Nasehat yang berpuasa di bulan Ramadhan
0
comments
MEMASUKI BULAN YANG PENUH BERKAH
TANPA MASALAH
ditulis oleh:
Abu Ja’far Al-Harits bin Dasril Al-Minangkabawy Saddadahulloh
24 Sya’ban 1433–Darul Hadits Harosahalloh
Abu Ja’far Al-Harits bin Dasril Al-Minangkabawy Saddadahulloh
24 Sya’ban 1433–Darul Hadits Harosahalloh
بسم الله الرحمن الرحيم
إنَّ الحَمْدَ لله، نَحْمَدُه،
ونستعينُه، ونستغفرُهُ، ونعوذُ به مِن شُرُورِ أنفُسِنَا، وَمِنْ سيئاتِ
أعْمَالِنا، مَنْ يَهْدِه الله فَلا مُضِلَّ لَهُ، ومن يُضْلِلْ، فَلا
هَادِي لَهُ. وأَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلا اللهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ،
وأشهدُ أنَّ مُحَمَّدًا عبْدُه ورَسُولُه. أمَّا بَعْدُ
Romadhon, adalah bulan yang
dinanti-nanti segenap muslimin, salah satu syi’ar yang telah Alloh
Ta’ala wajibkan bagi hamba-Nya, Alloh mengatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
“Wahai orang-orang yang beriman,
telah diwajibkan puasa atas kalian, sebagaimana diwajibkan bagi
orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa” (QS Al-Baqoroh 183)
Semestinya bagi seorang muslim, memiliki
bekal dan mencari pengetahuan terhadap ibadah yang bakal dikerjakannya.
Tidak ada yang basi dalam membahas ilmu agama ini, terkadang seseorang
memahami begini, kemudian berganti dengan semakin matangnya
pemahamannya. Bisa saja dia mendapat dalil baru yang semakin memperkuat
apa yang selama ini diyakininya. Atau mungkin sebaliknya, dalil itu
malah membuat pendapatnya berubah. Hal itu wajar, demikianlah kadar yang
Alloh Ta’ala berikan kepada hamba-Nya, dan ilmu semakin didalami akan
semakin kelihatan dalamnya.
Maka bersyukurlah orang-orang yang telah Alloh Subhanahu wa Ta’ala
bukakan pintu hatinya untuk bersungguh-sungguh menjalankan agamanya di
atas ilmu dengan pemahaman yang benar, Al-Qur’an dan Sunnah di atas
pemahaman salaf. Sesungguhnya merekalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.
Diantara permasalahan ilmiyyah yang
sering dibahas sebelum mendekati Romadhon adalah penentuan awal dan
akhir puasa, apakah mesti sesuai dengan pemerintah suatu negara atau
cukup mengikuti ru’yah (pengamatan munculnya bulan baru) dari negara lain yang lebih duluan melihatnya.
Sebagaimana namanya, maka sesuatu
pembahasan yang ilmiyyah adalah perkara yang memang dilandasi ilmu, dari
Al-Qur’an, As-Sunnah, dengan menerapkan kaidah-kaidah fiqh yang
dibangun di atas dalil-dalil dan pemahaman salafus sholeh. Maka
semestinya bagi seorang muslim pada permasalahan seperti ini, berusaha
membangun pemahamannya di atas dalil, berlapang dada jika mendapatkan
perbedaan dengan saudaranya yang sama-sama berusaha berpendapat dengan
dalil.
Pada kesempatan ini kita akan mengupas
sedikit tentang masalah ini, berdiskusi dengan metode yang diusahakan
lebih sederhana, semoga Alloh Ta’ala memberikan kita taufik untuk
mencocoki kebenaran dan membantu kita untuk itu serta menjadikannya
sebagai amalan yang bermanfaat bagi kita semua.
JUMLAH HARI DALAM PENANGGALAN Qomariyah TIDAK BAKU
Tidak seperti penanggalan syamsiyah (berdasar peredaran matahari) yang memiliki bulan-bulan dengan jumlah hari yang tetap (kecuali Februari), penanggalan qomariyyah tidak diketahui jumlah hari dalam tiap-tiap bulannya. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
hanya memberitakan kepada umatnya bahwa bilangan hari dalam satu bulan
berkisar antara dua puluh sembilan atau tiga puluh, beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
«إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ
نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا – وَعَقَدَ
الإِبْهَامَ فِى الثَّالِثَةِ – وَالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا»
يَعْنِي تَمَامَ ثَلاَثِينَ.
Sesungguhnya kita adalah umat yang ummy, kita tidak menulis dan kita tidak berhitung. Bulan itu begini, begini dan begini –beliau menekuk jempolnya pada kali yang ketiga-. Dan bulan itu begini, begini dan begini. Maksudnya sempurna tiga puluh. (HR. Muslim dari Ibnu Umar Rodhiyallohu ‘Anhu)
Sesuatu yang tidak baku tentunya tidak bisa ditetapkan dengan rumus tertentu, karena perumusan menghasilkan sesuatu yang baku.
CARA MENGETAHUI MASUKNYA DAN BERAKHIRNYA BULAN ROMADHON
Alloh Ta’ala mengatakan:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي
أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى
وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Bulan Romadhon adalah bulan yang
didalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta penjelasan antara hak
dan bathil. Karena itu barangsiapa diantara kalian yang melihat bulan
itu maka berpuasalah” (QS Al-Baqoroh 185)
Ayat tersebut diatas, dengan tegas menyatakan bahwa perintah puasa dikaitkan dengan syarat melihat hilal Romadhon. Demikian juga dengan berakhirnya puasa Romadhon, waktunya ditentukan dengan melihat hilal Syawal atau penggenapan Romadhon menjadi tiga puluh sebagaimana dijelaskan selanjutnya.
SILANG PENDAPAT DALAM PENETAPAN RU’YAH YANG DIPAKAI
Pokok permasalahan ini adalah: Apabila
suatu negeri muslimin telah melihat hilal, apakah mengharuskan seluruh
kaum muslimin di penjuru dunia beramal dengan ru’yah tersebut?
Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh menyebutkan bahwa dalam masalah ini terjadi perbedaan sampai delapan madzhab [Ad-Daroril Mudiyyah 2/172] namun secara garis besar ada tiga pendapat yang masyhur dan kuat dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Wajib bagi kaum muslimin untuk beramal dengan ru’yah tersebut
Ini adalah mazhab Malikiyyah dan
Hanafiyyah, masyhur di mazhab Hanabilah, salah satu pendapat di kalangan
Syafi’iyyah. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukany,
Ibnu Baz dan Al-Albany Rahimahumullohu Ta’ala
Pendapat kedua: Wajib memakai ru’yah jika mathla’nya sama. Yang mereka inginkan dengan mathla’ adalah
tempat terbitnya bulan, sehingga dalam waktu yang sama atau berdekatan
mereka dapat melihat hilal. Negeri-negeri yang berdekatan dalam waktu
terbitnya bulan dikatakan satu mathla’. Ini adalah Mazhab
Syafi’iyyah, salah satu pendapat di kalangan Malikiyyah dan Hanafiyyah,
salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh
Syaikh Al-‘Utsaimin, Muqbil dan lainnya Rahimahumullohu Ta’ala
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dinukil dua pendapat dari beliau. Dalam Majmu’ul Fatawa dengan pendapat pertama dan dalam Al-Ikhtiyaarot dengan pendapat kedua, wallohu a’lam.
Pendapat ketiga: Keputusannya kembali ke Imam kaum muslimin. Ini adalah pendapatnya Ibnu Majisyun Rahimahulloh.
Sisi pandang pendapat ketiga ini keluar dari pokok perbedaan pengamalan ru’yah yang diperselisihkan, karena yang difokuskan adalah masalah lain yaitu ijtima’ul kalimah (kesatuan kata). Oleh sebab itulah dalam pembahasan ini, terlebih dahulu kita fokuskan kepada pendapat pertama dan kedua.
PERBEDAAN PENDAPAT DALAM MEMAHAMI DALIL
Silang pendapat ini muncul karena
perbedaan pendapat pada kalangan ulama –sesuai indikasi-indikasi yang
mereka kuatkan- dalam memahami ayat (surat Al-Baqoroh 185) di atas serta
hadits-hadits yang berkaitan dengan pensyaratan ru’yah dalam penetapan awal bulan, seperti hadits dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu, dimana Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّي عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَد
“Berpuasalah kalian karena
melihatnya (hilal Romadhon/ bulan baru) dan berbukalah (selesai
menunaikan puasa romadhon) kalian karena melihatnya (hilal Syawal).
Apabila (bulannya) tersembunyi (tidak terlihat) maka genapkanlah tiga
puluh hari” (HR Bukhory-Muslim)
Juga hadits dari Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَه
“Janganlah kalian berpuasa
sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka (‘iedul fithr)
sampai kalian melihat hilal. Apabila (bulannya) tersembunyi (tidak terlihat) maka takdirkanlah (tiga puluh hari)” (HR Bukhory-Muslim)
Dalam riwayat lain:
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Apabila kalian melihatnya maka berpuasalah kalian. Apabila kalian melihatnya maka berbukalah (‘iedul fithr) kalian. Apabila (bulannya) tersembunyi (tidak terlihat) maka takdirkanlah (tiga puluh hari)” (HR Bukhory-Muslim)
Serta Atsar Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu, termasuk dalil yang bersinggungan langsung dengan perbedaan masalah ini.
Ummul Fadhl bintu Al-Harits mengutus
Kuraib bin Abi Muslim Al-Hasyimi kepada Mu’awiyah di Syam. Kuraib
–Rahimahulloh- mengatakan: “Aku sampai di Syam dan menunaikan
keperluannya, hilal Romadhon terlihat ketika aku masih di Syam. Aku
melihat hilal tersebut pada malam jum’at. Kemudian aku sampai ke Madinah
di akhir bulan, maka ‘Abdulloh bin ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu bertanya
kepadaku tentang hilal, di berkata: “Kapan kalian melihat hilal?”. Aku
menjawab: “Kami melihatnya pada malam jum’at”. Dia berkata: “Engkau
melihatnya?”. Aku menjawab: “Iya, dan orang-orang pun melihatnya. Mereka
berpuasa dan Mu’awiyah berpuasa”. Ibnu ‘Abbas berkata: “Namun kami
melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa sampai kami
menyempurnakannya tiga puluh hari, atau kami melihatnya (pada malam dua
puluh sembilan –pent)”. Aku katakan: “Apakah kita tidak mencukupkan
dengan ru’yah dan puasa Mu’awiyah?”. Ibnu ‘Abbas berkata: “Tidak, beginilah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami”. (HR Muslim)
Pemilik pendapat pertama
dalam memahami ayat tersebut (surat Al-Baqoroh 185) menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan makna melihat di sini mencakup pengetahuan tentang
masuknya bulan. Hal ini dijelaskan oleh sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
pada hadits Abu Hurairoh di atas. Barangsiapa yang melihat atau
mendapatkan kabar yang bisa dipercaya, maka wajib baginya berpuasa, dan
ini umum bagi kaum muslimin tidak terkhusus pada suatu negeri saja
karena Rosululloh tidak ada memberikan perincian seperti itu.
Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh mengatakan:
“Masalah ini tidak khusus bagi penduduk salah satu penjuru dengan hukum
tersendiri, melainkan yang diajak bicara (dalam hadits ini –pent)
adalah seluruh kaum muslimin yang berhak (puasa). Pendalilan dengan
hadits ini atas pengharusan penggunaan ru’yah suatu negeri atas
negeri yang lain, lebih nampak ketimbang pendalilan atas tidak adanya
keharusan, karena apabila penduduk suatu negeri telah melihat, artinya
kaum muslimin telah melihat, maka mengharuskan yang lain apa-apa yang
diharuskan bagi yang melihat” [Nailul Author 4/194]
Pemilik pendapat kedua
dalam memahami ayat dan hadits tersebut berpendapat, bahwa dimaksud
adalah melihat secara hakikat atau hukum. Makna melihat secara hukum
adalah orang-orang yang berada dalam mathla’ yang sama. Adapun yang mathla’nya berbeda tidak dikatakan lagi melihat secara hukum.
Mereka berdalil dengan atsar Ibnu ‘Abbas di atas, dimana Ibnu ‘Abbas yang ketika itu di Madinah, tidak memakai ru’yah Mu’awiyah yang ketika itu berada di Syam.
MENYOROT PEMBAGIAN WAKTU BERDASARKAN MATHLA’
Kalau ditelusuri, maka ujung
permasalahannya adalah perkara mathla’. Apakah mathla’ merupakan faktor
penting yang mempengaruhi keputusan penetapan masuknya bulan ataukah
tidak?
Mathla’ adalah perkara yang nisbi yang tidak memiliki batasan tertentu sehingga manusia bisa memeriksanya. [Tamamul Minnah – karya Syaikh Al-Albany Rahimahulloh]
Sebagian ulama ada yang menjadikan
perbedaan kawasan (yang sama sifat geografisnya) sebagai faktor pembeda,
sebagian ada yang menjadikan acuan adalah perbedaan waktu, sebagian
juga ada yang berpendapat dengan memakai standar jarak yang dikatakan
sebagai safar (dan tentang standar inipun mereka berbeda pendapat).
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Jika kita perhitungkan batas tertentu (sebagai pembeda mathla’)
seperti jarak yang dikatakan safar atau kawasan-kawasan. Maka seseorang
yang berada di akhir jarak (yang belum dianggap sebagai safar-pent)
atau di akhir kawasan, diwajibkan baginya berpuasa, iedul fithr, iedul
adha. Sementara orang yang lain yang jaraknya (dengan orang pertama
tadi) sejauh lemparan panah (namun orang ini telah berada di luar batas
yang ditetapkan –pent) tidak melakukan apa-apa. Ini bukanlah agama kaum
muslimin.” [Majmu’ul Fatwa 25/105] Terus, bagaimana dengan Lailatul Qodar??
Tidak ada bedanya contoh yang disebutkan
Syaikhul Islam disini dengan batasan teritorial (suatu negara) yang
ditetapkan orang belakangan. Hal itu disebabkan memang tidak didapatkan
adanya dalil dalam masalah ini, bahkan hal ini keluar dari keumuman
penggunaan berita dari seseorang yang terpercaya (khobar tsiqoh) yang berlaku dalam setiap perkara syari’at.
Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh
mengatakan: “Tidak ada keraguan bagi seorang alim, bahwasanya
dalil-dalil yang ada memutuskan bahwa penduduk dari berbagai penjuru,
sebagian mereka beramal dengan berita dan persaksian sebagian yang lain
di seluruh hukum-hukum syari’at, sementara masalah ru’yah termasuk ke dalam perkara syari’at, baik itu antara dua negeri yang berjauhan yang memungkinkan terjadinya perbedaan mathla’, ataupun tidak. Pengkhususan tidak diterima kecuali dengan dalil” [Nailul Author 4/231]
Dengan alasan tersebut dan juga lainnya pendapat pertama lebih kuat, wallohu a’lam.
Adapun pendalilan mereka dengan mengkiaskan perkara ini dengan perbedaan waktu sholat maka ini adalah pengkiasan dua perkara yang berbeda.
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Berbedanya Ru’yah hilal
tergantung dari berbedanya posisi, di barat atau timur. Apabila hilal
telah terlihat di timur maka wajib bagi yang di barat akan melihatnya,
namun tidak sebaliknya (adapun matahari malah sebaliknya–pent), karena
tenggelamnya matahari di bagian barat lebih telat dari pada di daerah
timur. Apabila hilal (di bagian timur) telah terlihat, maka di bagian
barat cahaya hilal akan semakin bertambah, demikian juga jaraknya akan
semakin bertambah dari matahari dan dari sinarnya di kala tenggelamnya
matahari. Dengan demikian hilal akan lebih bisa lagi untuk dilihat.
Tidak demikian halnya jika bulan
terlihat di bagian barat (sementara orang timur tidak melihatnya –pent),
karena bisa saja sebab terlihatnya hilal di barat karena tenggelamnya
matahari di tempat mereka lebih belakangan, sehingga jarak (hilal dari
matahari –pent) dan cahaya hilal bertambah. Sementara ketika matahari
tenggelam di timur, hilal masih dekat dengan matahari (sehingga cahaya
kalah –pent). Tambah lagi ketika hilal terlihat di barat, ia telah
tenggelam di timur, ini adalah (kenyataan) yang bisa ditangkap panca
indra dalam masalah tenggelamnya matahari, hilal dan seluruh bintang.
Karena itu jika masuk waktu maghrib di barat otomatis di timur juga
telah masuk, namun tidak sebaliknya. Demikian juga jika telah terbit
matahari di barat otomatis di timur juga telah terbit, namun tidak
sebaliknya. Terbitnya dan tenggelamnya (matahari) dan bintang-bintang di
bagian timur lebih dahulu. Adapun hilal maka muncul dan terlihatnya dia
di bagian barat, lebih dahulu, karena dia terbit di bagian barat dan
tidak ada di langit yang terbit di bagian barat selainnya. Sebab
terlihatnya hilal adalah jauhnya dia dari matahari. Semakin telat
matahari tenggelam maka (artinya) semakin jauh hilal darinya. Maka
barangsiapa yang memperhitungkan perbedaan jarak tempat-tempat (tinggal)
saja, maka dia tidak berpegang dengan pokok syari’at demikian juga
tidak dengan (kenyataan) yang bisa ditangkap panca indra” [Ma’mu’ul Fatawa 25/ 104]
Dapat dipetik dari penjelasan di atas -wallahu a’lam-
tenggelamnya matahari menunjukkan penambahan waktu, artinya daerah yang
lebih duluan tenggelam maka waktunya lebih duluan, harinya lebih
duluan. Sementara terbitnya hilal tidak seiring dengan pertambahan
waktu. Sehingga tidak bisa dikatakan pada suatu daerah sudah
tanggal bulan dua tapi masih selasa, sementara di timurnya masih bulan
satu tapi sudah rabu. Karena kenyataannya pertambahan bulan seiring pertambahan hari.
Adapun pendalilan atas perbedaan mathla’ dengan atsar Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu maka perkataan Ibnu ‘Abbas yang mengatakan “Beginilah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami”. Perkataan ini memiliki beberapa kemungkinan karena Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu sendiri tidak menyebutkan dengan gamblang bahwa Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka untuk tidak mengamalkan ru’yah selain mereka [Ad-Daroril Mudhiyyah 2/172]
Kemungkinan lebih dekat adalah yang
dibawakan sebagian ulama bahwasanya maknanya disesuaikan dengan kondisi
Ibnu ‘Abbas dan kondisi penduduk Madinah ketika itu, dimana sikap Ibnu
‘Abbas yang tidak memakai ru’yah Mu’awiyyah adalah karena
beritanya sampai di pertengahan puasa sehingga otomatis mereka tidak
melakukan puasa pada hari pertama yang dilakukan Mu’awiyah. Adapun jika
dikatakan sebagai dalil atas perbedaan mathla’, maka pendapat ini terbantah sendiri -oleh sebagian mereka-, karena mathla’
Syam dan Madinah adalah satu, sebab dekatnya perbedaan waktu mereka.
Inilah pendapat yang dikuatkan Syaikhuna Muhammad bin Hizam Hafizhohulloh.
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan:
“Seandainya dikatakan: “Apabila berita tersebut datang kepada mereka
pada ditengah-tengah puasa (telah lewat hari pertama –pent) maka mereka
tidak membangun pusa mereka kecuali atas ru’yah mereka sendiri, berbeda halnya jika berita itu sampai pada hari pertama”, tentunya kemungkinan ini memiliki sisi (pembenaran)” [Majmu’ul Fatawa 25/109]
Imam Ath-Thohawy Rahimahulloh mengatakan: “Isi hadits Kuraib adalah pengkabarannya kepada ibnu ‘Abbas tentang ru’yah bulan Romadhon, pada waktu yang telah telat pengamalan puasa dengan ru’yah tersebut. [Syarh Musykilil Atsar 1/425]
Syaikh Al-Albany Rahimahulloh
mengatakan: “Sepertinya pendapat yang terkuat adalah perkataan:
“Sesungguhnya hadits Ibnu ‘Abbas berlaku pada orang-orang yang berpuasa
dengan ru’yah negerinya, kemudian di tengah-tengah romadhon
datang kabar bahwasanya penduduk negeri lain telah melihat hilal sehari
sebelum mereka. Maka dalam kondisi ini, seseorang terus berpuasa dengan
penduduk negerinya sampai mereka menyempurnakan tiga puluh atau mereka
melihat hilal (syawwal). Dengan demikian hilanglah problema, dan hadits
Abu Hurairoh serta yang lainnya tetap berada dalam keumuman yang
mencakup setiap orang yang sampai berita ru’yah kepadanya dari negeri dan kawasan manapun, yang memang pada asalnya tidak ada batasan jarak” [Tamamul Minnah 398]
PUASA BERSAMA PEMIMPIN MUSLIMIN
Sebagaimana kita singgung sebelumnya, bahwa sisi pandang pendapat ketiga ini keluar dari pokok perbedaan pengamalan ru’yah
yang diperselisihkan, karena itu bisa saja pendapat ini mencocoki
pendapat yang pertama ataupun yang kedua, yang secara garis besar bisa
kita lihat dalam dua kondisi.
Kondisi pertama yaitu apabila
kawasan Islam berada dalam satu kepemimpinan, tentunya pendapat ini
akan menjurus ke pendapat yang pertama, karena semua kaum muslimin
berpuasa dengan satu ru’yah yaitu yang ditetapkan pemimpin.
Kondisi kedua yang
banyak dipraktekkan namun dalam skala yang lebih kecil yaitu negara. Hal
ini dikarenakan kondisi kaum muslimin yang terpisah dalam bentuk
negara-negara yang berdiri sendiri. Pada hakikatnya kondisi ini
bakal kembali kepada kedua pendapat yang telah disebutkan, dalam artian:
yang berpendapat dengan pendapat ketiga, mereka mengikuti mazhab yang
ditetapkan pemimpin. Baik pemimpin tersebut berpendapat dengan pendapat
pertama atau berpendapat dengan pendapat kedua. Namun
secara umum, pendapat ini mengisyaratkan penyelisihan terhadap pendapat
yang pertama karena adanya kemungkinan bagi pemimpin setiap negara untuk
menetapkan jadwal puasa, menunjukkan tidak adanya keharusan untuk
saling mengikuti satu sama lain. Adapun sisi perbedaannya dengan
pendapat kedua adalah bahwa pendapat ketiga menjadikan batas teritorial
sebagai acuan perbedaan waktu.
Dengan kondisi ini bisa saja seorang
Indonesia yang tinggal di kampung perbatasan menunaikan puasa, sementara
saudaranya seorang Malaysia yang tinggal di kampung sebelah masih
menunggu ru’yah pemimpinnya. Rasanya, penjelasan Syaikhul Islam –yang telah dinukilkan terdahulu mengenai batasan mathla’- cukup menjadi jawaban yang menunjukkan lemahnya pendapat ini.
HINDARI FITNAH DI KALANGAN MUSLIMIN !!
Inilah yang menjadi alasan kenapa pendapat ketiga ini termasuk yang dikuatkan, dan karena ini juga beberapa ulama yang menguatkan pendapat pertama mengarahkan kaum muslimin ke pendapat ketiga ini seperti Syaikh Al-Albany Rahimahulloh [Tamamul Minnah 398] demikian juga isyarat Syaikh Ibnu Baz Rahimahulloh [Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 115/94].
Telah lewat penjelasan di awal
pembahasan bahwa munculnya perbedaan pendapat para ulama dalam masalah
ini di latar-belakangi perbedaan pemahaman dalam memahami makna hadits,
dan masing-masingnya memiliki alasan-alasan yang memperkuat pemahaman
mereka.
Maka dalam perkara-perkara yang seperti
ini tidak semestinya menjadi bahan pertikaian dan perdebatan sesama
muslim, toh para imam-imam terdahulu juga berbeda pendapat dalam masalah
ini tapi mereka tidak ribut. Masing-masing mengamalkan dan menjelaskan
apa yang diyakininya dan bisa mendekatkan dirinya kepada Alloh, serta
masing-masing berlapang dada dalam menerima pendapat saudaranya. Berbeda
dengan penetapan Romadhon bersandar kepada perhitungan, maka hal ini
adalah perkara yang melanggar ijma’ (kesepakatan ulama muslimin)
sebagaimana dinukilkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh [Majmu’ul Fatawa 25/132-133] dan Al-Baji Rahimahulloh
(dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar) [Fathul Bari 4/127], maka
perkara seperti ini perlu dijelaskan tentang kebatilan pendapatnya.
Jangan juga pendapat sebagian ulama yang menganjurkan pendapat ketiga ini dijadikan dalil bahwa orang yang berpuasa dengan ru’yah
negara lain -yang lebih dahulu-, merupakan tindak murni penyelisihan
terhadap pemerintah –apalagi sampai dicap berpemikiran khawarij- karena
mereka berbuat demikian dalam rangka ketaatan kepada Alloh dan
Rosul-Nya, sebagaimana tidak adanya kemestian antara
meninggalkan syari’at dengan persatuan muslimin, demikian juga tidak ada
kemestian antara menjalankan syari’at dengan perpecahan muslimin.
Hanya saja terkadang perpecahan muncul
karena sikap serampangan walaupun dibangun di atas pendapat yang benar.
Maka semestinya seorang muslim lebih cerdas melihat sebuah permasalahan
dan memikirkan dampaknya. Terkadang penyelisihan terhadap kaum yang
berbeda pendapat perlu dinampakkan dan terkadang tidak, sebagaimana
pembahasan kita ini. Karena itu disarankan bagi kaum muslimin yang
pendapatnya cenderung ke pendapat pertama dan ternyata berbeda dengan
pemerintah untuk bersikap santai –terlebih lagi jika dikhawatirkan
menimbulkan pertikaian- toh orang yang berpuasa (ketika orang lain tidak
berpuasa) tidak bakal menimbulkan perbedaan yang mencolok secara
lahiriyyah, apalagi sampai menimbulkan perpecahan karena orang yang
berpuasa -apalagi Romadhon- tentunya lebih berupaya menjaga amalan dan
perkataannya, menjauh dari perdebatan dan perkara yang tak berguna.
Semoga Alloh memperkuat dan menyatukan kaum muslimin di atas agama-Nya.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
KITAB-KITAB YANG TERKAIT DENGAN PEMBAHASAN:
- Majmu’ul Fatawa Syaikhul Islam Rahimahulloh
- Ad-Daroril Mudhiyyah dan Nailul Author karya Imam Asy-Syaukany Rahimahulloh
- Syarah Muskilil Atsar karya Imam Ath-Thohawy Rahimahulloh
- Majmu’ul Fatawa Syaikh Ibnu Baz Rahimahulloh
- Tamamul Minnah karya Syaikh Al-Albany Rahimahulloh
- Fathul ‘Allam dan Ittihaful Anam karya Syaikhuna Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Hafizhohulloh
- Ikhtiyarotul Fiqhiyyah lil-Khoththoby Rahimahulloh karya Dr Sa’ad bin ‘Abdillah Al-Buraik Waffaqohulloh
- Aro’ Syaikh Al-Albany Al-Fiqhiyyah fil ‘Ibadat karya Dr Asy-Syarif Musa’id Al-Hasany Waffaqohulloh
Sumber: ahlussunnah.web.id
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Nasehat yang berpuasa di bulan Ramadhan
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/nasehat-yang-berpuasa-di-bulan-ramadhan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5