Islam dan Hukum Karma
0
comments
ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Andalasy –saddadahulloh-
Ahad 29 Syawwal 1433H
Darul Hadist Dammaj -harosahallohu-
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله، نحمده ونستعينه
ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا
مضل له، ومن يضلل فلا هادي له. وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، أما بعد:
Istilah hukum karma, banyak didengar dan
mungkin sudah populer di lisan-lisan sebagian kaum muslimin. Tak lain
sebabnya, karena terlalu lapangnya pola interaksi antar agama dan
terlalu gampangnya pemahaman-pemahaman luar Islam masuk lewat
media-media informasi yang notabene telah menjadi “makanan pokok” bagi
sebagian orang, wallohul musta’an. Jadi jangan heran jika anda
melihat sebagian orang terlihat kurang peka –bahkan cenderung lalai-
dengan sesuatu yang merusak akidahnya bahkan menganggap baik atau
wajarnya perkara tersebut.
Pembahasan yang –insya Alloh- akan kita
lewati, terkait dengan keyakinan pokok pada agama Hindu ataupun Buddha
(sebagaimana di Sutta Pitaka), bahwasanya kebaikan mesti mendatangkan kebaikan dan kejelekan mesti mendatangkan kejelekan. Dari
landasan tersebut muncullah berbagai pertanyaan: “Bagaimana caranya
kebaikan bisa mendatangkan kebaikan (dan sebaliknya)?, Siapakah yang
mengatur itu semua?, Kapan terjadinya?”. Sebagai jawabannya, mereka
memakai HUKUM KARMA.
SEKILAS MENGENAI KARMA
Karma berasal dari bahasa Sansekerta
yang berarti amalan. Hakikat karma adalah setiap amalan yang dilakukan
seorang manusia baik berupa perkataan, perbuatan ataupun amalan. Bisa
juga dikatakan bahwa karma adalah seluruh kehidupan manusia.[1]
Karma memiliki sebab dan memiliki akibat
(buah). Karma yang baik akan datang dengan akibat yang baik dan karma
yang jelek akan datang dengan akibat yang jelek. Mereka meyakini bahwa
kejelekan ataupun kebaikan yang mereka dapatkan adalah akibat perbuatan
mereka di kehidupan yang lalu (keyakinan reinkarnasi).
AKIDAH-AKIDAH KARMA PADA AGAMA-AGAMA YANG BERKEMBANG DARI INDIA
Keyakinan karma telah dahulu diyakini
kelompok-kelompok kerpercayaan dan filsafat-filsafat di India, seperti
Brahmiyyah (yang terkadang disebut sebagai Hindu), Buddha, Jainiyyah dan
sebagainya dari kelompok-kelompok agama di India. Semua kelompok ini
sepakat akan adanya hukum karma serta adanya reinkarnasi baik dalam
jasad manusia ataupun hewan sesuai dengan baik tidaknya amalan mereka,
yakni sesuai dengan karma.
Pada kepercayaan Brahmiyyah
terdapat perincian yang jelas bahwasanya nasib seseorang di dalam
kehidupannya ini tidak lain buah dari kehidupannya yang lalu, sementara
amalannya sekarang akan “membantu” keadaan seseorang ketika dilahirkan
pada kehidupan yang akan datang. Seseorang yang berbuat kejelekan dengan
anggota badannya akan “lahir” sebagai benda mati pada kehidupan
berikutnya, seseorang yang berbuat kejelekan dengan lisannya, akan
menjadi burung atau hewan, sementara orang yang berbuat kejelekan dengan
akan terlahir sebagai kasta terendah.[2]
Maka keyakinan karma inilah yang menjadi
landasan pembagian kasta, bahwasanya setiap kasta merupakan buah karma
pada kehidupan mereka sebelumnya, sehingga tidak ada alasan bagi kasta
yang rendah untuk keberatan, tidak puas atau dengki dengan kasta yang
diatasnya, karena keberadaannya pada kastanya adalah akibat karmanya
sendiri di kehidupan yang lalu. Hukum karma inilah –di sisi Brahmiyyah-
yang menjadi dasar bagi setiap kasta untuk tunduk dan puas dengan
keadaannya.
Agama Buddha pada
asalnya adalah pecahan Hindu dimana pendirinya Sidharta berasal dari
kasta Ksatriya (kasta level 2), dimana dia menyerukan persamaan
kedudukan meniadakan pembedaan kasta. Beda agama Buddha dengan
Brahmiyyah, bahwasanya Brahmiyyah meyakini semua sesembahan (baik berupa
hewan-hewan atau berhala yang merupakan symbol dewa mereka) berkumpul
dalam satu tuhan yang mereka sebut dengan Maha Brahma[3] semua perkara yang terjadi mengikut pada takdir dan ketetapannya. Brahmiyyah meyakini pada setiap benda terdapat atma yaitu zat asal dari Maha Brahma, sehingga tujuan kehidupan mereka adalah Moksha (terkadang disebut juga Nirwana)
yaitu kembali menyatu dengan tuhan mereka sumber segala ruh (keyakinan
Wihdatul Wujud di sisi sufi), sesuai dengan hukum karma dan reinkarnasi.[4]
Sementara agama Buddha tidak meyakini
itu, mereka berpatokan kepada usaha manusia baik ilmu atau amalan,
karena itulah banyak orang melihat bahwa filsafat tentang adab, akhlak
dan tingkah laku pada agaman Buddha lebih dominan dari perkara ketuhanan[5].
Mereka meyakini bahwa hukum karma bukanlah tuhan melainkan tempat
berhukum semua yang ada, baik tuhan-tuhan, manusia ataupun selain
mereka.[6] Sementara perjalanan akhir Buddha adalah Nirwana (atau fana’ di kalangan sufi) yaitu kefanaan[7], dimana jiwa sudah terlepas dari segala keinginan dan syahwat sehingga tidak bisa masuk lagi ke siklus reinkarnasi.
Brahmiyyah meyakini pengaturan kasta
berdasar nasab, sementara Buddha mengingkarinya dan berpendapat bahwa
nasab tidak berpengaruh apa-apa, mereka mengembalikan semuanya kepada
usaha dan upaya yang dilakukan oleh manusia, karena itulah untuk
menentang keyakinan Brahmiyyah ini, agama Buddha menolak adanya takdir
dan ketetapan dari tuhan Brahman. Buddha memiliki juga perincian dalam
hukum karma[8], diantaranya:
Orang yang senang menyiksa dan membunuh
binatang. Maka pada kehidupan selanjutnya dia akan hidup sebagai hewan.
Apabila karmanya selesai maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan
bangkit sebagai manusia yang berumur pendek.
Pencuri akan dibangkitkan sebagai roh
jahat atau hewan, jika karmanya selesai maka dia (pada kehidupan
selanjutnya) akan bangkit sebagai manusia yang melarat.
Pemabuk akan dibangkitkan sebagai roh
jahat atau hewan, jika karmanya selesai maka dia (pada kehidupan
selanjutnya) akan bangkit sebagai orang gila.
Pezina akan dibangkitkan sebagai roh
jahat atau hewan, jika karmanya selesai maka dia (pada kehidupan
selanjutnya) akan bangkit sebagai manusia yang terzholimi
Adapun orang yang ketika hidup tidak mau
mabuk maka dia (pada kehidupan selanjutnya) akan bangkit sebagai
manusia yang cerdas, dihormati di kalangan manusia. dsb
Jainiyyah adalah aliran
yang muncul sezaman dengan Buddha. Pendirinya juga berasal dari kasta
ksatria sezaman dengan Sidharta. Karena itu dalam kitab-kitab suci
Buddha banyak dimuat perdebatan antara Sidharta dengan para Rahib
Jainiyyah. Adapun karma di sisi Jainiyyah sebagaimana keyakinan agama
Buddha, karena Jainiyyah meyakini bahwa berlangsungnya kehidupan ini
adalah karena karma yang muncul sebab keterkaitan antara ruh dan
materi. Mereka meyakini bahwa ruh dan materi tidak ada penciptanya,
keduanya terdahulu dan ada dengan sendirinya. Ruh-ruh yang bisa selamat
dari siklus reinkarnasi, itulah yang menjadi tuhan bagi mereka.
Namun berbeda dengan agama Buddha,
Jainiyyah meyakini bahwa seluruh kehidupan manusia saat ini adalah buah
dari kehidupan manusia sebelumnya, manusia tidak bisa mengubahnya
sedikitpun. Adapun Buddha meyakini bahwa manusia bisa mengubah
keadaannya pada kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang[9],
sehingga apa yang mereka alami hari ini sebagiannya adalah buah dari
perbuatan mereka dalam kehidupan ini dan sebagiannya merupakan buah dari
perbuatan mereka di kehidupan sebelumnya.
PENDAPAT ADANYA HUKUM KARMA ADALAH PENDAPAT ADANYA REINKARNASI
Keyakinan hukum karma ini berbuah pada
reinkarnasi, karena ketika mereka melihat pada kenyataan bahwa sering
perbuatan manusia tidak terlihat balasannya semasa hidupnya. Seorang
yang zholim bisa saja mati sebelum mendapatkan balasan atas
kezholimannya, demikian juga orang yang beramal kebajikan belum tentu
mendapatkan hasilnya dalam kehidupannya. Karena itulah butuh kepada
“kehidupan-kehidupan” yang banyak, sehingga balasan dapat terpenuhi jika
tidak didapatkan pada kehidupan ini.
KARMA “BERBUNTUT” PENIADAAN HARI PEMBALASAN
Keyakinan ini, baik didasari pemahaman ilhad (Atheis) atau wihdatul wujud,
yang jelas perkara tersebut menolak keyakinan akan adanya hari akhir
hari pembalasan. Karena mereka meyakini bahwa buah karma mesti mereka
“cicipi” sampai akhirnya mereka bisa mencapai titik akhir menyatunya
dengan Maha Brahma (Moksha di sisi Brahmiyyah) atau kebahagiaan yang abadi (Nirwana di sisi Buddha, namun Mereka tidak menetapkan apakah derajat nirwana adalah kehidupan yang kekal atau kemusnahan[10]).
Adapun kiamat yang disebut sebagian
Hindu tidak lain merupakan salah satu dari siklus dunia. Dimana –menurut
mereka- dunia itu ada empat masa yang masing-masing masa tersebut
berlangsung selama ratusan sampai jutaan tahun. Setelah masa ini
berakhir maka akan terjadi kiamat dan seluruh ruh akan kembali ke ruh
yang mulia (Brahman). Kemudian siklus dunia akan kembali untuk kedua
kalinya, ketiga kalinya, sampai waktu yang tanpa akhir.[11]
Siklus-siklus tersebut semuanya terkait
dengan Brahman. Manu –dalam syari’atnya mengatakan: “Parmeshwar (Maha
Brahma) ingin menciptakan makhluk dari zatnya sendiri maka dia
menciptakan air, lalu melemparkan mani kedalamnya. Mani ini kemudian
menjadi telur. Dari telur tersebut keluarlah Brahman dan kulit telur
terpecah menjadi dua. Maka kulit yang satu dia jadikan surga dan kulit
yang lain dia jadikan bumi langit dan apa-apa yang ada diantara
keduanya, arah yang delapan dan laut yang berombak. Kemudian dari
mulutnya keluar (kasta) Brahmana, dari tangannya keluar (kasta)
Ksatriya, dari pahanya keluar (kasta) Waisya dan dari kakinya keluar
(kasta) Sudra. Selama Brahman bangun maka dunia tetap ada, sementara
jika dia tertidur maka dunia akan kiamat”.
Manu mengatakan: “Demikianlah tuhan
menciptakan segala sesuatu dan menciptakanku. Dan dia mengulang
perbuatan ini silih berganti setelah terjadinya kiamat. Apabila dia
tidur maka terjadilah kiamat. Apabila dia bangun terjadilah makhluk”.[12]
Jadi kematian bagi mereka: Kalau ruh itu telah mencapai derajat Moksha
maka dia akan bersatu dengan tuhannya, jika belum maka dia akan terus
melakukan reinkarnasi sampai kiamat untuk kembali ke tuhannya, kemudian
mulai lagi siklus yang baru.[13]
Demikian juga Buddha, meskipun mereka menyebutkan adanya kiamat[14], namun itu hanyalah fase dari sebuah siklus, setelah itu bumi akan terbentuk lagi.[15]
ISLAM, WALILLAHIL HAMD
Fithrah manusia meyakini –dan tidak
dapat ditolak- bahwa manusia dan alam yang membentang ini mesti ada yang
mengatur dan menciptakannya. Sang Pencipta itu mestilah sesuatu yang
ada dzat dan sifatnya yang penuh kesempurnaan. Manusia –jika tidak
dituntun syari’at- berbeda-beda dalam penyifatan penciptanya karena
perbedaan daya tangkap dan pemahaman mereka. Sebab itulah muncul
beraneka ragam penggambaran batil yang ujungnya kembali kepada
akal-akalan mereka.
Islam adalah agama yang sempurna dan
dengannyalah fithrah manusia diciptakan. Islam meyakini bahwa Alloh
memiliki sifat-sifat yang tinggi lagi sempurna, dan sifat-sifat tersebut
tidak sama dengan sifat makhluk. Alloh Ta’ala mengatakan:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
“Dia tidak semisal dengan sesuatu apapun, dan Dialah As-Samii’ (Yang Maha Mendengar) dan Al-Bashiir (Yang Maha Melihat)” (QS Asy-Syuro 11)
Pengatur segenap makhluk tidaklah
disifati dengan sifat-sifat kurang seperti tidur, beristri dsb,
kebutuhan-kebutuhan yang sepantasnya disandarkan kepada makhluk. Dialah
penguasa mutlak, pencipta kalian, pengatur segala sesuatu dan tidak ada
yang luput dari ketetapan-Nya, Dialah Robb kalian:
ذَلِكُمُ اللَهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ
إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
وَكِيلٌ * لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ
وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Itulah Alloh, Robb kalian. Tidak
ada yang berhak untuk diibadahi selain Dia, Pencipta segala sesuatu maka
ibadahilah Dia. Dialah pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat
dicapai oleh penglihatan mata, sementara Dia melihat segala penglihatan
itu. Dialah Al-Lathiif (Yang Maha Halus Perbuatannya) lagi Al-Khabiir
(Yang Maha Teliti)” (QS Al-An’am 102-103)
Setiap perbuatan-Nya memiliki hikmah
yang hanyalah ditolak oleh orang-orang yang tidak sadar dengan
keterbatasan akalnya, membuat keharusan-keharusan sekenanya, kalau
begini maka begitu … akal tapi tidak logis.
Diantara hikmah-Nya adalah diutusnya
para rasul untuk menyampaikan syari’atnya, menjelaskan apa yang mesti
diperbuat seorang hamba di dalam kehidupan dunia yang satu kali saja.
Dia menjadikan hari akhir sebagai pembalasan perbuatan hamba. Dia berhak
mengampuni hamba yang dikehendaki-Nya[16] dan Dia berhak mengangkat derajat mereka sesuai keinginan-Nya, dan itu semua karena keutamaan-Nya.
Dia tidak ditanya kenapa berbuat begini, kenapa berbuat begitu, tapi kitalah yang kelak akan ditanya.
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُون
“Dia tidak ditanya tentang perbuatan-Nya, akan tetapi merekalah yang kelak akan ditanya”. (QS Al-Anbiya’ 23)
Kitalah yang diatur karena kita adalah makhluk-Nya, bagaimana makhluk bisa membuat aturan bagi penciptanya?
Imam Ath-Thobary Rahimahulloh mengatakan –dalam tafsir ayat di atas-: “Alloh Ta’ala Dzikruhu
mengatakan bahwa tidak ada satupun yang berhak menanyai Robbul ‘Arsy
tentang apa yang diperbuat-Nya terhadap makhluk-Nya, berupa pengaturan
mereka dengan apa yang Dia kehendaki, baik dengan kehidupan, kematian,
kemuliaan, kehinaan, dan selainnya dari hikmah-Nya terhadap mereka.
Karene mereka semua adalah makhluk dan hambanya, seluruhnya berada dalam
kepemilikan dan kekuasaan-Nya. hukum adalah hukum-Nya, ketetapan adalah
ketetapan-Nya. Tidak ada apapun di atas-Nya yang bisa mananyainya
tentang perbuatan-Nya, sehingga berkata kepada-Nya: “Kenapa Engkau
melakukan ini? Kenapa Engkau tidak berbuat begini?”.
Dia Jalla Tsana’uhu mengatakan
bahwa seluruh yang di langit dan di bumi dari hamba-hamba-Nya akan
ditanya tentang perbuatan mereka, akan dihitung amalan-amalan mereka.
Dialah yang akan menanyai dan menghitung mereka tentang itu[, karena Dia
di atas mereka, Dialah pemilik dan penguasa mereka”. [Tafsir At-Thobary 18/425]
Persiapkanlah diri dalam kehidupan yang pendek ini, sebelum datang hari yang tak ada gunanya penyesalan …
وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ
الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ كَذَلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ *
وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَالْإِيمَانَ لَقَدْ لَبِثْتُمْ فِي
كِتَابِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْبَعْثِ فَهَذَا يَوْمُ الْبَعْثِ
وَلَكِنَّكُمْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ * فَيَوْمَئِذٍ لَا يَنْفَعُ
الَّذِينَ ظَلَمُوا مَعْذِرَتُهُمْ وَلَا هُمْ يُسْتَعْتَبُونَ
“Pada hari ketika terjadinya kiamat,
maka orang-orang pendosa bersumpah bahwa mereka berdiam di kubur hanya
sesaat saja. Begitulah dahulu mereka dipalingkan dari kebenaran. Maka
orang-orang diberi ilmu dan keimanan berkata kepada mereka: “Sungguh
kalian telah berdiam di dalam kubur menurut ketetapan Alloh sampai hari
berbangkit, dan sekaranglah hari berbangkit itu, akan tetapi dahulu
kalian tidak meyakininya. Maka pada hari itu tidak bermanfaat lagi
permintaan maaf orang-orang yang zholim dan mereka tidak diberi
kesempatan untuk bertobat lagi”. (QS Ar-Rum 55-57)
وَيَوْمَ نَبْعَثُ مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ
شَهِيدًا ثُمَّ لَا يُؤْذَنُ لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَلَا هُمْ
يُسْتَعْتَبُونَ * وَإِذَا رَأَى الَّذِينَ ظَلَمُوا الْعَذَابَ فَلَا
يُخَفَّفُ عَنْهُمْ وَلَا هُمْ يُنْظَرُونَ * وَإِذَا رَأَى الَّذِينَ
أَشْرَكُوا شُرَكَاءَهُمْ قَالُوا رَبَّنَا هَؤُلَاءِ شُرَكَاؤُنَا
الَّذِينَ كُنَّا نَدْعُو مِنْ دُونِكَ فَأَلْقَوْا إِلَيْهِمُ الْقَوْلَ
إِنَّكُمْ لَكَاذِبُونَ * وَأَلْقَوْا إِلَى اللهِ يَوْمَئِذٍ السَّلَمَ
وَضَلَّ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَفْتَرُون
“Ingatlah!, hari Kami membangkitkan
seorang rosul sebagai saksi bagi setiap umat, kemudian orang-orang kafir
tidak diizinkan untuk membela diri dan meminta ampunan. Apabila
orang-orang zholim tersebut melihat azab, maka mereka tidak akan
mendapat keringanan dan tidak juga mendapat penangguhan. Apabila
orang-orang yang beribadah kepada selain Alloh melihat sembahan-sembahan
mereka, maka mereka berkata: “Wahai Robb Kami inilah sekutu-sekutu
bagi-Mu yang dulu kami beribadah kepada selain-Mu. Maka sekutu mereka
mengatakan: “Sesungguhnya kalian adalah pendusta”. Pada hari itu barulah
mereka menyatakan tunduk kepada Alloh dan lenyaplah segala yang mereka
ada-adakan” (QS An-Nahl 84-87)
Tapi –ketika itu- semuanya sudah terlambat …
TOLERANSI KAMU EKSPANSI MEREKA
Tak dipungkiri bahwa interaksi yang
terlalu lapang antara kaum muslimin dengan pengikut kayakinan-keyakinan
yang menyimpang membuka celah yang lebar untuk masuknya pemahaman
tersebut dengan gampang dan tanpa disadari. Sebuah amalan, perkataan
atau pola pikir yang sering dijumpai –walau pada asalnya ada
penentangan- sedikit demi sedikit bisa merasuk dan mungkin menjadi darah
daging. Betapa banyak orang yang tidak waspada pada dirinya ketika
mendengar Mahabarata, Ramayana, Shaolin, perdukunan, dunia sihir,
Vampire dsb. Justru hal-hal semacam itulah yang laris menyebar di
tengah-tengah muslimin, ditonton, dibaca, didengar, dijadikan cagar
budaya … wallahul musta’an
Betapa banyak kaum muslimin menjadikan
media sebagai “penasehat pribadi”nya, dan rasanya dampaknya tidak ada
yang memungkiri. Berapa banyak orang yang merasa kerasukan atau
ketakutan melewati kuburan? Tak lain karena habis nonton film horror
atau khurafat-khurafat yang diperbincangkan dari mulut ke mulut.
Padahal wajib bagi seorang muslim
menjaga keselamatan agamanya. Berakhlak, berkeyakinan, berpenampilan dan
berperilaku sesuai dengan yang disyari’atkan. Hal tersebut tidak akan
tercapai kecuali disertai pengingkaran atau penyelisihan terhadap
perkara-perkara yang menjadi symbol atau kebiasaan para pengikut
kesesatan. Karena meremehkan perkara ini menyeret –secara sadar ataupun
tidak- kepada pemahaman mereka, dengan kata lain menjauh dari syari’at
Islam.
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Alloh mengutus Muhammad Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan
hikmah yaitu sunnahnya. Itulah cara dan metode yang disyari’atkan
baginya. Diantara hikmah tersebut bahwasanya beliau disyari’atkan
–dengan perbuatan dan perkataan- untuk menjelaskan jalannya orang-orang
yang dimurkai dan jalan-jalan orang yang sesat. Maka beliau di
perintahkan untuk menyelisihi jalan mereka secara lahiriyyah[17] walaupun pada kebanyakan orang mereka tidak menyadari adanya bahaya dalam (penyerupaan) mereka, karena beberapa perkara:
Diantaranya:
Bergabungnya mereka dalam perkara lahiriyyah menghasilkan adanya saling
kesesuaian dan kesamaan antara dua pihak yang serupa. Hal itu menggiring
kepada upaya penyepakatan dalam akhlak dan amal. Ini adalah perkara
yang dapat kita lihat dan rasakan. Sesungguhnya seseorang yang memakai
pakaian –seperti pakaian orang berilmu- akan mendapatkan pada dirinya
unsur keinginan untuk bergabung dengan mereka. Orang yang memakai
pakaian pasukan perang –sebagai contoh- akan mendapatkan pada dirinya
adanya akhlak seperti akhlak mereka, serta tabiatnya menuntut hal itu
kecuali jika ada faktor lain yang menghalanginya.
Diantaranya: Bahwasanya
penyelisihan terhadap metode secara lahir akan berdampak kepada
perbedaan dan pemisahan yang menggiring pemutusan dari perkara yang
bisa menimbulkan kemurkaan Alloh, dan dari sebab-sebab kesesatan, serta
menggiring kepada rasa saling menyayangi dengan orang-orang yang diberi
petunjuk dan diridhoi. Dengannyalah bisa terwujud apa yang yang Alloh
perintahkan dalam masalah loyalitas antara tentara-Nya yang selamat dan
musuh-Nya yang merugi.
Semakin sempurna “kehidupan” hati dan
semakin mengetahui Islam –yaitu hakikat Islam, bukan maksudku
semata-mata label secara lahir atau sekedar keyakinan ikut-ikutan di
batin-, maka akan semakin sempurna perasaannya untuk berpisah dengan
Yahudi dan Nashoro[18]
secara lahir maupun batin, dan semakin kuat jauhnya dari akhlak-akhlak
mereka (agama lain) yang ada pada sebagian kaum muslimin.
Diantaranya:
Bergabungnya mereka dalam perkara lahiriyyah menghasilkan adanya
pencampur-bauran sehingga hilang perbedaan secara lahir antara
orang-orang yang diberi petunjuk dan diridhoi dengan orang-orang yang
dimurkai dan sesat.
Juga yang lainnya dari sebab-sebab hukum
(penyelisihan orang kafir tersebut). Hal ini kalau penyerupaan yang
terjadi pada perkara-perkara yang dibolehkan (jika terlepas dari sikap
penyerupaan). Adapun jika perkara yang diserupai adalah perkara yang
menyebabkan kekafiran mereka maka (orang yang meniru) memiliki unsur
dari unsur-unsur kekafiran. Maka mencocoki mereka dalam perkara tersebut
adalah kecocokan pada maksiat dari maksiat-maksiat yang mereka lakukan.
Prinsip ini semestinya dipahami”. [Iqtidho’ Sirothil Mustaqim 1/91-94]
Pembahasan kita ini satu dari sekian
contoh perkara yang sudah melekat di kebanyakan kaum muslimin bahkan
diantaranya sudah menjadi adat bagi mereka turun-temurun. Wajib bagi
kaum muslimin untuk mempelajari agamanya, kadar yang dengannya dia bisa
mengibadahi Alloh dengan benar, kadar yang dengannya dia bisa menjaga
diri dan keluarganya dari pemikiran-pemikiran yang merusak masa-depannya
kelak pada hari yang telah dijanjikan.
سبحنك وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
SUMBER BACAAN TERKAIT DENGAN PEMBAHASAN:
Iqtidho’ Sirothil Mustaqim li Mukholafati Ashabil Jahim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullohu Ta’ala
Al-Budziyyah Taarikhuha wa ‘Aqo’iduha wa ‘Alaqotus Shufiyyah Biha[19] karya DR. ‘Abdulloh Musthofa Numisack Waffaqohulloh
Ad-Dirosat fil Yahudiyyah wal Mashihiyyah wa Adyanil Hind karya DR Muhammad Dhiya’ur Rohman Al-A’zhomiy Waffaqohulloh
[1] Al-Mabadi’ul Haammah fil Budziyah 375-376, Ushulul Budziyah 190
[2] Mano Samarty 679
[3]
Dengan nama lain Barmatma atau Permeshwar. Mereka meyakini bahwa tuhan
besar tersebut terkumpul dari tiga asal dengan tiga sifat: sifat
pencipta (dari sisi ini mereka namakan tuhan mereka dengan nama
Brahman), sifat penjaga (mereka namakan juga Wisnu) dari sisi sifat
pemusnah (mereka namakan juga Siwa) (Al-Falsafah Hindiyyah 89).
[4]
Al-Hayah Ba’dal Maut 85. Hakikat Moksha adalah lepasnya keterikatan ruh
dengan materi (jasad). karena itulah mereka melakukan pembakaran mayat
dengan tujuan agar ruh bisa terbebas dari materi jasan dan naik ke alam
yang tinggi.
[5]
Panya Nandha Bikohu –salah seorang Rahib Besar Budha pada pertemuan
ikatan Budha Sedunia di Kuala Lumpur (10 April 1978) mengatakan:
“Keberadaan Alloh atau tidaknya bukan perkara penting bagi kami, karena
hal tersebut tidak terkait dengan kebebasan yang kami serukan”.
(An-Nazhor minad Dakhil 12, 13, 20-23)
[6] Perkataan Bodhi Nandha (Lubbul Budziyyah 21)
[7] Falsafatul Hindiyyah 221
[8] Hukum Karma 42-49
[9] Tri Pitaka sebagaimana di Suttan Pitaka 460
[10] Radha Kirsyanan mengatakan: “Sesungguhnya Buddha menolak menjelaskan makna nirwana.
Atas dasar ini maka tidak ada faidah untuk berusaha memahaminya. Bahkan
bisa saja sifat manusia tidak bisa menjelaskan apa itu nirwana” Adyanul
Hindi Al-Qubro 161
[11] Satyaritha Prakash bab 8
[12] Manu Ismity bab 1 51-52
[13] www.parisada.org/index.php.?itemid=29&id=266&option=com_contents&task=view
[14] Sebagaimana di Anguttara Nikaya. http://ratnakumara.wordpress.com/kiamat-sudah-dekat-kah/
[15] http://www.buddhitsonline.com/tanya/td214.shtml
[16] Selain perbuatan syirk karena Alloh telah menetapkan bahwa Dia tidak akan mengampuni mereka
[17]
Seperti adat, kebiasaan, perkataan-perkataan, pakaian, cara interaksi
dll. Termasuk disini ungkapan tau istilah-istilah yang bisa dipakai
dalam keyakinan mereka.
[18] Demikian juga dengan yang lain
[19] Mayoritas sumber tentang Buddha dan Hindu dalam artikel ini, dinukil dari kitab ini.
Sumber: ahlussunnah.web.id
Sumber: ahlussunnah.web.id
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Islam dan Hukum Karma
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/islam-dan-hukum-karma.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5