Kenapa Mereka Sulit Kembali ?
0
comments
KENAPA MEREKA SULIT KEMBALI ?
(Sebuah Ralat dan Nasehat
untuk Saudara yang Jauh dan Dekat)
untuk Saudara yang Jauh dan Dekat)
Ditulis oleh: Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al-Jawiy –Waffaqohulloh-
Darul hadits Dammaj, Rabu, 6 Muharram 1434H
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا
من يهد الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد:
من يهد الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد:
Kesalahan dan lupa adalah tabiat yang
telah Alloh tetapkan bagi anak manusia yang tidak mungkin seorangpun
yang bisa terlepas darinya. Hal ini sebagaimana Alloh tegaskan dalam
sebuah hadits qudsy:
يا عبادي إنكم تخطئون بالليل والنهار وأنا أغفر الذنوب جميعاً، فاستغفروني أغفر لكم
“Wahai hamba-hamba Ku, sesungguhnya
kalian itu senantiasa berbuat kesalahan di malam dan siang hari, dan Aku
(adalah Dzat yang) mengampuni segala dosa-dosa, maka mintalah kalian
ampunan kepadaku sehingga Aku ampuni (kesalahan-kesalahan) kalian.”
(HR. Muslim: 2577, dari Abu Dzar)
Jadi, jatuhnya seseorang dalam kesalahan
atau lupa bukan sesuatu yang dipermasalahkan, sebab perkara ini memang
telah digariskan. Akan tetapi yang dipermasalahkan adalah kesengajaan
seseorang untuk melakukan kesalahan atau terus-menerusnya seseorang di
atasnya dan keengganan untuk kembali kepada kebenaran.
Rosululloh –Shollalohu ‘alahi wasallam- telah bersabda:
ما أخشى عليكم الفقر ولكن أخشى عليكم التكاثر وما أخشى عليكم الخطأ
ولكن أخشى عليكم العمد
ولكن أخشى عليكم العمد
“Tidaklah aku menghawatirkan atas
kalian kefaqiran, akan tetapi yang aku hawatirkan adalah
berlomba-lombanya kalian dalam mengumpulkan harta. Dan tidaklah aku
menghawatirkan atas kalian (untuk terjatuh dalam) kesalahan, akan tetapi
yang aku hawatirkan atas kalian adalah kesengajaan (untuk melakukan
kesalahan).” (HR. Ahmad: 8072 dan yang lainnya dengan sanad yang
shohih, telah menshohihkannya syaikh Muqbil dalam kitab “Ash-Shohihul
Musnad”: 1349)
Orang yang beruntung adalah orang yang
diberi hidayah oleh Alloh sehingga mengetahui kesalahan yang ada pada
dirinya dan diberi taufiq untuk segera mencabut diri dari kesalahan
tersebut. Alloh telah mengabarkan kepada kita bagaimana Dia memuliakan
para utusanNya dari sisi ini agar para manusia mengambil pelajaran
darinya.
Lihatlah kisah Adam –‘Alaihissalam-
ketika Alloh melarangnya untuk memakan dari salah satu jenis pohon yang
ada di surga kemudian karena kuatnya tipu daya iblis akhirnya Nabi yang
mulia ini beserta istrinya terjatuh dalam kesalahan. Alloh berfirman:
وَيَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ
الْجَنَّةَ فَكُلَا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ
الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ * فَوَسْوَسَ لَهُمَا
الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا
وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ
تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ * وَقَاسَمَهُمَا
إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ * فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا
ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ
عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ
أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ
الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ *قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا
أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ
الْخَاسِرِين ۩
“Hai Adam tinggallah kamu dan
isterimu di surga serta makanlah oleh kalian berdua (buah-buahan) mana
saja yang kalian sukai, dan janganlah kalian berdua mendekati pohon ini
sehingga jadilah kalian berdua termasuk orang-orang yang zalim.”
“Maka syaitan membisikkan pikiran
jahat kepada keduanya (dengan tujuan) untuk menampakkan kepada keduanya
aurot yang tertutup dari mereka, syaitan pun berkata: “Robb kalian
tidaklah melarang kalian dari pohon ini, melainkan supaya kamu berdua
tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam
surga)”.
“(Syaitan) itupun bersumpah kepada keduanya: “Sesungguhnya aku ini termasuk orang yang memberi nasehat kepada kalian berdua”,
“Maka syaitan membujuk keduanya
(untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah
merasai buah dari pohon itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan
mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. kemudian Robb
mereka menyeru mereka: “Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari
pohon itu dan aku katakan kepadamu: “Sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagi kalian berdua?!”
“Keduanya pun berkata: “Wahai Robb
kami, sungguh kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika Engkau tidak
mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami
termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’roff: 19-23)
Lihatlah bagaimana Alloh menegur mereka
berdua dari kesalahan, dan bagaimana Alloh memberikan taufiq kepada
keduanya sehingga segera sadar dan meminta ampunan kepada-Nya. Alloh
berfirman:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian Adam menerima beberapa
kalimat dari Robb-nya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah
At-Tawwab (Maha Penerima taubat) Ar-Rohim (lagi Maha Penyayang).”
(al-Baqoroh: 37)
Kalimat yang dimaksud dalam ayat ini adalah ucapan taubat yang diterangkan dalam ayat Al-A’roff yang telah disebutkan di atas.
Lihat pula bagaimana Alloh menegur
kesalahan Rosul-Nya yang Dia utus pertama kali kepada penduduk bumi dan
bagaimana Rosul yang mulia ini segera kembali dari kesalahannya serta
meminta ampunan dari Robb-nya. Alloh berfirman:
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ
إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ
الْحَاكِمِينَ *قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ
عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ * قَالَ رَبِّ إِنِّي
أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَإِلَّا
تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ ۩
“Nuh berseru kepada Robb-nya sambil
berkata: “Ya Robbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan
sesungguhnya janji Mu itu adalah benar, dan Engkau adalah hakim yang
seadil-adilnya.”
“Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya (anakmu itu) tidaklah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan)[1],
sesungguhnya (permintaanmu ini) adalah perbuatan yang tidak baik,
janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui
(hakekat)nya. Sesungguhnya aku memperingatkan kepadamu supaya kamu
jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.”
“Nuh berkata: Wahai Robbku,
sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada-Mu sesuatu
yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya, dan sekiranya Engkau tidak
memberi ampun kepadaKu, serta (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku,
niscaya aku ini termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Hud: 45-47)
Inilah diantara contoh yang Alloh
sebutkan dalam Al-quran tentang pemuliaan-Nya kepada para utusanNya
dengan memberikan teguran kepada mereka ketika mereka terjatuh dalam
kesalahan dan memberikan taufiq untuk segera kembali dari kesalahan
tersebut, sehingga mereka terjaga dari terus-menerus dalam kesalahan.
Demikianlah aqidah Ahlussunnah
wal jamaah dalam permasalahan ini, yaitu mungkinnya para Nabi dan Rosul
untuk terjatuh dalam kesalahan selama kesalahan tersebut tidak
berhubungan dengan Risalah yang disampaikannya, dan kesalahan tersebut
tidak termasuk dosa besar. Para ulama ahlussunnah juga mempersyaratkan
bahwa kesalahan yang mungkin terjadi tersebut bukan termasuk dalam dosa
kecil yang hina. Hal ini berbeda dengan keyakinan Rofidhoh dan
Isma’iliyyah yang menyatakan bahwa para Nabi dan Rosul terjaga dari
kesalahan secara mutlak. Perlu kami tegaskan kembali bahwa kesalahan
yang mungkin terjadi itu tidaklah mungkin dibiarkan oleh Alloh, akan
tetapi mereka akan segera ditegur dan diberi taufiq untuk segera kembali
dari kesalahannya.
[lihat perkataan Syeikhul Islam dalam
permasalahan ini di: “Majmu’ Fatawa” (10/291), demikian pula as-Safariny
dalam “lawami’ul Anwar Al-bahiyyah” (2/304)].
Ikhwany fillah, waffaqokumulloh, jika
demikian keadaan para utusan Alloh, lalu bagaimana dengan kita?? Siapa
yang menjamin kita bahwa Alloh akan memberikan teguran ketika kita
bersalah?? Siapa pula yang menjamin bahwa Alloh akan memberikan
taufiq-Nya untuk kembali dari kesalahan ketika ditegur bahwa
perbuatannya itu salah??
Betapa banyak kita lihat orang-orang
yang berbuat salah tapi tidak sadar bahwa dirinya telah terjatuh dalam
kesalahan, bahkan sebagian mereka menganggap sesuatu yang salah itu
adalah kebenaran yang wajib diperjuangkan. Semua ini tidak lain karena
kejahilan yang menutupi penglihatan mereka.
Syaikhul Islam –Rohimahulloh-
mengatakan: “Asal perkara yang menjatuhkan manusia dalam kejelekan
adalah kejahilan dan ketidaktahuan bahwa perkara tersebut memadhorotkan
dirinya atau sangkaan bahwa perkara itu merupakan perkara yang
bermanfaat baginya. Oleh karena itu para Shohabat –Rodhiyallohu ‘anhum- mengatakan: “Semua orang yang bermaksiat kepada Alloh adalah orang yang bodoh.” [Majmu’ Fatawa: 14/290]
Tentunya tidak ada seorangpun dari kita
yang mengaku memiliki ilmu yang sempurna, karena hal tersebut tidaklah
berhak menyandangnya kecuali Alloh yang Maha Mengetahui dan Maha
bijaksana. Terkadang suatu perkara tidak diketahui seseorang, tapi
diketahui yang lain, dan sebaliknya. Dari sinilah kita ketahui arti
pentingnya nasehat dan amar ma’ruf nahi mungkar yang agama ini dibangun
di atasnya. Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
الدين النصيحة
“Agama ini adalah nasehat.” (HR. muslim: 55)
Dari sini pula kita ketahui arti penting ukhuwah islamiyah yang digambarkan oleh Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam sabdanya:
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا
“Seorang mukmin yang satu dengan
mukmin yang lain sepeti bangunan yang saling menguatkan sebagiannya
denga sebagian yang lain.” (HR. Bukhory: 481 , Muslim: 2585 dari Abu
musa Al-‘Asykary)
Namun disana ada beberapa hal yang
menghalangi banyak manusia untuk menerima nasehat dan teguran serta
memilih untuk terus-menerus di atas kesalahan. Diantara perkara-perkara
tersebut adalah:
- Kesombongan dan sifat bangga dengan diri sendiri
Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:
لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya ada seberat dzarroh (seekor semut merah yang kecil) dari kesombongan.”
Seorang sahabat bertanya: “Sesungguhnya
seorang lelaki menyukai pakaiannya bagus dan sandalnya bagus (apakah hal
seperti ini termasuk kesombongan?).”
Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- menjawab:
إن الله جميل يحب الجمال، الكبر بطر الحق، وغمط الناس
“Sesungguhnya Alloh itu Jamil (Maha
indah) dan mencintai keindahan, (yang dimaksud dengan) kesombongan
adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim: 91)
Hadits di atas dengan jelas menerangkan
kepada kita tentang apa hakekat kesombongan yang sebenarnya.
Berhati-hatilah wahai saudaraku dari sifat ini karena dengan sebabnya
terhalang kebenaran dari dirimu sehingga akhirnya akan menjerumuskanmu
ke dalam jurang kesengsaraan. Kesombongan adalah hak Alloh semata, Dzat
yang maha kuasa dan maha sempurna, barangsiapa ingin menyandangnya
berarti telah menjadikan dirinya tandingan bagiNya.
Para ulama salaf mengatakan:
ما ترك أحد حقا إلا لكبر في نفسه
“Tidaklah seseorang itu meninggalkan kebenaran kecuali karena kesombongan yang ada pada dirinya.”
Merupakan hikmah Alloh, bahwa seseorang
yang sombong dan berbangga diri dengan dirinya akan dibalas dengan
kebalikannya berupa kerendahan dan kehinaan di dunia. Cukuplah
terhalangnya seseorang untuk menerima kebenaran menjadikan kita menjauh
dari sifat tercela ini, terlebih lagi jika kita melihat ancaman adzab
yang pedih dan neraka yang menyala-nyala telah Alloh janjikan bagi
orang-orang yang sombong. Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
ألا أخبركم بأهل النار؟
“Maukah kalian aku kabarkan tentang penduduk neraka?”
Para shohabat menjawab: “Tentu (wahai Rosululloh)”
Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- pun berkata:
كل عتل جواظ مستكبر
“Semua orang yang kasar yang
suka bermusuhan di atas kebatilan dan orang yang mengumpulkan harta tapi
kikir dan orang yang sombong.” (HR. Bukhory: 4918, Muslim: 2853 dari Haritsah bin Wahb Al-Khuza’y)
Jika engkau ingin melihat contoh nyata
bagaimana sifat sombong dan berbangga diri ini menghinakan pemiliknya
marilah kita simak kisah seorang yang dulunya berada di jajaran para
ulama terkemuka di zamannya yang kemudian mengakhiri hayatnya dengan
kekafiran. Na’udzubillah minal Khudzlan
Dia adalah Abdulloh Al-Qosimy (1323-1417
H), seorang yang hidup di zaman imam As-Sa’dy, yang berhasil menguasai
berbagai cabang ilmu syareat, terutama ilmu aqidah, dan dipuji-puji oleh
para ulama lain di zamannya. Seorang yang menghabiskan hari-harinya
untuk membantah ahlil batil yang menyelisihi ahlussunnah wal jamaah. Dia
juga termasuk jajaran orang yang kokoh dalam membela Syaikh Muhammad
bin Abdul Wahab dari celaan orang-orang yang memusuhinya. Bahkan dia
mengarang sebuah kitab yang membantah para penyembah berhala,
sampai-sampai dikatakan bahwa kitabnya tersebut merupakan kitab terbaik
yang ditulis dalam permasalahan ini.
Namun, siapakah yang menjamin
keistiqomahan seseorang? Orang yang diharapkan menjadi ujung tombak
ahlussunnah ini ternyata berbalik hatinya, sehingga akhirnya murtad dan
berbalik arah, yang dulunya membela islam dari musuh-musuhnya berbalik
menjadi orang yang menyerang islam dan mengatakan bahwa islamlah yang
menyebabkan kemunduran, dan tidaklah mungkin seseorang bisa mengikuti
kemajuan zaman kecuali dengan meninggalkan islam. Bahkan dia mengarang
sebuah kitab sesat berjudul “Hadzihil Aghlal” yang menyebabkan
para ulama harus mengarang kitab bantahannya. Diantara ulama yang
membantah kitab ini adalah: Syaikh ‘Abdurrohman As-Sa’dy dan Syaikh
Abdulloh bin Yabis An-Najdy.
Mungkin kalau seorang ahli ibadah yang
tersesat tidak terlalu mengherankan kita, tapi yang sesat ini adalah
seorang ulama yang bergelut dalam membela aqidah islamiyah. Lalu apa
sebabnya? Orang-orang yang sezaman dengannya menjelaskan bahwa ternyata
pada orang ini ada penyakit yang menggerogotinya dan tidak segera dia
obati. Penyakit tersebut adalah: sifat merendahkan orang lain
dan menyanjung diri sendiri serta hasad terhadap para ulama terdahulu
maupun yang sezaman dengannya. Syair-syairnya merupakan bukti
nyata yang tidak bisa dipungkiri. Dia berkata: “Kalau saja mereka itu
jujur, tentu akulah yang dikedepankan dalam segala perkara, dan tidak
mencari selainku … dan mereka tidak menyebut selainku ketika
membicarakan tentang kecerdasan dan tidaklah melihat selain kepadaku
tatkala purnama tertutupi.” [lihat: “Min Akhbaril Muntakisin” hal: 30
dan selanjutnya]
Lihatlah saudaraku, bagaimana
kesombongan dan bangga diri menjerumuskan pemiliknya dalam kehinaan dan
mencegah diterimanya nasehat dan kebenaran. Semoga Alloh menjauhkan kita
dari penyakit yang membahayakan ini.
Ta’ashub dan taqlid yang membutakan hati
Kedua penyakit ini juga termasuk
penghalang utama kembalinya seseorang kepada kebenaran. Sebab keduanya
menjadikan seseorang tidak lagi berpatokan pada dalil dan tidak menerima
kecuali dari pihak yang dia memancangkan sikap ta’ashub dan taqlid
kepadanya.
Syaikh Sholeh Al-Fauzan –Hafidzohulloh-
mengatakan: “Sesungguhnya sikap ta’ashub terhadap suatu kelompok akan
menyebabkan seseorang menolak kebenaran yang ada pada kelompok lain. Hal
ini seperti keadaan orang-orang yahudi yang Alloh telah berfirman
tentang mereka:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا بِمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا نُؤْمِنُ بِمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرُونَ
بِمَا وَرَاءَهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِمَا مَعَهُمْ
“Dan apabila dikatakan kepada
mereka: “Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah” mereka
berkata: “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”.
Dan mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, padahal Al
Quran itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada
mereka.” (QS. Al-Baqoroh: 91)
Juga seperti keadaan orang-orang jahiliyyah yang menolak kebenaran yang didatangkan oleh Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- kepada mereka dengan sebab ta’ashub kepada perkara-perkara yang nenek moyang mereka berada di atasnya:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا
“Dan apabila dikatakan kepada
mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab:
“(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami”. (QS. Al Baqoroh: 170)
Para pengikut hizbiyyah itu ingin
menjadikan ta’ashub (yang merupakan perilaku orang-orang yahudi dan
orang jahiliyyah) ini sebagai ganti Islam yang merupakan anugrah Alloh
kepada umat manusia. (Seakan-akan mereka mengatakan sebagaimana yang
Alloh firmankan tentang perkataan orang-orang Yahudi dan Nashrani:)
ولا تؤمنوا إلا لمن تبع دينكم
“Dan janganlah kamu percaya melainkan kepada orang yang mengikuti agamamu.” (QS. Ali Imron: 73). [Dari kitab: “At-Tauhid”: 80]
Namun seseorang hendaknya bisa membedakan antara taashub yang terlarang dan ittiba’ yang dianjurkan. Kunci
perbedaan antara keduanya adalah diterima atau tidaknya kebenaran
ketika telah sampai kepadanya. Kapan saja seseorang mempersiapkan
dirinya untuk menerima kebenaran dan tunduk kepadanya maka orang yang
seperti ini bukanlah orang yang taashub. Adapun jika yang
menjadi tolok ukur adalah apa yang dikatakan kelompoknya atau orang yang
dijadikan panutannya dan tidak mau menerima kebenaran yang datang dari
luar, maka inilah taashub dan taqlid yang terlarang.
Jika engkau ingin melihat besarnya
bahaya penyakit ini, maka lihat keadaan orang-orang yang terperangkap
dalam jeratan hizbiyyah, betapa sulitnya mereka kembali dari kesalahan
walaupun telah tegak hujjah dan nasehat kepada mereka. Semoga Alloh
memberikan hidayahNya kepada kita semua.
- Berpaling dari nasehat dan peringatan
Sikap ini erat sekali hubungannya dengan
sikap ta’ashub. Sebab, orang yang terjangkiti dengan penyakit ta’ashub
biasanya tidak mau lagi menerima nasehat dan peringatan selain dari
pihaknya, padahal kalau saja mereka mau mendengar tidaklah akan mereka
dapatkan kecuali kebaikan. Namun sayang, mereka tidak menginginkan
kecuali celaan.
Syaikhul Islam
–Rohimahulloh- berkata: “Celaan diberikan kepada siapa saja yang telah
jelas padanya kebenaran kemudian meninggalkannya, atau lemah dalam usaha
mencari kebenaran tersebut sehingga tidak jelas baginya (mana yang
benar), atau berpaling dari usaha untuk mencari kebenaran itu karena
hawa nafsu dan kemalasan.” [Iqtidho’: 2/85]
Syaikh Sholeh Al-Fauzan
–Hafidzohulloh- mengatakan: “Barangsiapa telah jelas padanya suatu
kebenaran dan tidak mau menerimanya, maka dia akan dibalas dengan
dijauhkan dari kebenaran tersebut –wal’iyadzubillah-, dia akan dihukum
dengan penyimpangan dan kesesatan, sehingga tidak akan menerima
kebenaran setelah itu. Hal ini memberikan dorongan bahwa seseorang
yang sampai kepadanya kebenaran wajib baginya untuk menerima kebenaran
itu dengan seketika, tidak ragu-ragu dan mengulur-ulur waktu. Sebab jika dia terlambat untuk menerimanya, maka pantas baginya untuk dijauhkan (dari kebenaran tersebut). (Alloh berfirman:)
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah pun palingkan hati mereka (dari kebenaran tersebut)” (QS. Ash-Shoff: 5)
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ
“Dan Kami pun palingkan hati-hati
dan penglihatan mereka sebagaimana mereka tidak mau beriman kepadanya
(Al Quran) saat pertama kalinya.” (QS. Al-An’am: 110). [Dari kitab: I’anatul Mustafid: 1/ 259]
Ikhwany fillah, rohimakumulloh, inilah
diantara sebab-sebab yang mengahalangi seseorang untuk menerima
kebenaran dan mencabut diri dari kesalahan. Di sana masih ada
sebab-sebab lainnya, tapi inilah yang menurut kami paling banyak
menjerat dan menjatuhkan, yang pada hakekatnya semua itu kembali kepada
satu sebab utama, yaitu tidak adanya kejujuran dan keikhlasan dalam mencari kebenaran. Barangsiapa jujur dan ikhlas dalam mencarinya, pasti Alloh akan memberikannya. Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:
إن تصدق الله يصدقك
“Jika kamu benar-benar jujur (dalam
niatanmu) maka Alloh pun akan membenarkan (niatanmu itu dengan
memberikan sesuai yang kamu niatkan tersebut).”[2]
(HR. Nasai: 1956, dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Shohih
At-Targhib: 1336, dan Syaikh Muqbil dalam Shohihul Musnad: 474)
Sesungguhnya kebenaran itu adalah
cahaya, dan sebaliknya kesalahan itu adalah kegelapan. Semua itu hanya
dapat dilihat dan dirasakan oleh orang-orang yang mempunyai mata hati
yang sehat. Dan tidaklah hal ini bisa didapat kecuali taufiq dari Alloh
semata. Maka mintalah senantiasa kepadaNya agar engkau diberikan
kekokohan dalam berjalan di atas kebenaran, dan diberikan petunjuk untuk
segera kembali dari kesalahan.
Syaikhul Islam
–rohimahulloh- mengatakan: “Kebenaran itu (pada hakekatnya bisa)
diketahui oleh setiap orang, sebab kebenaran yang Alloh mengutus para
Rosul dengannya tidaklah tersamarkan dari selainnya bagi orang-orang
yang mengetahui.” [Majmu’ Fatawa: 27/ 315]
Ralat:
Sebagai penutup tulisan ini, kami
beritahukan bahwa pada tulisan kami berjudul “BULAN MUHARRAM,
Keutamaan….” terjadi kekeliruan. Semua itu tidak lain karena kekurangan
dan keteledoran kami, kami meminta ampunan kepada Alloh atasnya dan
minta udzur kepada para pembaca sekalian. Tidak lupa kami ucapkan syukur
kepada akhuna fillah Wahyu Ario Sadono –waffaqohulloh- yang
telah mengirimkan email berupa teguran tantang adanya kekeliruan yang
tidak kami sadari itu. Semoga Alloh membalasnya dengan kebaikan.
Kekeliruan tersebut adalah: Kami keliru dalam menisbatkan perkataan Ibnu abbas yang berbunyi:
صوموا التاسع والعاشر خالفوا اليهود
“Puasalah kalian pada hari kesembilan dan kesepuluh, selisihilah orang-orang Yahudi.”
kepada Imam Muslim padahal seharusnya
ditulis Baihaqi (4/287). Kemudian setelah mendapat teguran, kami rujuk
kembali perkataan tersebut, dan kami dapatkan bahwa atsar juga
diriwayatkan oleh Abdurrozzaq (7839) dan Ath-Thohawy (2/78) dengan sanad
yang shohih, telah menshohihkannya Syaikh Al-Albany ( lihat: Catatan
kaki Shohih Sunan Abi Dawud: 7/207).
Oleh karena itu, tulisan yang terjadi
kekeliruan itu kami cabut dan yang menjadi patokan adalah tulisan yang
telah direvisi sesuai dengan ralat yang kami tulis di sini. Semoga semua
ini menjadi pelajaran bagi kami sehingga lebih berhati-hati dan lebih
cermat dalam meneliti. Wallohul musta’an.
اللهم أرنا الحق حقاً وارزقنا اتباعه، وأرنا الباطل باطلاً وارزقنا اجتنابه،
سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
[1] Ini adalah tafsir ayat yang dipilih oleh Ibnu Jarir At-Thobary dan dirojihkan oleh Ibnu Katsir.
[2] Lihat “Hasyiyah As-Sindy ‘ala Sunan Nasai” tentang hadits ini.
Sumber: ahlussunnah.web.id
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Kenapa Mereka Sulit Kembali ?
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/kenapa-mereka-sulit-kembali.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5