Kesungguhan Dalam Memahami Makna Ayat didalam Al-Qur’an
0
comments
KESUNGGUHAN DALAM MEMAHAMI
MAKNA AYAT-AYAT AL-QUR’AN
ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy Waffaqohulloh
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه
ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده
ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد
Kita mulai pembahasan ini dengan nukilan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullohu Ta’ala: “Wajib diketahui bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
menjelaskan makna-makna Al-Qur’an kepada para shohabatnya sebagaimana
beliau menjelaskan lafazh (bacaan)nya. Maka Firman Alloh Ta’ala:
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
“Agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka” (QS An-Nahl 44)
Mencakup ini dan itu.
Abu ‘Abdirrohman As-Sulamy Rahimahulloh berkata:
Orang-orang yang membacakan Al-Qur’an kepada kami seperti ‘Utsman bin
‘Affan, ‘Abdulloh bin Mas’ud dan selain keduanya, mereka mengatakan:
“Dahulu jika mereka mempelajari sepuluh ayat dari Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa sallam,
mereka tidak melewatinya sampai mereka mempelajari apa-apa yang ada
pada ayat-ayat tersebut berupa ilmu dan amal”. Mereka berkata: “Kami
mempelajari Al-Qur’an, ilmu dan amal secara keseluruhan”. Karena itulah
mereka menghabiskan beberapa masa dalam menghapal surat Al-Qur’an”.[1]
Anas berkata: “Dahulu seorang lelaki jika membaca Al-Baqoroh dan Ali ‘Imron menjadi mulia di mata kami”[2]. Ibnu ‘Umar menghapal Al-Baqoroh bertahun-tahun, ada yang mengatakan delapan tahun, sebagaimana disebutkan Malik.
Hal itu karena Alloh Ta’ala berfirman:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ
“Kitab penuh berkah yang Kami turunkan kepadamu agar mereka mentadabburi (menghayati) ayat-ayatnya” (QS Shod 29)
Alloh berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ
“Maka tidakkah mereka mau mentadabburi Al-Qur’an” (QS An-Nisa’ 82, Muhammad 24)
Alloh berfirman:
أَفَلَمْ يَدَّبَّرُوا الْقَوْلَ
“Maka tidakkah mereka mentadabburi Al-Qur’an” (QS Al-Mukminun 68)
Mentadabburi sebuah perkataan tanpa memahami maknanya adalah sesuatu yang tidak mungkin.
Demikian juga Alloh Ta’ala mengatakan:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an yang berbahasa arab agar kalian mengerti” (QS Yusuf 2)
Maka pengertian seseorang suatu perkataan tercakup di dalamnya pemahaman makna-maknanya.
Sudah dimaklumi bahwasanya yang
diinginkan dari setiap perkataan adalah pemahaman makna-maknanya, bukan
sebatas (mendengar atau membaca –pen) lafazh-lafazhnya, maka (ayat-ayat)
Al-Qur’an lebih utama untuk itu. Kemudian disamping itu -secara
kebiasaan- tidak mungkin sekelompok orang membaca sebuah buku dalam
suatu bidang ilmu seperti kedokteran dan matematika tanpa meminta
penjelasannya. Maka bagaimana halnya dengan perkataan Alloh yang
merupakan penjaga bagi mereka, dengannya tercapai keselamatan dan
kebahagiaan mereka, serta tegaknya agama dan dunia mereka ?
Karena (tingkat pemahaman terhadap makna
ayat-ayat Al-Qur’an -pen) itulah silang pendapat antar shohabat dalam
masalah tafsir Al-Qur’an sangat sedikit sekali. Walaupun pada zaman
tabi’in silang pendapat lebih banyak namun hal tersebut sedikit jika
dibandingkan dengan zaman setelah mereka. Semakin mulia suatu zaman maka
persatuan kesatuan, ilmu dan penjelasan tentangnya akan lebih banyak.
Diantara tabi’in ada yang mengambil seluruh tafsir dari shohabat,
sebagaimana dikatakan Mujahid: “Saya membaca mushaf dengan Ibnu ‘Abbas.
Pada setiap ayatnya saya berhenti dan bertanya tentangnya”[3]. Karena itulah Ats-Tsaury mengatakan: “Apabila datang tafsir dari Mujahid kepadamu maka itu cukup bagimu”[4].
Karena itu Asy-Syafi’i, Al-Bukhory dan selain keduanya dari kalangan
ulama bersandar kepada tafsir Mujahid. Demikian juga Imam Ahmad -dan
lainnya dari kalangan orang-orang yang menulis tentang tafsir-
mengulang-ulang penyebutan riwayat dari Mujahid lebih banyak dari yang
lain. Maksud saya disini bahwasanya para tabi’in mengambil tafsir dari
shahabat sebagaimana mereka mangambil as-sunnah. Mereka berbicara pada
sebagiannya dari segi pengambilan hukum dan pendalilan sebagaimana
mereka berbicara pada sebagian sunnah pada sisi pengambilan hukum dan
pendalilan”. [Muqoddimah fi Ushulit Tafsir]
PENJELASAN AL-QUR’AN YANG DISAMPAIKAN OLEH NABI MUHAMMAD Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
Sebagaimana disebutkan Syaikhul Islam, bahwa penjelasan yang disampaikan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mencakup dua aspek: bacaan Al-Qur’an dan makna ayat-ayatnya. Adapun tentang yang pertama, Alloh berfirman:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
“Bacalah Al-Qur’an dengan perlahan-lahan” (QS Al-Muzammil 4)
Sementara perkara kedua, mengenai
penjelasan makna yang menunjukkan fikih dan hukum-hukum serta pelajaran
yang ada di dalamnya, telah Alloh sebutkan di banyak tempat diantaranya
yang telah dibawakan oleh Syaikhul Islam.
Masalah bacaan, Alhamdulillah
mendapat perhatian di kalangan kaum muslimin. Banyak dikalangan mereka
yang memiliki kemampuan dalam masalah tajwid sehingga bisa membaca tanpa
mengubah lafazh yang bisa memicu perubahan makna. Sehingga bagi yang
belum bisa membaca atau tidak bisa membaca dengan baik, mereka bisa
mendapatkan pengajar untuk itu. Demikian juga mereka bisa menyimak
rekaman bacaan-bacaan para qori’. Hal ini dikarenakan pembacaan
Al-Qur’an pada dasarnya mudah cuma perlu pembiasaan lidah untuk beberapa
huruf.
Dari Jabir bin ‘Abdillah Rodhiyallohu ‘Anhuma beliau mengatakan: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam keluar kepada kami, sementara kami sedang membaca Al-Qur’an dan di kalangan kami terdapat orang-orang ‘Ajam (non arab) dan orang-orang arab. Maka beliau menyimak lalu bersabda:
اقرؤوا فكل حسن، وسيأتي قوم يقيمونه كما يقام القدح يتعجلونه ولا يتأجلونه
“Bacalah oleh kalian, semuanya
bagus. Akan datang suatu kaum yang akan menegakkannya sebagaimana
ditegakkannya anak panah, mereka terburu-buru dengannya, tidak
mengakhirkannya” (HR Ahmad dan Abu Daud, dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh) dalam riwayat dari Sahl bin Sa’ad Rodhiyallohu ‘Anhu: “Mereka terburu-buru mengambil balasannya, tidak mengakhirkannya”.
Syaikh Hamud At-Tuwaijiry Rahimahulloh menyebutkan beberapa faidah dari hadits tersebut diantaranya:
- Bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mencintai bacaan yang mudah
- Bahwasanya dahulu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan masing-masing shohabatnya untuk membaca mana yang gampang baginya serta dengan cara yang mudah bagi lisannya …
- Pujian beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam atas tidak adanya sikap memaksa-maksakan diri dalam membaca Al-Qur’an dan orang-orang yang berdalam-dalam tentang Ikhrojul Huruf (pengeluaran huruf dari tempatnya)”.
[Ittihaful Jama’ah bima Ja’a fil Fitan wal Malahim wa Asyrotis Sa’ah 2/123]
Namun dari sisi pemahaman, maka banyak
kaum muslimin yang lalai, padahal Al-Qur’an adalah sumber utama syari’at
ini –disamping As-Sunnah yang sekaligus sebagai penjelasannya-. Bahkan
sebagian orang yang bersemangat menuntut ilmu justru sibuk mencari-cari
penjelasan atau fatwa-fatwa yang instan, atau pembahasan-pembahasan
kontemporer namun terlalaikan dari mempelajari makna-makna Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang beriman, sementara dengan
pemahamanlah petunjuk itu bisa digapai bagi orang yang membaca dan
mendengarnya. Dengannyalah kekhusyukan bisa tercapai. Maka bukankah
menakjubkan, kalau seseorang membaca Al-Qur’an terisak-isak tapi dia
tidak tahu maknanya?
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan:
“Al-Qur’an yang mulia diturunkan untuk tiga perkara: “Beribadah dengan
membacanya, memahami maknanya dan mengamalkannya. Karena hal-hal inilah
dahulu para shohabat Rodhiyallohu ‘Anhum tidak melewati sepuluh
ayat sampai mereka mempelajarinya, apa-apa yang ada dalam kandungan
Al-Qur’an berupa ilmu dan amal. Mereka mengatakan: “Kami belajar
Al-Qur’an, ilmu dan amal sekaligus”. Pelafazhan (pembacaan) Al-Qur’an,
hampir-hampir tidak ada masalah atau terasa berat bagi seorang pun.
Karena Al-Qur’an bisa dibaca orang awam, ulama ataupun penuntut ilmu.
Adapun pemahamannya, maka hal itulah yang butuh pembelajaran, pemikiran
dan pentadabburan. Sementara pengamalannya, maka hal tersebut
yang paling berat dan besar bagi jiwa karena jiwa membutuhkan usaha
keras untuk mengharuskannya menempuh tuntutan keadaan, berupa pembenaran
berita yang sampai (dari Al-Qur’an dan Sunnah), menjalankan perintah
dan menjauhi larangan. Renungkanlah firman-Nya Ta’ala’:
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُوا الْأَلْبَابِ
“Kitab penuh berkah yang Kami
turunkan kepadamu agar mereka bisa mentadabburinya dan orang-orang yang
berakal sehal bisa mengambil pelajaran”. (QS Shod 29)
Sehingga jelas bagimu bahwasanya merupakan keharusan untuk memahami Al-Qur’an dan mengamalkannya”. [Syarh Muqoddimah Ushulit Tafsir 7]
KELALAIAN KITA DARI PERKARA YANG SANGAT PENTING
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Dimaklumi bahwasanya kecintaan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
dalam pemberitahuan makna-makna Al-Qur’an kepada mereka (shohabat –pen)
lebih besar ketimbang kecintaannya dalam pemberitahuan huruf-huruf
(yakni: bacaan -pen) Al-Qur’an. Karena pengetahuan tentang huruf-huruf
tanpa adanya pengetahuan tentang makna-makna tidaklah menghasilkan apa
yang dimaksudkan. Karena yang dimaksudkan dari lafazh adalah makna”. [Majmu’ul Fatawa 5/158]
Posisi seeorang yang mendengarkan atau
membaca Al-Qur’an tidaklah sama, faktor pemahaman dan penerimaan adalah
dua perkara penting yang menyebabkan berselisihnya kedudukan mereka.
Disebutkan dalam Al-Qur’an ada empat golongan manusia dalam membaca dan
mendengarkan Al-Qur’an:
- Orang-orang yang pada asalnya memang berpaling dan menghalangi dirinya ataupun orang lain dari membaca dan mendengarkan Al-Qur’an.
- Orang-orang yang membaca dan mendengarkan Al-Qur’an tapi tidak memahami maknanya.
- Orang-orang yang mendengar, paham, tapi tidak mau menerimanya
- Orang-orang yang mendengar, paham dan menerimanya
Adapun yang pertama, diantaranya firman Alloh Ta’ala:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُون
“Orang-orang kafir mengatakan:
“Janganlah kalian mendengarkan Al-Qur’an ini, buatlah
kejelekan-kejelekan terhadapnya akan kalian bisa mengalahkan mereka”. (QS Fushshilat 26)
Sementara golongan yang kedua, Alloh berfirman:
وَمَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا كَمَثَلِ
الَّذِي يَنْعِقُ بِمَا لَا يَسْمَعُ إِلَّا دُعَاءً وَنِدَاءً صُمٌّ
بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَعْقِلُون
“Permisalan orang-orang yang kafir
seperti binatang ternak, dimana pengembala hanyalah meneriaki sesuatu
yang tidak bisa memahami apa-apa selain sekedar mendengar panggilan dan
teriakan. Mereka tuli, bisu dan buta dari al-haq, mereka tidak
mengerti”. (QS Al-Baqoroh 171)
Tentang golongan ketiga, Alloh berfirman:
أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ
وَقَدْ كَانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ
يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ ^ وَإِذَا
لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَا بَعْضُهُمْ إِلَى
بَعْضٍ قَالُوا أَتُحَدِّثُونَهُمْ بِمَا فَتَحَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ
لِيُحَاجُّوكُمْ بِهِ عِنْدَ رَبِّكُمْ أَفَلَا تَعْقِلُون
“Apakah kalian mengharapkan mereka
percaya kepada kalian? Sementara sekelompok dari mereka telah
mendengarkan firman Alloh, kemudian mereka mengubahnya setelah mereka
memahaminya, dalam keadaan mereka mengetahuinya”. (QS Al-Baqoroh 75-76)
Untuk golongan yang keempat, Alloh berfirman:
وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَى أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ الْحَقِّ
“Apabila mereka mendengar apa yang
diturunkan kepada Rosululloh, maka engkau melihat mata mereka bercucuran
air mata disebabkan kebenaran yang telah mereka ketahui” (QS Al-Ma’idah 83)
[Majmu’ul Fatawa 16/8-13, dengan sedikit perubahan redaksi]
DIANTARA SEBAB TERHALANGNYA SESEORANG DARI PETUNJUK AL-QUR’AN
Banyak orang yang baik dan berkeinginan
untuk mendapatkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkan petunjuk yang
emestinya. Banyak faktor yang menyebabkan tersebut, namun kita singgung
beberapa aspek saja yang mungkin banyak melanda kaum muslimin:
Sebab Pertama: Lemahnya kemampuan berbahasa arab
Imam Az-Zarkasy Rahimahulloh dalam Al-Burhan
mengatakan: “Barangsiapa yang mengaku dia mengetahui rahasia Al-Qur’an,
tidak menghukumi tafsir dengan zhohirnya (yakni tidak memperhitungkan
sisi bahasa arab –pen) maka dia seperti seseorang yang mengaku-aku
mengetahui isi rumah namun belum mencapai pintunya -sampai perkataan
beliau-
Karena Al-Qur’an turun dengan bahasa
arab. Maka perkara-perkara yang mesti kembali ke bahasa mereka mau tidak
mau harus diketahui, atau mengetahui mayoritasnya. Karena yang menjadi
tujuan adalah sebagaimana yang kami sebutkan yaitu perhatian pada metode
pemahaman, untuk membuka pintunya -sampai perkataan beliau-
Barangsiapa yang tidak punya pengetahuan, pemahaman, ketaqwaan, tadabbur, maka dia tidak akan mendapatkan kelezatan Al-Qur’an sedikitpun”. Selesai
Sebagaimana dimaklumi bahwasanya Alloh
menurunkan Al-Qur’an dengan berbahasa arab, maka semakin dalam
penguasaan seseorang terhadap bahasa ini akan berdampak semakin jelasnya
petunjuk yang terbentang baginya, demikian sebaliknya.
Betapa banyak orang yang melihat jalan kebaikan ketika mendengarkan Al-Qur’an, Alloh berfirman:
قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ
نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا ^
يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا
أَحَدًا
“Katakanlah wahai Muhammad: “Telah
diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan baca
Al-Qur’an, kemudian mereka berkata: “Kami telah mendengarkan bacaan yang
menakjubkan, yang memberi petunjuk ke jalan yang benar, maka kami
beriman kepadanya, dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan Robb
kami dengan sesuatu apapun”. (QS Al-Jinn 1-2)
Sebagaimana kisah Islamnya Jubair bin Muth’im Rodhiyallohu ‘Anhu, beliau berkata: “Saya mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada sholat magrib membaca surat At-Thur. Maka ketika sampai pada ayat:
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ
هُمُ الْخَالِقُونَ ^ أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لَا
يُوقِنُونَ ^ أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَبِّكَ أَمْ هُمُ
الْمُصَيْطِرُونَ
“Apakah mereka tercipta tanpa
asal-usul ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri?. Apakah
mereka yang menciptakan langit dan bumi?. Sebenarnya mereka tidak
meyakini apa tyang mereka katakan. Apakah di sisi mereka ada
perbendaharaan Robb-mu ataukah mereka yang berkuasa?”. (QS At-Thur 35-37)
Jubair berkata: “Hampir-hampir jantungku terbang”. Kisah ini di Shohih Al-Bukhory
Sebab Kedua: Tidak mengetahui metode penafsiran yang benar
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh dalam Majmu’ul Fatawa
(13/ 58-59) mengatakan: “Sesungguhnya pengetahuan tentang apa yang
dibawa oleh rosul dan apa-apa yang dimaksudkan denga lafazh-lafazh
Al-Qur’an serta hadits, merupakan pokok ilmu, keimanan, kebahagiaan dan
keselamatan. Kemudian baru pengetahuan tentang perkataan-perkataan orang
dalam masalah ini (tafsir ayat dan hadits –pen) untuk meneliti manakah
makna-makna yang cocok dengan rosul dan manakah makna-makna yang
menyelisihi.
Lafazh-lafazh ada dua jenis.
Lafazh-lafazh yang ditemukan dalam perkataan Alloh dan rosul-Nya, serta
lafazh-lafazh yang tidak ditemukan dalam perkataan Alloh dan rosul-Nya.
Maka kenali makna yang pertama dan jadikan hal itu sebagai pokok.
Kemudian kenali yang kedua, yang dimaksudkan orang-orang untuk
dikembalikan kepada yang pertama (untuk dilihat mana yang sesuai –pen). Inilah metode orang-orang yang mengikuti petunjuk dan sunnah.
Sementara para pengikut kesesatan dan
bid’ah, malah menempuh cara sebaliknya. Mereka menjadikan lafazh-lafazh
yang mereka buat sebagai pokok, kemudian menjadikan apa-apa yang
dikatakan Alloh dan rasul-Nya sebagai pengekor. Lalu mereka memalingkan
dan mengubah makna Al-Qur’an dan hadits ke makna yang mereka inginkan.
Mereka mengatakan: “Kami menafsirkan Al-Qur’an dengan akal dan sisi
bahasa”. Maksud mereka bahwa mereka meyakini makna dengan akal dan
pendapat mereka, kemudian memalingkan makna Al-Qur’an semampu mungkin
dengan pemalingan dan penafsiran-penafsiran yang mengandung pengubahan
perkataan dari tempatnya. Karena itulah Imam Ahmad mengatakan: “Paling
banyak kesalahan manusia adalah dari sisi pemalingan makna dan qiyas
(perbandingan)” Selesai
Sebab Ketiga: Kelemahan
dalam ilmu hadits (periwayatan) sehingga tidak bisa membedakan mana
riwayat yang sah dan mana yang tidak.
Banyak tafsir yang disandarkan kepada
Rosululloh, shohabat maupun kalangan salaf, namun tak jarang dari
riwayat-riwayat tersebut yang tidak sah, yang kemudian justru dijadikan
patokan dalam penafsiran. Kesalahan-kesalahan ini tidak hanya muncul di
kalangan awam, namun juga terdapat di kalangan orang-orang yang bergelut
dalam bidang tafsir.
Syaikhul Islam Rahimahulloh –dalam
konteks bantahannya terhadap gembong Rofidhoh-: “Adapun yang
dinukilkannya dari tafsir Ats-Tsa’laby, maka sungguh para ulama hadits
telah sepakat bahwa Ats-Tsa’laby meriwayatkan sebagian dari
hadits-hadits palsu, seperti hadits yang dia riwayatkan di setiap awal
surat dari Abu Umamah tentang keutamaan surat tersebut, juga
hadits-hadits yang semisal dengannya. Karena itulah para ulama hadits
mengatakan: “Dia adalah haatibul lail (pencari kayu bakar di
malam hari. Ungkapan bagi orang yang asal ambil riwayat. Karena pencari
kayu bakar di malam hari tidak bisa membedakan antara kayu dan ular
-pen)”.
Demikian juga dengan Al-Wahidy
–muridnya-, dan yang semisal dengan keduanya dari kalangan juru tafsir
yang menukilkan riwayat-riwayat yang shohih dan dho’if. Oleh karena itu,
ketika Al-Baghowy berilmu tentang ilmu hadits dan lebih mengetahui
bidang tersebut ketimbang Ats-Tsa’labi dan Al-Wahidy, maka pada
tafsirnya –yang merupakan ringkasan tafsir Ats-Tsa’laby- dia tidak
menyebutkan satupun dari hadits-hadits palsu yang diriwayatkan oleh
Ats-Tsa’laby dan dia juga tidak menyebutkan tafsir-tafsir ahlul bid’ah
yang disebutkan oleh Ats-Tsa’laby. Ats-Tsa’labi memiliki kebaikan dan
kadar keagaman namun tidak tidak memiliki keahlian dalam hadits, dan
pada banyak pendapat-pendapat dia juga tidak membedakan antara sunnah
dengan bid’ah. Adapun para ulama besar, para ahli tafsir seperti tafsir
Muhammad bin Jarir Ath-Thobary, Baqiy bin Makhlad, Ibnu Abi Hatim, Ibnul
Mundzir, ‘Abdurrahman bin Duhaim dan yang semisal mereka, maka pada
tafsir-tafsirnya mereka tidak menyebutkan semisal hadits-hadits palsu
ini, tak usah sebut orang-orang yang-orang yang lebih berilmu dari
mereka seperti tafsir Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rohawaih“. [Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah fi Naqdhi Kalami Asy-Syi’ah Al-Qodariyah 7/13]
Sebab Keempat: Berpatokan pada berita-berita dari Ahlul Kitab (Isro’iliyyat)
Jika periwayatan tidak dengan sanad yang
sah dari para salaf maka ini di luar pembahasan, namun jika dinukilkan
memang sah sanadnya dari mereka maka kita perlu memberi perincian. Jika
berita itu ada pendukung dari syariat kita maka kita benarkan, apabila
syari’at kita mendustakannya maka kita dustakan. Adapun jika berita yang
diriwayatkan tidak masuk ke kelompok pertama ataupun kedua maka perkara
ini adalah sesuatu yang boleh disampaikan namun hukumnya: Tidak dibenarkan dan tidak didustakan. Pada jenis inilah sabda Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam:
إِذَا حَدَّثَكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ
فَلَا تُصَدِّقُوهُمْ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ، وَقُولُوا: آمَنَّا بِاللهِ
وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، فَإِنْ كَانَ حَقًّا لَمْ تُكَذِّبُوهُمْ، وَإِنْ
كَانَ بَاطِلًا لَمْ تُصَدِّقُوهُم
“Apabila kalian meriwayatkan dari
ahlul kitab maka jangan kalian benar dan jangan pula kalian dustakan,
katakanlah: “Kami beriman kepada Alloh, kitab-kitab-nya dan para
rosul-Nya”. Apabila (yang disampaikan) benar maka kalian tidak
mendustakannya dan apabila (yang disampaikan) batil maka kalian tidak
membenarkannya” (HR Ahmad dishohihkan Syaikh Al-Albany dengan penguat-penguatnya)
Ibnu Katsir Rahimahulloh mengatakan –tentang kisah Nabiyulloh Ibrohim ‘Alaihis Salam-:
“Yang banyak dikisahkan oleh para ahli tafsir dan selain mereka,
umumnya hadits-hadits bani Isro’il. maka yang mencocoki al-haq yang ada
pada kita yang sampai dari Rosululloh kita terima karena mencocoki
sesuatu yang benar, dan sesuatu apapun yang menyelisihinya (dalil
syari’at pent) kita tolak. Sementaraya tidak ada sisi kecocokan dan
tidak ada juga sisi penyelisihan, maka kita tidak membenarkan dan tidak
mendustakannya namun kita tawaqquf (diam tidak memberi penilaian).
Apa-apa yang masuk ke dalam jenis ini, maka banyak dari kalangan salaf
memberi keringanan untuk meriwayatkannya dan kebanyakan riwayat-riwayat
tersebut termasuk apa-apa yang tidak ada faidahnya, tidak juga
menghasilkan apa-apa yang bermanfaat dalam agama. Seandainya terdapat
faidah yang kembali kepada para mukallaf (yang terkena beban syari’iat
–baligh berakal) pada agama mereka, tentulah syari’at yang sempurna dan
mencakup segala sisi ini (yaitu Islam) telah memberikan penjelasan.
Sikap yang kami tempuh dalam tafsir ini (Tafsir Ibn Katsir) adalah
berpaling dari kebanyakan hadits-hadits isro’iliyyat karena
membuang-buang waktu dan kebanyakannya mengandung kedustaan yang mereka
lariskan. Karena mereka Ahlul kitab) tidak membedakan apa-apa yang ada
pada mereka, antara riwayat yang sehat dengan yang cacat, sebagaimana
dijelaskan para Imam Huffazh (penghapal dan peneliti hadits) yang kokoh
keilmuannya dari umat ini[5]”. [Tafsir surat Al-Anbiya’ 51-56]
Juga dimaklumi, bahwa kebanyakan kitab-kitab suci yang ada di tangan mereka telah mengalami perubahan-perubahan. Ibnu Katsir Rahimahulloh mengatakan:
“Kemudian perlu diketahui bahwa mayoritas yang mereka sampaikan adalah
dusta dan mengada-ada karena berita-berita mereka telah dimasuki
rekayasa-rekayasa, penggantian-penggantian, perubahan-perubahan dan
pemalingan-pemalingan makna. Betapa sedikit kebenaran padanya, kemudian
berapa sedikit faidah pada kebanyakannya apabila beritanya benar”. [Tafsir surat Al-‘Ankabut 46]
Sebab Kelima: Berkembangnya tafsir-tafsir dan pemikiran-pemikiran yang menyimpang di kalangan kaum muslimin
Setiap kelompok yang menyandarkan
dirinya kepada Islam meyakini bahwa pendalilan dengan Al-Qur’an bakal
memperkokoh keberadaan pemikiran mereka. Karena itulah banyak dari
mereka mengeluarkan tafsir-tafsir yang sesuai dengan pemikiran mereka
walaupun mesti dengan melakukan penyimpanan makna. Penyusupan pemahaman
lewat jalur tafsir ini dianggap lebih mudah karena gampang percayanya
kebanyakan manusia sebagaimana apa yang mereka perbuat pada
riwayat-riwayat hadits dengan mendatangkan hadits-hadits palsu atau
menyimpangkan makna hadist-hadits yang sah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh mengatakan:
“Sesungguhnya kaum salaf sandaran mereka adalah dengan Al-Qur’an dan
keimanan. Maka ketika muncul perpecahan dan perselisihan, jadilah para
pemecah dan penyelisih tersebut berkelompok-kelompok.
Sandaran yang dipakai dalam batin mereka
bukanlah Al-Qur’an dan keimanan akan tetapi dibangun di atas
prinsip-prinsip yang dibuat oleh para sesepuh mereka. Mereka bersandar
di atas prinsip prinsip tersebut dalam perkara tauhid, sifat Alloh,
qadar, keimanan dengan rasul dan selainnya. Kemudian apa-apa yang mereka
kira dari Al-Qur’an yang mencocoki prinsip-prinsip tersebut mereka
pakai sebagai hujjah. Adapun apa-apa dari Al-Qur’an yang menyelisihi
prinsip-prinsip mereka, mereka palingkan maknanya. Karena itu anda
dapatkan jika mereka berhujjah dengan Al-Qur’an dan hadits, mereka tidak
fokus dalam mengeluarkan pendalilan-pendalilan dari keduanya, dan
mereka juga tidak menyelidiki secara mendalam makna yang ada di dalam
Al-Qur’an. Hal tersebut dikarenakan yang menjadi sandaran bagi mereka
dalam suatu masalah bukanlah hal itu (Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Sementara ayat-ayat yang menyelisihi mereka, maka mereka akan bersegera
memalingkan maknanya sebisa mungkin seperti cepatnya orang yang ingin
membantah ayat-ayat tersebut. Bukanlah yang menjadi maksud baginya untuk
memahami maksud rosul, akan tetapi tujuannya untuk menolak lawan
bicaranya dari berhujjah dengan ayat-ayat tersebut”. [Majmu’ul Fatawa 13/ 58-59]
Sebab Keenam:
Perhatian tentang ilmu Al-Qur’an difokuskan pada perkara hapalan,
bacaan dan riwayat-riwayat Qiro’at, namun lengah dari sisi pemahaman.
Imam Az-Zarkasy Rahimahulloh dalam Al-Burhan mengatakan: “Makruh membaca Al-Qur’an tanpa tadabbur. Pada masalah inilah hadits ‘Abdillah bin ‘Amr (Rosululloh bersabda):
لَا يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِي أَقَلَّ مِنْ ثَلَاثٍ
“Tidak akan paham orang yang (menyelesaikan) membaca Al-Qur’an kurang dari tiga (hari)”[6]
Demikian juga dengan perkataan Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu
kepada orang yang mengabarkan bahwa dirinya sholat malam dengan
(menyelesaikan) Al-Quran dalam satu malam: Apakah cepatnya seperti
cepatnya membaca syair”[7]
Demikian juga perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pada sifat khawarij:
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ وَلَا حَنَاجِرَهُمْ
“Mereka membaca Al-Qur’an tapi tidak melewati tulang kerongkongan mereka tidak juga pangkal tenggorokannya”[8]
Rosululloh mencela mereka karena mereka
betul-betul meluruskan bacaan namun meninggalkan pemahaman tentang
makna-maknanya”. Selesai penukilan
Imam Ibnu ‘Abdil Barr Rahimahulloh
mengomentari hadits di atas: “Kaum tersebut melakukan sholat di malam
dan siang hari serta berpuasa sehingga orang-orang merasa amalan mereka
remeh dibanding kaum tersebut. Mereka membaca Al-Qur’an sepanjang malam
dan siang namun tidak melewati tulang dan pangkal tenggorokan mereka,
karena mereka kerjanya mentafsirkan makna tanpa ilmu dengan As-Sunnah
yang nyata. Mereka diharamkan dari pemahaman Al-Qur’an dan pahala
membacanya, inilah wallahu A’lam makna dari sabda beliau “tidak melewati pangkal tenggorokan mereka“. [At-Tamhid lima Fil Muwaththo’ minal Ma’ani wal Asanid 23/323]
Jubair bin Nufair Rahimahulloh menyebutkan dari Abu Darda’ Rodhiyallohu ‘Anhu bahwa beliau berkata: “Suatu ketika kami bersama Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, maka beliau mengangkat matanya ke langit kemudian berkata:
هَذَا أَوَانُ يُخْتَلَسُ العِلْمُ مِنَ النَّاسِ حَتَّى لَا يَقْدِرُوا مِنْهُ عَلَى شَيْءٍ
“Ini adalah waktu ilmu direnggut dari manusia sampai mereka tidak bisa berbuat apa-apa dari ilmu”.
Ziyad bin Labid Al-Anshory berkata:
“Bagaimana ilmu bisa direnggut dari kita sementara kita telah membaca
Al-Qur’an. Demi Alloh kita akan terus membacanya demikian juga
istri-istri dan anak-anak kita”. Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا زِيَادُ، إِنْ
كُنْتُ لَأَعُدُّكَ مِنْ فُقَهَاءِ أَهْلِ المَدِينَةِ هَذِهِ التَّوْرَاةُ
وَالإِنْجِيلُ عِنْدَ اليَهُودِ وَالنَّصَارَى فَمَاذَا تُغْنِي عَنْهُمْ؟
“Tsaqilatka Ummuk (ungkapan ketika
mendapatkan sesuatu yang tidak diduga) Wahai Ziyad!! Saya sungguh
menganggapmu sebagai salah seorang fuqoha’ penduduk Madinah. Taurat dan
Injil ada pada Yahudi dan Nashoro, apakah itu cukup bagi mereka ?”
Jubair bin Nufair Rahimahulloh berkata: “Aku bertemu dengan ‘Ubadah bin Shomit Rodhiyallohu ‘Anhu
maka aku berkata kepadanya: “Maukah kamu mendengarkan apa yang telah
diceritakan oleh saudaramu Abu Darda’?”, maka aku pun menceritakan
kepadanya apa yang diceritakan Abu Darda’. ‘Ubadah berkata: “Abu Darda’
benar. Kalau engkau mau akan aku katakan kepadamu awal ilmu yang
terangkat dari manusia. Perkara itu adalah kekhusyukan. Hampir-hampir
sekelompok orang masuk ke dalam sebuah masjid, engkau tidak mendapati
seorangpun dari mereka sholat dalam keadaan khusyuk’”. (HR At-Tirmidzi,
dishohihkan Imam Al-Albany Rahimahullohu Ta’ala)
Imam Al-Hafidz Ibnu Rojab Rahimahulloh mengatakan: ”’Ubadah berkata demikian tidak lain dikarenakan bahwa ilmu ada dua jenis:
Jenis yang pertama: Apa-apa
yang buahnya berada di hati seorang manusia. Yaitu Ilmu tentang Alloh
Ta’ala, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya,
yang semua itu menimbulkan rasa takut pada orang tersebut kepada Alloh,
keseganannya, pengagungannya, ketundukannya, kecintaannya,
pengharapannya, pemintaannya, tawakkalnya, serta perkara lainnya. Maka
yang seperti ini adalah ilmu yang bermanfaat. Sebagaimana dikatakan Ibnu
Mas’ud: “Sesungguhnya kaum-kaum membaca Al-Qur’an tidak melewati tulang
kerongkongannya. Padahal apabila bacaan itu sampai ke hati, lalu kokoh
di sana maka akan itu bermanfaat”.
Al-Hasan berkata: “Ilmu itu ada dua:
“Ilmu yang ada pada lisan, maka itu adalah hujjah Alloh bagi (perbuatan)
anak Adam. Kemudian ilmu yang ada di hati, maka itulah ilmu yang
bermanfaat”.
Jenis yang kedua: Ilmu yang ada pada lisan. Maka itu adalah hujjah Alloh sebagaimana di hadits:
القرآن حجة لك أو عليك
“Al-Qur’an adalah hujjah bagimu (kalau diamalkan –pen) atau hujjah atasmu (kalau tidak diamalkan -pen)”[9]
Maka ilmu pertama yang diangkat adalah
ilmu yang bermanfaat. Yaitu ilmu yang di batin yang mencampuri hati dan
memperbaikinya. Sementara akan tersisa ilmu di lisan sebagai hujjah,
maka manusia mulai meremehkan ilmu (yakni Al-Qur’an -pen) tidak
mengamalkan tuntutannya, tidak pengemban ilmu itu sendiri tidak juga
selain mereka.
Kemudian pergilah ilmu dengan kematian
pengembannya, sehingga tidak ada yang tersisa melainkan Al-Qur’an yang
mushaf-mushaf. Tidak ada yang memahami maknanya, tidak juga
batasan-batasannya, serta hukum-hukumnya.
Kemudian Al-Qur’an diambil, tidak ada
yang tersisa di mushaf, tidak ada sama sekali di hati. Setelah itu,
terjadilah hari kiamat, sebagaimana sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
لا تقوم الساعة إلا على شرار الناس
“Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali pada sejelek-jelek manusia”.[10]
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
لا تقوم الساعة وفي الأرض أحد يقول الله الله
“Tidak akan terjadi kiamat sementara di bumi masih ada yang menyebut Alloh … Alloh”[11]. [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 2/299-300]
SUSULLAH KETERTINGGALAN … MASIH BELUM TERLAMBAT
Semoga Alloh memberikan pertolongan dan
kesungguhan bagi kita untuk memahami dan mengamalkan firman-Nya,
sesungguhnya dia Maha Mampu untuk itu. Kerahkanlah upaya untuk mencapai
apa yang diharapkan karena ilmu tidak dicapai dengan jasad yang santai.
Pepatah arab mengatakan:
Engkau menginginkan keselamatan namun engkau tidak menempuh jalan-jalannya …
… sungguh kapal itu tidak berjalan di atas tempat yang kering
Kita memohon kepada-Nya ilmu yang bermanfaat yang akan mengokohkan kita sampai waktu perjumpaan dengan-Nya
سبحنك وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
KITAB-KITAB SEPUTAR PEMBAHASAN:
- Majmu’ul Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh
- Muqoddimah Ushulit Tafsir karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh
- Al-Burhan fii ‘Ulumil Qur’an karya Imam Muhammad bin ‘Abdillah Az-Zarkasy Rahimahulloh
- Ittihaful Jama’ah bima Ja’a fil Fitan wal Malahim wa Asyrotis Sa’ah karya Syaikh Hamud At-Tuwaijiry Rahimahulloh
- Syarh Muqoddimah Ushulit Tafsir karya Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh
- Syarh Muqoddimah Ushulit Tafsir karya Syaikh Yahya Al-Hajury Hafizhohulloh
- Syarh Muqoddimah Ushulit Tafsir karya DR Musa’ad Ath-Thoyyar Hafizhohulloh
- At-Tafsirul Lughowi Lil Qur’anil Karim karya DR Musa’ad Ath-Thoyyar Hafizhohulloh
- Asbabul Khotho’ Fit Tafsir karya DR Thoha Mahmud Hafizhohulloh
[1] Diriwayatkan Al-Hakim, Al-Baihaqy, Ahmad dll, dihasankan oleh Syaikhuna Yahya Al-Hajury Hafizhohulloh (Syarh Muqoddimah Ushulut Tafsir), akan tetapi tanpa penyebutan ‘Utsman, Ibnu Mas’ud ataupun Ubay bin Ka’ab Rodhiyallohu ‘Anhum, sebagaimana dijelaskan Imam Ad-Daruquthny di Al-‘Ilal (3/60)
[2] Diriwayatkan Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Baghowy dll, dishohihkan oleh Syaikhuna Yahya Al-Hajury Hafizhohulloh (Syarh Muqoddimah Ushulut Tafsir) asal kisah di Bukhory-Muslim
[3] Diriwayatkan Al-Hakim, Ad-Darimy, Ath-Thobrony dll, dishohihkan oleh Syaikhuna Yahya Al-Hajury Hafizhohulloh (Syarh Muqoddimah Ushulut Tafsir)
[4] Diriwayatkan Ibnu Jarir, dihasankan oleh Syaikhuna Yahya Al-Hajury Hafizhohulloh (Syarh Muqoddimah Ushulut Tafsir)
[5] Lihat artikel: HADITS DHO’IF DAN HUKUM BERAMAL DENGANNYA
[6] HR Abu Daud dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh
[7] Imam Al-Khoththoby Rahimahulloh dalam Ma’alimus Sunan
mengatakan: “Ibnu Mas’ud mencelanya karena cepatnya membaca Al-Qur’an
tidak perlahan-lahan sehingga terlewatkan baginya pemahaman Al-Qur’an
dan pengetahuan maknanya”.
[8] HR. Bukhory-Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ‘Anhu. Tulang dan pangkal tenggorokan dalam riwayat terpisah
[9] HR Muslim dari Abu Malik Al- Asy’ary Rodhiyallohu ‘Anhu
[10] HR Muslim dari ‘Abdulloh bin Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu
[11] HR Muslim dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu
Sumber: ahlussunnah.web.id
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Kesungguhan Dalam Memahami Makna Ayat didalam Al-Qur’an
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/kesungguhan-dalam-memahami-makna-ayat.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5