sirwal
dan terkadang memakai sarung, telah menghasilkan bentuk penyelisihan, wallohu a’lam.
Bukan sesuatu yang aneh kalau seseorang memakai sandal dan khuf
(atau yang seposisi dengannya seperti kaus kaki) sekaligus sebagaimana
dipakai banyak ikhwah disini (Dammaj) terlebih pada musim dingin. Tapi
dari atsar-atsar yang datang dipahami bahwa dahulu salaf hanya memakai
salah satunya bukan sekaligus.
Syaikh Al-Albany Rahimahulloh ditanya: Apakah memakai sirwal termasuk tasyabbuh dengan orang-orang kafir, jika tanpa disertai qomis dan imamah?
Beliau menjawab: “Saya tidak tahu apakah
yang dimaksud penanya adalah sirwal yang longgar ataukah yang
dimaksudnya adalah pantholun, sehingga terjadi pertukaran nama sirwal
dengan nama pantholun.
Apabila yang dimaksud penanya
adalah sirwal yang kami pahami, yaitu pakaian yang longgar dan lebar
yang masih digunakan sebagian muslimin, maka memakai yang semisal ini
bukanlah termasuk tasyabbuh dengan orang kafir.
Adapun pantholun, maka kami telah berbicara berulang-ulang kali bahwa itu bukanlah pakaian muslimin …”. [Durus Syaikh Al-Albany 32] [4]
PERKATAAN ABU HURAIROH: “AKU MENDUGANYA MENGATAKAN: “… DENGAN TUBBAN DAN RIDA’”.
Tubban adalah pakaian yang ukurannya sekitar sejengkal menutupi aurat mughollazhoh (pantat dan kemaluan), seringnya dipakai oleh nelayan. [Lihat: An-Nihayah-Ibnul Atsir, Lisanul Arab]
Rasanya bagi sebagian kita pakaian ini
tidaklah asing, dahulu banyak dipakai orang-orang tua sebagai pakaian
dalam, juga yang dipakai para pelari, na’udzubillah.
Al-’Iroqy Rahimahulloh mengatakan: “Tubban tidak menutup aurat (sholat) seluruhnya, maka tidak mungkin membatasi pemakaiannya dengan rida’ yang hanya menutup bagian atas badan. Tubban hanya bisa dipakai bersama qomis ataupun qoba’ …
Karena itu perowi ragu dalam masalah menggabungkan tubban dan rida’, dan berkata: “Aku menduganya mengatakan: “… dengan tubban dan rida’”. [Thorhut Tatsrib fi Syarhit Taqriib 2/242]
Ibnu Hajar Rahimahulloh mengatakan: “Hanya saja Abu Huroiroh tidak memastikan, karena ada kemungkinan ‘Umar kurang perhatian, karena tubban tidak menutup aurat (sholat) seluruhnya. [Fathul Bary 1/475]
Dari hal ini juga bisa disimpulkan bahwa tidak ada keraguan dari Abu Hurairoh tentang pemakaian sirwal tanpa sarung.
CATATAN PENTING!!
Dari kesimpulan di atas dapat kita ketahui bahwa memakai sarung di atas sirwal hukumnya adalah mustahab
tidak sampai wajib karena ada unsur penyelisihan terhadap ahlul kitab
yang sama sekali tidak memakai sarung, adapun jika memakai sirwal saja
maka hukumnya boleh. Namun ada beberapa perkara yang perlu diingatkan:
1. Orang-orang yang mengejek kaum
muslimin memakai sirwal dan sarung sekaligus, agar bertaubat kepada
Alloh karena mengenakan sarung adalah sunnah yang diperintahkan oleh
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan bagian dariku”. (HR Bukhory-Muslim dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu)
Justeru selayaknya orang-orang tersebut
dipuji karena mereka membangkitkan syi’ar para shohabat, sekaligus
syi’ar agama ini yang banyak ditinggalkan kaum muslimin.
من سن في الإسلام سنة حسنة، فله أجرها، وأجر من عمل بها بعده، من غير أن ينقص من أجورهم شيء
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan
kebajikan di dalam Islam maka dia mendapatkan pahala kabajikan tersebut
serta pahala orang-orang yang mengikuti amalan tersbut setelahnya tanpa
mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun”. (HR Muslim dari Jabir bin
‘Abdillah Rodhiyallohu ‘Anhu)
Di sisi lain jangan juga melecehkan
saudaranya yang hanya memakai sirwal –jika sirwalnya tidak ada
pelanggaran syar’i sebagaimana datang peringatan setelah ini-, akan
tetapi dianjurkan sebagaimana anda menganjurkan saudara anda untuk
sholat dengan alas kaki.
2. Perlu dicermati apakah sirwal yang
ada dalam bayangan kita sebagaimana sirwal yang ada di zaman salaf?
Karena hukum itu mengikuti hakikat sebuah perkara bukan sekedar
mengikuti penamaan.
Bukankan sekarang yang dinamakan qomis
oleh sebagian kita adalah potongan model India sampai ke lutut dengan
belahan di kedua sisinya? Kalau orang sholat dengan qomis –menurut
istilah ini- dengan kombinasi tubban –sebagaimana di atsar ‘Umar di atas- tentulah sholatnya tidak sah.
Syaikh kami Muhammad Hizam Hafizhohulloh mengatakan:
“Yang jelas bahwa sirwal yang dimaksud adalah sirwal yang besar
sebagaimana dipakai orang-orang Maroko”. Syaikh Al-Albany Rahimahulloh
menyebutkan: “Seperti yang dipakai oleh sebagian orang Suria atau
Libanon”. Intinya bahwa sirwal tersebut besar dan longgar sehingga tidak
menampakkan lekuk aurat.
Karena dari pensifatan sirwal yang
disebutkan ulama, mereka menjelaskan bahwa sirwal lebih memadai dalam
menutup aurat dari pada sarung, hal itu karena sirwal memiliki kelebihan
untuk menutup dari arah bawah.
Adapun jika sirwal yang dipakai
menampakkan bentuk pantat maka hal ini jauh dari kemungkinan sirwal yang
dipakai sebagai pakaian luar oleh para salaf dan ini tidak bisa lagi
dikatakan “lebih memadai”, karena kewajiban menjaga aurat mughollazhoh
bagi laki-laki sama hukumnya dengan perempuan. Tidak bisa dikatakan:
“Perempuan tidak boleh menampakkan bentuk itunya, sementara lelaki
boleh”. Adapun sekedar tonjolan tapi tidak membentuk di saat jongkok,
ruku’ ataupun sujud sebagaimana kesan yang sama juga muncul ketika memakai sarung, maka ini adalah perkara yang susah dihindari.
Syaikh Al-Albany Rahimahulloh
mengatakan: “Kaum muslimin dahulu memakai sirwal yang lapang dan
longgar, yang masih dipakai sebagian orang di Suria dan Libanon …
Pantat lelaki dan pantat perempuan dari
sisi aurat hukum keduanya sama. Maka wajib bagi para pemuda untuk
mencermati musibah ini yang melanda keumuman orang kecuali yang Alloh
kehendaki, dan amat sedikit mereka”. [Kaset pertanyaan Abu Ishaq Al-Huwainy, Muharram 1407, sebagaimana dinukilkan di Al-Qoulul Mubin 20-21]
Karena itu, jika anda melihat sirwal
yang anda pakai masih membentuk, maka artinya sirwal anda kekecilan atau
jenis kainnya terlau tipis, pakailah yang lebih besar, longgar dan
lebih tebal atau tutupi dengan sarung, bisa juga dengan kombinasi sirwal
dan qomis. Nas’alullohas sadaad wat taufiq
سبحانك اللهم وبحمدك، لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
[1] Diriwayatkan ‘Abdurrozzaq dan Ibnu Abi Syaibah, dishohihkan Syaikh kami Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Hafizhohullohu Ta’ala.
[2] Menimbulkan bekas yang keji di jasadnya dengan menyengaja. Lihat Al-Hidayah Al-Kafiyah –Syarhu Hudud Ibni ‘Arofah hal 518
[3]
Sebagaimana beliau sampaikan di pelajaran fathul ‘Allam di akhir
Kitabul Libaas, setelah sebelumnya sempat terjadi dialog pribadi dengan
beliau, semoga Alloh menjaganya dan memberi berkah pada ilmunya.
[4] Bisa di download di: http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=audioinfo&audioid=4991
Sumber: ahlussunnah.web.id
Sumber: ahlussunnah.web.id
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Wajibkah memakai Sarowil (Celana Lebar) dengan Sarung ?
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/wajibkah-memakai-sarowil-celana-lebar.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5