Risalah Zakat
0
comments
ZAKAT FITHRI
Ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy Saddadahulloh
Darul Hadits Dammaj, Kamis 14 Romadhon 1433
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره،
ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيّئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضلّ له،
ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد ألا إلهٰ إلاّ الله وحده لا شريك له، وأشهد
أنّ محمّدًا عبده ورسوله
Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ
الصَّلَاةِ، فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ
الصَّلَاةِ، فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَات
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam mewajibkan zakat fithri sebagai penyucian bagi yang berpuasa dari
kesia-siaan dan kekejian, serta makanan bagi orang-orang miskin
Barangsiapa yang menunaikannya sebelum sholat (‘ied) maka ity adalah
zakat yang diterima, barang siapa yang menunaikannya setelah sholat maka
itu adalah termasuk shodaqoh.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah, dihasankan Syaikh Al-Albany Rahimahulloh)
Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan:
فَرَضَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيرٍ عَلَى العَبْدِ وَالحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ
وَالكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ
خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَة
“Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa
Sallam mewajibkan zakat fithri sebanyak satu sho’ kurma (kering) atau
satu sho’ sya’ir (salah satu jenis gandum) bagi budak dan orang merdeka,
laki-laki dan perempuan, anak kecil dan orang besar dari kalangan
muslimin. Beliau memerintahkan untuk ditunaikan sebelum orang-orang
keluar melakukan sholat” (HR Bukhory-Muslim)
BAGI SIAPA ZAKAT FITHRI DIWAJIBKAN?
Hadits Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu
di atas menjelaskan bahwa kewajiban tersebut berlaku umum bagi setiap
muslimin. Tentunya ini berlaku pada orang-orang yang hidup, adapun orang
yang telah meninggal atau belum dipastikan hidupnya di dunia (yaitu
janin dalam kandungan)[1] tidak terkena kewajiban ini.
SIAPAKAH YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITHRI?
Berdasarkan sebabnya, maka sedekah dan
zakat di dalam syari’at Islam, ada yang terkait dengan amalan badan dan
ada yang terkait dengan harta yang dimiliki seorang hamba. Adapun zakat
fithri maka ia termasuk kepada golongan pertama berdasarkan hadits Ibnu
‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu di atas, dimana Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak merinci hukum berdasarkan harta. Perbedaan ini perlu diketahui karena bolehnya pemberian kepada ashnaf (kelompok-kelompok) yang delapan -sebagaimana Alloh sebutkan dalam surat At-Taubah ayat 60[2]- adalah hukum yang berlaku bagi zakat harta. Ijma’ (sepakat) para ulama muslimin bahwa yang dimaksud dengan shodaqoh di ayat tersebut adalah zakat harta.
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Hal ini apabila (terkait dengan) shodaqoh-shodaqoh harta bukan badan, dengan kesepakatan kaum muslimin” [Majmu’ul Fatawa 25/76]
Adapun zakat fithri, maka zakat ini dikhususkan bagi fakir miskin berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu di atas. Dengan demikian maka ‘amil (pengurus zakat) tidak boleh mengambilnya kecuali jika dia tergolong fakir miskin maka dia boleh mengambil, bukan karena dia ‘amil
akan tetapi karena dia miskin. Hal ini sebagaimana kewajiban-kewajiban
lain dalam syari’at yang mesti dikeluarkan seorang hamba, terkait amalan
badan.
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Sesungguhkan shodaqoh fithri sejalan (hukumnya) dengan kaffarroh sumpah, zhihar, pembunuhan serta berhubungan intim di bulan romadhon. Demikian juga sejalan (hukumnya) dengan kaffarroh haji, karena penyebab semua itu adalah badan bukan harta” [Majmu’ul Fatawa 25/73]
Di atas kondisi inilah amalan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, para shohabat Rodhiyallohu ‘anhum, serta orang-orang setelah mereka.
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Dahulu diantara petunjuk beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam adalah pengkhususan orang-orang miskin dengan shodaqoh (fithri) ini. Beliau tidak pernah membaginya kepada ashnaf
yang delapan segenggam pun, dan beliau juga tidak pernah memerintahkan
untuk itu. Tak seorang pun dari para shohabatnya yang melakukan hal
demikian, tidak juga orang-orang yang setelah mereka” [Zaadul Ma’aad 2/12]
APAKAH ORANG MISKIN JUGA WAJIB MEMBAYAR ZAKAT FITHRI?
Berdasarkan hadits-hadits di atas dan
penjelasan yang telah disebutkan, maka zakat ini tidak ada hubungannya
dengan kaya atau miskinnya seseorang. Keumuman hadits menuntut setiap
jiwa terkena kewajiban untuk mengeluarkannya.
Akan tetapi dalam agama yang hanif tidak ada pembebanan syari’at di luar kemampuan hamba.
Karena itu para ulama sepakat bahwa seseorang yang tidak memiliki
apa-apa, tidak ada kewajiban baginya untuk mengeluarkan zakat fithri,
sebagaimana dinukilkan Imam Ibnul Mundzir Rahimahulloh [Lihat Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 6/113]
Para ulama juga memasukkan ke hukum tersebut, orang-orang yang tidak memiliki kelebihan dari makanan pokok pada malam dan siang ‘ied untuk diri dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya. [Lihat Fathul ‘Allam 495 dan Ahkamu Zakatil Fithri 80]. Karena orang yang kelaparan di hari ‘ied akibat membayar zakat kondisinya seperti orang yang tidak memiliki apa-apa.
JENIS APA YANG DIKELUARKAN DENGAN ZAKAT FITHRI?
Terdapat hadits kunci dalam masalah ini:
كُنَّا نُخْرِجُ إِذْ كَانَ فِينَا
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ، عَنْ
كُلِّ صَغِيرٍ، وَكَبِيرٍ، حُرٍّ أَوْ مَمْلُوكٍ، صَاعًا مِنْ طَعَامٍ،
أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ
تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Dahulu kami mengeluarkan zakat
fithri –ketika itu Rosululloh Shollallou ‘Alaihi wa Sallam diantara
kami- dari setiap anak kecil dan orang besar, merdeka ataupun budak,
satu sho’ makanan, atau satu sho’ susu yang dikeringkan, atau satu sho’
sya’ir atau satu sho’ korma kering, atau satu sho’ kismis” (HR Bukhory-Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudry Rodhiyallohu ‘Anhu)
Pada hadits tersebut Abu Sa’id menyebutkan kata makanan secara umum,
kemudian beliau menyebut perincian sebagai contoh yang mereka
keluarkan, sehingga tidak ada pembatasan pada jenis tertentu. Hukum asal
yang pengeluaran shodaqoh wajib adalah pada apa-apa yang biasa
dikonsumsi oleh pemberi shodaqoh. Hal ini sebagaimana Alloh Subhanahu wa
Ta’ala sebutkan dalam masalah kaffaroh:
مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُم
“Dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu” (QS Al-Ma’idah 89)
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa
zakat fithri termasuk ke dalam jenis ini karena keterkaitan
pengeluarannya dengan amalan badan. Karena itulah Rosululloh tidak
memberatkan shohabat untuk mengeluarkan zakat fithri dengan sesuatu yang
tidak biasa mereka konsumsi di negeri tersebut. [Lihat Majmu’ul Fatawa 25/69]
Dan ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Karena itulah zakat
fithri boleh dikeluarkan dari jenis makanan pokok suatu negeri, wallohu a’lam.
BOLEHKAH DIGANTI DENGAN UANG?
Di zaman Rosululloh dan para shohabat
mereka juga memiliki mata uang yaitu dinar (dari emas) dan dirham (dari
perak), akan tetapi mereka tidak mengeluarkannya dengan kedua mata uang
tersebut dalam berbagai keadaan. Hal ini menunjukkan bahwa hal tersebut
tidaklah disyari’atkan.
Oleh sebab itulah para ulama menegaskan
tidak sahnya penunaian zakat fithri dengan uang. Mulai dari Imam Ahmad
(Al-Mughny 4/43), Asy-Syafi’i (Al-Umm 2/72), Al-Khoththoby (Ma’alimus
Sunan 2/44), Ibnu Hazm (Al-Muhalla 6/91), Al-Baihaqy (Sunan Kubro
4/189), An-Nawawy (Syarh Shohih Muslim 7/63), Malik dan Ibnul Mundzir
(Al-Majmu’ 7/245) serta para ulama terdahulu yang lain, juga yang
belakangan seperti Ibnu Baz (Majmu’ul Fatawa Ibnu Baz 14/208-211),
Al-‘Utsaimin (Majalis Syahri Romadhon 327), Al-Wadi’iy (Ijabatus Sa’il
125) Rahimahumullohu Ajma’in [Lihat Al-Ghonimah 46-54]
Al-‘Allamah Sholih bin Fauzan Hafizhohulloh mengatakan: “Tidak boleh berpaling dari apa yang diwajibkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam,
serta mengatakan bolehnya zakat fithri dengan nilainya karena ini
adalah penyelisihan terhadap dalil-dalil. Lagi pula shodaqoh fitri
termasuk shodaqoh yang ditampakkan, ditimbang dan dikeluarkan di depan
orang, dan juga merupakan syi’ar dari syi’ar Islam. Seandainya yang
dikeluarkan adalah uang maka sedekahnya tidak tampak, bahkan shodaqoh
yang tersembunyi (karena tidak ada kesibukan-kesibukan yang muncul dari
model ini, juga shodaqoh uang tak ada bedanya dengan shodaqoh biasa
–pen), dengannya tidak tampak danya syi’ar –sampai perkataan beliau-
Maka berpaling kepada uang meluputkan
hukum-hukum ini, bersamaan dengan itu semua, ini adalah ijtihad yang
menyelisihi dalil. Sebagaimana dimaklumi apabila ijtihad menyelisihi
dalil maka jangan menyimpang kepadanya” [Tashilul Ilmam 3/145-14]
Syaikhuna Yahya bin Al-Hajury Hafizhohulloh
mengatakan: “Dirham-dirham pada zakat fithri tidak sah. Orang-orang
tersbut telah membuat-buat perkara yang tidak merupakan bagian dari
agama ini dan bukan perkara yang disyari’atkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Dirham dulu ada di zaman mereka dan mereka sangat butuh dengannya untuk
memberi pakaian dan perkara-perkara yang mereka butuhkan. Bersamaan
dengan itu mereka tidak pernah menunaikan zakat fithri dengan mata uang
baik dari emas ataupun perak”. [Ittihaful Kirom 63]
BAHKAN KALAU PEMERINTAH MEWAJIBKANNYA DENGAN UANG? (Atau dengan sistem potong gaji)
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh ditanya
dengan pertanyaan seperti ini maka beliau menjawab: “Yang jelas bagiku,
apabila seseorang dipaksa untuk mengeluarkan zakat fithri dengan
dirham, maka dia mentaati mereka dan jangan memperlihatkan pembangkangan
terhadap pemerintah. Adapun urusan antara dia dengan Alloh, maka dia
keluarkan apa yang diperintahkan oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berupa satu sho’
makanan. Karena pengharusan mereka (pemerintah) kepada masyarakat untuk
mengeluarkan dirham (uang) adalah pengharusan dengan sesuatu yang tidak
disyari’atkan oleh Alloh dan rosul-Nya” [Majmu’ Fatawa Syaikh Al-‘Utsaimin 18/281]
SATU SHO’ SETARA DENGAN BERAPA?
Sebagaimana disebutkan bahwa banyak zakat yang diwajibkan adalah satu sho’[3], sementara Sho’ sendiri terdiri dari empat mudd. Keduanya merupakan takaran penduduk Madinah -yang turun temurun dari zaman nabi-[4]. Mudd sendiri pada asalnya adalah takaran dengan ukuran genggaman dua tangan orang dewasa yang berukuran sedang. Keduanya (Sho’ dan Mudd Nabawy) telah disebutkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, ketika beliau mendo’akan keberkahan pada makanan[5] penduduk Madinah:
أَنَّ إِبْرَاهِيمَ حَرَّمَ مَكَّةَ
وَدَعَا لَهَا، وَحَرَّمْتُ المَدِينَةَ كَمَا حَرَّمَ إِبْرَاهِيمُ
مَكَّةَ، وَدَعَوْتُ لَهَا فِي مُدِّهَا وَصَاعِهَا مِثْلَ مَا دَعَا
إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ لِمَكَّة
“Sesungguhnya Ibrohim mengharamkan[6]
Makkah dan berdo’a baginya. Sementara aku mengharamkan Madinah
sebagaimana Ibrohim mengharamkan Makkah. Serta aku mendo’akannya
(Madinah) pada mudd dan sho’nya, sebagaimana Ibrohim mendo’akan Makkah” (Muttafaqun ‘Alaih dari ‘Abdulloh bin Zaid Rodhiyallohu ‘Anhu)
Sering terjadi perbedaan dalam
menentukan kadarnya, diantara penyebabnya adalah penghitungannya dengan
satuan berat. Perlu diketahui bahwa sho’ dan mudd adalah
satuan ukuran volume (seperti gantang dsb), bukan satuan berat. Jadi
penyetaraannya ke dalam bentuk liter lebih tepat dari pada
penyetaraannya ke satuan kilogram. Satu sho’ air dengan satu sho’ madu tidak sama beratnya, karena perbedaan massa jenisnya.
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan:
“Ukuran zakat fithri adalah dengan takaran. Sementara takaran
berpatokan kepada volume bukan berat. Terkadang sesuatu seberat benda
yang volumenya besar sementara ukurannya kecil, apabila benda tersebut
bobotnya berat misalnya besi, sementara yang satunya bobotnya ringan.
Karena itulah berat kurma kering tidak sama dengan berat gandum (dengan
volume yang sama misalnya sama-sama satu liter –pent). Berat gandum
tidak akan sama dengan berat beras. Demikian juga berat beras, satu sama
lainnya (dengan jenis yang berbeda –pent) tidak mungkin akan sama” [Majmu’ Fatawa Syaikh Al-’Utsaimin 18/289]
Karena itulah ketika Syaikh ‘Utsaimin Rahimahulloh
menetapkan beras 2,1 kg yang dikirimkan kepada beliau untuk ditakar,
beliau mengatakan: Kami telah menakar beras yang dimasukkan ke dalam
karung plastik yang beratnya mencapai 2100 gr, kami mendapatkannya
dengan kadar satu sho’ nabawi … dipakai beratnya (yaitu 2,1 kg)
sebagai ukuran apabila yang ada di dalam karung (untuk zakat fithri
–pent) sama dengan beras tersebut dari sisi berat dan ringannya bobot
(massa jenis –pent). Hal tersebut, karena sebagaimana dimaklumi bahwa
beratnya bobot mengurangi volume suatu benda, demikian sebaliknya. Jika
engkau mengambil satu kilo besi maka volumenya tidak seperti volume
kayu, sementara takaran berpatokan kepada volume. Atas dasar ini maka
apabila beras (yang mau dikeluarkan) bobot (massa jenisnya)nya lebih
berat dari beras yang di karung ini maka wajib untuk menambah kadar
beratnya sesuai pertambahan bobot” [Majmu’ Fatawa Syaikh Al-’Utsaimin 18/275]
Makanya berat beras (misalnya) yang
ditetapkan ulama untuk pembayaran zakat fithri adalah sekedar
pendekatan. “Kadar yang wajib pada zakat fithri bagi setiap pribadi
adalah satu sho’ dengan sho’ nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Ukurannya dengan kilo lebih kurang tiga kilo (gram)”. [Fatwa Lajnah Da’imah 1 (9/371)]
Karena itulah, bagi siapa yang mendapatkan sho’ nabawiy atau mengetahui volumenya untuk menggunakannya sebagai acuan.
Bagi yang tidak diberi kemudahan maka tidak mengapa memakai acuan yang
ditetapkan Lajnah Ad-Da’imah, dan kelebihannya diniatkan sebagai
shodaqoh wallohu a’lam.
Faidah: Alhamdulillah saya (penulis) telah menghitung takaran salah satu mudd (dengan memakai mudd milik Akh ‘Imaad Ar-Roimy Hafizhohulloh yang sanadnya sampai ke Zaid bin Tsabit Rodhiyallohu ‘Anhu) didapatkan ukurannya + 830 ml. Jadi satu sho’nya + 3320 ml. Wallohu a’lam
KAPAN WAKTU DIKELUARKANNYA ZAKAT FITHRI?
Hadits Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhum di awal pembahasan menunjukkan bahwa waktu berakhirnya sebelum ditunaikannya sholat ‘ied.
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh
mengatakan: “Tuntutan dari kedua hadits tersebut, bahwasanya
keterlambatannya dari sholat ‘ied tidak dibolehkan, dan
kesempatan pembayaran hilang dengan selesainya sholat. Inilah pendapat
yang benar karena tidak terdapat (dalil lain) yang menyelisihi kedua
hadits ini, tidak juga ada dalil yang menghapus hukumnya, tidak ada juga
terdapat ijma’ yang menolak pendapat dengannya” [Zaadul Ma’ad 2/21-22]
Adapun waktu pengeluarannya boleh 1-2 hari sebelum ‘ied berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya bahwasanya Rosululloh mewajibkan untuk membayar zakat untuk fithr (berbuka/selesai) dari romadhon. Sementara Ibnu ‘Umar menyerahkannya ke para pengumpul zakat. Di akhir hadits disebutkan:
وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْن
“Dahulu mereka (para pengumpul zakat
tersebut) memberikannya (kepada penerima) sehari atau dua hari sebelum
‘iedul fithri” (HR Al-Bukhory)
Ibnu Qudamah Rahimahulloh mengatakan: “(Hadits) ini mengisyaratkan kepada perbuatan mereka semua, maka hal itu menjadi ijma’.
Karena mendahulukannya (zakat fithri –pen) dengan kadar tersebut tidak
membuat luputnya maksud. Sebab zakat tersebut atau sebagiannya bakal
tersisa sampai hari ‘ied. Maka hal ini cukup untuk tidak berkeliling dan
mencari-cari orang miskin pada hari tersebut. Juga karena shodaqoh
fithri tersebut adalah zakat, maka boleh didahulukan (pembayarannya)
sebelum adanya (syarat) wajib sebagaimana zakat harta, wallohu a’lam” [Al-Mughny 3/90]
Perlu sedikit catatan untuk perkataan Ibnu Qudamah Rahimahulloh yang
terakhir dimana beliau mengatakan: “Juga karena shodaqoh fithri
tersebut adalah zakat, maka boleh didahulukan (pembayarannya) sebelum
adanya (syarat) wajib sebagaimana zakat harta, wallohu a’lam”
Boleh disini maksudnya: apabila telah
terlebih dahulu ditemukan adanya sebab zakat, maka zakat boleh
ditunaikan sebelum datang syarat yang mewajibkannya. Sebab adanya zakat
harta adalah tercapainya nishob. Dikatakan sebab, karena jika seseorang hartanya sudah sampai senishob,
tidak bisa langsung dihukumi terkena zakat. Bisa jadi kena bisa jadi
tidak, tergantung kepada ada tidaknya syarat wajibnya. Adapun syarat
wajib dikeluarkannya zakat harta adalah: jika harta yang mencapai nishob tersebut telah mencapai setahun ditangan pemiliknya.
Nah, apabila seseorang telah memiliki harta yang sampai senishob
namun dia ingin membayar zakat sebelum sampai setahun, maka dibolehkan
baginya untuk mengeluarkan zakat. Sebagaimana seseorang yang bersumpah
untuk tidak masuk ke sebuah rumah namun dia akhirnya menyesal, maka
boleh baginya membayar kaffaroh sumpah sebelum dia masuk ke rumah tersebut. Sebab kaffaroh
adalah sumpahnya orang tersebut, sementara syarat wajibnya adalah
apabila dia melanggar sumpah (yaitu masuk ke rumah). Dalam kondisi ini
dia belum masuk ke rumah sementara boleh baginya untuk membayar kaffaroh.
Adapun jika sebabnya belum ada maka orang tersebut tidak bisa untuk membayar zakat atau kaffaroh, seperti orang yang hartanya belum sampai senishob tapi mau mengeluarkan zakat, atau seperti orang yang belum bersumpah tapi mau membayar kaffaroh?!!
Inilah penerapan kaidah yang masyhur di kalangan ulama:
إن تقديم الشيء على سببه ملغى، وتقديم الشيء على شرطه جائز
“Sesungguhnya pendahuluan sesuatu
terhadap sebabnya maka perkara tersebut gugur, sementara pendahuluan
sesuatu terhadap syarat wajibnya, maka perkara tersebut hukumnya boleh” [Lihat Asy-Syarhul Mumti’ 6/169, Al-Qowa’id wa Ushulul Jami’ah 82]
Karena itu pendahuluan pembayaran zakat
fithri bulan romadhon tidak diperbolehkan karena sebab pengeluarannya
belum ada yaitu tenggelamnya matahari akhir romadhon –sebagaimana
dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar yang baru lewat-, sementara syarat
wajibnya adalah memiliki kelebihan makanan pokok dari kebutuhan malam
dan siang ‘ied –sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Adapun dibolehkannya penunaian sehari
atau dua hari sebelum ‘ied, maka hal tersebut sebagaimana dijelaskan
oleh Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh: “Pembolehan ini merupakan rukhsoh (keringanan syari’at) karena para shohabat Rodhiyallohu ‘Anhum melakukan hal tersebut”. [Asy-Syarhul Mumti’ 6/169] Amalan shohabat yang masyhur dan tidak diketahui ada diantara mereka yang menyelisihi maka hal tersebut adalah hujjah.
Dari kisah pengumpul zakat di hadits
Ibnu ‘Umar tersebut diambil juga faidah bahwa boleh bagi seseorang untuk
menyerahkan atau mewakilkan zakat fithri sebelum waktunya kepada orang
yang akan membagikan kepada fakir miskin dengan syarat diketahui bahwa
mereka akan membagikannya pada waktunya. [Ahkamu Zakatil Fithri 79]
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلاّ أنت أستغفرك وأتوب إليك
Kitab-kitab terkait dengan pembahasan:
Al-Mughny karya Ibnu Qudamah Rahimahulloh, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab karya Imam An-Nawawy Rahimahulloh, Majmu’ul Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh, Zaadul Ma’ad karya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah Rahimahulloh, Majmu’ul Fatawa Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh, Asy-Syarhul Mumti’ karya Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh, Al-Qowa’id wa Ushulul Jami’ah karya Syaikh ‘Abdurrohman bin Nashir As-Sa’dy Rahimahulloh, Fathul ‘Allam karya Syaikhuna Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Hafizhohulloh, Ahkamu Zakatil Fithri karya Syaikhuna Zayid Al-Wushoby Hafizhohulloh, Al-Ghonimah karya Mu’adz Za’im Hafizhohulloh, Maa Ikhtalafa fihi Al-Hukmu bil Qillah wal Katsroh wal ‘Ibaaroh karya DR Bu Bakr Bah Waffaqohulloh
[1] Ibnu Hazm Rahimahulloh berpendapat
akan wajibnya demikian juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad, apabila
usia kandungan lebih dari 120 hari. Namun hukum-hukum dunia baru
terkait dengan janin ketika dia keluar dalam kondisi hidup kecuali
wasiat dan warisan. Secara bahasa dan adat, janin juga tidak dinamakan
anak-anak.
[2] Yaitu firman Alloh Ta’ala:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم [التوبة: 60]
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيم [التوبة: 60]
[3] Kecuali burr
(salah satu jenis gandum) Terdapat hadits-hadits dalam masalah ini yang
tak lepas dari cacat namun secara keseluruhan terangkat ke derajat
shohih. Pendapat ini sah dari Kholifah yang empat (Abu Bakr, ‘Umar,
‘Utsman dan ‘Ali) juga Ibnu Mas’ud, Jabir, Abu Hurairoh, Ibnu Az-Zubair,
Mu’awiyah, Asma’ Rodhiyallohu ‘Anhum. Ini juga yang dirojihkan
Saikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim, Syaikh Al-Albany, dan
Syaikhuna Muhammad Hizam (lihat Fathul ‘Allam 2/499-501)
[4] Dijaga dengan sistem pemberian ijazah terhadap takaran tiruan yang sudah distandarkan dengan takaran yang ada.
[5] Lihat: Subulus Salam, Syarh Shohih Al-Bukhory – Ibnu Baththol, ‘Umdatul Qori’ dll
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Risalah Zakat
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/risalah-zakat.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5