Sakit: Pemutus Cerita – Pemupus Derita (Bag.2)
0
comments
judul asli: ’Iyaadah wa Ifaadah
ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy Saddadahulloh
Darul Hadits – Dammaj, Yaman
ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy Saddadahulloh
Darul Hadits – Dammaj, Yaman
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد
Bab Enam: SESUNGGUHNYA YANG MENYEMBUHKAN ADALAH ALLOH. DIALAH YANG MENCIPTAKAN PENYAKIT DAN OBATNYA[1]
Kholilulloh Ibrohim ‘Alaihis Salam mengatakan:
وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ
“Apabila aku sakit maka Dia-lah yang menyembuhkan” (QS Asy-Syu’aro’ 80)
Yaitu: Apabila aku jatuh sakit maka tidak ada apapun yang mampu akan kesembuhanku, selain-Nya [Tafsir Ibnu Katsir]
Kesadaran seorang hamba bahwa sakit dan
kesembuhannya hanyalah di tangan Alloh, sebenarnya merupakan langkah
awal dan paling utama baginya untuk mencapai kesembuhannya. Karena hal
ini akan memperkuat dirinya untuk menerima kenyataan dan mendorong
dirinya untuk mencurahkan segenap pengharapan. Kondisi tersebut bakal
membuat jiwa seorang mukmin menjadi tenteram, karena dia telah
menyerahkan urusannya pada satu-satunya yang bisa menyelesaikannya. Dia
meyakini bahwa sakit dan sembuhnya adalah kebaikan baginya dan semua
tidak akan lari dari takdirnya. Hati yang tenang akan membuat ringan apa
yang ada di badan. Sebaliknya orang yang tidak menyadari atau lemah
kesadarannya tentang perkara ini, justru menambah sakit yang ada di
badan dengan rasa sesak dan sempit yang ada di dada karena dia
menyerahkan perkaranya kepada sesuatu yang bukan sebagai penentu baik
kepada dokternya maupun kepada obatnya.
Abu Romtsah Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Aku dan ayahku pergi menemui Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, ketika itu aku masih anak-anak. Maka ayahku berkata kepada beliau: “Sesungguhnya aku adalah seorang Thobib
maka perlihatkanlah kepadaku gumpalan daging yang ada dipunggungmu”.
Beliau manjawab: “Apa yang akan engkau lakukan dengannya?”. Ayahku
mengatakan: “Aku akan memotongnya”. Beliau berkata:
لست بطبيب ولكنك رفيق طبيبها الذي وضعها- وقال غيره- الذي خلقها
“Engkau bukanlah Thobib (yang
menyembuhkan) akan tetapi engkau adalah perawat orang yang sakit. Adapun
Thobibnya (Dzat yang menyembuhkannya) adalah yang meletakkannya” –periwayat (lain) mengatakan- “… adalah yang menciptakannya”. (HR Ahmad, dishohihkan Syaikh Al-Albany dan Syaikh Muqbil Rahimahullohu Ta’ala)
Karena memang pada kenyataannya seorang
tabib atau dokter kerjanya adalah mendiagnosa suatu penyakit berdasar
gejala yang ada dan memilih resep ataupun penanganan yang dipandang
sesuai dengannya. Adapun kesembuhan semata-mata berada di tangan Alloh
‘Azza wa Jalla.
Pengharapan terhadap sesuatu yang
keputusan tidak berada di tangannya justru akan berbuah kepada kekecewan
yang bekal menjadi tekanan batin. Namun tidak berarti dengannya
seseorang tidak berusaha mencari obat atau tidak berkonsultasi ke
dokter. Karena pengharapan penuh kepada Alloh dan penempuhan sebab
bukanlah sesuatu yang bertentangan, akan lewat pembahasannya insya Alloh Ta’ala.
Al Hafizh Ibnu Hajar Rohimahulloh mengatakan –dalam menjelaskan perkataan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
أَنْتَ الشَافِي لا شَافِيَ إِلاَ أَنْتَ
“Engkaulah Asy Syafi (Yang Menyembuhkan) tidak ada yang menyembuhkan kecuali Engkau”. (HR Muslim dari ‘Aisyah)
”Padanya terdapat isyarat bahwasanya
setiap obat dan pengobatan yang berhasil mesti kebetulan pas dengan yang
Alloh Ta’ala takdirkan. Kalau tidak, tidak akan manjur. [Fathul Bari 10/207]
Hal itu sebagaimana sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
لكل داء دواء فإذا أصيب دواء الداء برأ بإذن الله عز وجل
“Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat mengenai penyakit maka akan pulih dengan izin Alloh ‘Azza wa Jalla”. (HR Muslim dari Jabir Rodhiyallohu ‘Anhu)
Imam An-Nawawy Rahimahulloh –dalam
menjelaskan hadits ini dan yang semisal- mengatakan: “Padanya terdapat
bantahan terhadap orang yang mengingkari pengobatan dari kalangan shufi
ekstrim yang mengatakan bahwa: “Semuanya berjalan dengan ketetapan dan
takdir Alloh, maka tidak butuh kepada pengobatan”. Sementara para ulama
berdalil dengan hadits-hadits ini dan meyakini bahwa Allohlah yang
menyembuhkan, adapun pengobatan maka hal itu juga termasuk ke dalam
takdir Alloh. Sebagaimana perintah untuk berdo’a, perintah untuk
memerangi musyrikin bersamaan dengan (perintah) untuk membentengi diri
dan (larangan) untuk menceburkan diri kepada kebinasaan, sementara ajal
tidak berubah dan takdir-takdir tidak akan tertunda atau maju dari
waktunya” [Syarh An-Nawawi ‘Ala muslim 14/191]
Bab Tujuh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulloh
mengatakan: “Seorang hamba dalam takdirnya berada pada dua keadaan;
Kondisi sebelum terjadinya takdir dan kondisi setelah terjadinya takdir.
Sebelum terjadinya takdir, maka yang wajib baginya adalah meminta pertolongan kepada Alloh, bertawakkal dan berdo’a kepada-Nya. Apabila Alloh menetapkan takdir
bukan karena sebab perbuatannya (bukan yang diharapkannya-pent), maka
dia wajib bersabar dan ridho. Apabila takdir itu datang dengan sebab
perbuatannya, maka itu adalah sebuah nikmat maka dia memuji Alloh
karenanya”. [Majmu’ul Fatawa 8/76]
Beliau Rohimahulloh juga
mengatakan: “Keridhoan dan tawakkal adalah dua pundak takdir. Tawakkal
sebelum terjadinya, sementara keridhoan setelahnya. Karena itulah Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam sholatnya mengatakan:
اللَّهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ
وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا
لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي أَسْأَلُكَ
خَشْيَتَكَ فِي الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَكَلِمَةَ الْحَقِّ فِي
الْغَضَبِ وَالرِّضَا وَالْقَصْدَ فِي الْفَقْرِ وَالْغِنَى وَلَذَّةَ
النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ
ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ وَمِنْ فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ اللَّهُمَّ زَيِّنَّا
بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مَهْدِيِّين
“Yaa Alloh, demi ilmu-Mu tentang
perkara ghoib, dan kekuasaan-Mu atas segenap makhluk, hidupkanlah aku
apabila Engkau tahu bahwa hidup lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku
apabila kematian lebih baik bagiku. Aku memohon rasa takut kepadamu
dalam kesendirian maupun di keramaian, serta aku memohon perkataan benar
di kala marah ataupun ridho. Aku memohon kecukupan di saat miskin
ataupun kaya. Aku memohon kelezatan melihat kepada wajah-Mu dan
kerinduan akan perjumpaan dengan-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari
kesempitan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Yaa Alloh
hiasilah kami dengan hiasan keimanan dan jadikanlah kami orang-orang
yang diberi dan memberi petunjuk” (HR Ahmad dan An-Nasa’iy, dari ‘Ammar bin Yaasir Rodhiyallohu ‘Anhu)[2]
Adapun apa yang dirasakan sebelum
datangnya takdir maka itu adalah keinginan untuk bersikap ridho, bukan
hakikat ridho itu sendiri” [Majmu’ul Fatawa 10/124]
Maka meminta tolong kepada Alloh,
tawakkal kepada-Nya, sabar, ridho dan syukur, merupakan perkara-perkara
yang sudah menjadi kemestian bagi seorang mukmin untuk berusaha agar
perkara-perkara tersebut senantiasa bersamanya. Karena kita selalu
beralih dari takdir yang satu ke takdir yang lain. Sekarang kita
menderita sakit, bisa saja saat ini kita menghadapinya dalam keadaan
marah, bisa jadi sedang gelisah, atau sebaliknya kita bisa menerimanya
dengan sabar. Bahkan bisa saja kita menambah kesabaran dengan sikap
ridho kemudian syukur.
Setelah ini kita akan berpindah ke
takdir setelahnya. Kita tidak tahu apakah setelah ini penyakit yang kita
derita akan berangsur sembuh atau malah bertambah parah. Makanya, kita
butuh kepada sikap meminta pertolongan kepada alloh dan bertawakkal,
serta do’a. Apabila datang takdirnya, kita bisa menerimanya dengan sikap
pasrah, tawakkal dan sabar. Demikian seterusnya sampai meninggal.
Dengan amalan-amalan seperti inilah seorang mukmin bisa menambah manfaat
yang bisa dipetik dari sakit yang dideritanya. Karena pada
amalan-amalan yang hamba diberikan pilihan (mau mengerjakannya atau
tidak) terkait adanya dosa dan pahala. Masing-masingnya akan datang
keutamaannya insya Allohu Ta’ala.
Bab Delapan: TAWAKKAL DAN PENGEMBALIAN SEGALA URUSAN KEPADA ALLOH SUBHANAHU WA TA’ALA
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إياك نعبد وإياك نستعين
“Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami meminta pertolongan” (QS Al-Fatihah ayat 4)
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh Ta’ala mengatakan: “Sesungguhnya agama ini adalah permintaan tolong dan peribadatan. Tawakkal merupakan permintaan tolong[3], sementara pengembalian perkara kepada Alloh adalah bentuk ibadah.” [Madarijus Salikin 2/113]
Hal ini sebagaimana perkataan Syu’aib ‘Alaihis Salam:
وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Tidaklah aku mendapatkan taufik kecuali dengan pemberian Alloh, kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali” (QS Hud 88)
Demikian juga firman-Nya:
وَلِلهِ غَيْبُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الْأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
“Milik Alloh-lah segala rahasia di
langit dan di bumi, serta kepada-Nyalah dikembalikan segala perkara.
Maka ibadahilah Dia dan bertawakkallah kepada-Nya” (QS Hud 123)
Dan perkataan orang-orang beriman:
رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Wahai Robb kami, kepada-Mulah kami bertawakkal dan kepada-Mulah kami rujuk serta kepada-Mulah tempat kembali” (QS Al-Mumtahanah 4)
Juga firman Alloh Ta’ala:
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ
إِلَيْهِ تَبْتِيلًا ^رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَهَ إِلَّا
هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا
“Sebutlah nama Robbmu dan
beribadahlah kepadanya dengan sepenuh hati. Robb timur dan barat, tidak
ada yang berhak diibadahi selain dia. Maka jadikanlah Dia sebagai Dzat
yang menjagamu” (QS Al-Muzammil 8)
Dan firman-nya:
قُلْ هُوَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ مَتَابِ
“Katakanlah wahai Muhammad: “Dialah Robb-ku kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepadanyalah aku kembali dalam segenap urusanku” (QS Ar-Ra’ad 40)
Apabila seorang hamba mengetahui
bahwasanya yang mengatur segala perkara hanyalah Alloh dan sesuatu tidak
akan terjadi kecuali dengan izin-Nya, maka dia akan menyadari
bahwasanya tidak akan mungkin muncul keinginan darinya dan tidak mungkin
dia mengamalkan sesuatu sampai Alloh mewujudkannya. Berapa banyak orang
yang menginginkan kebaikan dan bersungguh-sungguh namun tidak tahu cara
mencapai kebaikan itu. Berapa banyak orang yang sudah mengetahui jalan
untuk mencapainya namun tidak diberi taufik untuk melaksanakannya, malah
dia mendapatkan kelemahan dan kegelisahan pada dirinya, bukan karena
dia tidak memiliki kemampuan dan kekuatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh
mengatakan: “… dan kelompok yang lain, mereka bertujuan untuk mentaati
Alloh dan rosul-Nya, namun tidak menerapkan sikap meminta tolong dan
bertawakkal kepada Alloh. Maka orang-orang seperti ini, diberikan pahala
atas niatnya dan atas ketaatannya, namun mereka tidak dibantu untuk
mewujudkan tujuan mereka tersebut, disebabkan mereka tidak menerapkan
sikap meminta tolong dan bertawakkal kepada Alloh. Akibatnya, diantara
mereka ada yang diuji dengan kelemahan, kegelisahan, atau kekaguman pada
diri sendiri. Apabila dia tidak mencapai kebaikan yang ingin ditujunya,
maka itu disebabkan kelemahan dan kegelisahannya. Apabila dia merasa
tujuannya tercapai, maka dia melihat kepada dirinya, merasa kagum dengan
keadaannya dan menyangka bahwa keinginannya telah tercapai, maka dia
tidak akan ditolong. Alloh Ta’ala mengatakan:
وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إذْ أَعْجَبَتْكُمْ
كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ
الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
“Pada hari perang Hunain ketika
jumlah kalian yang besar membanggakan kalian, namun jumlah yang besar
tersebut sama sekali tidak berguna bagi kalian, bumi yang luas tersa
sempit bagi kalian, kemudian kalian berbalik ke belakang dan lari
tunggang langgang”. –sampai kepada firman-Nya-
ثُمَّ يَتُوبُ اللهُ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Setelah itu Alloh menerima taubat
orang yang Dia kehendaki. Alloh adalah Ghofur (Maha Pengampun) dan
Rohiim (Maha Pemberi Rahmat)”. (QS At-Taubah 25-27) [Majmu’ul Fatawa 10/ 277]
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
احرص على ما ينفعك واستعن بِالله ولا تعجز
“Bersemangatlah pada apa-apa yang bermanfaat bagimu serta mintalah pertolongan Alloh dan jangan lemah”. (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Beliau memerintahkan untuk bersemangat
kepada yang bermanfaat, kalau demikian maka perkara tersebut termasuk
ibadah. Bersamaan dengan itu beliau juga menyuruh untuk meminta
pertolongan kepada Alloh. Sebagaimana firman Alloh:
إياك نعبد وإياك نستعين
“Hanya kepada Engkau-lah kami beribadah dan hanya kepada Engkau-lah kami meminta pertolongan” (QS Al-Fatihah ayat 4)
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan:
“Kebaikan semuanya ada pada semangat terhadap apa-apa yang bermanfaat.
Ketika semangat seseorang serta perbuatannya hanyalah bisa terwujud
dengan bantuan Alloh, keinginan dan taufik darinya, maka beliau menyuruh
hamba tersebut untuk meminta pertolongan kepada-Nya agar terkumpul
padanya kedudukan:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين
Karena semangatnya kepada apa yang
bermanfaat baginya adalah ibadah kepada Alloh, dan ibadah tidak akan
diselesaikan kecuali dengan pertolongannya. Maka beliau memerintahkan
untuk mengibadahi-Nya kemudian mengatakan: “dan jangan lemah”,
karena kelemahan meniadakan semangat kepada apa yang bermanfaat, serta
meniadakan permintaan tolong kepada Alloh. Orang yang bersemangat pada
apa yang bermanfaat baginya adalah orang yang meminta tolong kepada
Alloh, bukan orang yang lemah” [Syifa’ul ‘Alil 1/19]
Demikian juga apa yang telah diwasiatkan Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kepada Mu’adz Rodhiyallohu ‘Anhu agar tidak meninggalkan do’a di penghujung setiap sholat:
اللَّهُمَّ أَعِنّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِك
“Yaa Alloh tolonglah aku untuk
berdzikr, bersyukur kepada-Mu, dan kebagusan (dengan niat yang ikhlas
dan sesuai dengan sunnah Nabi) dalam mengibadahi-Mu” (HR Abu Daud, dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahullohu Ta’ala)
Permintaan tolong kepada Alloh dalam
berbagai perkara adalah sifat yang mesti ditanamkan pada jiwa setiap
muslim dengannyalah kedudukannya akan terangkat di sisi Alloh. Dengannya
seseorang akan menyadari kedudukannya dan kedudukan penciptanya.
Seseorang baru bisa mendudukkan sesuatu pada tempatnya setelah dia
mengetahui kedudukan sesuatu tersebut. Orang yang mengetahui besarnya
ketergantungan dirinya kepada Alloh akan sadar akan kehinaan dirinya dan
akan bertambah pengagungan dan pengharapannya kepada Robb-Nya.
‘Utsman bin ‘Affan Rodhiyallohu ‘Anhu diantara teladan yang senantiasa menanamkan sikap ini pada dirinya. Abu Musa Al-Asy’ary Rodhiyallohu ‘Anhu mengisahkan:
بينما رسول الله صلى الله عليه وسلم في حائط من حائط المدينة وهو متّكئ يركز بِعود معه بين الماء والطين إذا استفتح رجل فَقَال: افتح وبشره بالجنة. قال: فإذا أَبو بكر ففتحت له وبشرته بالجنة. قال: ثم استفتح رجل آخر فقال: افتح وبشره بالجنة. قال: فذهبت فإذا هو عمر ففتحت له وبشرته بالجنة ثم استفتح رجل آخر قال: فجلس النبي صلى الله عليه وسلم فقال: افتح وبشره بالجنة على بلوى تكون. قال: فذهبت فإذا هو عثمان بن عفان قال: ففتحت وبشرته بالجنة. قال: وقلت الذى قال. فقال: اللهم صبرا أو اللهُ المُسْتَعَان
“Ketika Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berada
di salah satu kebun (berpagar) diantara kebun-kebun Madinah, beliau
dalam keadaan bertumpu dengan sepotong kayu diantara air dan tanah.
Tiba-tiba seorang lelaki minta dibukakan (pintu kebun)”. Maka beliau
berkata (kepadaku –Abu Musa): “Bukakan, dan berilah dia kabar gembira dengan surga”.
Ternyata dia Abu Bakr, maka aku membukakan baginya dan kusampaikan
kabar gembira berupa surga. Kemudian seorang lelaki yang lain minta
dibukakan pintu, beliau berkata: “Bukakan, dan berilah dia kabar gembira dengan surga”.
Lalu aku pun pergi ternyata dia ‘Umar, maka aku membukakan baginya dan
kusampaikan kabar gembira berupa surga. Kemudian seorang lelaki yang
lain minta dibukakan pintu, maka Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam duduk dan berkata: “Bukakan, dan berilah dia kabar gembira dengan surga atas cobaan yang bakal terjadi”. Lalu
aku pun pergi ternyata dia ‘Utsman bin ‘Affan, maka aku membukakan
baginya dan kusampaikan kabar gembira berupa surga, dan kusampaikan apa
yang dikatakan (oleh Rosululloh). Maka dia (‘Utsman) berkata: “Yaa Alloh
berilah aku kesabaran –atau- Alloh-lah tempat meminta pertolongan”. (HR
Muslim)
Maka kesabaran dan selainnya dari amalan
sholih merupakan perbuatan-perbuatan yang hamba memiliki pilihan, akan
tetapi yang memberikan kesabaran adalah Alloh dan itu adalah perbuatan
Alloh, maka hanya Dialah yang diminta untuk itu. Diantaranya adalah
perkataan-Nya:
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِالله
“Bersabarlah wahai Muhammad, dan kesabaranmu adalah semata-mata dengan pertolongan Alloh” (QS An-Nahl 127)
Dan perkataan Hud ‘Alaihis Salam:
وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِالله
“Tidaklah aku mendapat taufik (kecocokan dengan kebenaran) kecuali dengan pertolongan Alloh”. (QS Hud 88)
Serta perkataan Tholut dan orang-orang beriman yang bersamanya:
رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا
“Wahai Robb kami limpahkanlah kesabaran kepada kami”. (QS Al-Baqoroh 250)
Sesungguhnya hal itu mudah bagi orang yang Alloh mudahkan.
Bab Sembilan: MENEMPUH PENGOBATAN
Mengambil langkah pengobatan adalah
perkara yang syar’i. Penggunaan obat bukanlah perkara yang membatalkan
tawakkal, apabila dengan tidak semata-mata bersandar kepada obat, akan
tetapi hanya bersandar kepada Alloh semata. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sendiri berobat sementara beliau adalah teladannya orang-orang yang bertawakkal. Seperti hadist Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berbekam dan memberi upah tukang bekam dan beliau menggunakan obat yang dimasukkan ke hidung. (HR Bukhory).
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga menunjukkan umatnya kepada beberapa jenis obat, seperti hadist Jabir bin ‘Abdillah Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
إن كان في شيء من أدويتكم – أو يكون في شيء من أدويتكم – خير ففي شرطة محجم أو شربة عسل أو لذعة بنار توافق الداء وما أحب أن أكتوي.
“Apabila ada kebaikan pada sesuatu
diantara pada obat-obat kalian –atau terdapat kebaikan pada sesuatu
diantara obat-obat kalian- maka hal itu pada tusukan besi (bekam), minum
madu dan atau sudutan dengan api )kay/ besi panas) yang mencocoki penyakit. Namun aku tidak menyukai kay.” (HR Bukhory)
Ibnu Baththol Rahimahulloh mengatakan: “Pada hadits Jabir terdapat pembolehan kay dan bekam, serta penjelasan bahwa kesembuhan ada pada keduanya. Karena beliau Shollallohu ‘Alaihu wa Sallami tidaklah
menunjukkan sesuatu yang mengandung kesembuhan kepada umatnya kecuali
pada perkara-perkara yang boleh mereka tempuh sebagai penyembuhan dan
pengobatan”. [Syarh Shohih Al-Bukhory 9/404]
Demikian pula Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengarahkan para shahabatnya untuk berobat sebagaimana di hadist Usamah bin Syarik Rodhiyallohu ‘Anhu, bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
تداووا عباد الله فإن الله سبحانه لم يضع داء إلا وضع معه شفاء إلا الهرم.
“Berobatlah kalian wahai hamba
Alloh, karena Alloh Subhanah tidak menjadikan penyakit melainkan
menciptakan bersamanya penyembuh, kecuali kepikunan”. (HR Ibnu Majah dishohihkan Syaikh Muqbil dan Syaikh Al-Albany).
Al-Munawy Rahimahulloh
mengatakan: “Penyifatan mereka dengan penghambaan, merupakan pengumuman
(Rosululloh) bahwa pengobatan tidak mengeluarkan mereka dari tawakkal
yang merupakan syarat penghambaan (kepada Alloh). Maksudnya: “Berobatlah
kalian dan janganlah kalian bertumpu dalam kesembuhan kepada
pengobatan, akan tetapi jadilah hamba-hamba Alloh yang bertawakkal
kepada-Nya” [Fathul Qodir 3/ 312]
Abul ‘Ala Al-Mubarokfury Rahimahulloh
mengatakan: “Beliau telah menyuruh untuk berobat dan berdo’a meski apa
yang ditakdirkan mesti terjadi. Karena –terjadi tidaknya- takdir
tersebut tersembunyi dari manusia. Manusia tidak mengetahui apa yang
telah Alloh takdirkan baginya karena dia hanya bisa mengetahui takdir
setelah terjadinya”. [Tuhfatul Ahwazy 6/289]
Beliau menukilkan dari Al-’Ainy Rahimahulloh:
“Pada hadits tersebut terdapat pembolehan pengobatan dan ilmu
kedokteran. Hal ini merupakan bantahan terhadap kaum sufi yang
mengatakan bahwa derajat wali tidak sempurna kecuali dengan keridhoan
terhadap setiap bala yang menimpa, serta tidak boleh baginya untuk
berobat. Sementara hal tersebut menyelisihi apa yang dibolehkan
syari’at”. [Tuhfatul Ahwazy 6/159]
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan:
“Adapun orang yang menyangka bahwa tawakkal tidak butuh kepada
sebab-sebab yang diperintahkan, maka ini adalah sebuah kesesatan. Hal
ini seperti orang yang menyangka bahwa dirinya sedang bertawakkal atas
apa yang ditakdirkan baginya -berupa kebahagian dan kesengsaraan- tanpa melakukan apa yang Alloh perintahkan kepadanya. Masalah ini termasuk perkara yang pernah ditanyakan kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana di Shohihain, beliau berkata:
ما منكم من أحد إلا وقد كتب مقعده من الجنة والنار
“Tidak seorangpun dari kalian melainkan telah ditempatkan posisinya di surga atau neraka”.
Lalu dikatakan kepada beliau: “Wahai
Rosululloh, maka tidakkah kita meninggalkan amalan dan bertumpu saja
pada apa yang (ditakdirkan) di Al-Kitab?”. Beliau menjawab:
لا اعملوا فكل ميسر لما خلق له
“Tidak, beramallah kalian. Masing-masing orang dimudahkan untuk mendapatkan apa yang diciptakan baginya”.
-sampai ke perkataan beliau- maka
(hanya) menaruh perhatian kepada sebab adalah kesyirikan dalam
ketauhidan, menolak sebab sebagai sebab adalah kekurangan pada akal,
berpaling dari sebab yang diperintahkan adalah celaan terhadap syari’at.
Maka wajib bagi seorang hamba agar hatinya senantiasa bertumpu kepada
Alloh bukan kepada sebab dari sebab-sebab yang ada. Allohlah yang
memudahkan baginya untuk menjalani sebab yang menghasilkan maslahat
baginya di dunia dan akhirat. Apabila ditakdirkan baginya (penempuhan)
sebab dan dia diperintahkan untuk itu, maka dia mengerjakannya bersamaan
dengan ketawakkalannya kepada Alloh”. [Majmu’ul Fatawa 8/528-529]
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh
mengatakan: “Pada hadits-hadits yang shohih terdapat perintah untuk
berobat, dan bahwasanya hal tersebut tidak meniadakan sikap tawakkal
sebagaimana kelaparan, kehausan, kepanasan dan kedinginan ditolak dengan
lawan-lawannya. Bahkan tidak tercapai hakikat tauhid kecuali dengan
menempuh langsung sebab-sebab yang telah Alloh tetapkan dampak-dampak
dari sebab-sebab tersebut secara ukuran maupun ketentuan syari’at.
Penolakan masalah ini merupakan celaan pada sikap tawakkal itu sendiri,
sebagai hal itu juga merupakan celaan terhadap perintah dan hikmah
Alloh. Penolakannya juga melemahkan sikap tawakkal, dari sisi orang yang
menolak sebab itu menduga bahwa meninggalkan sebab-sebab lebih
menguatkan tawakkal, sementara sesungguhnya sikap penolakan tersebut
adalah sebuah kelemahan yang meniadakan tawakkal. Tawakkal pada
hakikatnya merupakan penyandaran hati kepada Alloh dalam mendapatkan apa
yang bermanfaat bagi seorang hamba di agama dan dunianya, serta menolak
apa yang membahayakannya pada agama dan dunianya. Penyandaran hati ini
mesti dengan penempuhan sebab, kalau tidak maka itu adalah bentuk
penolakan terhadap hikmah Alloh dan syari’at. Maka janganlah seorang
hamba menjadikan kelemahannya sebagai bentuk tawakkal dan menjadikan
tawakkalnya sebagai sebuah kelemahan. [Zaadul Ma’ad 4/15]
Beberapa hikayat yang menakjubkan
terkadang mendorong seseorang untuk meneladani, walaupun tanpa disadari
terdapat penyelisihan terhadap hikmah syari’at. Termasuk di dalamnya
kisah-kisah berbau shufiyyah yang memalingkan makna tawakkal kepada
kelemahan diri bahkan dianggap sebagai karomah. Berikut salah satu hikayat yang dibawakan Al-Khotib Al-Baghdady Rahimahulloh terkait masalah ini:
Abu Hamzah Ash-Shufy mengatakan: “Aku
melakukan perjalanan dengan modal tawakkal. Pada suatu malam dalam
perjalanan, mataku terpejam kareka kantuk sehingga aku terjatuh ke dalam
sebuah lubang sumur. Aku mendapatkan diriku sudah berada di dalamnya
dan aku merasa bahwa aku tidak mampu untuk keluar karena tingginya bibir
sumur tesebut, maka akupun duduk di dalamnya. Ketika aku duduk
tersebut, dua orang lelaki berhenti di pinggir sumur tersebut. Maka
salah satu diantara mereka berkata kepada temannya: “Apakah kita lanjut
dan kita tinggal kan lubang ini di jalan orang yang lewat?”. Yang
satunya berkata: “Terus apa yang kita lakukan?”. Temannya menjawab:
“Kita timbun”.
Maka hatiku segera ingin berkata: “Aku
di dalam!!”. Namun aku diseru: “Engkau bertawakkal kepada kami kemudian
engkau mengadukan cobaan kami kepada selain kami?”. Akupun diam, lalu
kedua orang tersebut berlalu kemudian kembali membawa sesuatu yang
mereka gunakan menutup bibir sumur. Hatiku berkata: “Engkau aman dari
timbunan namun sekarang engkau terpenjara di dalamnya”. maka tinggallah
aku di situ siang dan malam. Sampai keesokan harinya, suatu teriakan
memanggilku namun aku tidak melihatnya. Teriakan itu sangat kuat
mempengaruhiki. Maka akupun menjulurkan tanganku, sampai aku meraba
sesuatu yang kasar lalu aku berpegang kepadanya. Kemudian dia menarikku
ke atas dan melemparkanku. Sesampai di atas aku ceermati ternya ia
adalah hewan buas. Ketika melihatnya timbullah di hatiku sesuatu yang
biasa muncul ketika melihatnya. Lalu datanglah seruan: “Wahai Abu Hamzah
kami telah menyelamatkanmu dari cobaan dengan cobaan dan kami atasi
rasa takutmu dengan sesuatu yang kamu takuti”. [Tarikh Baghdad 1/391]
Terlepas dari shohih atau tidaknya kisah ini, Ibnul Jauzi Rahimahulloh mengomentari
kisah di atas: “Dia salah dalam perbuatannya, menyelisihi syari’at
dengan sikap diamnya, kebisuannya menolong untuk membibasakan dirinya
sendiri. Sementara yang wajib baginya adalah berteriak dan mencegah
orang yang mau menimbun sumur sebagaimana wajib baginya untuk
menghalangi orang yang mau membunuhnya. Perkataannya (dalam riwayat lain
–pen): “Aku tidak akan meminta tolong”, sama seperti perkataan orang:
“Aku tidak akan makan makanan dan tidak akan minum air”, ini adalah
sebuah kebodohan dari pelakunya, menyelisihi hikmah diadakannya dunia
karena Alloh meletakkan sesuatu di atas hikmah. Alloh menciptakan tangan
bagi manusia dengannya bisa mendorong, diberi mulut dengannya bisa
berbicara, diberi akal yang bisa menunjukinya untuk menolak bahaya dan
mendatangkan maslahat, dan Alloh menciptakan bahan makanan dan
obat-obatan untuk maslahat manusia. Barangsiapa yang tidak mau
menggunakan sesuatu yang diciptakan baginya dan dia diarahkan kepadanya,
maka dia telah menolak syari’at dan menentang hikmah sang Pencipta.
Seandainya ada yang mengatakan:
“Bagaimana bisa aku menjaga diri bersama adanya perkara telah
ditakdirkan?”. Kita katakan: “Kenapa dia tidak menjaga diri bersama
adanya perkara telah ditakdirkan?”. Alloh Subhanahu wa ta’ala
mengatakan:
خُذُوا حِذْرَكُمْ
Bersiap siagalah kalian” (QS An-Nisa’ 71)
Sengguh Nabi bersembunyi di gua (ketika
dikejar musyrikin –pen), dan beliau berkata kepada Suroqoh: “Rahasiakan
kami”. Beliau menyewa petunjuk jalan ke Madinah, beliau tidak
mengatakan: “Aku melakukan perjalanan dengan modal tawakkal”.
Terus-menerus raga beliau bersama sebab dan jiwanya bersama yang
menciptakan sebab. Telah kami terangkan hukum pokok masalah ini pada
pembahsan terdahulu.
Perkataan Abu Hamzah: “Panggilan dari
hatiku”. Ini adlah bisikan hati yang bodoh, yang telah tetap pada hati
tersebut kebodohan bahwasanya tawakkal adalah meninggalkan sebab-sebab.
Karena syari’at tidak pernah menuntut seseorang untuk mengerjakan yang
terlarang. Kenapa hatinya tidak melarangnya ketika dia mengangkat
tangannya, bergantung dan berpegang kepada sesuatu yang dijulurkan
kepadanya? karena sungguh hal itu juga telah membatalkan apa yang
dinamakan tawakkal oleh orang yang mengklaim tawakkal dengan bentuk
meninggalkan sebab-sebab. Apa bedanya, dia mengatakan: “Saya di sumur”
dengan berpegangnya dia dengan sesuatu yang dijulurkan kepadanya?.
Bahkan perbuatannya lebih tegas dari perkataannya (tawakkal tanpa sebab
–pent). Kenapa dia tidak diam saja sehingga dia bisa diangkat tanpa
sebab?.
Apabila dikatakan: “(Binatang buas) ini
Alloh utus untukku”. Kita katakan: “Orang yang melewati sumur tersebut
sia[a yang mengutusnya? Lidah orang yang meminta pertolongan siapa yang
menciptakannya?. Sungguh jika dia minta tolong maka dia telah
menggunakan sebab yang diciptakan oleh Alloh Ta’ala dan bermanfaat
beginya untuk menolak bahaya. Namun dia tidak menggunakannya, justru
dengan diamnya dia menolak sebab-sebab yang Alloh ciptakan dan menolak
hikmah.” [Talbis Iblis 304]
Dengan demikian jelaslah bahwa
penempuhan sebab diantaranya pengobatan diantara bentuk penerapan sikap
tawakkal, bukan menguranginya.
Syaikh Muqbil Rahimahulloh
mengatakan: “Jika engkau telah mengetahui bahwasanya tidak ada sesuatu
yang terjadi kecuali dengan pengaturan Alloh, maka engkau hanya akan
bersandar kepada-Nya. Tidak mengapa menempuh sebab tanpa bersandar
kepadanya semata. Karena semata-mata bersandar kepada sebab adalah
kesyirikan, dan tidak menempuh sebab adalah celaan terhadap syari’at”. [Al-Jami’ush Shohih fil Qodar 123]
Al-‘Allamah Ibnu Baz Rahimahulloh mengatakan:
“Aku katakan –dengan meminta pertolongan Alloh- bahwa menempuh
pengobatan hukumnya boleh secara ijma’. Boleh bagi seorang muslim untuk
pergi ke dokter penyakit dalam, luka luar, syaraf dan yang semisalnya
untuk memeriksakan penyakitnya dan mengobatinya dengan obat-obat yang
mencocokinya yang dibolehkan secara syari’at berdasar apa-apa yang telah
dikenal di ilmu kedokteran, Karena hal tersebut termasuk upaya
pengambilan obat yang tidak meniadakan tawakkal kepada Alloh. Alloh
Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan penyakit dan menurunkan obat
bersamanya, maka tahulah yang tahu dan bodohlah yang bodoh. Akan tetapi
Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan kesembuhan bagi hambanya pada
apa-apa yang Dia haramkan bagi mereka”. [Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin 3/274]
Larangan pengobatan dengan memakai obat atau metode yang haram, sebagaimana di hadist Abu Darda’ Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
إن الله خلق الداء و الدواء، فتداووا، ولا تتداووا بحرام
“Sesungguhnya Alloh menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah kalian. Dan janganlah kalian berobat dengan yang harom”. (HR Ad-Daulaby, dihasankan Syaikh Albany Rahimahullohu Ta’ala)
Faidah: Imam Al-Maziry Rahimahulloh mengingatkan tentang perkara yang dikira sebagian orang bertentangan dengan perkataan beliau “Setiap penyakit ada obatnya”,
dimana banyak didapatkan pada kasus orang-orang yang sakit kemudian
berobat tapi mereka tidak sembuh-sembuh: “Hal itu karena luputnya
pengetahuan tentang hakikat pengobatan, bukan karena tidak adanya obat” [lihat Syarh Asy-Syuyuthi ‘Ala Muslim 5/219]
Jadi tidak ada alasan bagi orang yang
menggunakan obat yang haram atau metode yang haram untuk penyembuhan
dengan alasan tidak ada obat, karena pada kenyataannya obat yang metode
yang halal ada namun, ketidaktahuan atau ketidaksabaranlah yang
mendorong mereka untuk melakukannya.
Kondisi seperti ini sudah terjadi di zaman Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam sendiri, ketika beliau melarang pengkonsumsian khomr (minuman yang memabukkan) maka Thoriq bin Suwaid Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Sesungguhnya aku membuatnya untuk obat”. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:
إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ، وَلَكِنَّهُ دَاء
“Sesungguhnya dia bukan obat tapi penyakit” (HR Muslim dari Wa’il bin Hujr Rodhiyallohu ‘Anhu)
Imam An-Nawawy Rahimahulloh mengatakan: “Pada hadits ini terdapat pernyataan bahwasanya khomr
(minuman yang memabukkan) bukanlah obat. Maka diharamkan melakukan
pengobatan dengannya karena dia bukan obat, sehingga seolah-olah
penggunaannya adalah pemakaian (khomr) tanpa sebab. Inilah yang shohih di sisi ashabuna
(para ulama syafi’iyyah) bahwasanya diharamkan pengobatan dengannya,
demikian juga meminumnya bagi orang yang kehausan. Adapun jika tersekat
segumpal makanan di tenggorokannya, sementara dia tidak mendapatkan apa
pun –selain khomr- yang bisa membantunya untuk menelannya maka dia harus meminumnya (khomr) untuk membantu menelan makanan tersebut karena terjadinya kesembuhan dengannya meyakinkan, berbeda dengan pengobatan”. [Syarh An-Nawawy ‘Ala Muslim 13 153]
Dengan demikian jelaslah kekeliruan sebagian orang yang memakai pengobatan yang haram seperti minum khomr, kencing (manusia), makan daging babi dll, atau datang ke dukun dsb, kemudian beralasan dengan kaidah:
إن الضرورات تبيح المحظورات
“Sesungguhnya perkara-perkara dhoruroh membolehkan (pemakaian) perkara-perkara yang haram”
Karena diantara syarat penggunaan kaidah ini adalah:
- Dhorurah tersebut
tidak bisa ditanggulangi kecuali dengan menggunakan perkara haram
tersebut, yaitu tidak ada cara lain yang bisa mengatasi dhoruroh tersebut.
- Dhorurah tersebut
memang –secara yakin- bisa diatasi dengan perkara tersebut. Kalau tidak
maka tetap pada keharamannya. Demikian juga kalau kita ragu maka tetap
pada keharamannya, karena menggunakan perkara yang haram jelas
mafsadanya, sementara teratasinya dhoruroh dengannya adalah
perkara yang meragukan. Maka tidak boleh melanggar sebuah keharaman yang
meyakinkan karena sesuatu yang meragukan”.
[Lihat syarat-syarat yang lain
di Al-Mufashshol fil Qowa’idil Fiqhiyyah 242-247, Ad-Durorul Bahiyyah
Syarh Manzhumatil Qowa’idil Fiqhiyyah 112-114].
Hadits-hadits di atas dengan gamblang menyatakan bahwa ada pengobatan yang mubah (boleh) untuk setiap penyakit sehingga tidak bisa perkara haram dipakai untuk pengobatan.
Bab Sepuluh: SABAR
Setelah kita mengetahui bahwasanya sakit
yang menimpa anda merupakan sesuatu yang telah Alloh takdirkan, dan ia
merupakan pintu bagi anda untuk menggapai manfaat yang melimpah -hanya
Alloh yang mengetahuinya-. Bersemangatlah dalam menjaga manfaat yang
diperoleh dari sakit yang anda rasakan tersebut, dan itu didapatkan
dengan senantiasa bersikap sabar yang hukumnya adalah wajib.
Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh
mengatakan: “Imam Ahmad mengatakan: “Sabar disebutkan di Al Qur’an pada
sekitar sembilan puluh tempat dan hukumnya wajib dengan ijma’ umat”. [Madarijus Salikin 2/152]
Kesabaran yang sempurna, diperoleh
dengan melatih kesabaran, menghindari kegelisahan (keluh-kesah) dan
pengaduan kepada orang lain.
Adapun melatih kesabaran, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Salla bersabda:
ومن يتصبر يصبره الله وما أعطي أحد عطاء خيرا وأوسع من الصبر.
“Barangsiapa yang melatih kesabaran,
maka Alloh akan membuatnya sabar. Seseorang tidaklah diberi dengan
sebuah pemberian yang lebih baik dan luas daripada kesabaran”. (HR Bukhory-Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu’ Anhu)
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan:
“Tidak diragukan bahwa proses penyabaran diri menyatakan adanya
pembebanan diri dan upaya menahan sesuatu yang dibenci. Namun hal
tersebut adalah sebuah keharusan untuk mencapai kesabaran, itulah sebab
untuk menggapai kesabaran. Maka proses penyabaran diri (dimulai) dari
hamba sementara kesabaran adalah buahnya yang diberikan Alloh jika hamba
tersebut meminta dan menahan beban, sebagaimana sabda Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang melatih kesabaran, maka Alloh akan membuatnya sabar”. Kedudukan
proses penyabaran diri dengan kesabaran, seperti kedudukan belajar dan
berusaha memahami dengan ilmu dan pemahaman. Maka hal itu wajib untuk
mendapatkan kesabaran”. [Thoriqul Hijrotain 405]
Adapun menghindari kegelisahan (keluh-kesah), sebagaimana di hadist Mahmud bin Labid Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
إذا أحب الله قوما ابتلاهم فمن صبر فله الصبر ومن جزع فله الجزع.
“Sesungguhnya jika Alloh mencintai
suatu kaum, maka Dia menguji mereka. barangsiapa yang sabar maka akan
mendapat (pahala kesabaran) dan barangsiapa yang gelisah (keluh kesah)
maka baginya kegelisahan”. (HR Ahmad, dishohihkan Syaikh Al-Albany)
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan:
“Kesabaran dan kegelisahan (keluh kesah) adalah dua perkara yang
bertolak belakang, karena itulah keduanya diperbandingkan satu sama
lain. Alloh Ta’ala menyebutkan tentang perkataan penduduk neraka:
سَوَاءٌ عَلَيْنَا أَجَزِعْنَا أَمْ صَبَرْنَا مَا لَنَا مِنْ مَحِيصٍ
“Sama saja bagi kita apakah kita mengeluh atau bersabar, kita tetap tidak memiliki tempat untuk melarikan diri” (QS Ibrohim 21)
Keluh-kesah adalah teman dan saudara kelemahan sementara kesabaran adalah teman dan komponen dari kecerdasan “. [‘Uddatush Shobirin 10]
Hal ini bukan berarti tidak boleh ada
rasa risau ataupun kegelisahan di hati, karena hal-hal tersebut adalah
perkara yang sangat berat dielakkan seorang hamba. Namun selama hal
tersebut tidak melampaui kadar yang dibenarkan, maka hal tersebut tidak
meniadakan kesabaran.
Al-‘Aini Rahimahulloh
mengatakan: “Adapun kegelisahan, kesedihan yang ada di hati serta
menetesnya air mata, sesungguhnya hal itu tidak mengeluarkan seorang
hamba dari makna orang-orang yang sabar apabila dia tidak sampai
melakukan perkara yang tidak boleh dilakukan. Karena kegelisahan ketika
musibah merupakan tabiat jiwa anak Adam”. [‘Umdatul Qori’ 12/343]
Adapun menjauhi pengaduan kepada orang lain, sebagaimana di hadist Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
قال الله تعالى: إذا ابتليت عبدي المؤمن فلم يشكني إلى عواده أطلقته من إساري ثم أبدلته لحما خيرا من لحمه ودما خيرا من دمه ثم يستأنف العمل
“Alloh Ta’ala mengatakan: “Apabila
Aku memberikan cobaan kepada hamba-Ku yang beriman, dia tidak mengadukan
penyakit yang dideritanya kepada orang yang mengunjunginya, Aku
lepaskan dia dari sakit itu, kemudian akan Kuganti dengan daging yang
lebih baik dari dagingnya dan darah yang lebih baik dari darahnya, lalu
dia memulai amalan yang baru (kesalahan yang lalu telah terhapuskan
–pent)”. (HR Hakim Dishohihkan Syaikh Al-Albany di Shohihul Jami’)
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh
mengatakan: “Terdapat perbedaan antara mengabarkan keadaan dengan
mengadukannya, walaupun samar bentuknya. Adapun mengabarkan keadaan,
maka orang yang mengabarkan memiliki tujuan yang betul seperti
memberitahu sebabnya atau meminta uzur kepada saudaranya pada perkara
yang dituntutnya, atau dia ingin memperingatkan orang lain agar tidak
jatuh seperti apa yang menimpanya sehingga justru dia yang menjadi
penasehat, atau mengarahkan pembicaraan kepada kesabaran sehingga orang
bisa mencontohnya. Seperti kisah Al-Ahnaf, bahwasanya dia berkata kepada
seseorang: “Wahai anak saudaraku, cahaya kedua mataku telah hilang
sejak sekian tahun, namun aku tidak pernah memberitahukan kepada
seorangpun.”
Pada kabarnya ini, dia menyampaikan
berita penyakitnya, mengarahkan beritanya agar kisahnya dijadikan
contoh, dan kepada kesabaran yang menyebabkan dia diberi pahala.
Bentuknya adalah bentuk pengaduan, namun tujuan menjadi pembeda
keduanya. –sampai perkataan beliau-
Adapun pengaduan adalah pengkabaran yang
tidak memiliki tujuan yang benar, dasarnya cuma kemarahan atau sekedar
ingin mengeluhkan penderitaannya kepada yang lain. Apabila dia mengadu
kepada Alloh maka itu bukanlah seperti keluhan (kepada manusia) akan
tetapi minta agar dikasihani, diperhatikan dan dirahmati. Seperti
perkataan Nabi Ayyub:
ربي أني مسني الضر وأنت أرحم الراحمين
“Wahai Robb-ku sungguh aku telah ditimpa penyakit, sementara Engkau adalah Yang Paling Pemberi Rahmat” (QS Al-Anbiya’ 83)
-sampai perkataan beliau- pengaduan kepada Alloh sama sekali tidak meniadakan kesabaran, karena Alloh mengatakan tentang Ayyub:
إنا وجدناه صابرا نعم العبد إنه أواب
“Sesungguhnya Kami dapati dia sebagai orang yang sabar” (QS Shod 44) [Ar-Ruh 258-259]
Beliau Rahimahulloh juga
mengatakan: “Adapun memberitakan keadaan kepada orang lain, apabila
tujuannya agar meminta agar diarahkan, bantuan dan upaya untuk
menghilangkan sesuatu yang darurat, maka hal itu tidak mencacati
kesabaran. Seperti pengkabaran pasien kepada dokter, orang yang
dizholimi kepada orang yang bisa menolongnya atau orang yang tertimpa
musibah kepada orang yang diharapkan bisa mencarikan jalan keluar.
Dahulu Nabi jika mendatangi orang sakit beliau bertanya: “Bagaimana
kondisimu,”. Ini adalah bentuk permintaan keterangan dan pengkabaran
darinya tentang kondisinya”. [‘Uddatus Shobirin 232]
Bab Sebelas: BERHARAP PAHALA
Kemudian perlu dipahami, bahwasanya
pahala yang diperoleh dari kesabaran hanya bisa didapatkan dengan
mengharapkannya. Terkadang seseorang bersabar dikarenakan rasa wibawa,
sehingga dia bisa menahan sakit yang dideritanya. Tidak terlihat beda
pada orang yang kelihatan sabar apakah dia diberi pahala atau tidak.
Karena kesabaran terhadap musibah jenis yang bisa dicapai seorang
muslim, kafir bahkan binatang.
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Musibah yang menimpa orang-orang yang beriman kepada Alloh, disertai keridhoan[4]
dan mengharapkan pahala. Apabila mereka tidak bisa mencapai derajat
ridho, maka pegangan mereka adalah kesabaran dan mengharap pahala,
dimana hal itu akan meringankan beratnya cobaan dan ujian mereka. Karena
setiap kali mereka melihat imbalannya, mereka akan ringan memikul
kesusahan dan cobaan. Sementara orang kafir, tidak ada keridhoan pada
mereka, tidak mengharapkan pahala. Adapun kalau mereka bersabar, maka
sabar mereka seperti sabarnya binatang ternak”. [Ighotsatul Lahfan 2/187]
Al-Alusy Rahimahulloh berkata dalam tafsir perkataan Alloh Ta’ala:
إِن تَكُونُواْ تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمونَ وَتَرْجُونَ مِنَ الله مَا لاَ يَرْجُونَ
“Apabila kalian merasakan sakit maka
sesungguhnya mereka juga merasakan sakit, sementara kalian mengharapkan
apa yang tidak mereka harapkan” (QS An-Nisa’ 104)
“Yakni: Tidaklah yang kalian peroleh
berupa rasa sakit, hanya khusus bagi kalian. Akan tetapi perkara
tersebut sama antara kalian dan mereka. Kemudian mereka bersabar atas
hal itu, terus kenapa kalian tidak bisa bersabar, padahal kalian lebih
utama untuk bersabar dari mereka, dari sisi kalian berharap dan
menginginkan sesuatu yang tidak terlintas di benak mereka yaitu
unggulnya agama kalian diatas seluruh agama, serta pahala yang melimpah
dan kenikmatan yang abadi di akhirat”. Selesai penukilan
Diantara yang bisa menolong anda untuk
bersabar dan berharap pahala adalah merenungkan kekuasaan Alloh, dan
dalil-dalil syar’i serta melihat dampak yang terpuji, serta menguatkan
diri dengan melihat kepada musibah yang telah menimpa orang-orang yang
lebih mulia dari anda.[5]
Ibnu Muflih Rahihahulloh mengatakan:
“Apabila seorang hamba mengetahui bahwa dirinya dan apa yang
dimilikinya pada hakikatnya adalah milik Alloh, karena Dialah yang
menciptakannya dari tidak ada kemudian Dia juga yang memusnahkannya.
Dialah yang menjaga hamba ketika ada, dan hamba tidak bisa bertindak
kecuali apa yang dibolehkan baginya, serta tempat kembalinya adalah
kepada Alloh …
dan bahwasanya apa yang menimpanya tak akan bisa dielakkan serta apa ang dielakkan darinya tak bakal menimpanya …
dan bahwasanya kalau Alloh berkehendak maka bisa saja Dia menjadikan musibahnya lebih dahsyat dari yang sekarang.
Serta kalau dia bersabar maka Alloh akan menggantikan baginya dengan sesuatu yang lebih utama dari apa yang luput darinya.
Bahwasanya musibah tidak khusus baginya, sehingga dia bisa meneladani orang-orang yang telah tertimpa musibah.
Bahwasanya sebagian musibah lebih besar dari yang lain.
Bahwasanya kesenangan dunia –bersamaan dengan keminiman dan terputus-putusnya- adalah sesuatu yang susah dicapai …
Dan hamba mengetahui bahwasanya
keluh-kesah tidak bisa menolak musibah bahkan itulah adalah kepedihan
yang menambah musibah tersebut.
Bahwasanya hal itu akan membuat musuhnya senang, dan membuat sedih orang yang mencintainya.
Bahwasanya luputnya pahala akibat keluh kesah lebih besar nilainya dari musibah itu sendiri, diantaranya Baitul Hamd yang dibangunkan baginya di surga atas pujiannya (mengucapkan Alhamdulillah) dan istirja’nya (mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji’un) …
Dan mengetahui bahwa ujung-ujungnya hanyalah kesabaran, dengannya dia diberi pahala …
Dan mengetahui bahwasanya kalaulah bukan
sebab musibah-musibah maka sungguh hamba akan menjadi angkuh,
semena-mena, dan melampaui batas. Dengan adanya musibah, seorang hamba
terlindungi dari hal-hal tersebut dan dibersihkan dari kejelekan yang
ada …
Dan mengetahui bahwasanya kepahitan di dunia adalah kemanisan di akhirat dan sebaliknya …
Dan mengetahui bahwasanya dia mencintai
Robbnya, apabila dia membuat-Nya marah maka dia telah berdusta dalam
pengakuan akan kecintaan kepada-Nya …
Dan mengetahui bahwasanya
tingkatan-tingkatan kesempurnaan tergantung dengan kesabaran dan
sebaliknya. Paling minim dia tidak sampai berprasangka jelek kepada
Robbnya atas takdir yang ditetapkan baginya …
Apabila hamba mengetahui
perkara-perkara tersebut, menelaah dan menimbangnya maka dia akan
bersabar dan mengharap pahala, sehingga dia akan mendapatkan kebaikan di
dunia dan akhirat dengan sesuatu yang hanya diketahui oleh Alloh
Subhanahu”. [Al-Adabusy Syar’iyyah 2/282-288]
Ujian kesabaran adalah ketika awalnya disadarinya cobaan, Sebagaimana di Shohih Bukhory, Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إنما الصبر عند الصدمة الأولى.
“Kesabaran itu hanyalah pada benturan pertama”. (HR Bukhory dari Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahulloh mengatakan:
“Dalam riwayat lain: “Hukum-humnya ketika pertama kali datangnya
musibah”, dan makna semisal diriwayatkan Muslim. Maknanya adalah:
Apabila kekokohan terjadi pada pertama kali sesuatu – berupa
tuntutan-tuntutan untuk berkeluh kesah- menyerang hati, maka itulah
kesabaran sempurna yang menyebabkan tergapainya pahala”. [Fathul Bary 3/149]
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh
mengatakan: ”Kesabaran yang diberi pahala adalah kesabaran yang muncul
pada awal kali datangnya musibah, inilah kesabaran. Adapun kesabaran
yang muncul setelah itu, bisa saja itu sekedar menghibur diri
sebagaimana binatang ternak menghibur dirinya. Maka kesabaran, pada
hakikatnya adalah bahwasanya seseorang jika diterpa pada pertama
kalinya, dia bersabar, berharap pahala, dan baiknya dia mengatakan:
إنا لله وإنا إليه راجعون اللهم أجرني في مصيبتي واخلف لي خيراً منها
“Sesungguhnya kita adalah milik
Alloh, dan kepada-Nyalah kita kembali. Ya Alloh berilah aku balasan
dalam musibahku ini, dan gantilah bagiku dengan yang lebih baik
darinya”. [Syarah Riyadhush Sholihin 36]
Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad Hafizhohulloh mengatakan:
“Maksud “benturan” adalah berita yang didapatkan seseorang di awal
kejadian. Yakni ketika dia mengetahui mana yang terkena musibah dan
jenis musibahnya. Ini adalah kondisi yang sangat berat di sisi
seseorang, yaitu ketika sampainya berita kepadanya pertama kali. Pada
kondisi inilah berlakunya kesabaran dan mengharapkan pahala. Karena
orang yang tidak bisa bersabar omelan-omelannya akan hilang, dia tidak
akan terus-terusan dalam hal tersebut, namun akan datang hari-hari dia
berusaha melupakan cobaannya sebagaimana binatang ternak”. [Syarh Sunan Abi Daud 16/440]
Jika ada orang yang berkata: “Terus apa
faidahnya kamu menasehatiku untuk bersabar, sementara aku sudah
terlanjur gelisah dan marah?.
Dikatakan kepadanya: Bagimu ada dua faidah.
Pertama, anda menjadi sadar bahwa perbuatan tersebut salah, dan anda mesti bertaubat kepada Alloh.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِين
“Sesungguhnya Alloh mencintai orang yang banyak bertaubat” (QS Al-Baqoroh 222)
Kedua, anda tidak tahu apa yang
akan terjadi pada diri anda setelah ini, akan datang takdir silih
berganti, maka mau tidak mau anda butuh kepada kesabaran.
ولا يلدغ المؤمن من جحر واحد مرتين
“Seorang mukmin tidak akan disengat dari lubang yang sama dua kali”. (HR Bukhory-Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Jangan sampai lewat pahala yang besar untuk kedua kalinya.
Kesabaran karena Alloh memiliki keutamaan yang sangat besar -hanya Dia yang tahu-. Alloh berfirman:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan disempurnakan pahalanya tanpa batas”.(QS Az-Zumar 10)
Kesabaran hanyalah bakal mendatangkan kebaikan bagi seorang mukmin di dunia dan akhirannya. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ
أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ
أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ
ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَه.
“Menakjubkan perkara seorang mukmin,
sungguh semua perkaranya adalah kebaikan. Hal itu tidak diperoleh
kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia memperoleh kegembiraan maka dia
bersyukur, dan itu adalah kebaikan baginya. Apabila dia ditimpa
kesusahan maka dia bersabar itu, dan itu adalah kebaikan baginya” (HR Muslim dari Shuhaib Rodhiyallohu ‘Anhu)
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam juga mengatakan:
إن السعيد لمن جنب الفتن إن السعيد لمن جنب الفتن إن السعيد لمن جنب الفتن ولمن ابتلي فصبر فواها
“Sesungguhnya orang yang berbahagia
adalah orang yang menjauhi fitnah. Sesungguhnya orang yang berbahagia
adalah orang yang menjauhi fitnah. Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang menjauhi fitnah. Serta bagi orang diberi cobaan lalu bersabar ‘waahan’ (kalimat kekaguman)” (HR Abu Daud dari Al-Miqdad bin Al-Aswad Rodhiyallohu ‘Anhu dishohihkan Syaikh Al-Albany dan dihasankan Syaikh Al-Wadi’iy Rahimahumalloh)
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan:
“Mayoritas penyakit badan dan hati, tumbuhnya hanyalah dikarenakan
tidak adanya kesabaran. Tidak ada seperti kesabaran yang bisa menjaga
kesehatan hati, badan, dan jiwa. Ia adalah pembeda terbesar, ramuan
paling agung. Kalaulah tidak ada keutamaan bagi sabar kecuali
“kebersamaan” Alloh bagi orang yang sabar, maka hal itu cukup sebagai
kebaikan baginya. Sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar dan
mencintai mereka, serta menolong mereka, karena sungguh pertolongan
tersebut terdapat pada kesabaran:
وَلَئِن صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصَّابِرِينَ
“Jika kalian bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang bersabar” (QS An-Nahl 126)
Kesabaran juga sebab kejayaan, Alloh berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَاتَّقُواْ اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman
bersabarlah dan kuatkanlah kesabaran kalian, bersiap-siagalah di
perbatasan dan bertakwalah kepada Alloh semoga kalian beruntung” (QS Ali ‘Imron 200) [Zaadul Ma’ad 4/333]
selesai bagian kedua …
[1] Syaikh Muqbil Rahimahulloh mengatakan:
“Apabila seorang muslim mengetahui bahwa yang menyembuhkan adalah
Alloh, maka hatinya tidak akan tergantung kepada paranormal, ahli nujum,
para pendusta dan tukang tenung. Dia juga tidak akan condong ke
khurafat yang dibikin-bikin oleh penjaga kubur [Jami’ush Shohih fil Qodar 27]
[2] Dishohihkan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh di Misykatul Mashobih
[3]
Permintaan tolong mencakup dua pokok. Rasa percaya kepada Alloh dan
penyandaran hati kepada-Nya. Karena seorang hamba bisa saja dia percaya
pada seseorang namun dia tidak menyandarkan urusan-urusannya kepada
orang tersebut karena tidak butuhnya dia akan hal itu. Terkadang
seseorang menyandarkan urusannya pada orang lain –tanpa ada rasa
percaya- karena dia butuh pada orang itu dan tidak ada yang mengurus
urusannya sehingga dia mesti bersandar kepada orang itu meskipun dia
tidak percaya. Sementara tawakkal secara makna adalah paduan dari dua
pokok berupa rasa percaya dan penyandaran urusan [Madarijus Salikin1/75]
[4] Akan datang penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan ridho disini, insya Alloh Ta’ala.
[5] Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إذا أصيب أحدكم بمصيبة فليذكر مصيبته بي فإنها أعظم المصائب
“Apabila engkau ditimpa musibah, maka lihatlah kepada musibah yang menimpaku, karena itu adalah musibah yang paling besar”. (Hadist dishohihkan dengan penguat-penguatnya oleh Syaikh Al-Albany)
Sumber: ahlussunnah.web.id
إذا أصيب أحدكم بمصيبة فليذكر مصيبته بي فإنها أعظم المصائب
“Apabila engkau ditimpa musibah, maka lihatlah kepada musibah yang menimpaku, karena itu adalah musibah yang paling besar”. (Hadist dishohihkan dengan penguat-penguatnya oleh Syaikh Al-Albany)
Sumber: ahlussunnah.web.id
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Sakit: Pemutus Cerita – Pemupus Derita (Bag.2)
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/sakit-pemutus-cerita-pemupus-derita-bag2.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5