Sakit: Pemutus Cerita – Pemupus Derita (Bag.3)
0
comments
PEMUTUS CERITA ~ PEMUPUS DERITA
(Bagian 3 – selesai)
judul asli: ’Iyaadah wa Ifaadah
ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy Saddadahulloh
Darul Hadits – Dammaj, Yaman
Darul Hadits – Dammaj, Yaman
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد
Bab Dua Belas: RIDHO
Keridhoan dalam menerima takdir ada dua
bentuk. Pertama, ridho dengan perbuatan Alloh sekaligus mengandung ridho
dengan yang ditakdirkan.
Kedua, ridho dengan perbuatan Alloh, tapi
tidak ridho dengan yang ditakdirkan. Ridho dengan perbuatan Alloh,
membenarkan dan menerimanya, hukumnya wajib. Adapun ridho dengan sesuatu
yang ditakdirkan -yang akan kita bahas disini-, maka hukumnya mustahab (sunat menurut istilah fiqh), derajatnya lebih tinggi dari sabar.
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh
mengatakan: “Dari segi perbuatan yang mentakdirkan, maka wajib bagi
seseorang untuk ridho dan bersabar. Adapun dari segi yang ditakdirkan,
maka wajib baginya bersabar dan mustahab baginya ridho”. [Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Al-‘Utsaimin 10/691]
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa keridhoan terhadap hal tersebut –yakni perkara yang telah terjadi- hukumnya mustahab -bukan wajib-, karena Alloh telah memuji orang-orang yang bersikap ridho dengan firman-Nya:
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْه
“Alloh ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Alloh”
Alloh hanya mewajibkan sabar dan
memerintahkannya di berbagai ayat sementara tidak memerintahkan untuk
ridho terhadap apa yang telah terjadi”. [Minhajus Sunnah 3/120]
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh
mengatakan: “Kedudukan manusia dalam menghadapi takdir ada tiga:
Keridhoan dan ini adalah kedudukan yang tertinggi, kemarahan dan ini
adalah kedudukan yang terendah, kemudian sabar tanpa disertai keridhoan
adalah kedudukan pertengahan. Yang pertama adalah kedudukan Al-Muqorribin As-Sabiqin (orang-orang
yang menunaikan perkara-perkara yang wajib dan mustahab, serta
meninggalkan perkara-perkara yang haram dan makruh), yang kedua adalah
kedudukan muqtashid (orang-orang yang
menunaikan perkara-perkara yang wajib dan meninggalkan perkara-perkara
yang haram namun kurang dalam melakukan amalan-amalan yang mustahab, dan
masih mengerjakan perkara-perkara yang makruh) sementara yang ketiga
adalah kedudukan orang-orang yang zholim. Banyak orang yang bisa
bersabar atas takdir yang menimpanya, tidak marah namun tidak sampai
meridhoinya. Keridhoan adalah perkara yang lain (di luar kesabaran
–pent) [At-Tafsirul Qoyyim 1/95]
Ibnul Katsir Rahimahulloh mengatakan dalam tafsir firman Alloh Ta’ala:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
“Tidak ada suatu musibah yang
menimpa seseorang kecuali dengan izin Alloh. Barangsiapa yang beriman
kepada Alloh niscaya Alloh akan memberikan petunjuk ke hatinya” (QS At-Taghobun 11)
“Maksudnya: Barangsiapa yang tertimpa
musibah, kemudian mengetahui bahwa hal tersebut terjadi dengan ketetapan
dan takdir Alloh, maka dia bersabar, berharap pahala serta menerima
ketentuan tersebut, maka Alloh akan memberikan hidayah ke hatinya dan
Alloh ganti dunia yang luput darinya dengat petunjuk, keyakinan dan
kejujuran di hatinya. Bisa juga apa yang luput tersebut Alloh ganti
kembali atau dengan yang lebih baik darinya”. Selesai penukilan
Al-‘Allamah As-Sa’dy Rahimahulloh
dalam tafsirnya mengatakan: “Apabila dia beriman bahwasanya musibah
tersebut dari sisi Alloh, kemudian ridho dengan sebab itu serta menerima
perintah-Nya, maka Alloh akan memberi hidayah pada hatinya, sehingga
dia bisa tenang dan tidak ribut ketika datang musibah-musibah
–sebagaimana yang terjadi pada orang-orang yang hatinya tidak Alloh beri
petunjuk-. Bahkan Alloh akan mengkaruniakan kekokohan ketika datangnya
musibah dan kemampuan untuk melakukan tuntutan-tuntutan kesabaran.
Walhasil dia mendapatkan balasan yang disegerakan serta pahala yang
ditabung Alloh baginya pada hari pembalasan, sebagaimana firman Alloh
Ta’ala:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan disempurnakan pahalanya tanpa batas”
Diketahui dari hal ini bahwasanya
barangsiapa yang tidak beriman dengan Alloh ketika datangnya musibah,
dari sisi dia tidak memperhatikan ketetapan dan takdir Alloh namun
justru terfokus melihat semata-mata sebab, maka orang ini tidak akan
ditolong dan Alloh akan membebankan perkara tersebut pada dirinya
sendiri. Apabila seorang hamba membebankan perkara pada dirinya, maka
yang ada pada jwa itu hanyalah keluh kesah dan kegelisahan yang
merupakan azab yang disegerakan bagi hamba tersebut sebelum datangnya
azab di akhirat atas kewajiban sabar yang ditinggalkannya” Selesai
penukilan
Imam Ibnu rojab Rahimahulloh mengatakan: Alloh ‘Azza wa jalla berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
“Tidak ada suatu musibah yang
menimpa seseorang kecuali dengan izin Alloh. Barangsiapa yang beriman
kepada Aloh niscaya Alloh akan memberikan petunjuk ke hatinya” (QS At-Taghobun 11)
‘Alqomah mengatakan: “Yaitu musibah yang
menimpa seorang lelaki, kemudian dia mengetahui bahwasanya musibah
tersebut datangnya dari Alloh sehingga dia menerimanya dan ridho
dengannya”. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits Anas dari nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwasanya beliau mengatakan:
إن الله إذا أحب قوما ابتلاهم فمن رضي فله الرضا ومن سخط فله السخط
“Sesungguhnya Alloh jika mencintai
suatu kaum, maka Alloh akan menimpakan cobaan baginya. Barangsiapa yang
ridho (menerimanya) maka baginya keridhoan, dan barangsiapa yang marah
(menerimanya) maka baginya kemarahan”.[1]
Dahulu dalamnya do’anya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
أسألك الرضا بعد القضاء
“Aku meminta kepada-Mu keridhoan setelah (datangnya) takdir”[2]
Yang mendorong seorang mukmin untuk
ridho kepada takdir adalah untuk mengongokohkan keimanannya, semakna
dengan perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
لا يقضي الله للمؤمن من قضاء إلا كان خيرا له إن أصابته سراء شكر وكان خيرا له وإن أصابته ضراء صبر وكان خيرا له وليس ذلك إلا للمؤمن
“Tidaklah Alloh membuat keputusan
bagi seorang mukmin berupa takdir, kecuali itu adalah kebaikan baginya.
Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia bersyukur dan itu adalah
kebaikan baginya. apabila dia tertimpa kesusahan maka dia bersabar dan
itulah adalah kebaikan baginya. Tidaklah hal itu berlangsung kecuali
bagi orang-orang beriman” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 194]
Orang yang ridho dengan musibah, merasa
bahwa ada atau tidaknya musibah, sama saja. Keberadaannya tidak
menyusahkannya, dan dia tidak merasa terbebani dengan beban yang berat.
Namun demikian, bukan termasuk syarat ridho kalau seseorang tidak
merasakan sakitnya.
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan:
“Bukanlah menjadi syarat ridho, seseorang tidak merasakan sakit atau
sesuatu yang disenanginya. Akan tetapi yang menjadi syarat adalah, dia
tidak memprotes terhadap hukum yang telah ditetapkan dan tidak marah.
Karena itulah, sebagian orang merasa ganjil adanya keridhoan disertai
dengan ketidaksenangan sehingga mereka mencela hal ini. Mereka
mengatakan: “Perkara ini terhalang oleh tabiat. Yang ada hanyalah
kesabaran, kalau tidak bagaimana bisa terkumpul keridhoan dan
ketidaksenangan, sementara keduanya saling berlawanan”. Yang benar,
tidak ada benturan antara keduanya, bahwasanya adanya rasa sakit dan
ketidaksenangan di dalam hati tidak meniadakan ridho. Seperti ridhonya
orang sakit untuk meminum obat, ridhonya orang yang puasa pada hari yang
sangat panas, yang dia memperoleh sakit berupa lapar dan haus”. [Madarijus Salikin 2/175]
Bab Tiga Belas: PRASANGKA BAIK KEPADA ALLOH
Diriwayatkan dalam Musnad Imam Ahmad
bahwasanya Hayyan Abu An-Nadhor bersama Watsilah bin Al-Asqo’
mengunjungi Abu Al-Aswad Al-Jarsy di masa sakit –yang menyebabkan
kematiannya-. Maka Hayyan mengucapkan salam kemudian duduk. (Hayyan)
berkata: “Maka Abu Al-Aswad memegang tangan kanan Watsilah dan
mengusapkan ke kedua mata dan tangannya, karena tangan kanan Watsilah
tersebut pernah membai’at Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
maka Watsilah berkata kepadanya: “Aku ingin menanyakan satu perkara
kepadamu”. Abu Al-Aswad berkata: “Apa itu?”. Watsilah berkata:
“Bagaimana prasangkamu terhadap Robbmu?”. Dia menjawab dengan isyarat
kepalanya, maksudnya: “Baik”. Maka Watsilah berkata: “Bergembiralah
karena sesungguhnya aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَلْيَظُنَّ بِي مَا شَاء
“Alloh ‘Azza wa Jalla mengatakan: Aku berada pada prasangka hamba-Ku tentang-Ku. Maka berprasangkalah dia tentang-Ku sesukanya”. (Dishohihkan Syaikh Muqbil dan Syaikh Al-Albany Rahimahumalloh)
Al-Munawy Rahimahulloh menukilkan perkataan Al-Halimy tentang hadist:
وإذا أتاه الأمر الذي يكرهه قال الحمد لله على كل حال
“Apabila datang kepada (Rosululloh) perkara yang dibencinya, beliau berkata: Segala puji hanya bagi Alloh, atas setiap keadaan”.
Ini dibangun atas prasangka baik kepada
Alloh Ta’ala, bahwasanya Dia tidak akan datang dengan sesuatu yang tidak
disenangi, kecuali untuk kebaikan yang telah Dia ketahui dan inginkan
bagi hamba-Nya”. [Faidhul Qodir 5/112]
Jangan sampai seorang mukmin -apabila
ditimpa musibah- menyangka bahwa Alloh membencinya. Malah bisa saja
musibah tersebut menjadi tanda kecintaan Alloh bagi si hamba (dan telah
lewat penyebutan beberapa faidah dari musibah hamba yang beriman),
bahkan walau penyakitnya bertambah parah, atau dia merasa bahwa dia
mendapat cobaan yanq paling parah dibanding selainnya. Karena besarnya
ganjaran, sesuai kadar kelelahan. Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata ke ‘Aisyah:
إن لك من الأجر على قدر نصبك.
“Sesungguhnya bagimu balasan sesuai kadar kelelahanmu”.
Maka bersungguh-sungguhlah untuk
mengokohkan kesabaran atas penyakit, di dalam dirimu, kemudian ridholah
dengannya, dan berupayalah untuk sampai menjadi orang yang bersyukur
atasnya.
Syaikh Al ‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan:
“Namun kapan seseorang dikatakan berprasangka baik kepada Alloh Azza wa
Jalla?”. Hal itu terjadi apabila dia melakukan perkara yang
mendatangkan keutamaan Alloh dan rahmat-Nya. Maka dia mengerjakan
amalan-amalan sholih dan berprasangka baik bahwasanya Alloh akan
menerima amalannya. Adapun jika dia berprasangka baik namun tidak
beramal, maka ini dia hanya berangan-angan kepada Alloh. Barangsiapa
yang mengikuti nafsunya dan sekedar berangan-angan kepada Alloh, maka
dia adalah orang yang lemah”. [Syarah Riyadhus Sholihin 501]
Abul ‘Ala Al-Mubarokfury Rahimahulloh mengatakan:
“Imam Al-Qurthuby di Al-Mufhim mengatakan: “Semestinya bagi seseorang
untuk bersungguh-sungguh mengerjakan apa yang diwajibkan kepadanya dalam
keadaan yakin bahwa Alloh bakal menerimanya dan mengampuninya. Karena
Dia telah menjanjikan pengampunan tersebut dan tidak akan menyelisinya
janji-Nya. Apabila dia menyangka bahwa Alloh tidak akan menerimanya dan
amalan tersebut tidak akan bermanfaat baginya, maka ini adalah putus asa
dari rahmat Alloh dan ini termasuk ke dalam dosa besar. Barangsiapa
yang meninggal dalam keadaan tersebut maka dia akan dibebankan dengan
persangkaannya” [Tuhfatul Ahwazy 7/54]
Bab Empat Belas: MEMINTA TOLONG KEPADA ALLOH DENGAN DO’A
Seandainya ada yang mengatakan: Kalau memang segala sesuatu sudah ditakdirkan, terus apa gunanya do’a?
Dikatakan kepadanya: Paling tidak anda dapat pahala. Karena do’a termasuk amalan sholih yang dicintai Alloh. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
ليس شيء أكرم على الله تعالى من الدعاء
“Tidak ada sesuatu yang lebih mulia di sisi Alloh daripada do’a”. (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan Syaikh Al-Albany).
Juga pada hadits Nu’man bin Basyir Rodhiyallohu ‘Anhu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الدعاء هو العبادة
“Do’a adalah ibadah”. kemudian beliau membaca:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Robb kalian berkata: “Berdo’alah
kalian maka Aku akan mengabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya
orang-orang yang sombong dari mengibadahi-Ku, mereka akan masuk kedalam
neraka dalam keadaan hina” (QS Ghofir 60) (HR Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan An-Nasa’iy, dishohihkan Syaikh Al-Albany rahimahulloh)
Kemudian, disamping Alloh menakdirkan sesuatu, Alloh juga mentakdirkan sebabnya. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
لا يرد القضاء إلا الدعاء
“Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali do’a”. (HR Tirmidzi dihasankan Syaikh Al-Albany)
Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Hafizhohulloh
mengatakan: “Bukan maknanya bahwa yang telah tertulis (di Lauhul
Mahfuzh) bisa diubah dan diganti, namun maksudnya adalah bahwasanya
Alloh ‘Azza wa Jalla mentakdirkan sebab dan akibat. Alloh mentakdirkan
bahwa sesuatu terwujud karena terwujudnya yang lain. Maka Alloh
mentakdirkan bahwasanya diantara sebab menolak dan selamat dari musibah,
adalah do’a”. [Syarah Sunan Abu Daud 16/104]
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan:
“Dialah yang menciptakan sebab dan akibat, sementara do’a termasuk
sebab yang telah ditetapkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala”. [Maj’mu’ul Fatawa 1/131]
Al-‘Allamah Al-‘Utsaimin rahimahulloh mengatakan:
“Do’a itu tidak bisa menolak takdir. Akan tetapi diantara pengaruh
do’a, apabila engkau berdo’a kepada Alloh maka bahaya darimu akan
terangkat. Hal ini karena perkara tersebut telah tertulis di Lauhul
Mahfuzh bahwasanya Alloh akan mengangkat bahaya tersebut darimu dengan
sebab do’amu. Semuanya telah tertulis”. [Syarh Riyadish Sholihin 1482]
Semestinya orang yang sakit bersemangat
untuk menjalankan ibadah yang mulia ini, disebabkan manfaat yang dapat
diperolehnya di dunia dan akhirat. Siapakah yang akan mengangkat
penyakit itu kecuali Dia? Maka hanya kepada-Nyalah kita meminta.
Ibnu Katsir Rahimahulloh mengatakan, dalam tafsir perkataan Alloh Ta’ala:
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ
“Siapakah yang akan mengabulkan orang yang dalam kesempitan jika berdo’a kepadanya” (QS An-Naml 62)
“Maksudnya, kepada siapakah orang yang
terkena musibah bergantung kecuali kepada-Nya. Dan siapa yang
melenyapkan musibah kecuali Dia”. Selesai penukilan
Diantara sebab dikabulkannya do’a dalam kesempitan adalah memperbanyak do’a kepada Alloh ketika lapang. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من سرّه أن يستجيب الله تعالى له عند الشدائد والكرب فليكثر الدعاء في الرخاء
“Barangsiapa yang menyenangkannya
kalau do’anya dikabulkan oleh Alloh Ta’ala di kala sempit dan susah,
maka perbanyaklah do’anya di kala lapang” (HR At-Tirmidzy, dihasankan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh)
Berikut diantara do’a yang dibaca untuk
perlindungan dari penyakit, dan ketika datangnya, yang menunjukkan sikap
senantiasa bersama Alloh bagi pembacanya dan ciri bagi orang-orang
tidak lalai dalam mengingat-Nya, baik ketika lapang maupun ketika
musibah menghentaknya. (Adapun do’a-do’a untuk meminta kesembuhan akan
datang penyebutannya insya Alloh).
Meminta perlindungan dari penyakit dan musibah
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اللَهَّمَ إِنِّي أَعٌوْذُ بِكَ مِنْ البَرَصِ والجُنُوْنِ وَالْجُذَامِ، وَمِنْ سَيًئ الأَسْقَامِ
“Ya Alloh, aku berlindung kepada-Mu, dari penyakit belang, gila, kusta dan dari kejelekan penyakit”. (HR Abu Daud dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu. Dishohihkan Syaikh Al-ِAlbany dan Syaikh Muqbil Rahimahumalloh)
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
مَنْ قَالَ إِذَا أَمْسَى ثَلَاثَ
مَرَّاتٍ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ،
لَمْ تَضُرَّهُ حُمَةٌ تِلْكَ اللَّيْلَةَ
“Barangsiapa ketika petang membaca tiga kali: “A’udzu
bikalimaatillahit taammaat min syarri ma kholaq (aku berlindung dengan
kata-kata Alloh yang sempurna dari kejelekan makhluk-Nya)”, maka orang itu tidak akan terkena demam pada malam tersebut”.
Suhail bin Abi Sholih –salah seorang
perowi- berkata: “Dahulu keluarga kami telah mempelajarinya dan mereka
mengucapkannya. Suatu ketika bocah perempuan dari mereka disengat namun
dia tidak merasakan sakit apa-apa”. (HR Ahmad dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu, dishohihkan Syaikh Al-Albany)
Dalam riwayat lain salah seorang
shahabat mengadukan bahwa sakit yang diadapatkan karena disengat
kalajengking di malamnya harinya, maka beliau mengatakan: “Seandainya
ketika petang engkau membaca “A’udzu bikalimaatillahit taammaat min syarri ma kholaq” maka itu tidak akan membahayakanmu” (HR Muslim)
Abu Zinad Rahimahulloh meriwayatkan dari Aban bin ‘Utsman dari bapaknya (‘Utsman bin Affan Rodhiyallohu ‘Anhu) bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَقُولُ فِي صَبَاحِ
كُلِّ يَوْمٍ وَمَسَاءِ كُلِّ لَيْلَةٍ بِسْمِ اللهِ الَّذِي لَا يَضُرُّ
مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَيَضُرَّهُ شَيْءٌ
“Tidak ada seorang hambapun yang di pagi setiap harinya dan petang setiap malamnya, mengucapkan: “Bismillahilladzi
laa yadhurru ma’asmihi syai’un fil ardhi wa laa fis sama’ wa huwas
samii’ul ‘aliim (Dengan nama Alloh yang tidak ada sesuatu di bumi dan di
langit yang bisa membahayakan bersama nama-Nya. Dialah As-Samii’ (Dzat
yang maha mendengar) dan Al-‘aliim (Dzat yang maha mengetahui))”, (dia membacanya) sebanyak tiga kali, kemudian sesuatu bisa membahayakannya”.
Dahulu Aban menderita sejenis penyakit
kelumpuhan, maka lelaki tersebut (Abu Zinad) melihat kepadanya. Lantas
Aban berkata: “Kenapa engkau melihat kepadaku?. Adapun hadits, maka
sebagaimana yang aku sampaikan kepadamu. Akan tetapi ketika itu aku
tidak membacanya, maka terjadilah apa yang Alloh takdirkan kepadaku” (HR
Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh)
Yang dibaca ketika datangnya musibah:
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
وإن أصابك شيء فلا تقل لو أني فعلت كان كذا وكذا. ولكن قل: قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
“Apabila sesuatu menimpamu, maka jangan katakan: “Seandainya aku lakukan maka bakal begini dan begini”. Akan tetapi katakan: “Qodrullohi wa Sya’a Fa’al (ini adalah takdir Alloh (Apa yang Dia kehendaki, maka Dia kerjakan)” (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
ما من عبد تصيبه مصيبة فيقول إِنَّا لِله
وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي
وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَجَرَهُ اللهُ فِى مُصِيبَتِهِ
وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Tidak seorang hambapun yang tertimpa musibah, kemudian dia mengatakan: “Inna
lillahi wa inna ilaihi rooji’uun (sesungguhnya kita adalah milik Alloh
dan sungguh kepada-Nyalah kita kembali). Allohumma’ jurni fii mushibaty
wakhlif li khairon minha (Yaa Alloh berilah aku pahala pada musibahku
dan gantilah bagiku dengan yang lebih baik darinya)”, kecuali Alloh akan memberinya pahala pada musibahnya dan menggantikan baginya dengan yang lebih baih darinya”. (HR Muslim dari Ummu Salamah Rodhiyallohu ‘Anha)
Imam Al-Qurthuby Rahimahulloh mengatakan: “Pada firman Alloh Ta’ala (QS Al-Baqoroh 156):
قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Alloh Ta’ala menjadikan kalimat ini
sebagai tempat bergantung bagi orang-orang yang terkena musibah, serta
penjagaan bagi orang-orang yang diuji, dikarenakan kandungan makna yang
penuh berkah. Karena perkataan-Nya:
إِنَّا لِلهِ
“Sesungguhnya kita adalah milik Alloh”. mengandung makna tauhid, penetapan penghambaan dan kepemilikan Alloh. Sementara perkataan-Nya:
وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“dan sungguh kepada-Nyalah kita kembali”. mengandung
maka penetapan akan kebinasaan jiwa-jiwa kita dan pembangkitan dari
kubur-kubur kita, serta yakin akan kembalinya semua perkara kepada-Nya,
sebagaimana keyakinan bahwa semuanya adalah miliknya. Sa’id bin Jubair Rahimahullohu Ta’ala mengatakan:
“Kalimat ini tidak diberikan kepada seorangpun nabi sebelum Nabi kita.
Seandainya Ya’qub mengetahuinya, maka dia tidak akan mengatakan:
يَا أَسَفَى عَلَى يُوسُف
“Aduhai duka citaku terhadap Yusuf” (QS Yusuf 84). [Al-Jami’ fi Ahkamil Qur’an 2/176]
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan:
“Kalimat ini merupakan obat yang paling ampuh untuk orang yang ditimpa
musibah, dan yang paling bermanfaat baginya di dunia dan akhirat. Karena
kalimat tersebut mengandung dua pokok yang mulia, apabila seorang hamba
bisa betul-betul memahaminya, maka dia akan lupa dengan musibahnya.
Pokok yang pertama:
Bahwasanya seorang hamba, keluarga dan hartanya adalah milik Alloh
‘Azza wa Jalla secara hakikat. Alloh menjadikannya bagi hamba sebagai
pinjaman, apabila Dia mengambilnya dari hamba maka itu seperti pemilik
pinjaman yang mengambil barangnya dari peminjamnya –sampai perkataan
beliau-
Pokok yang kedua:
Bahwasanya kembalinya seorang hamba adalah kepada Alloh tuannya yang
haq. Seorang hamba mesti meninggalkan dunia dan datang menghadap Robbnya
sendiri sebagaimana dia diciptakan pertama kali tanpa keluarga, harta
dan kerabat. Akan tetapi dia akan menghadap dengan kebaikan-kebaikan dan
kejelekan-kejelekan. Apabila seperti inilah awal, pemeliharaan dan
akhir seorang hamba, maka bagaimana bisa dia bergembira ria dengan
sesuatu yang ada dan berputus asa atas sesuatu yang luput. Maka
memikirkan awal dan akhir keadaan (hamba) merupakan obat yang paling
utama untuk mengobati penyakit ini. Diantara obatnya juga, seorang hamba
menyadari bahwa apa yang menimpanya tak bakan bisa dielakkannya dan apa
yang dielakkan darinya tak mungkin menimpanya”. [Zaadul Ma’ad 4/189-190]
Bab Lima Belas: SYUKUR
Apabila seseorang bersabar dan
mengharapkan pahala, kemudian menghinakan diri kepada Alloh untuk
kesembuhan penyakitnya, bersamaan dengan itu, dia menempuh sebab-sebab
syar’i, maka cobaan-cobaan yang telah ditakdirkan Alloh Ta’ala
merupakan sebuah kebaikan bagi seorang mukmin, menghapuskan
kejelekan-kejelekan, dan terangkat derajatnya. Dalam hadits yang shohih,
bahwasanya seorang mukmin akan mencapai derajat yang tinggi di surga
yang tidak dicapai dengan banyak amalan, hanyasaja hal tersebut dicapai
dengan musibah-musibah yang menimpanya dan sikap nya yang mengharapkan
pahala. Apabila ridho dengan musibah maka ridho dengan musibah maka
pahalanya lebih besar. Dan akan lebih besar lagi jika dia menganggap
musibah sebagai nikmat sehingga bersyukur kepada Alloh karenanya.
Syaikhul Islam Rahimahulloh
mengatakan: “Apapun yang menimpa seseorang, apabila menyenangkannya maka
itu adalah nikmat yang nyata. Namun apabila menyakitkannya, maka itu
juga termasuk nikmat, karena dengannya dosa-dosanya dihapus, dan diberi
pahala atas kesabarannya. Juga dari sisi terdapatnya hikmah dan rahmat
yang tidak diketahui seorang hamba.
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ
“Boleh jadi kalian tidak menyenangi
sesuatu padahal itu baik bagi kalian, dan oleh jadi kalian menyenangi
sesuatu padahal itu tidak baik bagi kalian”. (QS Al-Baqoroh 216)
Kedua nikmat ini, untuk bersyukur butuh
kepada kesabaran. Dalam kondisi kesusahan, maka perkaranya jelas. Adapun
dalam menghadapi nikmat kelapangan, maka butuk kepada kesabaran dalam
ketaatan kepada Alloh dalam kondidi tersebut, sebagaimana sebagian salaf
mengatakan: “Kita diuji dengan kesusahan maka kita bisa bersabar,
sementara kita diuji dengan kelapangan kita tidak mampu bersabar”. Oleh
sebab itulah, kebanyakan orang yang masuk surga adalah orang-orang
miskin.
Akan tetapi karena pada kelapangan
terdapat kelezatan dan pada kesusahan terdapat rasa sakit maka
penyebutan syukur masyhur pada kondisi lapang sementara penyebutan sabar
masyhur pada kondisi susah. Alloh Ta’ala berfirman:
وَلَئِنْ أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْه
“Jika Kami berikan rahmat Kami kepada manusia, kemudian rahmat itu Kami cabut kembali …”
sampai perkataan-Nya:
إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
“Kecuali orang-orang yang sabar dan mengerjakan amalan-amalan kebaikan” (QS Hud 9-11) [3]
Disamping itu, orang-orang yang dalam
kelapangan lebih butuh kepada kesabaran dan orang-orang yang ditimpa
kesusahan lebih butuh kepada kesabaran, karena syukur di kala lapang dan
sabar di kala susah hukumnya wajib. Sementara sabar ketika lapang bisa
saja hukumnya mustahab (sunat) dan syukur ketika susah bisa
juga hukumnya mustahab. Perpaduan antara rasa syukur dan sabar terjadi
ketika jiwa merasakan sakit sekaligus menikmatinya, dan ini adalah
kondisi yang berat bagi kebanyakan orang -penjelasannya telah lewat di
tempat lain-.
Maksudnya disini adalah, bahwasanya
Alloh Ta’ala memberikan nikmat dengan ini semua, walaupun pada
permulaannya tidak terlihat oleh kebanyakan manusia. Sesungguhnya Alloh
mengetahui, sementara kalian tidak mengetahui”. [Majmu’ul Fatawa 8/209-210]
‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan: “Dahulu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam apabila melihat sesuatu yang disenanginya, maka beliau mengatakan:
الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات
“Segala puji bagi Alloh yang dengan nikmat-Nya perkara-perkara baik menjadi sempurna”. Sementara jika beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya, maka beliau mengatakan:
الحَمْدُ لِلِه عَلَى كُلِ حَالٍ.
Segala puji bagi Alloh, bagaimanapun keadaan” (HR Ibnu Majah, dihasankan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh).
Al-Munawi Rahimahulloh mengatakan:
“Yaitu dalam berbagai kondisi yang telah Alloh takdirkan. Karena
keadaan-keadaan seorang mukmin, seluruhnya adalah kebaikan. Ketetapan
Alloh berupa kelapangan dan kesusahan adalah rahmat dan nikmat,
seandainya tabir (hikmah) dibuka niscaya seseorang akan bergembira
dengan kesusahan lebih daripada kegembiraannya karena kelapangan. Alloh
lebih tahu dengan apa-apa yang baik bagi hamba-Nya”. [Faidhul Qodir 1/472]
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Dahulu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam jika melihat apa-apa yang tidak disukainya maka beliau mengatakan:
الحمد لله على كل حال
Beliau memuji Alloh karena Alloh
memberinya pahala atas musibah tersebut lebih banyak dari apa yang
menimpanya. Karena itu disebutkan dari sebagian orang-orang yang gemar
beribadah ketika jarinya terluka maka dia memuji Alloh atas hal
tersebut. Maka orang-orang berkata kepadanya: “Bagaimana bisa engkau
memuji Alloh sementara jarimu telah terkena apa yang menimpanya”. Maka
dia menjawab: “Sungguh manisnya pahala membuatku melupakan pahitnya
kesabaran” wallohul Muwaffiq”. [Syarh Riyadish Sholihin 29]
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan:
“… inilah orang yang bersyukur yang pertama kali diseru untuk ke surga.
Karena bersyukur atas perkara-perkara yang dibenci lebih dahsyat dan
berat daripada bersyukur atas sesuatu yang disenangi. Karena itulah
derajatnya lebih di atas dari yang satu (yang bersyukur ketika sesuatu
yang menyenangkan). Hal tersebut hanyalah terdapat pada salah satu dari
dua orang lelaki:
(Pertama) seorang lelaki yang tidak
membeda-bedakan kondisi, bahkan sama saja baginya antara perkara yang
tidak disenangi dengan perkara yang disenangi, sehingga dia bersyukur
sebagai bentuk keridhoan atas apa yang menimpanya. Orang ini (asalnya)
telah berada dalam posisi ridho.
Lelaki kedua, adalah orang yang
membedakan keadaan, dia tidak menyukai sesuatu yang tidak menyenangkan
dan tidak meridhoi kedatangannya. Namun apabila perkara yang tidak
disukai tersebut datang, dia tetap bersyukur kepada Alloh Ta’ala. Hal
ini seperti orang yang menahan amarahnya atas apa yang menimpanya,
menutup dan menjaga diri dari mengeluhkan penyakitnya disebabkan adab
dan jalan ilmu. Karena adab dan ilmu menyuruh untuk bersyukur kepada
Alloh di kala lapang dan susah. Maka dia menempuh rasa syukur ini dengan
sebab ilmu. Karena dengan kondisi ini dia bisa menjadi orang yang
bersyukur kapada Alloh dan orang yang ridho dengan ketetapan-Nya,
sebagaimana keadaan lelaki yang sebelumnya, namun yang sebelumnya lebih
utama darinya.
Lelaki (pertama) yang bersyukur lebih
dahulu dipanggil untuk ke surga karena dalam menghadapi perkara-perkara
yang tidak disenangi –yang kebanyakan manusia menghadapinya dengan keluh
kesah dan marah, kemudian di atas itu orang-orang menghadapinya dengan
sabar, kemudian orang-orang tertentu menghadapinya dengan ridho- justru
dia menghadapinya dengan sesuatu yang lebih tinggi dari itu semua yaitu
bersyukur. Karena itulah dia lebih mendahului mereka masuk ke dalam
surga dan orang pertama yang dipanggil kesana”. [Madarijus Salikin 1/254]
Bab Enam Belas: PELAJARAN DAN TELADAN
Mengambil pelajaran dan teladan dari
orang-orang sholih adalah suatu perkara yang bisa mendorong seseorang
untuk mampu memperbaiki diri, berusaha menghadapi musibah dengan dengan
langkah-langkah yang syar’i. Hal ini dikarenakan musibah yang mereka
alami lebih berat dari yang kita rasakan –telah lewat penyebutannya-.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إذا أصيب أحدكم بمصيبة فليذكر مصيبته بي فإنها أعظم المصائب
“Apabila engkau ditimpa musibah,
maka lihatlah kepada musibah yang menimpaku, karena itu musibahku adalah
sebesar-besarnya musibah”. (Hadist dishohihkan dengan penguat-penguatnya oleh Syaikh Al-Albany)
‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan: “Aku tidak pernah melihat seseorang yang sangat berat sakitnya selain Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam” (HR Bukhory-Muslim).
Bersamaan dengan itu beliau tetap
bersemangat dalam mengarahkan ummatnya baik dalam mengokohkan akidah
mereka maupun amalan-amalan mereka dalam perkara akhirat dan dunia
mereka.
‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan bahwa pada sakit yang menyebabkan kematiannya, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
لَعَنَ اللهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا
“Semoga Alloh melaknat Yahudi dan Nashoro, mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid”. (HR Bukhory-Muslim)
Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhuma mengisahkan: “Pada sakit yang menyebabkan kematiannya, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
keluar (ke mesjid), beliau memakai rida’ dari sarung yang besar pada
kedua pundaknya, dan memakai imamah yang berminyak (karena bekas minyak
wangi atau minyak rambut), sampai beliau duduk di mimbar, menyanjung dan
memuji Alloh, kemudian beliau berkata:
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ النَّاسَ
يَكْثُرُونَ وَيَقِلُّ الأَنْصَارُ، حَتَّى يَكُونُوا فِي النَّاسِ
بِمَنْزِلَةِ المِلْحِ فِي الطَّعَامِ، فَمَنْ وَلِيَ مِنْكُمْ شَيْئًا
يَضُرُّ فِيهِ قَوْمًا وَيَنْفَعُ فِيهِ آخَرِينَ، فَلْيَقْبَلْ مِنْ
مُحْسِنِهِمْ وَيَتَجَاوَزْ عَنْ مُسِيئِهِمْ
“Amma ba’du, sesungguhnya
orang-orang akan semakin banyak, sementara kaum Anshor akan semakin
sedikit, sampai-sampai mereka di tengah manusia seperti garam di dalam
makanan. Barangsiapa diantara kalian yang memegang suatu perkara,
merugikan suatu kaum dan memberikan manfaat bagi yang lain, maka
terimalah kebaikan dari orang-orang baik mereka dan maafkanlah
orang-orang jelek mereka (selain dari masalah hudud/ hukuman syar’i)”.
Ibnu ‘Abbas berkata: “Itu adalah majelis terakhir yang dihadiri Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam”. (HR Bukhory-Muslim)
‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan: “Penyakit Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam semakin
berat, (ketika itu) beliau berkata: “Apakah orang-orang telah
mengerjakan sholat (jama’ah)?”. Kami menjawab: “Tidak, mereka sedang
menunggumu”. Beliau berkata: “Letakkan air untukku di bejana”. Kami
melakukannya, maka beliau pun mandi. Lantas beliau berusaha bangkit
dengan susah payah, lalu pingsan. Kemudian ketika sadar berkata: “Apakah
orang-orang telah mengerjakan sholat (jama’ah)?”. Kami menjawab:
“Tidak, mereka sedang menunggumu wahai Rosululloh”. Beliau berkata:
“Letakkan air untukku di bejana”. Kemudian beliau duduk dan mandi.
Lantas beliau berusaha bangkit dengan susah payah, lalu pingsan.
Kemudian ketika sadar berkata: “Apakah orang-orang telah mengerjakan
sholat (jama’ah)?”. Kami menjawab: “Tidak, mereka sedang menunggumu
wahai Rosululloh”.
Orang-orang berdiam di masjid menunggu Nabi Shollallohu Alaihi wa Sallam untuk melakukan sholat isya. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
mengirim utusan kepada Abu Bakr dia sholat dengan orang-orang sebagai
imam. Utusan itupu mendatangi Abu Bakr dan berkata: “Sesungguhnya
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menyuruhmu untuk
sholat bersama orang-orang”. Maka Abu Bakr –dan dia adalah orang yang
lembut perasaannya- berkata: “Wahai ‘Umar sholatlah kamu bersama
orang-orang”. ‘Umar menjawab: “Kamu lebih berhak untuk itu”. Maka
sholatlah Abu Bakr (sebagai imam) pada hari-hari (sakitnya Rosululloh)
tersebut.
Kemudian Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
merasa ringan, maka beliau keluar dipapah dua orang lelaki -salah
satunya Al-‘Abbas- untuk melakukan sholat zhuhur, semantara ketika itu
Abu Bakr sedang sholat (mengimami) orang-orang.
Ketika melihat beliau, Abu Bakr ingin mundur. Maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengisyaratkan
agar dia tidak mundur. Lantas beliau berkata (kepada dua orang yang
memapahnya): “Dudukkan aku di sampingnya”. Maka mereka pun mendudukkan
beliau di samping Abu Bakr. Maka Abu Bakr sholat mengikuti sholat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, serta orang-orang sholat mengikuti sholat Abu Bakr sementara Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sholat dalam keadaan duduk” (HR Bukhory-Muslim)
Demikian juga dengan para shohabat beliau Rodhiyallohu ‘Anhum
mereka adalah orang yang berilmu tentang hakikat musibah, mereka
meyakini dengan pasti manfaat di balik itu dan tidak mau kehilangannya.
Abu Burdah bin Abi Musa Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan:
“Abu Musa menderita sakit yang parah. Sampai dia jatuh pingsan dan
kepalanya di pangkuan istrinya. Dia tidak sanggup menanggapi perkataan
istrinya sedikitpun. Ketika sadar, dia berkata: “Aku berlepas diri dari
perkara yang Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berlepas diri darinya. Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berlepas
diri dari orang yang menjerit-jerit ketika musibah, orang yang
menjambak rambutnya ketika musibah, dan orang yang merobek pakaiannya
ketika musibah”. (HR Bukhory-Muslim)
Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu
mengatakan: “Tidak ada penyakit yang menimpaku, yang lebih aku senangi
daripada demam. Karena dia masuk ke seluruh anggota tubuhku. Dan Alloh
memberi setiap bagian tubuh jatah pahalanya”. [Atsar ini dishohihkan Ibnu Hajar Rahimahulloh di Fathul Bari].
Abu Darda’ Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan:
“Tiga perkara yang aku cintai sementara manusia membencinya;
kemiskinan, sakit dan kematian. Aku mencintai kemiskinan karena
(menimbulkan) rasa tawadhu’ kepada Robb-ku, aku mencintai
kematian karenan kerinduan kepada Robb-ku, aku mencintai sakit karena
(merupakan) penghapus kesalahan-kesalahanku”. [Siyar A’lamin Nubala’ biographi Abu Darda’]
Demikian orang setelah mereka dari
kalangan tabi’in, mereka adalah orang-orang yang cerdas, memahami
besarnya hikmah Alloh di balik itu semua.
Hisyam bin ‘Urwah Rahimahulloh bahwa ayahnya (‘Urwah bin Az-Zubair Rahimahulloh),
pada kakinya terdapat penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Maka
dikatakan kepadanya: “Maukah engkau jika kami panggilkan tabib
untukmu?”. Dia menjawab: “(Silahkan) Jika kalian ingin”.
Orang-orang berkata: “Kami beri kamu
minuman yang bisa menghilangkan kesadaranmu?”. Dia berkata (kepada
tabib): “Teruskan saja pekerjaanmu. Aku tidak pernah menyangka ada
makhluk yang mau meminum sesuatu yang bisa menghilangkan akalnya
sehingga dia tidak mengenal (Robb)nya”. Maka diletakkanlah gergaji di
atas lutut kirinya dan kami tidak mendengar suara darinya. Ketika tabib
telah memotongnya, dia (‘Urwah) berkata: “Sungguh jika Engkau telah
mengambil Engkau juga menyisakan, jika Engkau memberi cobaan Engkau juga
memaafkan” [lihat: Siyar A’lamin Nubala’ 4/430, At-Tarikh - Ibnu ‘Asakir 11/286]
Dalam riwayat lain, Hisyam mengatakan
bahwa ayahnya pergi menemui Al-Walid bin ‘Abdil Malik, ketika di Wadi
Al-Quro dia mendapatkan sesuatu di kakinya, kemudian terlihat luka dan
rasa sakitnya semakin meningkat. Akhirnya dia menemui Al-Walid dan dia
di atas tandu. Al-Walid berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah, potong saja
(kakimu) itu”. Dia menjawab: “Silahkan”. Maka Al-Walid memanggilkan
tabib untuknya. Tabib berkata: “Minumlah obat tidur”. Dia tidak
melakukannya, maka dipotonglah kakinya dari pertengahan betis, sementara
dia tidak menambah kata “hiss, hiss” (suara ketika merasakan sakit).
Al-Walid berkata: “Aku tidak pernah melihat orang tua yang lebih sabar
darinya”.
Pada perjalanan tersebut, ‘Urwah juga ditimpa musibah (dengan meninggalnya) anaknya Muhammad ditendang oleh bighol[4], pada saat itu ‘Urwah tidak berkomentar apa-apa. Sesampainya di Wadi Al-Quro (setelah kakinya terkena –pen) dia berkata:
لَقَدْ لَقِيْنَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَباً
“Sungguh kita telah mendapatkan rasa letih dari perjalanan kita ini” (Al-Kahfi 62)
Beliau berkata: Yaa Alloh, dulu memiliki
tujuh orang anak kemudian Engkau ambil satu dan Engkau sisakan enam.
Dan dulu aku memiliki empat ujung (kaki dan tangan) kemudian Engkau
ambil salah satunya dan Engkau sisakan tiga. Sungguh jika Engkau memberi
cobaan Engkau juga memaafkan, jika Engkau telah mengambil Engkau juga
menyisakan,”. [lihat: Siyar A’lamin Nubala’ 4/430-431, At-Tarikh - Ibnu ‘Asakir 11/287]
Bakr bin Muhammad Rahimahuloh mengatakan:
“Dahulu Ibnu ‘Aun ketika sakitnya, lebih sabar dari singa. Yakni aku
tidak pernah melihatnya mengeluhkan apapun dari sakitnya sampai dia
meninggal” [Ath-Thobaqotul Kubro 7/199, karya Ibnu Sa’ad Al-Baghdady (wafat 230 H)]
‘Abdulloh bin Ja’far Rahimahulloh mengatakan:
“Dahulu Robi’ah apabila dia dalam keadaan sakit, maka dia duduk di
rumahnya meletakkan hidangan bagi orang-orang yang datang
mengunjunginya. Hidangan tersebut terus tersedia, setiap kali ada kaum
yang datang mengunjunginya, Robi’ah berkata: “Silahkan makan … Silahkan
makan”. Dia terus berbuat demikian sampai dia mampu untuk keluar rumah
dan itu dengan susah payah” [Ath-Thobaqotul Kubro –Mutammimut Tabi’in- 322]
Masih banyak kisah-kisah dan nasehat
orang sholeh dalam menghadapi penyakit yang menimpa, yang mungkin jika
dikumpulkan bisa menjadi tulisan tersendiri. Kita cukupkan dengan kadar
ini dengan perkataan Syufyan Ats-Tsaury Rahimahulloh: “Bukanlah
seorang faqih (yang memiliki pemahaman tentang agama ini) orang yang
tidak menghitung bala sebagai nikmat, dan kelapangan sebagai musibah”. [Siyar A’lamin Nubala’ biographi Imam Ats-Tsaury] Wallohul Musta’an
Bab Tujuh Belas: MENJENGUK ORANG SAKIT
Menjenguk orang yang sakit adalah
perkara mulia yang Alloh syari’atkan kepada hambanya. Dengannyalah
ukhuwwah Islamiyyah yang terpuji menjadi sempurna, dan dengannya pula
tercapai manfat bagi kedua belah pihak. Alloh telah menjanjikan balasan
yang mulia bagi orang yang berkunjung, sebagaimana di hadits dari
Tsauban Rodhiyallohu ‘Anhu bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ عَادَ مَرِيضًا، لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِع
“Barangsiapa yang mengunjungi orang
yang sakit, maka dia senantiasa berada di(antara) buah-buah surga yang
dipetik, sampai dia kembali” (HR Muslim)
Ibnu Hajar Rahimahulloh mengatakan:
“Beliau menyerupakan pahala yang bakal dihimpun oleh orang sedang
mengunjungi orang yang sakit dengan apa yang bisa idhimpun oleh orang
yang sedang memetik buah. Dikatakan juga maknanya adalah jalan,
bahwasanya orang yang berkunjung tengah berjalan di atas jalan yang
mengantarkannya kepada surga. Tafsir yang pertama lebih shohih” [Fathul Bari 10/113]
Beliau juga menyuruh[5]
para hamba untuk mengunjungi orang yang sakit yang menunjukkan penting
dan besarnya manfaat perkara tersebut. Dari Al-Baro’ bin ‘Azib Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh
kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dari tujuh perkara –sampai
perkataannya- beliau menyuruh kami untuk mengiringi jenazah, mengunjungi
orang sakit …” (HR Bukhory)
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
أطعموا الجائع وعودوا المريض …
“Beri makanlah orang yang lapar dan kunjungilah orang yang sakit …” (HR Bukhory dari Abu Musa Al-‘Asy’ary Rodhiyallohu ‘Anhu)
Terlebih lagi jika yang dikunjungi
adalah seorang hamba Alloh yan soleh yang kuat berpegang dengan
Kitabulloh dan sunnah nabi-Nya. Dalam sebuah hadits Qudsy, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
إن الله عز وجل يقول يوم القيامة: يا ابن
آدم مرضت فلم تعدني. قال: يا رب كيف أعودك وأنت رب العالمين. قال: أما علمت
أن عبدي فلانا مرض فلم تعده أما علمت أنك لو عدته لوجدتني عنده
“Sesungguhnya Alloh ‘Azza wa Jalla
mengatakan pada hari kiamat: “Wahai anak Adam, Aku sakit tapi kalian
tidak mengunjungi-Ku”. Maka hamba tersebut mengatakan: “Wahai Robb
bagaimana aku mengunjungi-Mu sementara Engkau adalah Robbul ‘Alamin?”.
Alloh berkata: “Tidakkah engkau mengetahui bahwa hamba-Ku –si fulan-
dalam keadaan sakit sementara engkau mengunjunginya?. Tidakkah engkau
tahu, jika engkau mengunjunginya niscaya engkau akan mendapatkan-Ku di
sisinya?”. (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh: “Tidak ada masalah pada perkataan-Nya Ta’ala: “Aku sakit tapi kalian tidak mengunjungi-Ku” karena
sakit mustahil bagi Alloh. Penyakit adalah sifat kekurangan, sementara
Alloh Subhanahu wa Ta’ala suci dari segala kekurangan. Alloh Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ
“Maha Suci Robbmu, Robb Yang maha perkasa dari apa yang mereka sifatkan”. (QS Ash-Shoffat 180)
Yang dimaksud dengan sakit di (hadits)
ini adalah sakitnya hamba-hamba Alloh yang sholih, serta para wali-wali
Alloh Subhanahu wa Ta’ala, merekalah orang-orang yang khusus (di
sisi-Nya). Karena itu datang –di hadits Qudsy- juga, (Alloh berkata):
من عادى لي وليا فقد آذنته بالحرب
“Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka Aku mengumumkan peperangan dengannya”.
Yakni barangsiapa yang memusuhi para
wali Alloh maka itu adalah peperangan terhadap Alloh. Padahal orang itu
–dalam dugaannya- tidak memusuhi Alloh tapi dia hanya memusuhi dan
memerangi para wali-Nya. Demikian juga jika seorang hamba dari
hamba-hamba Alloh yang sholih menderita sakit, maka Alloh Subhanahu wa
Ta’ala akan berada di sisi-Nya. Karena itulah Alloh mengatakan “… jika engkau mengunjunginya niscaya engkau akan mendapatkan-Ku di sisinya”. Alloh tidak mengatakan: “… jika engkau mengunjunginya niscaya engkau akan mendapatkan rasa sakit pada-Ku”. [Syarh Riyadish Sholihin]
Diantara tujuan menjenguk orang yang
sakit adalah memupuk dan mempererat rasa persaudaraan karena orang yang
sakit tersebut melihat kepedulian orang lain terhadapnya dan itu akan
berdampak baik bagi kesehatan batinnya. Karena itulah semestinya bagi
orang yang berkunjung, agar tidak membuat orang yang dikunjungi menjadi
sesak, cukuplah bagi dia menahan derita yang menimpanya, jangan menambah
beban pikirannya.
إِذَا حَضَرْتُمُ الْمَرِيضَ، أَوِ الْمَيِّتَ، فَقُولُوا خَيْرًا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُون
“Apabila kalian menghadiri
(menjenguk) orang sakit atau meninggal maka katakanlah perkataan yang
baik karena sesungguhnya para malaikan mengaminkan apa yang kalian
katakan”. (HR Muslim dari Ummu Salamah Rodhiyallohu ‘Anha)
Karena itulah sebaik-baik ucapan yang
disampaikan ketika menemui orang yang sakit adalah mendo’akannya dengan
kebaikan, atau memberikan kabar gembira baginya tentang apa-apa yang
bermanfaat bagi akhiratnya.
Telah dijelaskan di berbagai hadits tentang masalah ini, diantaranya:
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengunjungi
Sa’ad yang sedang sakit, ketika itu dia berada di Makkah. Maka Sa’ad
pun menangis. Rosululloh bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?”. Sa’ad
menjawab: “Aku khawatir kalau aku meninggal di negeri yang aku telah
berhijroh darinya, sebagaimana meninggalnya Sa’ad Ibnu Khaulah”. Maka
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan (sebanyak tiga kali):
اللَّهُمَّ اشْفِ سَعْدًا
“Yaa Alloh sembuhkanlah Sa’ad” (HR Bukhory-Muslim)
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam pergi bersama Abu Hurairoh mengunjungi seorang yang sedang sakit karena panas badan yang menimpanya. Maka beliau mengatakan:
أَبْشِرْ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
يَقُولُ: نَارِي أُسَلِّطُهَا عَلَى عَبْدِي الْمُؤْمِنِ فِي الدُّنْيَا
لِتَكُونَ حَظَّهُ مِنْ النَّارِ فِي الْآخِرَة
“Bergembiralah. Sesungguhnya Alloh
‘Azza wa Jalla mengatakan: “Apiku di dunia yang aku perintahkan bagi
hamba-Ku yang beriman. Sehingga menjadi (pengganti) atas api yang
menjadi bagiannya di akhirat”. (HR Ahmad, dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh)
Ummu ‘Ala’ Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengunjungiku, sementara aku dalam keadaan sakit. Maka beliau berkata:
أَبْشِرِي يَا أُمَّ الْعَلَاءِ، فَإِنَّ
مَرَضَ الْمُسْلِمِ يُذْهِبُ اللَّهُ بِهِ خَطَايَاهُ، كَمَا تُذْهِبُ
النَّارُ خَبَثَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّة
“Bergembiralah wahai Ummu ‘Ala’.
Sesungguhnya penyalit seorang muslim, dengannya Alloh menghapus
kesalahan-kesalahannya, sebagaimana lenyapnya kotoran pada emas dan
perak” (HR Abu Daud, dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh)
Dahu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam jika mengunjungi orang yang sakit, beliau berkata kepadanya:
لاَ بَأْسَ، طَهُورٌ إِنْ شَاءَ الله
“Tidak mengapa, penyuci (dosa) Insya Alloh”. (HR Bukhory, dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu)
Termasuk ke dalam masalah ini adalah ruqyah syar’iyyah. Perkara ini sering dilalaikan seorang muslim ketika sibuk memikirkan obat untuk penyakitnya. Padahal ruqyah
bukanlah perkara yang susah sebagaimana dibuat-buat orang-orang zaman
sekarang. Seorang yang sakit bisa melakukannya untuk dirinya sendiri
atau saudaranya membacakan untuknya tanpa harus meminta dan diminta,
sebagai bentuk ta’awun ‘alal birri wat taqwa, baik dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an ataupun dzikr-dzikr yang sah dari sunnah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Jangan dikira ruqyah hanya untuk mengusir jin saja.
Jibril ‘Alaihis Salam datang menjumpai Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, lantas berkata: “Wahai Muhammad, engkau sakit?”. Beliau menjawab: “Ya”. Maka Jibril berkata:
بِاسْمِ اللهِ أَرْقِيكَ، مِنْ كُلِّ
شَيْءٍ يُؤْذِيكَ، مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنِ حَاسِدٍ، اللهُ
يَشْفِيكَ بِاسْمِ اللهِ أَرْقِيكَ
“Dengan nama Alloh aku meruqyahmu
dari segala sesuatu yang menyakitimu, dari kejelekan jiwa atau pandangan
yang hasad. Semoga Alloh menyembuhkanmu. Dengan nama Alloh aku
meruqyahmu”. (HR Muslim dari Abu Sa’id Rodhiyallohu ‘Anhu)
‘Utsman bin Abil ‘Ash Ats-Tsaqofy Rodhiyallohu ‘Anhu mengadukan penyakitnya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, maka beliau mengatakan:
ضع يدك على الذي تألم من جسدك وقل:
بِاسْمِ اللَّهِ. ثلاثا. وقل سبع مرات: أَعُوذُ بِاللَّهِ وَقُدْرَتِهِ
مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
“Letakkankah tanganmu di tempat yang yang rasakan sakit dari tubuhmu, kemudian bacalah “bismillah” sebanyak tiga kali, dan bacalah “A’udzu
billai wa qudratihi min syarri ma ajidu wa uhaadziru (Aku berlindung
kepada Alloh dan kekuasaan-Nya dari kejelekan yang aku dapatkan dan
waspadai)” sebanyak tujuh kali”. (HR Muslim)
‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan: “Dahulu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
meniup (dengan sedikit percikan ludah) kedua telapak tangannya untuk
dirinya sendiri ketika sakit yang menyebabkan meninggalnya dengan
membaca mu’awwidzat (surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Naas).
Ketika penyakitnya bertambah parah maka akulah yang meniup serta
membacakannya, kemudian aku mengusapkan dengan tangannya sendiri karena
berkahnya”.
Az-Zuhry –salah seorang periwayat
hadits- mengatakan: “Beliau meniup kedua tangannya kemudian mengusapkan
keduanya ke wajahnya”. (HR Bukhory)
‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan: “Dahulu jika ada orang yang datang mengeluhkan rasa sakit kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam maka beliau meraba orang tersebut dengan tangan kanannya kemudian mengatakan:
أَذْهِبِ الْبَاسَ، رَبَّ النَّاسِ، وَاشْفِ أَنْتَ الشَّافِي، لَا شِفَاءَ إِلَّا شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لَا يُغَادِرُ سَقَمًا
“Hilangkanlah keperihan wahai Robb
Manusia, sembuhkanlah sesungguhnya Engkau adalah Asy-Syafi (Dzat Yang
Menyembuhkan). Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan dari-Mu,
kesembuhan yang tidak meninggalkan rasa sakit” (HR Bukhory-Muslim)
Dalam riwayat lain:
امْسَحِ البَاسَ رَبَّ النَّاسِ، بِيَدِكَ الشِّفَاءُ، لاَ كَاشِفَ لَهُ إِلَّا أَنْت
“Hilangkanlah keperihan wahai Robb Manusia, kesembuhan hanya di tangan-Mu. Tidak ada satupun yang melenyapkannya kecuali Engkau” (HR Bukhory, dari ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha)
Dalam riwayat lain:
أَذْهِبِ الْباسَ رَبَّ النَاسِ اشْفِي أَنْتَ الشَافِي لا شَافِيَ إِلاَ أَنْتَ
“Hilangkanlah keperihan wahai Robb
Manusia, sembuhkanlah sesungguhnya Engkau adalah Asy-Syafi (Dzat Yang
Menyembuhkan). Tidak ada satupun yangbisa menyembuhkan kecuali Engkau” (HR An-Nasa’iy, dari Ummu Muhammad bim Hathib Rodhiyallohu ‘Anha, dihasankan Syaikh Muqbil Rahimahulloh)
Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu berkata: “Dahulu Rosululloh iShollallohu ‘Alaihi wa Sallam jika mengunjungi orang yang sakit, maka beliau duduk di bagi kepalanya lalu berkatasebanyak tujuh kali:
أَسْأَلُ اللهَ العَظِيمَ، رَبَّ العَرْشِ العَظِيمِ أَنْ يَشْفِيكَ
“Aku memohon kesembuhanmu kepada Alloh Al-‘Azhim (Dzat Yang Maha Agung), Robb ‘Arsy yang agung” (HR Bukhory dalam Adabul Mufrod, dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh).
‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha mengatakan: “Dahulu Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam jika ada seseorang merasakan sakit, atau padanya luka maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
berbuat begini dengan tangannya (Sufyan –salah seorang perowi-
meletakkan jari telunjuknya ke tanah kemudian mengangkatnya). Kemudian
beliau berkata:
بِاسْمِ اللهِ، تُرْبَةُ أَرْضِنَا، بِرِيقَةِ بَعْضِنَا، لِيُشْفَى بِهِ سَقِيمُنَا، بِإِذْنِ رَبِّنَا
“Dengan nama Alloh, ini adalah tanah
bumi kami disertai ludah diantara kami untuk menyembuhkan orang yang
sakit dari kami, dengan izin Robb kami” (HR Bukhory-Muslim)
Imam An-Nawawy Rahimahulloh
mengatakan: “Makna hadits ini, beliau mengambil ludahnya dengan jari
telunjuknya, kemudian meletakkan jari telunjuk tersebut di tanah,
sehingga melekat padanya sesuatu dari tanah tersebut. Lalu
mengusapkannya ke luka atau tempat yang sakit sambil mengucapkan
perkataan ini ketika mengusap tersebut, wallohu a’lam”. [Syarh Shohih Muslim 14/184]
Semoga Alloh memberi taufik dan
pertolongan kepada kita untuk mengisi waktu lapang dan sehat dengan
amalan-amalan sholih, serta menutupi kesempitan dan masa sakit dengan
balasan yang bermanfaat.
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلاّ أنت أستغفرك وأتوب إليك
[1] Dihasankan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh
[2] Dari Fudholah bin ‘Ubaid dan selainnya dari kalangan shohabat. Dishohihkan Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil Rahimahumalloh
[3] Lengkapnya:
وَلَئِنْ أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْهُ إِنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ * وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ نَعْمَاءَ بَعْدَ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ ذَهَبَ السَّيِّئَاتُ عَنِّي إِنَّهُ لَفَرِحٌ فَخُورٌ * إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِير
“Jika Kami berikan rahmat Kami kepada manusia, kemudian rahmat itu Kami cabut kembali pastilah dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih. Sementara jika Kami berikan kebahagiaan kepadanya setelah ditimpa bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: “Telah hilang bencana itu dariku”, sungguh dia merasa sangat gembira dan bangga. Kecuali orang-orang yang sabar dan mengerjakan amalan-amalan kebaikan, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar” (QS Hud 9-11)
وَلَئِنْ أَذَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنَّا رَحْمَةً ثُمَّ نَزَعْنَاهَا مِنْهُ إِنَّهُ لَيَئُوسٌ كَفُورٌ * وَلَئِنْ أَذَقْنَاهُ نَعْمَاءَ بَعْدَ ضَرَّاءَ مَسَّتْهُ لَيَقُولَنَّ ذَهَبَ السَّيِّئَاتُ عَنِّي إِنَّهُ لَفَرِحٌ فَخُورٌ * إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِير
“Jika Kami berikan rahmat Kami kepada manusia, kemudian rahmat itu Kami cabut kembali pastilah dia menjadi putus asa dan tidak berterima kasih. Sementara jika Kami berikan kebahagiaan kepadanya setelah ditimpa bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata: “Telah hilang bencana itu dariku”, sungguh dia merasa sangat gembira dan bangga. Kecuali orang-orang yang sabar dan mengerjakan amalan-amalan kebaikan, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar” (QS Hud 9-11)
[4] Hasil kawin silang antara keledai jantan dengan kuda betina
[5] Ibnu Baththol Rahimahulloh mengatakan:
“Perintah beliau kemungkinannya adalah sebagai bentuk anjuran dan
perbuatan mustahab yang mengatarkan kepada sikap saling bersaudara dan
menjalin hubungan. Bisa juga kemungkinannya bahwa hukumnya adalah farhu
kifayah” [Syarh Shohih Al-Bukhory 5/211]
Sumber: ahlussunnah.web.id
Sumber: ahlussunnah.web.id
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Sakit: Pemutus Cerita – Pemupus Derita (Bag.3)
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/sakit-pemutus-cerita-pemupus-derita-bag3.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5