Pendapat terpilih tentang dhoifnya hadits sholat tasbih

Posted by Admin 0 comments
Ditulis Oleh: Abu Zakaria Irham Al-Jawiy
Darul Hadits, Jum’at 1 Sya’ban 1433
~ Semoga Alloh Menjaganya ~
بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
إِنَّ الحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهِ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَّ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أما بعد:

Diantara sebab munculnya bid’ah yang tersebar di kalangan umat adalah berpegangnya sebagian manusia dengan hadits yang dhoif (lemah). Oleh karena itu pada pembahasan kali ini akan kami sajikan penjelasan tentang sebuah hadits yang terjadi banyak perselisihan tentang keshohihan dan kedhoifannya, yaitu hadits tentang sholat tasbih.
Teks Hadits:
Telah datang hadits tentang sholat tasbih dan keutamaannya dari beberapa shohabat dengan jalan yang banyak, akan tetapi semua hadits-hadits tersebut ada celaan padanya. Sanad yang paling bagus adalah sanad yang datang pada riwayat hadits dari Ibnu ‘Abbas –Rodhiyallohu ‘anhuma-.
Imam Al-Baihaqy dan yang lainnya telah meriwayatkan dari Abu Hamid bin Asy-syarqiy bahwa imam Muslim berkata: “Tidaklah diriwayatkan pada (sholat tasbih) ini  sanad yang lebih bagus dari riwayat ini (yaitu riwayat hadits ibnu abbas)”.
Oleh karena itu, kami cukupkan dengan pemaparan teks dan penjelasan terperinci tentang perowi  hadits ibnu ‘Abbas saja. Adapun jalan-jalan yang lain cukup dengan isyarat. Sebab kalau jalan yang terbagus saja tidak bisa diterima apalagi jalan-jalan yang lain?!![1] Sengaja kami usahakan untuk menyajikan pembahasan ini sesederhana mungkin agar bisa dipahami dengan mudah, walaupun mungkin bagi yang belum pernah belajar ilmu hadits tetap saja akan terasa sulit. Akan tetapi karena yang menjadi tujuan adalah penegakan hujjah dan penjelasan bahwa hadits yang menjadi sandaran kebanyakan kaum muslimin dalam pengamalan sholat tasbih tidaklah shohih, berdasarkan kaidah-kaidah ilmu hadits, maka tidak boleh tidak, harus mencantumkan perkataan-perkataan para ulama ahli hadits dan perselisihan mereka tentang hadits tersebut.
Teks hadits tersebut adalah sebagai berikut:
Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wa sallam- berkata kepada ‘Abbas Ibnu Abdil Muththolib:
عَشْرُ خِصَالٍ، إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ، قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ، خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ، صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ، سِرَّهُ وَعَلَانِيَتَهُ،
عَشْرُ خِصَالٍ: أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً، فَإِذَا فَرَغْتَ مِنَ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ، قُلْتَ: سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً، ثُمَّ تَرْكَعُ، فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ، فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا، فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنَ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَسْجُدُ، فَتَقُولُهَا عَشْرًا، ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ، فَتَقُولُهَا عَشْرًا، فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ، فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ،
إِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ، فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً.
“Sepuluh perbuatan jika kamu melakukannya, Alloh akan mengampuni dosa-dosamu baik yang awal atau yang akhir, baik yang telah lama atau yang baru, baik yang dilakukan secara tidak sengaja maupun yang sengaja, baik yang besar maupun yang kecil, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan.
Sepuluh perbuatan tersebut adalah: engkau sholat empat rokaat, membaca pada setiap rokaat al-Fatihah dan surat (lainnya). Jika engkau telah selesai dari bacaan itu pada rokaat pertama, bacalah dalam keadaan kamu berdiri:
سُبْحَانَ اللَّهِ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ،
Sebanyak sepuluh kali. Kemudian rukuk dan kamu membacanya dalam keadaan rukuk sebanyak sepuluh kali. Kemudian kamu angkat kepalamu dan membacanya sepuluh kali. Terus sujud dan kamu membacanya dalam keadaan sujud sepuluh kali. Kemudian kamu angkat kepalamu dari sujud  dan membacanya sepuluh kali. Semua itu jumlahnya: tujuh puluh lima. Yang demikian ini kamu lakukan dalam setiap rokaat yang keseluruhannya ada empat rokaat.
Apabila kamu mampu untuk melakukan sholat ini sekali setiap hari lakukanlah. Jika tidak, maka lakukanlah sekali sepekan. Jika tidak, maka lakukanlah dalam sebulan sekali. Jika tidak, maka lakukanlah dalam setahun sekali. Jika tidak, maka lakukanlah dalam seumur hidup sekali.”
Tahqiq Hadits:
Hadits Ibnu ‘Abbas ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (1697), Ibnu Majah (1387), Ibnu Huzaimah (1216), Al-Hakim (1/ 143),  dan Al-Baihaqy (4916) semuanya meriwayatkan dari jalan: ‘Abdurrahman bin Bisyr bin Al-Hakam An-Naisabury, dia berkata: Telah menyampaikan hadits ini kepada kami: Musa bin Abdul Aziz, telah menyampaikan hadits ini kepada kami: Al-Hakam bin Aban dari ‘Ikrimah, dari ibnu ‘Abbas.
Imam Ibnu Khuzaimah juga meriwayatkan pada no (1216) dari ‘Ikrimah secara mursal, tanpa menyebutkan Ibnu ‘Abbas. [lihat Al-Musnad Al-Jami’: 8/491]
Melihat dari sanad hadits di atas, memang memungkinkan seseorang untuk menghukumi hadits menjadi hasan terlebih lagi jika digabung dengan sanad-sanad yang lain. Oleh karena itu, beberapa ulama ahli hadits menshohihkan  hadits ini atau minimalnya meng-hasan-kannya, seperti: Ibnu Mandah, Al-Ajurry, Al-Khothib, Abu Sa’d As-Sam’any, Abu Musa al Madiny, Al-Mundziry, ibnu Sholah, As-Subuky, Al-Albany, dan yang lainnya. [lihat: Al-Fawaid Al-Majmu’ah karya Imam Asy-Syaukany:  38]
Akan tetapi, diantara syarat diterimanya suatu hadits, selain sanadnya tidak ada perowi yang dhoif, juga harus terbebas dari ‘illah (cacat) yang mengakibatkan hadits tersebut tidak diterima. Dan pembahasan tentang ‘illah suatu hadits adalah pembahasan yang paling sulit dan rumit dalam ilmu hadits, sehingga terkadang terluputkan dari sebagian ulama. Diantara bentuk ‘illah yang sering ditemukan adalah penegasan dari para imam peneliti hadits bahwa suatu hadits itu datang dari seorang rowy yang dia tidak punya kemampuan untuk mendatangkan hadits sendirian tanpa didukung dengan riwayat perowy yang lain, hal ini dalam istilah ilmu hadits disebut dengan tafarrud. [lihat: Atsar ‘ilalil hadits fikhtilafil fuqoha’: 133)
Beberapa ulama ahlu hadits yang mumpuni telah menyatakan dengan tegas bahwa hadits Ibnu ‘Abbas tentang sholat tasbih ini ada ‘illah-nya.
Hadits ini telah bersendirian dalam periwayatannya: Musa bin Abdil ‘Aziz Al-‘adany, padahal dia bukanlah termasuk dalam deretan perawi yang tsiqoh.
Imam Ibnu Ma’in berkata tentangnya: “Aku anggap dia itu tidak mengapa.”
Berkata Abul Fadhl As-Sulaimany: “Dia itu mungkar haditsnya.”
Berkata Ibnul Madiny: “Dia itu dho’if.”
Adapun Ibnu Hibban, beliau menyebutkannya dalam Ats-Tsiqot. Namun sudah diketahui bersama bahwa Ibnu Hibban itu bermudah-mudahan dalam permasalahan seperti ini.
Kesimpulan yang diberikan Al-Hafidz Ibnu Hajar: “Dia itu shoduq (haditsnya hasan) tapi hafalannya jelek.”
Karena itulah imam Adz-Dzahaby dengan tegas menyatakan bahwa Hadits sholat tasbih termasuk riwayat darinya yang diingkari. [lihat: Al-Mizan pada biografi Musa bin Abdil ‘Aziz]
Dari sinilah dipahami penegasan dari para imam bahwa tidak ada yang shohih dalam permasalahan sholat tasbih.
Imam Ahmad mengatakan: “Tidak ada pada sholat tasbih itu satu haditspun yang shohih.” [Riwayat Al-atsrom]
Al-‘Uqoily juga menyatakan demikian dalam kitabnya Adh-Dhu’afa’.
Demikian pula: Abu Bakar Ibnul ‘Aroby, Ibnul Jauzy, Syaikhul Islam, al-Mizzy, dan yang lainnya.
Selain itu, Imam Ibnul Madiny juga mengatakan bahwa yang benar bahwa hadits ibnu ‘Abbas itu mauquf, berhenti pada Ikrimah. Dengan ini jelaslah bahwa hadits Ibnu ‘Abbas itu dhoif. [Lihat: Ittihaful Mahroh: 8281]
Bahkan Syaikh Al-Albani sendiri, yang termasuk  dalam deretan ulama yang berpendapat tentang shohihnya, setelah menyebutkan bahwa hadits juga datang dari jalan mursal menyatakan bahwa hadits ibnu Abbas butuh penguat. Kemudian beliau mengatakan bahwa jalan-jalan penguat itu telah didatangkan oleh al-Khotib al-Bagdady, tapi semuanya lemah sekali. [Shohih Abi Dawud: 1173]
Mungkin perkataan Al-Hafidz Ibnu Hajar, imam besar dari kalangan Syafi’iyah berikut ini bisa kita jadikan kesimpulan dari semua pembahasan di atas, beliau mengatakan setelah menyebutkan sanad-sanad hadits tentang sholat Tasbih:
“Yang benar adalah bahwa jalan-jalan hadits sholat tasbih itu semuanya dhoif. Walaupun hadits Ibnu ‘Abbas bisa mendekati syarat untuk bisa di-hasan-kan, tapi hadits tersebut syadz, karena parahnya tafarrud yang ada padanya, dan tidak adanya pendukung yang lain serta penguat yang bisa diterima. Juga karena adanya penyelisihan terhadap tata cara sholat-sholat yang ada.” [At-Talkhish: 2/ 13-14]
Penyelisihan dan kesendirian inilah yang mungkin menyebabkan imam Ibnu Khuzaimah meragukan kebenaran hadits sholat tasbih. Beliau berkata: “Kalaulah kabar (tentang Sholat tasbih) itu shohih, sesungguhnya dalam hatiku ada sesuatu yang mengganjal tentang sanad hadits ini.”[lihat: Shohih ibni Khuzaimah]
Al-‘Allamah Al-Muhaddits Hammad Al-Anshory –rohimahulloh- berkata: “Sholat tasbih itu batil dari sisi sanad maupun matan (konteks)nya. Sebagian manusia bersusah payah untuk menjelaskan keshohihan haditsnya. Hal seperti ini tidaklah pantas baginya.” [lihat: Al-Majmu’ fi tarjamatil ‘allamah al-muhaddits as-Syaikh Hammad bin Muhammad Al-Anshory: 2/477]
Adapun Syaikh Muqbil Al-Wadi’y, memang beliau pada awalnya menghasankan hadits Ibnu ‘Abbas dan mencantumkannya dalam kitab beliau Ash-Shohihul Musnad (588). Akan tetapi, Syaikh kami Muhammad bin Hizam menjelaskan bahwa Syaikh Muqbil ketika dinaikkan kepada beliau hasil pembahasan hadits yang menetapkan bahwa hadits tersebut ada ‘illah-nya sehingga tidak bisa untuk dihasankan, beliau menerimanya. Karena itu, seharusnya hadits ini sudah tidak dicantumkan lagi dalam kitab Ash-Shohihul Musnad. Syaikh Muhammad bin Hizam menegaskan bahwa tetapnya hadits tersebut pada cetakan yang terbaru kitab Ash-Shohihul Musnad adalah suatu kesalahan.
Guru kami, Turkiy Al-‘Abdiny juga menyatakan bahwa Syaikh Muqbil telah rujuk dari penghasanan hadits ibnu Abbas di atas. Jadi, apabila seseorang mengatakan bahwa Syaikh Muqbil menghasankan hadits, maka pernyataan ini tidaklah benar. Wallohu A’lam.
Hukum Sholat Tasbih:
Syaikh Ibnu Baz –rohimahulloh- berkata: “Sholat Tasbih tidak tetap (keabsahannya). Telah datang (hadits) dari jalan-jalan yayng banyak, tapi semuanya lemah, tidak shohih dari Nabi –Shollallohu ‘alaihi wasallam-. Mengamalkannya tidaklah disyareatkan demikian pula dakwah kepadanya. Barangsiapa yang men-shohih-kan hadits tersebut sungguh telah keliru. Wajib bagi seorang muslim untuk berpegang teguh dengan sunnah yang jelas dan ibadah yang tetap serta meninggalkan hal-hal yang menyelisihinya. Telah tetap dari Nabi -Shollallohu ‘alaihi wa sallam- semua perkara yang beliau lakukan, baik berupa sholat sunnat maupun wajib, dan beliau sama sekali tidak melakukan sholat tasbih. Tidak ada satupun yang menukil dari beliau bahwa beliau melakukan sholat tasbih, tidak di waktu dhuha, tidak di waktu malam, tidak pula di waktu bepergian maupun ketika bermukim. Oleh karena itu, wajib untuk berpaling darinya (sholat tasbih) dan meninggalkannya. [fatawa nur ‘alad darb- yang dikumpulkan  oleh Asy-syuwai’ir: 11/ 94]
Fatwa serupa juga datang dari Lajnah Daimah dan mereka berkata di akhir fatwa: “Pada macam-macam sholat yang shohih dari Nabi –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- kecukupan dari sholat (tasbih) yang aneh ini, yang menyelisihi hal-hal yang telah diketahui dari syareat yang suci.” [Fatawa Lajnah Daimah II: 6/ 159]
Syaikh Al-‘Utsaimin –rohimahulloh- ditanya: “Wahai Fadhilatusy Syaikh, apa hukum ibadah yang dibangun di atas dalil yang diperselisihkan diantara ahli ilmi tentang keshohihannya, seperti sholat tasbih. Pihak yang berpendapat tentang  ke-dhoif-an hadits (sholat tasbih) apakah mereka menghukumi orang-orang yang men-shohih-kan hadits dan beramal dengannya bahwa amalan tersebut bid’ah? Ataukah mereka diam saja dan tidak mengingkarinya, karena dalil yang ada pada permasalahan tersebut diperselisihkan tentang ke-dhoif-annya?
Syaikh menjawab:
“Pertama kali, semoga Alloh memberkahimu, wajib untuk diketahui bahwa hukum asal dalam perkara-perkara ibadah adalah larangan. Apabila datang suatu hadits yang diperselisihkan keshohihannya, wajib seseorang untuk menahan diri, yang hal ini merupakan kebalikan dari kandungan hadits tersebut. Sebab, hukum asal adalah larangan, sampai tegak dalil yang menetapkan perkara itu. Terlebih lagi semisal permasalahan sholat tasbih.
Sholat tasbih, pertama: sholat ini syadz (menyelisihi sholat-sholat yang lainnya) dalam bentuk dan tata caranya.
Kedua: sholat ini syadz dalam penentuan waktunya. Sebab kamu tidaklah melakukan sholat setiap hari, atau setiap pekan, atau setiap bulan, atau tiap tahun, seumur hidup sekali…, darimana datangnya peribadatan yang seperti ini?!!
Ketiga: dari sisi pengamalan, kalaulah sholat tasbih itu disyariatkan bagaimana mungkin bisa tersembunyi dari umat ini sehingga tidak muncul kecuali pada zaman tabi’in (generasi setelah sahabat)?!! Sebab, orang paling terkenal yang diriwayatkan darinya sholat ini adalah ‘Abdulloh ibnu Mubarok. Kemudian setelah Abdulloh bin Mubarok, apakah tersebar di kalangan umat islam?!! Tidak tersebar. Hal ini juga merupakan penguat yang dengannya diketahui kedhoifan hadits (sholat tasbih), yaitu bahwa umat tidak mengamalkannya. [pembahasan kaidah ini ada di: Syarhu ‘ilalit Tirmidzy karya ibnu Rojab, silakan merujuk kepadanya-pen]….
Oleh karena itulah Syaikhul Islamrohimahulloh- mengatakan bahwa hadits (sholat tasbih) itu batil, karena tidak seorangpun imam yang menyatakan ke-sunnah-annya, (yang dimaksud) adalah imam-imam yang mumpuni dari umat islam tidak menganggapnya sunnah.
Adapun permasalahan: apakah orang yang melakukannya dihukumi sebagai ahli bid’ah atau tidak? Dilihat dulu, jika orang itu termasuk orang-orang yang punya kemampuan untuk berijtihad, kita tidak mungkin untuk menyifatinya dengan bid’ah dalam keadaan dia punya ijtihad, apalagi perkara ini adalah perkara ‘amaliyah. Adapun jika orang tersebut tidak punya kemampuan untuk berijtihad maka dikatakan kepadanya: bahwa amalan tersebut bid’ah. (Maksudnya) hukum asal amalan itu adalah bid’ah. Namun apakah kita katakan bahwa orang yang melakukannya sebagai mubtadi’ (ahli bid’ah) ataukah (kita katakan) bahwa amalan itu bid’ah?  (Jawabnya:) selama (dalil) tidak tetap maka perkara tersebut adalah bid’ah. Adapun mengenai orang yang melakukannya, saya tidaklah menyebutnya sebagai mubtadi’, tapi sholat (tasbih) itu sendiri hukumnya bid’ah. [Fatawa nur ‘alad Darb, lihat juga: Fatawa Arkanil Islam: 363]
Kesimpulan dari pembahasan kita, bahwa hadits tentang sholat tasbih dhoif. Karena itu, tidaklah diperbolehkan seorang muslim membangun ibadah dengannya. Terlebih lagi jika seseorang mengkhususkannya pada malam tertentu seperti yang dilakukan kebanyakan kaum muslimin pada malam 15 Sya’ban yang lebih dikenal dengan malam Nishfu Sya’ban. Sungguh ini adalah bid’ah di dalam bid’ah.
Taruhlah bahwa hadits sholat tasbih itu shohih, lalu apakah ada dalil yang menyatakan pengkhususan sholat tersebut pada malam Nishfu Sya’ban?? Tidak ada sama sekali.
Inilah yang bisa kami sajikan pada kesempatan ini, semoga bisa bermanfaat bagi penulis pribadi dan bagi pembaca sekalian. Semoga Alloh memberikan hidayah dan taufiqNya kepada kita semua dan membuka hati-hati kaum muslimin untuk kembali kepada agama mereka dan mempelajarinya sehingga mereka beribadah kepada Alloh Dzat Pencipta di atas ilmu dan petunjuk, bukan di atas kebiasaan dan kebodohan semata.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.

[1] Metode seperti ini adalah metode ringkas dalam men-tahqiq suatu hadits yang datang dengan sanad-sanad yang banyak. Apabila telah datang penegasan dari suatu imam bahwa jalan terbaik dalam suatu hadits adalah jalan dari perowi tertentu, maka cukup dengan melihat jalan tersebut dulu, kemudian baru menentukan langkah untuk melihat jalan-jalan yang lain. Terlebih lagi jika ada perkataan dari imam ahli ‘ilal bahwa semua jalan suatu hadits itu lemah, kita tidak perlu susah payah mengumpulkan jalan-jalan tersebut, karena hasilnya tidak akan keluar dari pernyatan imam tersebut. Demikianlah yang diajarkan oleh Syaikh kami Muhammad bin Hizam. Jazahullohu khoiron.

Sumber: ahlussunnah.web.id 
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Pendapat terpilih tentang dhoifnya hadits sholat tasbih
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/pendapat-terpilih-tentang-dhoifnya.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
credit for cara membuat email - Copyright of Risalah Kajian.