Perjalanan para ulama dalam menuntut ilmu

Posted by Admin 0 comments

RIHLAH ULAMA DALAM MENUNTUT ILMU

Ditulis oleh: Abu Ubaidillah ‘Amir bin Munir bin Hasan Al-Atshihy
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد:
Selayaknya bagi seorang muslim senantiasa memohon kepada Alloh subhanahu wa ta’ala agar ia diberikan pemahaman akan agamanya dikarenakan Ilmu adalah suatu jalan yang akan menyampaikannya kepada kejayaan di dunia dan akhirat.

Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam berkata:
إِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَطْلُبُ.
“Sesungguhnya para Malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu, Ridho terhadap apa yang ia cari”. (Hadits Shohih Dishohihkan oleh Al-Imam Al-Albaniy di dalam Shohih Al-Jaami’ Ash-Shoghiir dari Hadits Sofwan bin ‘Assal Radhiyallohu ‘anhu)
Di dalam hadits yang lain Beliau shallallohu ‘alaihi wa sallam berkata:
مَن سَلَكَ طَرِيقاً يَلتَمِسُ فِيهِ عِلماً سَهَّلَ اللهُ لَهُ به طَرِيقاً إِلىَ الجَنَّةِ.
“Barangsiapa yang menempuh suatu perjalanan untuk mencari suatu ilmu, maka Alloh akan memudahkan baginya suatu jalan untuk menuju ke Surga”. (Hadits Shohih Dishohihkan oleh Al-Imam Al-Albaniy di dalam Shohih Al-Jaami’ Ash-Shoghiir dari Hadits Abu Hurairoh Radhiyallohu ‘anhu)
Ilmu itu tidak mungkin terpenuhi melainkan juga dengan berusaha menempuh segala sebab-sebab yang akan mengantarkannya untuk hal tersebut,.
Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam berkata:
إِنَّمَا العِلمُ بِالتَّعَلُّمِ.
“Sesungguhnya ilmu itu semata-mata diperoleh dengan dituntut (mempelajarinya)”. (Al-Hadits dihaasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albany di dalam Al-Silsilah Ash-Shohihah (1/ 605), dan Juga Al-Hafidh ibnu Hajar di dalam Syarah Fathul Bariy dari Hadits Abu Darda’).
Berkata Al-Hafidh ibnu Hajar Rahimahulloh: “Makna (dari hadits) bukanlah ilmu yang diakui itu kecuali apa-apa yang diambil dari para Nabi dan pewaris-pewaris mereka dengan cara mempelajarinya”. (Fathul Baariy Kitaabul Ilmi bab berilmu sebelum berbicara dan beramal).
Nabiyulloh Musa ‘Alaihis salam setelah memperoleh khabar dari Robb-nya subhanahu wa ta’ala bahwasannya seorang hamba-Nya yang bernama khidir ‘Alaihis salam memiliki ilmu yang tidak diketahui olehnya. Maka ia pun memohon kepada-Nya subhanahu wa ta’ala agar ditunjukkan jalan baginya untuk bisa berjumpa dengannya dan tidak merasa puas diri atau merasa cukup dari apa yang beliau peroleh dari ilmu. Untuk tujuan itu pula beliau mau bersusah payah, dan juga memikul lelah dalam menempuh jalan untuk bisa bertemunya dengan hamba-Nya tersebut serta menimba ilmu darinya, sebagaimana yang Allah telah kisahkan di dalam Kitab-Nya. Dalam keadaan beliau seorang Nabi yang Mulia ‘alaihis salam.
Maka sepatutnya bagi seorang muslim yang telah merasakan kenikmatan ilmu untuk ia menuntut ilmu tersebut dari ahlinya. Telah ditanyakan kepada Al-Imam Ahmad Rahimahulloh: “Apakah seseorang itu pergi berihlah (menempuh perjalanan jauh) untuk menuntut ilmu? Maka beliau menjawab :“Demi Alloh, tentu saja”.            
Al-Imam Abu Hatim Ar-Raaziy Rahimahulloh berkata: “Pertama kali aku keluar untuk menuntut ilmu aku menuntutnya selama 7 tahun, aku menghitung perjalananku dengan kaki sejauh lebih dari 1000 farsakh(1)“.(Diriwayatkan oleh Anaknya yaitu Ibnu Abi Hatim di dalam kitabnya Al-Jarh wat Ta’diil)     
Berkata ‘Abdurrahman bin Abi Hatim Rahimahulloh: aku mendengar ayahku berkata: “Ketika kami keluar dari kota Madinah yaitu dari tempat Daud Al-Ja’fariy, maka kami berhenti pada (suatu tempat yang disebut) Al-Jaar. Lalu kamipun menaiki perahu. Kami bertiga yaitu (aku), Abu Zuhair Al-Marwadziy seorang kakek dan seorang laki-laki dari negeri Naisaabur. Ketika kami menyeberangi lautan, angin menerpa wajah-wajah kami, maka kami berada di lautan selama tiga bulan, sehingga dada-dada kamipun terasa sempit dan persediaan makanan pun telah habis, dan tidak tersisa darinya kecuali sedikit. Maka ketika kami telah sampai di darat, mulailah kami berjalan dengan kaki selama beberapa hari sampai habislah semua  persediaan makanan dan air yang kami bawa. Kamipun berjalan sehari semalam tanpa ada makanan sedikitpun yang kami makan dan juga tidak pula air yang kami minum. Demikian juga pada hari yang kedua, dan hari ketiga. Setiap harinya kami berjalan sampai tiba malam hari. Apabila telah tiba waktu sore kami mengerjakan sholat, lalu kami pun merebahkan diri di mana saja (kami merebahkannya). Tubuh-tubuh kami telah terasa lemah dikerenakan lapar dan haus, dan lelah. Maka pada hari ketiga yaitu ketika paginya mulailah kami berjalan lagi sebatas kemampuan kami, maka sang kakek itupun jatuh pingsan lalu kami mendekatinya dan berusaha untuk menyadarkan maka diapun sudah tidak sadarkan diri lagi. Kami pun kemudian meninggalkannya. Lalu Aku dan shahabatku dari Naisaabur tersebut terus melanjutkan perjalanan sejauh kira-kira satu atau dua farsakh, kemudian aku merasa semakin lemah, akhirnya akupun jatuh pingsan. Shohabatku itu berlalu meninggalkanku dan tetap terus berjalan. Maka tiba-tiba ia melihat suatu kaum berada di atas kapal dan telah mendekat ke darat dan merekapun turun di satu sumur (yang dinamakan) sumur Musa ‘alahi salam. Maka ketika saling memandang, ia pun memberikan isyarat kepada mereka dengan melambaikan pakaiannya. Kemudian merekapun mendatanginya dengan membawa air, lantas meminumkannya serta membopongnya. Lalu ia berkata: “pergilah kalian kepada dua orang shahabatku, mereka telah jatuh pingsan”.
Tanpa sadar seorang menuangkan air ke atas wajahku maka akupun mulai membuka mataku, lalu aku berkata: “Berikan aku air”. Lalu ia pun menuangkan di dalam gelas sedikit air, lalu aku meminumnya, aku mulai sadar akan tetapi dengan kadar tersebut belum cukup membuatku lega, lalu aku berkata: “Berikan aku air”, maka ia meminumkanku sedikit dan memegang tanganku. Aku berkata: “Dibelakangku ada seorang kakek yang telah jatuh pingsan”, Ia berkata: “Sekelompok orang telah pergi mencarinya”, kemudian ia membopongku sambil ia meminumkanku air sedikit demi sedikit sementara aku berjalan sambil menyeret kaki.
Ketika sampai di perahu mereka, ternyata mereka telah membawa sahabatku pak tua. Mereka melayani kami dengan baik, maka  tinggallah kami (di sana) untuk beberapa hari sampai tubuh kami terasa segar kembali. Kemudian mereka menuliskan untuk kami surat kepada penguasa suatu kota yang disebut Ar-Raayah. (sebelum kami pergi) mereka membekali kami dengan kue-kue, sawiq(1), dan air. Kemudian kami terus kembali melanjutkan perjalanan sampai habislah seluruh perbekalan kami. Mulailah kami berjalan di pesisir pantai dalam keadaan lapar dan dahaga, lalu kami dapati seekor kura-kura dihempas oleh ombak laut bagaikan sebuah perisai, lalu kami mengambil sebuah batu besar dan kami pukulkan ia ke atas kura-kura tersebut maka terbelahlah punggungnya, ternyata di dalamnya seperti kuning telur, lalu kami mengambil beberapa kulit kerang yang berserakan di tepi pantai. Maka mulailah kami menciduk kuning tersebut lalu meminumnya sehingga hilanglah dari kami rasa lapar dan haus. Kemudian kamipun terus berlalu dengan kembali memikul (kesusahan) sehingga tibalah di kota Ar-Raayah.
Kami pun menyampai surat tersebut kepada pegawai mereka, maka ia membawa masuk kami ke rumahnya dan melayani kami dengan baik, setiap harinya ia menyajikan kami sejenis labu, ia berkata kepada pelayannya: “Bawakan untuk mereka labu”, maka ia pun menyajikan labu tersebut dan juga roti untuk kami selama beberapa hari. Kemudian salah seorang dari kami berkata dalam bahasa Persia: “Janganlah kalian mendatangkan daging yang tidak bagus”, dan dia mulai memperdengarkannya kepada tuan rumah. Ia berkata: “Aku bisa berbahasa parsi, sesungguhnya nenekku seorang Harawiyah(2), lalu ia pun membawakan untuk kami daging. Setelah itu kamipun keluar dari tempat tersebut, dan ia (tuan rumah) tersebut memberi bekal untuk kami sehigga sampailah kami ke negeri Mesir.
(Kisah ini diriwayatkan oleh anaknya yaitu Ibnu Abi Hatim di dalam kitabnya Al-Jarh wat Ta’diil, Adz-dzahabiy di dalam Siyar A’lam An-Nubala’ dan juga Al-Khathiib Al-Baghdaadiy di dalam kitabnya Ar-Rihlah fii Talabil Hadits).
Demikian di antara kisah para ulama dalam menimba ilmu, kesusahan mereka dalam memperolehnya dan itu tidaklah membuat mereka merasa lemah dan bosan atau mundur dalam memperolehnya. Bahkan hal itu membuat mereka semakin bersemangat untuknya. Berkata Al-Imam Asy-Syafi’I Rahimahulloh: “Tidaklah seorang akan berhasil dalam menuntut ilmu yang mana ia menuntutnya dengan rasa bosan, atau merasa cukup, akan tetapi barangsiapa yang menuntutnya dengan pengorbanan, kehidupan yang sempit, dan berkhidmat untuk ilmu tersebut maka merekalah yang akan berhasil”.
Berkata Al-Imam Muslim di dalam Shohihnya dari Yahya bin Abi Katsir Rahimahulloh: “Ilmu itu tidak akan diperoleh dengan tubuh yang santai”.
Semoga Alloh memberi taufiq bagi penulis dan juga para para pembaca untuk dimudahkan dalam memahami agamanya. Sesungguhnya barangsiapa yang diberikan kefaqihan baginya dalam agamanya maka sesungguhnya ia telah diberkan kebaikan yang sangat banyak. Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa sallam berkata:
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ.
“Barangsiapa yang Alloh kehendaki baginya kebaikan maka Alloh akan memberikan ia pemahaman dalam agamanya”.

(1) satu farsakh kurang lebih 3 mil, 1 mil kurang lebih 1,6 km.
(2) yaitu nisbat kepada suatu kota yang terletak di negeri Khurasan yang mana sekarang merupakan salah satu kota di Afghanistan dan ia merupakan bagian dari wilayah Persia.

Sumber: ahlussunnah.web.id 
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Perjalanan para ulama dalam menuntut ilmu
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/perjalanan-para-ulama-dalam-menuntut.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
credit for cara membuat email - Copyright of Risalah Kajian.