Kenapa Mereka Sulit Kembali ?

Posted by Admin 0 comments
KENAPA MEREKA SULIT KEMBALI ?
(Sebuah Ralat dan Nasehat
untuk Saudara yang Jauh dan Dekat)
Ditulis oleh: Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al-Jawiy –Waffaqohulloh-
Darul hadits Dammaj, Rabu, 6 Muharram 1434H
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا
من يهد الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد:
Kesalahan  dan lupa adalah  tabiat yang telah Alloh tetapkan bagi anak manusia yang tidak mungkin seorangpun yang bisa terlepas darinya. Hal ini sebagaimana Alloh tegaskan dalam sebuah hadits qudsy:

يا عبادي إنكم تخطئون بالليل والنهار وأنا أغفر الذنوب جميعاً، فاستغفروني أغفر لكم
“Wahai hamba-hamba Ku, sesungguhnya kalian itu senantiasa berbuat kesalahan di malam dan siang hari, dan Aku (adalah Dzat yang) mengampuni segala dosa-dosa, maka mintalah kalian ampunan kepadaku sehingga Aku ampuni (kesalahan-kesalahan) kalian.”  (HR. Muslim: 2577, dari Abu Dzar)
Jadi, jatuhnya seseorang dalam kesalahan atau lupa bukan sesuatu yang dipermasalahkan, sebab perkara ini memang telah digariskan. Akan tetapi yang dipermasalahkan adalah kesengajaan seseorang untuk melakukan kesalahan atau terus-menerusnya seseorang di atasnya dan keengganan untuk kembali kepada kebenaran.
Rosululloh –Shollalohu ‘alahi wasallam- telah bersabda:
ما أخشى عليكم الفقر ولكن أخشى عليكم التكاثر وما أخشى عليكم الخطأ
ولكن أخشى عليكم العمد
“Tidaklah aku menghawatirkan atas kalian kefaqiran, akan tetapi yang aku hawatirkan adalah berlomba-lombanya kalian dalam mengumpulkan harta. Dan tidaklah aku menghawatirkan atas kalian (untuk terjatuh dalam) kesalahan, akan tetapi yang aku hawatirkan atas kalian adalah kesengajaan (untuk melakukan kesalahan).” (HR. Ahmad: 8072 dan yang lainnya dengan sanad yang shohih, telah menshohihkannya syaikh Muqbil dalam kitab “Ash-Shohihul Musnad”: 1349)
Orang yang beruntung adalah orang yang diberi hidayah oleh Alloh sehingga mengetahui kesalahan yang ada pada dirinya dan diberi taufiq untuk segera mencabut diri dari kesalahan tersebut. Alloh telah mengabarkan kepada kita bagaimana Dia memuliakan para utusanNya dari sisi ini agar para manusia mengambil pelajaran darinya.
Lihatlah kisah Adam –‘Alaihissalam- ketika Alloh melarangnya untuk memakan dari salah satu jenis pohon yang ada di surga kemudian karena kuatnya tipu daya iblis akhirnya Nabi yang mulia ini beserta istrinya terjatuh dalam kesalahan. Alloh berfirman:
وَيَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلَا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ * فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ * وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ * فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ  *قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِين ۩
“Hai Adam tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah oleh kalian berdua (buah-buahan) mana saja yang kalian sukai, dan janganlah kalian berdua mendekati pohon ini sehingga jadilah kalian berdua termasuk orang-orang yang zalim.”
“Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya (dengan tujuan) untuk menampakkan kepada keduanya aurot  yang tertutup dari mereka, syaitan pun berkata: “Robb kalian tidaklah melarang kalian dari pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)”.
“(Syaitan) itupun bersumpah kepada keduanya: “Sesungguhnya aku ini termasuk orang yang memberi nasehat kepada kalian berdua”,
“Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah dari pohon itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. kemudian Robb mereka menyeru mereka: “Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan aku katakan kepadamu: “Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian berdua?!”
“Keduanya  pun berkata: “Wahai Robb kami, sungguh kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’roff: 19-23)
Lihatlah bagaimana Alloh menegur mereka berdua dari kesalahan, dan bagaimana Alloh memberikan taufiq kepada keduanya sehingga segera sadar dan meminta ampunan kepada-Nya. Alloh berfirman:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Robb-nya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah At-Tawwab (Maha Penerima taubat) Ar-Rohim (lagi Maha Penyayang).” (al-Baqoroh: 37)
Kalimat yang dimaksud dalam ayat ini adalah ucapan taubat yang diterangkan dalam ayat Al-A’roff yang telah disebutkan di atas.
Lihat pula bagaimana Alloh menegur kesalahan Rosul-Nya yang Dia utus pertama kali kepada penduduk bumi dan bagaimana Rosul yang  mulia ini segera kembali dari kesalahannya serta meminta ampunan dari Robb-nya. Alloh berfirman:
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ  *قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ * قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ ۩
“Nuh berseru kepada Robb-nya sambil berkata: “Ya Robbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Mu itu adalah benar, dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya.”
“Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya (anakmu itu) tidaklah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan)[1], sesungguhnya (permintaanmu ini) adalah perbuatan yang tidak baik, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.”
“Nuh berkata: Wahai Robbku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada-Mu sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya, dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaKu, serta (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku ini termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Hud: 45-47)
Inilah diantara contoh yang Alloh sebutkan dalam Al-quran tentang pemuliaan-Nya kepada para utusanNya dengan memberikan teguran kepada mereka ketika mereka terjatuh dalam kesalahan dan memberikan taufiq untuk segera kembali dari kesalahan tersebut, sehingga mereka terjaga dari terus-menerus dalam kesalahan.
Demikianlah aqidah Ahlussunnah wal jamaah dalam permasalahan ini, yaitu mungkinnya para Nabi dan Rosul untuk terjatuh dalam kesalahan selama kesalahan tersebut tidak berhubungan dengan Risalah yang disampaikannya, dan kesalahan tersebut tidak termasuk dosa besar. Para ulama ahlussunnah juga mempersyaratkan bahwa kesalahan yang mungkin terjadi tersebut bukan termasuk dalam dosa kecil yang hina. Hal ini berbeda dengan keyakinan Rofidhoh dan Isma’iliyyah yang menyatakan bahwa para Nabi dan Rosul terjaga dari kesalahan secara mutlak. Perlu kami tegaskan kembali bahwa kesalahan yang mungkin terjadi itu tidaklah mungkin dibiarkan oleh Alloh, akan tetapi mereka akan segera ditegur dan diberi taufiq untuk segera kembali dari kesalahannya.
[lihat perkataan Syeikhul Islam dalam permasalahan ini di: “Majmu’ Fatawa” (10/291), demikian pula as-Safariny dalam “lawami’ul Anwar Al-bahiyyah” (2/304)].
Ikhwany fillah, waffaqokumulloh, jika demikian keadaan para utusan Alloh, lalu bagaimana dengan kita?? Siapa yang menjamin kita bahwa Alloh akan memberikan teguran ketika kita bersalah?? Siapa pula yang menjamin bahwa Alloh akan memberikan taufiq-Nya untuk kembali dari kesalahan ketika ditegur bahwa perbuatannya itu salah??
Betapa banyak kita lihat orang-orang yang berbuat salah tapi tidak sadar bahwa dirinya telah terjatuh dalam kesalahan, bahkan sebagian mereka menganggap sesuatu yang salah itu adalah kebenaran yang wajib diperjuangkan. Semua ini tidak lain karena kejahilan yang menutupi penglihatan mereka.
Syaikhul Islam –Rohimahulloh- mengatakan: “Asal perkara yang menjatuhkan manusia dalam kejelekan adalah kejahilan dan ketidaktahuan bahwa perkara tersebut memadhorotkan dirinya atau sangkaan bahwa perkara itu merupakan perkara yang bermanfaat baginya. Oleh karena itu para Shohabat –Rodhiyallohu ‘anhum- mengatakan: “Semua orang yang bermaksiat kepada Alloh adalah orang yang bodoh.” [Majmu’ Fatawa: 14/290]
Tentunya tidak ada seorangpun dari kita yang mengaku memiliki ilmu yang sempurna, karena hal tersebut tidaklah berhak menyandangnya kecuali Alloh yang Maha Mengetahui dan Maha bijaksana. Terkadang suatu perkara tidak diketahui seseorang, tapi diketahui yang lain, dan sebaliknya. Dari sinilah kita ketahui arti pentingnya nasehat dan amar ma’ruf nahi mungkar yang agama ini dibangun di atasnya. Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
الدين النصيحة
Agama ini adalah nasehat.” (HR. muslim: 55)
Dari sini pula kita ketahui arti penting ukhuwah islamiyah yang digambarkan oleh Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam sabdanya:
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا
“Seorang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain sepeti bangunan yang saling menguatkan sebagiannya denga sebagian yang lain.” (HR. Bukhory: 481 , Muslim: 2585 dari Abu musa Al-‘Asykary)
Namun disana ada beberapa hal yang menghalangi banyak manusia untuk menerima nasehat dan teguran serta memilih untuk terus-menerus di atas kesalahan. Diantara perkara-perkara tersebut adalah:
  • Kesombongan dan sifat bangga dengan diri sendiri
Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:
لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada seberat dzarroh (seekor semut merah yang kecil) dari kesombongan.”
Seorang sahabat bertanya: “Sesungguhnya seorang lelaki menyukai pakaiannya bagus dan sandalnya bagus (apakah hal seperti ini termasuk kesombongan?).”
Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- menjawab:
إن الله جميل يحب الجمال، الكبر بطر الحق، وغمط الناس
“Sesungguhnya Alloh itu Jamil (Maha indah) dan mencintai keindahan, (yang dimaksud dengan) kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim: 91)
Hadits di atas dengan jelas menerangkan kepada kita tentang apa hakekat kesombongan yang sebenarnya. Berhati-hatilah wahai saudaraku dari sifat ini karena dengan sebabnya terhalang kebenaran dari dirimu sehingga akhirnya akan menjerumuskanmu ke dalam jurang kesengsaraan. Kesombongan adalah hak Alloh semata, Dzat yang maha kuasa dan maha sempurna, barangsiapa ingin menyandangnya berarti telah menjadikan dirinya tandingan bagiNya.
Para ulama salaf mengatakan:
ما ترك أحد حقا  إلا لكبر في نفسه
“Tidaklah seseorang itu meninggalkan kebenaran kecuali karena kesombongan yang ada pada dirinya.”
Merupakan hikmah Alloh, bahwa seseorang yang sombong dan berbangga diri dengan dirinya akan dibalas dengan kebalikannya berupa kerendahan dan kehinaan di dunia. Cukuplah terhalangnya seseorang untuk menerima kebenaran menjadikan kita menjauh dari sifat tercela ini, terlebih lagi jika kita melihat ancaman adzab yang pedih dan neraka yang menyala-nyala telah Alloh janjikan bagi orang-orang yang sombong. Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
ألا أخبركم بأهل النار؟
“Maukah kalian aku kabarkan tentang penduduk neraka?”
Para shohabat menjawab: “Tentu (wahai Rosululloh)”
Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- pun berkata:
كل عتل جواظ مستكبر
“Semua orang yang kasar yang suka bermusuhan di atas kebatilan dan orang yang mengumpulkan harta tapi kikir dan orang yang sombong.” (HR. Bukhory: 4918, Muslim: 2853 dari Haritsah bin Wahb Al-Khuza’y)
Jika engkau ingin melihat contoh nyata bagaimana sifat sombong dan berbangga diri ini menghinakan pemiliknya marilah kita simak kisah seorang yang dulunya berada di jajaran para ulama terkemuka di zamannya yang kemudian mengakhiri hayatnya dengan kekafiran. Na’udzubillah minal Khudzlan
Dia adalah Abdulloh Al-Qosimy (1323-1417 H), seorang yang hidup di zaman imam As-Sa’dy, yang berhasil menguasai berbagai cabang ilmu syareat, terutama ilmu aqidah, dan dipuji-puji oleh para ulama lain di zamannya. Seorang yang menghabiskan hari-harinya untuk membantah ahlil batil yang menyelisihi ahlussunnah wal jamaah. Dia juga termasuk jajaran orang yang kokoh dalam membela Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dari celaan orang-orang yang memusuhinya. Bahkan dia mengarang sebuah kitab yang membantah para penyembah berhala, sampai-sampai dikatakan bahwa kitabnya tersebut merupakan kitab terbaik yang ditulis dalam permasalahan ini.
Namun, siapakah yang menjamin keistiqomahan seseorang? Orang yang diharapkan menjadi ujung tombak ahlussunnah ini ternyata berbalik hatinya, sehingga akhirnya murtad dan berbalik arah, yang dulunya membela islam dari musuh-musuhnya berbalik menjadi orang yang menyerang islam dan mengatakan bahwa islamlah yang menyebabkan kemunduran, dan tidaklah mungkin seseorang bisa mengikuti kemajuan zaman kecuali dengan meninggalkan islam. Bahkan dia mengarang sebuah kitab sesat berjudul “Hadzihil Aghlal” yang menyebabkan para ulama harus mengarang kitab bantahannya. Diantara ulama yang membantah kitab ini adalah: Syaikh ‘Abdurrohman As-Sa’dy dan Syaikh Abdulloh bin Yabis An-Najdy.
Mungkin kalau seorang ahli ibadah yang tersesat tidak terlalu mengherankan kita, tapi yang sesat ini adalah seorang ulama yang bergelut dalam membela aqidah islamiyah. Lalu apa sebabnya? Orang-orang yang sezaman dengannya menjelaskan bahwa ternyata pada orang ini ada penyakit yang menggerogotinya dan tidak segera dia obati. Penyakit tersebut adalah: sifat merendahkan orang lain dan menyanjung diri sendiri serta hasad terhadap para ulama terdahulu maupun yang sezaman dengannya. Syair-syairnya merupakan bukti nyata yang tidak bisa dipungkiri. Dia berkata: “Kalau saja mereka itu jujur, tentu akulah yang dikedepankan dalam segala perkara, dan tidak mencari selainku … dan mereka tidak menyebut selainku ketika membicarakan tentang kecerdasan dan tidaklah melihat selain kepadaku tatkala purnama tertutupi.” [lihat: “Min Akhbaril Muntakisin” hal: 30 dan selanjutnya]
Lihatlah saudaraku, bagaimana kesombongan dan bangga diri menjerumuskan pemiliknya dalam kehinaan dan mencegah diterimanya nasehat dan kebenaran. Semoga Alloh menjauhkan kita dari penyakit yang membahayakan ini.
Ta’ashub dan taqlid yang membutakan hati
Kedua penyakit ini juga termasuk penghalang utama kembalinya seseorang kepada kebenaran. Sebab keduanya menjadikan seseorang tidak lagi berpatokan pada dalil dan tidak menerima kecuali dari pihak yang dia memancangkan sikap ta’ashub dan taqlid kepadanya.
Syaikh Sholeh Al-Fauzan –Hafidzohulloh- mengatakan: “Sesungguhnya sikap ta’ashub terhadap suatu kelompok akan menyebabkan seseorang menolak kebenaran yang ada pada kelompok lain. Hal ini seperti keadaan orang-orang yahudi yang Alloh telah berfirman tentang mereka:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَهُمْ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah” mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. Dan mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, padahal Al Quran itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka.” (QS. Al-Baqoroh: 91)
Juga seperti keadaan orang-orang jahiliyyah yang menolak kebenaran yang didatangkan oleh Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- kepada mereka dengan sebab ta’ashub kepada perkara-perkara yang nenek moyang mereka berada di atasnya:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. (QS. Al Baqoroh: 170)
Para pengikut hizbiyyah itu ingin menjadikan ta’ashub (yang merupakan perilaku orang-orang yahudi dan orang jahiliyyah) ini sebagai ganti Islam yang merupakan anugrah Alloh kepada umat manusia. (Seakan-akan mereka mengatakan sebagaimana yang Alloh firmankan tentang perkataan orang-orang Yahudi dan Nashrani:)
ولا تؤمنوا إلا لمن تبع دينكم
“Dan janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu.” (QS. Ali Imron: 73). [Dari kitab: “At-Tauhid”: 80]
Namun seseorang hendaknya bisa membedakan antara taashub yang terlarang dan ittiba’ yang dianjurkan. Kunci perbedaan antara keduanya adalah diterima atau tidaknya kebenaran ketika telah sampai kepadanya. Kapan saja seseorang mempersiapkan dirinya untuk menerima kebenaran dan tunduk kepadanya maka orang yang seperti ini bukanlah orang yang taashub. Adapun jika yang menjadi tolok ukur adalah apa yang dikatakan kelompoknya atau orang yang dijadikan panutannya dan tidak mau menerima kebenaran yang datang dari luar, maka inilah taashub dan taqlid yang terlarang.
Jika engkau ingin melihat besarnya bahaya penyakit ini, maka lihat keadaan orang-orang yang terperangkap dalam jeratan hizbiyyah, betapa sulitnya mereka kembali dari kesalahan walaupun telah tegak hujjah dan nasehat kepada mereka. Semoga Alloh memberikan hidayahNya kepada kita semua.
  • Berpaling dari nasehat dan peringatan
Sikap ini erat sekali hubungannya dengan sikap ta’ashub. Sebab, orang yang terjangkiti dengan penyakit ta’ashub biasanya tidak mau lagi menerima nasehat dan peringatan selain dari pihaknya, padahal kalau saja mereka mau mendengar tidaklah akan mereka dapatkan kecuali kebaikan. Namun sayang, mereka tidak menginginkan kecuali celaan.
Syaikhul Islam –Rohimahulloh- berkata: “Celaan diberikan kepada siapa saja yang telah jelas padanya kebenaran kemudian meninggalkannya, atau lemah dalam usaha mencari kebenaran tersebut sehingga tidak jelas baginya (mana yang benar), atau berpaling dari usaha untuk mencari kebenaran itu karena hawa nafsu dan kemalasan.” [Iqtidho’: 2/85]
Syaikh Sholeh Al-Fauzan –Hafidzohulloh- mengatakan:  “Barangsiapa telah jelas padanya suatu kebenaran dan tidak mau menerimanya, maka dia akan dibalas dengan dijauhkan dari kebenaran tersebut –wal’iyadzubillah-, dia akan dihukum dengan penyimpangan dan kesesatan, sehingga tidak akan menerima kebenaran setelah itu. Hal ini memberikan dorongan bahwa seseorang yang sampai kepadanya kebenaran wajib baginya untuk menerima kebenaran itu dengan seketika, tidak ragu-ragu dan mengulur-ulur waktu. Sebab jika dia terlambat untuk menerimanya, maka pantas baginya untuk dijauhkan (dari kebenaran tersebut). (Alloh berfirman:)
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah pun palingkan hati mereka (dari kebenaran tersebut)” (QS. Ash-Shoff: 5)
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ
“Dan Kami pun palingkan hati-hati dan penglihatan mereka sebagaimana mereka tidak mau beriman kepadanya (Al Quran) saat pertama kalinya.” (QS. Al-An’am: 110). [Dari kitab: I’anatul Mustafid: 1/ 259]
Ikhwany fillah, rohimakumulloh, inilah diantara sebab-sebab yang mengahalangi seseorang untuk menerima kebenaran dan mencabut diri dari kesalahan. Di sana masih ada sebab-sebab lainnya, tapi inilah yang menurut kami paling banyak menjerat dan menjatuhkan, yang pada hakekatnya semua itu kembali kepada satu sebab utama, yaitu tidak adanya kejujuran dan keikhlasan dalam mencari kebenaran. Barangsiapa jujur dan ikhlas dalam mencarinya, pasti Alloh akan memberikannya. Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:
إن تصدق الله يصدقك
“Jika kamu benar-benar jujur (dalam niatanmu) maka Alloh pun akan membenarkan (niatanmu itu dengan memberikan sesuai yang kamu niatkan tersebut).”[2] (HR. Nasai: 1956, dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shohih At-Targhib: 1336, dan Syaikh Muqbil dalam Shohihul Musnad: 474)
Sesungguhnya kebenaran itu adalah cahaya, dan sebaliknya kesalahan itu adalah kegelapan. Semua itu hanya dapat dilihat dan dirasakan oleh orang-orang yang mempunyai mata hati yang sehat. Dan tidaklah hal ini bisa didapat kecuali taufiq dari Alloh semata. Maka mintalah senantiasa kepadaNya agar engkau diberikan kekokohan dalam berjalan di atas kebenaran, dan diberikan petunjuk untuk segera kembali dari kesalahan.
Syaikhul Islam –rohimahulloh- mengatakan: “Kebenaran itu (pada hakekatnya bisa) diketahui oleh setiap orang, sebab kebenaran yang Alloh mengutus para Rosul dengannya tidaklah tersamarkan dari selainnya bagi orang-orang yang mengetahui.” [Majmu’ Fatawa: 27/ 315]
Ralat:
Sebagai penutup tulisan ini, kami beritahukan bahwa pada tulisan kami berjudul “BULAN MUHARRAM, Keutamaan….” terjadi kekeliruan. Semua itu tidak lain karena kekurangan dan keteledoran kami, kami meminta ampunan kepada Alloh atasnya dan minta udzur kepada para pembaca sekalian. Tidak lupa kami ucapkan syukur kepada akhuna fillah Wahyu Ario Sadono –waffaqohulloh- yang telah mengirimkan email berupa teguran tantang adanya kekeliruan yang tidak kami sadari itu. Semoga Alloh membalasnya dengan kebaikan.
Kekeliruan tersebut adalah: Kami keliru dalam menisbatkan perkataan Ibnu abbas yang berbunyi:
صوموا التاسع والعاشر خالفوا اليهود
“Puasalah kalian pada hari kesembilan dan kesepuluh, selisihilah orang-orang Yahudi.”
kepada Imam Muslim padahal seharusnya ditulis Baihaqi (4/287). Kemudian setelah mendapat teguran, kami rujuk kembali perkataan tersebut, dan kami dapatkan bahwa atsar juga diriwayatkan oleh Abdurrozzaq (7839) dan Ath-Thohawy (2/78) dengan sanad yang shohih, telah menshohihkannya Syaikh Al-Albany ( lihat: Catatan kaki Shohih Sunan Abi Dawud: 7/207).
Oleh karena itu, tulisan yang terjadi kekeliruan itu kami cabut dan yang menjadi patokan adalah tulisan yang telah direvisi sesuai dengan ralat yang kami tulis di sini. Semoga semua ini menjadi pelajaran bagi kami sehingga lebih berhati-hati dan lebih cermat dalam meneliti. Wallohul musta’an.
اللهم أرنا الحق حقاً وارزقنا اتباعه، وأرنا الباطل باطلاً وارزقنا اجتنابه،
سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك

[1] Ini adalah tafsir ayat yang dipilih oleh Ibnu Jarir At-Thobary dan dirojihkan oleh Ibnu Katsir.
[2] Lihat “Hasyiyah As-Sindy ‘ala Sunan Nasai” tentang hadits ini.

Sumber: ahlussunnah.web.id
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Kenapa Mereka Sulit Kembali ?
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/kenapa-mereka-sulit-kembali.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
credit for cara membuat email - Copyright of Risalah Kajian.