Ikut Pemerintah Indonesia atau Saudi dalam penanggalan Ramadhan/Arofah ?

Posted by Admin 0 comments

Dua Negara Mengalami Perselisihan Dalam Penanggalan,
Kita Ikut Yang Lebih Dulu Melihat Bulan
(Penentuan Hari Arofah dan 1 Ramadhan)

Ditulis Oleh:
Abu Abdirrohman Shiddiq Al Bughisiy
عفا الله عنه
Darul Hadits Dammaj – Yaman
- semoga Alloh menjaganya-
بسم الله الرحمن الرحيم
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum. Setiap bulan sya’ban menjelang berakhir kaum muslimin  di negara kita (indonesia) selalu dibuat bingung dalam menghadapi/menentukan awal bulan romadhan. Ada sebagian yang mengikuti ketetapan dari pemerintah, dan sebagian lagi mengikuti apa yg terjadi di negara Arab Saudi.  Mana yg lebih kita ikuti: hasil rukyat dari pemerintah, atau dari hasil rukyat dari negara lain (terkhusus Arab Saudi) dalam menentukan bulan romadhon dan 1 syawal ?
Jawaban
Wa’alaikum salam warohmatullahi wa barokatuh
Indonesia dan Arab Saudi, keduanya adalah negri muslim dan memenuhi persyaratan diterimanya khabar dari mereka tentang ru’yah hilal. Kalau terjadi perbedaan hari maka  tentu ada hari yang pertama  dan ada hari yang kedua, dan berita yang paling pertama datang adalah hari yang pertama dan kita mengamalkan ru’yah tersebut, Nabi ﷺ ‏  bersabda:
«صوموا لرؤيته، وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين».
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal), dan berbukalah (di akhir bulan) karena melihatnya. Jika pandangan kalian terhalangi, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari.” (HR. Al Bukhoriy (1909) dan Muslim (1081)).

Ana juga dulu pernah tanya kepada Syaikh Muhammad bin Hizam حفظه الله ketika terjadi perbedaan antara negeri Saudi lebih cepat satu hari daripada negeri Indonesia dalam menentukan 1 ramadhan, apakah mereka yang di Indonesia mengikuti Saudi ataukah pemerintah Indonesia dan jawaban beliau ketika itu adalah mengikuti Saudi. Wallahu a’lam.
Bagaimana dengan hadits :
الصوم يوم تصومون والفطر يوم تفطرون والأضحى يوم تضحون
“Puasa adalah hari di mana kalian berpuasa, dan Fitri adalah hari di mana kalian berbuka, dan Adha adalah hari di mana kalian menyembelih.” (HR. At Tirmidziy (697) dari Abu Huroiroh رضي الله عنه).
Al Imam At Tirmidziy رحمه الله setelah menyebutkan hadits ini beliau berkata:
وفسر بعض أهل العلم هذا الحديث فقال إنما معنى هذا أن الصوم والفطر مع الجماعة وعظم الناس
“Dan sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan berkata: maknanya adalah bahwasanya puasa dan Fithri itu bersama jama’ah dan orang banyak.”
Kita jawab:
Yang benar adalah ucapan mayoritas ulama, bahwasanya seseorang yang yakin telah melihat hilal awal Romadhon, maka dia wajib berpuasa, sekalipun diselisihi orang banyak. Mereka berkata:
يتعين عليه حكم نفسه فيما تيقنه
“Wajib bagi orang yang melihat hilal tersebut menerapkan hukum dirinya sendiri (untuk berpuasa) terhadap apa yang diyakininya.” (dinukil oleh Al Imam Asy Syaukaniy رحمه الله dalam “Nailul Author” (3/hal. 383)).
Lalu apa makna yang benar bagi hadits di atas?
Makna yang benar adalah:
Bahwasanya orang yang telah melihat hilal secara pasti, maka dia berpuasa sekalipun diselisihi orang banyak, karena dia itulah yang benar dan mengikuti sabda Nabi ﷺ dalam hadits yang pertama dan yang senada dengannya. Hanya saja: orang-orang yang menyelisihinya itu, sekalipun pada hakikatnya mereka keliru, akan tetapi kekeliruan yang dibangun di atas ijtihad (mereka telah mencurahkan kerja keras untuk melihat hilal tetapi Alloh menakdirkan mereka tidak melihat) itu dimaafkan, dan puasa mereka tetap teranggap dan mendapatkan pahala dan tidak perlu diulang.
Inilah tafsir kebanyakan ulama terhadap hadits kedua tadi.
Al Imam Asy Syaukaniy رحمه الله berkata tentang mayoritas ulama:
وفسروا الحديث بمثل ما ذكر الخطابي.
“Dan mereka menafsirkan hadits tersebut seperti apa yang disebutkan oleh Al Khoththobiy.” (“Nailul Author” (3/hal. 383)).
Apa yang disebutkan oleh Al Imam Abu Sulaiman Al Khoththobiy رحمه الله?
Beliau berkata:
معنى الحديث أن الخطأ موضوع عن الناس فيما كان سبيله الاجتهاد فلو أن قوما اجتهدوا فلم يروا الهلال إلاّ بعد الثلاثين فلم يفطروا حتى استوفوا العدد ثم ثبت عندهم أن الشهر كان تسعا وعشرين فإن صومهم وفطرهم ماض فلا شيء عليهم من وزر أو عتب . وكذلك هذا في الحج إذا أخطؤوا يوم عرفة فإنه ليس عليهم إعادته ويجزيهم أضحاهم كذلك ؛ وإنما هذا تخفيف من الله سبحانه ورفق بعباده ولو كلفوا إذا أخطؤوا العدد أن يعيدوا أن يأمنوا أن يخطؤوا ثانيا وأن لا يسلموا من الخطأ ثالثا ورابعا فإن ما كان سبيله الاجتهاد كان الخطأ غير مأمون فيه.
“Makna hadits ini adalah: bahwasanya kekeliruan manusia dalam perkara yang penetapannya itu memang harus lewat ijtihad itu dimaafkan. Maka andaikata ada sekelompok orang berijtihad (bersungguh-sungguh mencurahkan kerja keras untuk melihat hilal) tetapi mereka tidak berhasil melihat hilal kecuali setelah tanggal tiga puluh (Sya’ban, misalkan) sehingga mereka tidak berbuka (tidak mengangap masuk Idul Fithri) sampai menggenapkan bulan jadi 30 hari, kemudian jelaslah bagi mereka bahwasanya bulan Sya’ban tersebut hanya berumur 29 hari, maka sesungguhnya puasa mereka dan Idul Fithri mereka itu tetap berjalan (tetap diterima oleh syariat dan tidak dibatalkan), sehingga mereka tidak berdosa dan tidak tercela. Demikian pula dalam masalah haji, jika mereka keliru dalam menetapkan hari Arofah, mereka tidak dituntut untuk mengulanginya, dank urban mereka tetap diterima.
Dan ini hanyalah keringanan dari Alloh Yang Mahasuci, dan kelembutan-Nya pada para hamba-Nya. Andaikata mereka dibebani untuk mengulang lagi ibadah mereka karena salah dalam menentukan bilangan bulan, bisa jadi mereka akan keliru lagi pada kali yang kedua, dan mereka tidak selamat dari kemungkinan keliru pada kali yang ketiga, dan keempat, karena perkara yang penentuannya itu memang harus lewat jalur ijtihad, tidak aman dari kekeliruan.” (“Ma’alimus Sunan”/2/hal. 95).
Tapi bagaimana dengan lahiriyyah hadits tersebut yang mengisyaratkan bahwasanya kita harus mengikuti puasa orang banyak?
Kita katakan: kita tidak keluar dari penunjukan hadits tersebut karena pada kenyataannya kita itu tidak sendirian, kita bersama seluruh masyarakat Arab Saudi dan pemerintahnya, karena memang mereka yang melihat hilal lebih dulu.
Maka dengan ini kita taat pada hadits pertama, sekaligus mengikuti hadits kedua. Segala puji bagi Alloh.
Dan sebagian ulama juga memahami hadits tersebut bahwa itu apabila dia tidak mengetahui perbedaan terhadap apa yang orang banyak yakini, dan dia belum yakin dari ru’yah hilal, wAllahu a’lam.
Pertanyaan kedua:
2.bagaimana jika terjadi perbedaan penetapan tanggal 9 Dzulhijjah antara negara indonesia dan negara Saudi? Mana yg lebih kita ikuti terkhusus bagi kita yang hendak menjalankan ibadah puasa arafah?
jazaakallahu khoiron
Jawaban:
Dinamakan hari ‘arafah karena pada hari itu orang-orang yang sedang menunaikan ibadah haji tengah wuquf di ‘arafah, dan hal itu tentunya sesuai dengan penanggalan hari yang ditetapkan pemerintah Su’udiyyah. Dan pemerintah Saudi menetapkannya setelah jelas bagi mereka tanggal 1 Dzul Hijjah yang diketahui lewat ru’yah. Maka yang berpuasa ‘arafah hendaknya berpuasa manakala para jama’ah haji sedang wukuf di ‘Arafah. Silakan lihat kembali penjelasan Al Imam Al Khoththobiy رحمه الله di atas. wAllahu a’lam.
Syaikh kami Yahya bin ‘Ali Al Hajuri حفظه الله ‏  juga pernah ditanya dengan pertanyaan semisal ini, beliau juga merajihkan bahwa berpuasa ‘arafah itu sesuai dengan penanggalan Su’udiyyah, wAllahu a’lam. -selesai-
Sumber: isnad.net
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Ikut Pemerintah Indonesia atau Saudi dalam penanggalan Ramadhan/Arofah ?
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/07/ikut-pemerintah-indonesia-atau-saudi.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
credit for cara membuat email - Copyright of Risalah Kajian.