Mengangkat Langkah – Mencari Hidayah
0
comments
بسم الله الرحمن الرحيم
MENGANGKAT LANGKAH – MENCARI HIDAYAH
Abu Ja’far Al-Harits bin Dasril Al-Minangkabawy Saddadahulloh
14 Sya’ban 1433 di Dammaj Harosahalloh
14 Sya’ban 1433 di Dammaj Harosahalloh
Segala puji hanya bagi Alloh ‘Azza wa Jalla.
Saya bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Alloh.
Dialah yang memberikan taufik bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Saya
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Alloh, utusan Alloh kepada seluruh
umat, penutup para nabi.
Barangsiapa yang telah Alloh beri petunjuk,
tidak akan ada yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang Alloh
sesatkan, tidak akan ada yang bisa menunjukinya. Sesungguhnya Alloh
telah mempersiapkan surga-Nya bagi orang-orang yang berilmu dan beramal
sholeh, serta mempersiapkan neraka-Nya bagi para pengikut hawa nafsu
dan lari dari ketaatan.
Tak ada seorangpun yang mau dikatakan
dirinya bodoh, maka hal ini saja cukup menjadi alasan tentang keutamaan
ilmu, terlebih lagi jika ilmu tersebut terkait dengan perkara-perkara
yang membawa kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Sekarang yang menjadi pertanyaan:
Apakah memungkinkan bagi seseorang
berharap sesuatu tanpa melakukan sebab yang akan menyampaikannya pada
harapannya itu? Jawabnya: Tidak, karena harapan mesti
disertai dengan penjalanan sebab. Karena itu barangsiapa yang
mengharapkan sesuatu tanpa melakukan sebab, sesungguhnya dia hanyalah
seorang yang berangan-angan bukan seorang yang berharap. Seandainya
seseorang berkata: “Wahai Alloh, berikanlah aku anak”, namun dia tidak
menikah. Tentulah perbuatan ini terhitung sebagai sebuah ketololan,
serta melampaui batas dalam berdo’a.” [lihat Syarh Manzhumati Ushulil Fiqh wa Qowa’idih 38 – Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh]

ILMU ITU PADA ULAMA
Abu Darda’ Rodhiyallohu ‘Anhu berkata: “Aku mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
من سلك طريقا يبتغي فيه علما سلك
الله له طريقا إلى الجنة وإن الملائكة لتضع أجنحتها رضاء لطالب العلم وإن
العالم ليستغفر له من في السموات ومن في الأرض حتى الحيتان في الماء وفضل
العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواب إن العلماء ورثة الأنبياء
إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ
بحظ وافر
“Barangsiapa yang menempuh jalan
untuk menuntut ilmu, maka Alloh akan memudahkannya untuk menempuh
jalan ke surga. Sesungguhnya para malaikat menurunkan sayap-sayap
mereka karena ridho kepada para penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang
alim (orang berilmu) dimintai ampunan oleh penduduk langit dan bumi,
sampai-sampai ikan yang berada di air. Keutamaan seorang alim
dibandingkan seorang ‘abid (orang yang rajin ibadah tapi ilmunya kurang)
adalah seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh
para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka hanyalah
mewariskan ilmu, maka barangsiapa yang mengambilnya maka dia telah
mengambil bagian yang cukup”. (HR At-Tirmidzi, dishohihkan Imam Al-Albany)
Pada hadits Abu Darda’ ini terdapat
faidah bahwasanya para ulama adalah pewaris para nabi. Seandainya
engkau ditanya: “Siapakah yang menjadi pewaris para nabi? Apakah ‘Ubbad
(orang-orang yang banyak ibadah) yang ruku’ dan sujud sepanjang malam
dan siang?” Jawabnya: “Tidak”. “Apakah pewaris nabi adalah karib
kerabatnya?” Jawabnya: “Tidak, tidak ada yang mewarisi para nabi
kecuali ulama”. Yaa Alloh jadikanlah kami diantara mereka.
Para ulama, merekalah ahli waris para
nabi. Mereka mewarisi ilmu dari para nabi, serta amalan sebagaimana
para nabi mengamalkannya. Mereka juga mewarisi dakwah kepada Alloh
‘Azza wa Jalla. Mereka mewarisi hidayah makhluk dan menunjukkan mereka
kepada syari’at Alloh. Ulamalah pewaris para nabi. [Syarh Riyadhish Sholihin 1/1588 karya Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh]
Karena itulah keberadaan ulama menjadi
indikasi keberadaan ilmu. Sebagaimana ketiadaan seorang ulama menjadi
alamat jauhnya suatu kaum dari ilmu. Dari ‘Abdulloh bin ‘Amr bin
Al-‘Ash Rodhiyallohu ‘Anhu beliau mendengar Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَهَ لاَ يَقْبِضُ
الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ
الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَتْرُكْ عَالِمًا
اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ
عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Alloh tidak akan
menarik ilmu dengan sekali renggutan yang bisa mencabutnya dari
manusia. Akan tetapi Dia menarik ilmu dengan menarik (mewafatkan) para
ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa seorang ulama pun, maka
manusia mengambil pemimpin-pemimpin yang bodoh (tentang ilmu agama).
Mereka ditanya, maka mereka pun berfatwa. Mereka sesat dan menyesatkan”
(HR Muslim)
Maknanya, bahwasanya Alloh tidak
memberikan ilmu kepada makhluknya kemudian menariknya setelah Dia
memberikan keutamaan kepada mereka dengan ilmu tersebut. Maha tinggi
Alloh dari meminta kembali lagi apa yang telah diberikannya bagi
hamba-Nya, berupa ilmu yang bertujuan untu mengenal-Nya, beriman
dengan-Nya dan rasul-Nya. Hanya saja penarikan ilmu terjadi dengan
menyia-nyiakan menuntut ‘ilmu, sehingga tidak tersisa orang-orang yang
menjadi pengganti orang-orang yang telah lewat. [Syarah Shohih Al-Bukhory 1/177 karya Ibnu Baththol Rahimahulloh]
Hal ini sebagaimana firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Alloh tidak akan mengubah apa-apa yang ada pada suatu kaum sampai mereka sendiri yang mengubahnya.” (QS Ar-Ro’d: 11)
Abu Muhammad Al-‘Aini Rahimahulloh dalam ‘Umdatul Qory Syarh Shohih Al-Bukhory
(3/90) dalam pembahasan hadits Ibnu ‘Amr diatas mengatakan: “Imam
Al-Qodhi ‘Iyadh berkata: “Kondisi yang dikhabarkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tersebut
telah didapatkan di zaman kita”. Syaikh Quthbuddin menanggapi: “Saya
katakan: “Perkataan beliau (Al-Qodhi ‘Iyadh) ketika banyaknya ulama di
zamannya, maka bagaimana di zaman kita?” Seorang hamba yang lemah
(Al-‘Aini) mengatakan: “Perkataan beliau (Quthbuddin) ketika banyaknya
ulama empat mazhab seta para muhaddits (ulama ahli hadits)
senior di zamannya, maka bagaimana di zaman kita yang negeri-negeri
telah kosong dari keberadaan mereka dan orang-orang bodoh menonjolkan
diri untuk berfatwa dan menampakkan diri di majelis-majelis, mengajar di
tempat-tempat pengajaran. Kita meminta (kepada Alloh) keselamatan dan
ampunan.” Selesai
Imam Al-Qodhi ‘Iyadh meninggal tahun 544 H, sementara Abu Muhammad Al-‘Ainy Rahimahulloh
meninggal tahun 855 H (hampir enam ratus tahun yang lalu). Apa
kira-kira yang bisa mereka katakan melihat kondisi kita sekarang ini? Wallohul Musta’an wa ilaihi musytaka.
MENGAMBIL ILMU LANGSUNG DARI SUMBERNYA
ADALAH SUNNAH PARA NABI DAN SALAFUS SHOLIH
Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan:
“Seandainya aku mengetahui seseorang yang lebih berilmu dariku tentang
Kitabulloh. Orang tersebut bisa didatangi dengan onta, maka aku akan
menungganginya untuk datang kepadanya” (HR Muslim)
Sa’id bin Jubair Rahimahulloh mengatakan: “ Orang-orang Kufah (Irak) berselisih tentang ayat:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ
Maka aku melakukan perjalanan ke Ibnu ‘Abbas (di Madinah –pent) untuk menanyakannya” (HR Bukhory- Muslim)
Dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu, bahwasanya Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam menceritakan -dalam hadist yang panjang-:
بينما موسى في ملأ من بني
إسرائيل جاءه رجل فقال هل تعلم أحد أعلم منك ؟ قال موسى لا فأوحى الله إلى
موسى بلى عبدنا خضر فسأل موسى السبيل إليه
“Ketika Musa berada diantara
sekelompok Bani Isro’il, seseorang mendatanginya dan berkata: “Apakah
engkau mengetahui seseorang yang lebih berilmu darimu?” Musa menjawab:
“Tidak”. Maka Alloh mewahyukan kepada Musa: “Ada, hamba kami Khidhr”.
Maka Musa meminta ditunjukkan jalan kepadanya”. (HR. Bukhory)
Nabi Musa pun menempuh perjalanan bersama nabi Yusya’ bin Nun, sampai mereka bertemu dengan nabi Khidhr.
فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آَتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا ¯ قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
“Maka keduanya menemukan
seorang hamba dari hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan rahmat dari
sisi Kami, dan Kami ajarkan ilmu kepadanya. Kemudian Musa berkata
kepadanya: “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajariku petunjuk
yang engkau ketahui?” (Al-Kahfi: 65-66)
Kisah mereka sebagaimana Alloh sebutkan dalam surat Al-Kahfi ayat 60 sampai 82.
Ambillah pelajaran dari kisah perjalanan panjang Salman Al-Farisy Rodhiyallohu ‘Anhu
yang langsung mendatangi ‘alim untuk mencari kebenaran. Sampai-sampai
Rosululloh mengatakan ketika meletakkan tangannya kepada Salman:
لو كان الإيمان عند الثريا لناله رجال أو رجل من هؤلاء
“Sekiranya iman itu berada
di Tsaroya (salah satu gugusan bintang) tentulah para lelaki -atau
salah seorang lelaki- dari mereka akan mendatangi dan mengambilnya.” Ini adalah lafazh Bukhory dan di Muslim dengan makna yang berdekatan.
Imam Adz-Dzahaby Rahimahulloh dalam Siyar A’lam An-Nubala’ banyak menukilkan masalah ini, diantaranya:
Abu Darda’ Rodhiyallohu ‘Anhu berkata: “Kalau seandainya saya dilupakan satu ayat saja dan tidak ada yang bisa mengingatkanku kecuali seseorang di Barkul Gimad, maka saya akan pergi kepadanya”. Selesai
Muhammad bin Sholih bin Hani’ Rahimahulloh mengatakan: “Muhammad bin An-Nadhr Al-Jarudy mengatakan: “Saya mendapat kabar bahwasanya Muhammad bin Yahya (Adz-Dzuhly)
dulunya menulis hadits di majelis Yahya bin Yahya, maka ketika ‘Ali bin
Salamah Al-Labqy melihat bagusnya tulisan dan catatannya, dia berkata
kepada Adz-Dzuhly: “Wahai anakku, maukah engkau aku nasehati?
Sesungguhnya Abu Zakariya (Yahya bin Yahya) menyampaikan hadits dari
Sufyan bin ‘Uyainah sementara Sufyan masih hidup, dari Waki’ sementara
Waki’ juga masih hidup di Kufah, (Yahya bin Yahya meriwayatkan) juga
dari Yahya bin Sa’id dan sekelompok orang yang masih hidup di Bashroh,
juga dari ‘Abdur Rohman bin Mahdy dan dia masih hidup di Ashfahan.
Keluarlah engkau menuntut ilmu, jangan engkau sia-siakan harimu”.
Adz-Dzuhly pun mengamalkan nasehat tersebut. Maka dia keluar ke
Ashfahan, mendengarkan hadist dari ‘Abdur Rohman bin Mahdy dan Al-Husain
bin Hafsh. Kemudian dia ke Bashroh, ternyata Yahya (bin Sa’id) sudah
meninggal. Maka dia menulis hadits dari Abu Daud dan teman-teman
sejawatnya, dan tinggal di sana dalam waktu yang lama sampai Sufyan bin
Al-‘Uyainah meninggal”.
Imam Dzahaby Rahimahulloh
berkata: “Dia (Adz-Dzuhly) tidak mungkin bertemu dengan Sufyan bin
‘Uyainah karena beliau meninggal di pertengahan tahun, sementara
Adz-Dzuhly hanya bisa ke Makkah bersama rombongan. Adapun Waki’, beliau
telah meninggal sebelum Adz-Dzuhly beranjak dari negerinya”. Selesai
Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh
mengatakan: “Orang yang di bawah bimbingan para syaikh, mengambil ilmu
dari mereka dan senantiasa bersama mereka, maka dia adalah orang yang
pantas untuk memiliki sifat sebagaimana sifat-sifat mereka. Seperti
inilah kondisi Salafush Sholih. Awalnya adalah para shohabat, mereka
senantiasanya bersama Rosululloh, mengambil perkataan dan amalan beliau,
serta berpatokan terhadap segala sesuatu yang datang dari beliau
bagaimanapun keadaannya, seperti apapun munculnya. Mereka memahami
maksud yang beliau inginkan pertama kali, bahkan mereka
tahu dan yakin bahwa itu adalah kebenaran yang tidak ditentang dan
hikmah yang tidak akan rusak aturannya dan semua itu dicapai dengan
sering dan kuatnya mereka untuk senantiasa bersama beliau.
Renungkanlah kisah ‘Umar ibnul
Khoththob pada perdamaian Hudaibiyah, ketika dia berkata: “Wahai
Rosululloh, bukankah kita di atas al-haq dan mereka di atas kebatilan?”
Beliau menjawab: “Iya”. Dia berkata: “Maka kenapa kita memberi
kerendahan pada agama kita, sehingga kita mesti kembali dan Alloh tidak
memutuskan perkara antara kita dengan mereka?” Maka beliau berkata:
“Wahai ibnul Khoththob! Saya adalah utusan Alloh dan Alloh tidak akan
menyia-nyiakanku selamanya”. Maka Umar pergi dalam keadaan tidak sabar
dan marah. Kemudian dia mendatangi Abu Bakr, maka ‘Umar mengatakan hal
sama kepadanya. Maka Abu Bakr berkata: “Sesungguhnya beliau adalah
utusan Alloh dan Alloh tidak akan menyia-nyiakannya selamanya”. Maka
turunlah Al-Qur’an kepada Rosululloh tentang Al-Fath (pembukaan kota
Mekah), kemudian dikirimkan kepada ‘Umar sehingga dibacanya. Maka ‘Umar
berkata: “Wahai Rosululloh, apakah (ayat ini) tentang pembukaan
(Mekah)? Beliau menjawab: “Iya”. Maka hatinya merasa bahagia dan diapun rujuk.
Ini adalah salah satu faidah senantiasa
bersama seorang alim dan menjalin keterkaitan dan sabar bersama mereka
saat-saat munculnya permasalahan, sampai terlihat keterangan dengan
jelas. Pada kondisi seperti inilah Sahl bin Hanif berkata pada hari
perang Shiffin: “Wahai manusia, tuduhlah pemikiran-pemikiran kalian !!
Demi Alloh, pada hari Abu Jandal[1], seandainya aku bisa menolak perintah Rosululloh, maka aku akan menolaknya”.
Beliau berkata seperti itu karena
munculnya permasalahan yang ruwet bagi mereka, sementara surat Al-Fath
turun setelah kesedihan dan kedukaan menyelimuti mereka yang disebabkan
beratnya dan samarnya permasalahan. Akan tetapi mereka menerima saja
dan meninggalkan pemikiran-pemikiran mereka sampai turun Al-Qur’an,
sehingga hilanglah masalah dan kerancuan. Sehingga sikap seperti ini
menjadi prinsip orang-orang yang setelah mereka. Maka para tabi’in
senantiasa bersama para shahabat dan mengambil perjalanan mereka
bersama Rosululloh sampai mereka betul-betul memahami. Mereka pun
mencapai puncak kesempurnaan dalam ilmu-ilmu syariat. Cukup bukti bagi
Anda atas keabsahan kaidah ini, bahwasanya Anda tidak mendapatkan
seorang ulama yang ilmunya masyhur di kalangan manusia, kecuali dia
memiliki teladan yang juga masyhur pada zamannya”. [Selesai penukilan dengan sedikit perubahan dari Al-Muwaafaqot 1/142-144]
Wajib bagi seorang penuntut ilmu untuk
meminta tolong kepada Alloh, kemudian dengan ulama dan kitab-kitab
mereka. Karena sebatas membaca dan menelaah saja, membutuhkan waktu
yang panjang. Berbeda dengan orang yang duduk langsung kepada ulama
yang menjelaskan, memaparkan, serta menerangkan jalan kepadanya. Saya
tidak mengatakan kalau ilmu itu tidak bisa didapat kecuali harus duduk
di depan masyayikh. Terkadang seseorang memperolehnya dengan membaca
dan menelaah. Akan tetapi seringnya, jika orang tersebut tidak
betul-betul tekun, dan tidak dikaruniai pemahaman, maka akan banyak
melakukan kesalahan. Karena itulah dikatakan: “Barangsiapa yang
dalilnya adalah kitabnya, maka kesalahannya akan lebih banyak dari
benarnya”. Namun ini memang tidak secara mutlak pada kenyataan”. [Kitabul ‘Ilmi karya Syaikh Al-Utsaimin Rahimahulloh]
Wahai saudaraku, umur kita pendek dan
ilmu itu luas. Jangan cepat merasa puas atas apa yang didapatkan,
apalagi rela dengan diri di atas kejahilan. Bahkan terkadang, seseorang
merasa dirinya memiliki pemahaman bagus dan pencermatan tajam, namun
ketika dibandingkan dengan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah syari’ah,
ternyata jauh.
MANFAATKAN PELUANG JANGAN TUNDA KESEMPATAN
Terkadang ketika ada kelapangan dan
keluangan untuk menuntut ilmu ke hadapan ulama, seseorang terlalaikan
dan tersibukkan oleh perkara-perkara yang tidak mendesaknya. Dia
menyangka bahwa masih ada hari esok, sehingga dia bisa begini dan
begitu. Dia lupa, bisa saja kesempatan itu muncul sekali dalam
hidupnya, atau hasratnya menjadi pudar, atau keistiqomahannya menjadi
goncang. Na’udzubillah.
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ قُلُوبَ بَنِى آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ
“Sesungguhnya hati-hati anak Adam,
seluruhnya berada antara dua jari dari jari jemari Ar-Rohman, seperti
sebuah hati. Dia memalingkannya sesuai kehendak-Nya”. (HR Muslim dari Abdulloh bin ‘Amr bin Al-‘Ash Rodhiyallohuma)
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh
mengatakan: “Apabila kalian merasa berat dan lambat dalam memenuhi
panggilan agama, maka kalian tidak akan merasa aman bahwasanya Alloh
akan menghalangi hati kalian, sehingga setelah itu kalian tidak mampu
lagi untuk memenuhinya sebagai balasan bagi kalian karena
meninggalkannya setelah jelas dan terangnya kebenaran. Sebagaimana
firman Alloh:
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّة
“Begitu pula kami memalingkan hati
dan penglihatan mereka sebagaimana mereka pertama kali mereka tidak
beriman dengan AL-Qur’an.” (QS Al-An’am 110) [Selesai penukilan dari Al-Fawa’id 1/ 90]
Fakta menjadi saksi, betapa banyak kita
lihat ikhwan-ikhwan yang dulunya mampu dan berkeinginan untuk belajar
ke hadapan ulama, namun sekarang malah tersibukkan dengan berbagai
urusan atau habis dananya, bahkan sebagian mereka terseret ke jurang
hizbiyyah yang mengakibatkan mereka merasa tidak butuh kepada ulama dan
merendahkan mereka.
Abu Bakr Al-Isma’ily Rahimahulloh
mengatakan: “Ketika datang kabar kematian Muhammad bin Ayyub Ar-Rozy,
maka aku menangis dan berteriak-teriak, kusobek jubahku dan kuletakkan
tanah ke atas kepalaku. Maka keluargaku pun berkumpul, mereka berkata:
“Apa yang menimpamu?” Aku katakan: “Berita kematian Muhammad bin Ayyub,
kalian telah menghalangiku untuk menempuh perjalanan kepadanya”.
Kemudian mereka menanyaiku dan mengizinkanku untuk pergi ke Nasa,
menemui Al-Hasan bin Sufyan. Ketika itu disini belum ada sehelai
rambutpun -dia mengisyaratkan ke wajahnya-“.
Abu Ishaq Ibrohim bin Al-Qodhi Abu Ahmad Al-‘Assal Rahimahumalloh
mengatakan: “Ketika Al-Qodhy meninggal dan anak-anaknya dalam keadaan
duduk bersedih, masuklah dua orang laki-laki memakai pakaian hitam.
Keduanya mengangkat suara dan berkata: “Duhai Islam”. Lantas mereka
berduapun ditanya tentang diri mereka. Maka keduanya berkata: Kami
datang dari Agmat daerah Maroko. Kami menempuh perjalanan selama satu
setengah tahun agar sampai kepada imam ini untuk mendengar darinya.
Ternyata kedatangan kami pas dengan kematiannya”. [Kedua kisah ini di Siyar A’lamin Nubala’ karya Imam Az-Dzahabi.]
PEMAHAMAN LAMBAT ATAU UMUR TELAT
BUKAN PENGHALANG UNTUK DUDUK
BERMAJELIS DENGAN ULAMA
Tak jarang seseorang yang secara
lahiriyyah terlihat memiliki kelapangan dari segi waktu, beban dan
pendanaan untuk melakukan melakukan perjalanan menuju majelis para
ulama, namun memiliki keengganan. Diantara alasan yang sering
dikemukakan adalah kedua alasan ini. Sungguh hal itu bukanlah alasan
yang pas, namun justru menunjukkan lemahnya keinginan pembicara,
sehingga dia melewatkan kesempatan meraih berbagai keutamaan yang
berkaitan dengan “menuntut ilmu” yang diimpikan kebanyakan saudaranya.
Abu Bakr Muhammad bin Thorkhan At-Turky
mengatakan: “Imam Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muhammad –yakni bapak Abu
Bakr Ibnul ‘Aroby- mengatakan bahwa Abu Muhammad Ibnu Hazm
menceritakan kepadanya alasan yang menyebabkan beliau belajar fiqih:
“Bahwasanya suatu ketika beliau menghadiri jenazah kemudian masuk ke
dalam masjid, lalu duduk tanpa sholat dua raka’at. Kemudian seorang
lelaki berkata kepadanya: “Berdirilah dan sholat tahiyyatul masjid”.
Ketika itu umur beliau dua puluh enam tahun”. [Riwayat ini disebutkan Imam Adz-Dzahabi di Siar A’lamin Nubala’] Sekarang siapa yang mengingkari beliau sebagai salah satu rujukan dalam masalah fiqih?
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ ^ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ^ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَم
“Bacalah, Robbmulah Yang Memuliakan. Yang mengajarkan manusia dengan pena. Mengajarkannya apa yang tidak diketahuinya” (QS Al-‘Alaq 3-5)
Allohlah yang memuliakan hamba dengan
ilmu, Dialah yang mengajarkan manusia dari kejahilan. Kita hanyalah
mengambil dan menjalankan sebab sementara Allohlah yang memberikan.
الرَّحْمَنُ ^ عَلَّمَ الْقُرْآنَ ^ خَلَقَ الْإِنْسَانَ ^ عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
“Ar-Rohman. Dialah yang mengajarkan Al-Qur’an. Yang menciptakan manusia, dan mengajarkannya berbicara menulis dan memahami.” (QS Ar-Rohman 1-4)
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah
memberikan hidayah umum kepada manusia berupa fithrah, Kitab-Kitab
yang diturunkan, para Rosul yang diutus, untuk mengetahui al-haq dan
mengetahui sebab-sebab didapatkannya ilmu. Pada setiap orang terdapat
perkara yang menuntutnya untuk mengetahui kebenaran dan mencintainya.
Ada orang yang diberi hidayah oleh Robbnya kepada bermacam-macam ilmu
yang dengannya memungkinkan dia untuk sampai kepada kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Alloh menjadikan fithrah orang tersebut mencintai
ilmu tersebut. Namun ada juga manusia yang berpaling dari menuntut ilmu
yang bermanfaat baginya karena kebodohan dan kelalaiannya sendiri.
Maka tidak maunya dia menuntut ilmu, tidak tahunya dia dengan kebenaran
serta tidak inginnya dia memperoleh kebaikan tidak bisa disandarkan
kepada Alloh.” [lihat Majmu’ul Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 14/ 296-297]
Maka yang semestinya bagi seorang
muslim adalah untuk tidak meremehkan dirinya sendiri dan tidak berputus
asa dari rahmat Alloh. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ
وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجِز
“Seorang mukmin yang kuat lebih
Alloh cintai daripada seorang mukmin yang lemah dan pada setiap mereka
terdapat kebaikan. Bersemangatlah pada apa-apa yang bermanfaat bagimu,
minta tolonglah kepada Alloh dan jangan lemah.” (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Pada hadits ini terdapat dorongan untuk
berkeinginan kuat dalam menjalankan ketaatan kepada Alloh pada setiap
perkara. Demikian juga terdapat isyarat untuk meninggalkan jiwa yang
lemah dan semangat yang kendor.
Yang dimaksud dengan “kuat” disini
adalah kesungguhan diri dan tabiat terhadap perkara-perkara akhirat,
sehingga orang yang memiliki sifat seperti ini lebih berani untuk maju
menghadapi musuh dalam jihad, lebih cepat keluar dan pergi dalam
menghadapinya, serta lebih bersungguh-sungguh menegakkan amar ma’ruf
nahi mungkar, sabar terhadap gangguan dan perkara-perkara tersebut
serta menahan beban demi Alloh Ta’ala, lebih memiliki rasa cinta
terhadap sholat, puasa, zikir dan seluruh ibadah dan lebih bersemangat
dalam menunaikan dan menjaganyanya. [Syarh Shohih Muslim – Imam An-Nawawy Rahimahulloh)
Lemah dalam menjalankan ketaatan adalah
diantara sifatnya orang-orang munafik dan kita dilarang untuk
menyerupai perbuatan mereka. Alloh berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى
“Sesungguhnya orang-orang munafik
ingin menipu Allah, namun Allohlah yang menipu mereka. Apabila mereka
berdiri untuk melakukan sholat, mereka berdiri dalam keadaan malas.” (QS An-Nisa’ 142)
Makanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa berdo’a kepada Alloh meminta perlindungan dari sikap malas sebagaimana di hadits Anas bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْجُبْنِ وَالْهَرَمِ وَالْبُخْلِ
“Wahai Alloh, aku berlindung kepadamu dari sifat lemah, malas, penakut, pikun dan pelit”. (HR Bukhory-Muslim)
Ketahuilah, bahwasanya kemalasan,
keinginan yang lemah dan mengulur-ulur kesempatan adalah penyebab tidak
ditolongnya seseorang dalam berbuat kebaikan. Sebaliknya keinginan
yang kuat dan sungguh-sungguh adalah sebab penting turunnya pertolongan
Alloh bagi seorang hamba dalam menjalankan amalan kebajikan yang
diimpikannya.
Alloh berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Orang-orang yang besungguh-sungguh untuk mencari keridhoan Kami, akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami” (QS Al-‘Ankabut 69)
Diantara yang menunjukkan keinginan
kuat adalah sebab ditolongnya seorang hamba dalam mencapai kebaikan
yang dicarinya adalah sebagaimana dikisahkan oleh Anas bin Malik; bahwa
paman beliau yang bernama Anas bin An-Nadhor tidak bisa mengikuti
perang Badr. Maka dia berkata: “Wahai Rosululloh, aku tidak menghadiri
peperanganmu yang pertama melawan musyrikin. Sungguh jika Alloh
mentakdirkan aku untuk memerangi musyrikin, maka Dia akan melihat apa
yang akan aku perbuat”. Maka ketika hari perang Uhud, kaum muslimin
terpukul mundur dalam keadaan kacau. Maka dia berkata: “Wahai Alloh,
aku berlepas diri kepadaMu dari perbuatan mereka -yakni para sahabatnya
yang mundur dalam keadaan kacau- dan aku berlepas diri dari mereka
-yakni kaum musyrikin-. Dia pun maju, maka Sa’ad bin Mu’adz menghadap
kepadanya. Dia berkata: “Wahai Sa’ad bin Mu’adz, surga!! Demi Robb
An-Nadhor aku mencium baunya dari arah seseorang!!”
Sa’ad bin Mu’adz berkata pada Rosululloh: “Aku tidak mampu wahai Rosululloh, untuk berbuat sebagaimana yang dia lakukan”.
Anas bin Malik mengatakan: “Kami
mendapatkan lebih dari delapan puluh tusukan dengan pedang, tombak dan
panah. Kami menemukannya dalam keadaan terbunuh dan kaum musyrikin
telah mencincangnya. Tidak seorangpun yang mengenalinya, kecuali
saudarinya karena melihat ujung jemarinya. Kami meyakini bahwa ayat ini
turun tentangnya dan orang-orang yang semisalnya:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ
صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ
وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Diantara orang-orang mukmin
terdapat sekelompok orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan
kepada Alloh. Diantara mereka ada yang gugur dan diantara mereka ada
yang menunggu-nunggu. Mereka tidak sedikitpun mengubah janji.” (QS Al-Ahzab 23) [Kisah ini di Shohih Bukhory.]
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh dalam
Miftah Daris Sa’adah (1/46) mengatakan: “… kesempurnaan setiap manusia
hanya tercapai dengan dua jenis ini, keinginan yang mendorongnya serta
ilmu yang membuka pikiran dan menunjukinya. Luputnya tingkatan
kebahagiaan dan kesejahteraan hanyalah disebabkan luputnya dua perkara
ini atau salah satunya. Baik orang tersebut tidak memiliki ilmu tentang
tingkatan kebahagiaan sementara dia sendiri tidak mau bergerak untuk
mencarinya, atau dia memiliki ilmu tentangnya namun bangkit hasratnya
untuk itu, tabiatnya terus-terusan tertahan pada titik terendah, hatinya
terhalang dan bertolak belakang dari kesempurnaan yang diciptakan
untuknya.”
Al-‘Alamah As-Sa’dy Rahimahulloh
mengatakan: “Kesungguhan dan ketegaran, keduanya adalah sebab terbesar
untuk menggapai tuntutan yang beragam. Diantara do’a Nabi:
اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك الثَّبَاتَ فِي الأَمْرِ ، وَالْعَزِيمَةَ عَلَى الرُّشْدِ
“Wahai Alloh, aku meminta kepadamu ketegaran dalam urusan dan kesungguhan dalam kebaikan.”
Karena dengan kedua perkara itulah
seorang hamba akan mencapai kesempurnaan … Adapun kekurangan, bisa
disebabkan tidak adanya kesungguhan, atau kesungguhan yang tidak pada
kebaikan … atau tidak adanya ketegaran yang disebabkan sikap plin-plan
dan tidak bisa mengambil keputusan”. [Majmu’ul Fawaid wantiqoshil Awabid]
BAGI YANG MEMILIKI HALANGAN UNTUK
MENIMBA ILMU LANGSUNG DARI ULAMA
Memang tidak semua orang memiliki
kemudahan untuk duduk di depan ulama, apalagi salafiyyun yang berada
jauh dari keberadaan ulama. Mereka harus mempersiapkan dana dulu,
meninggalkan keluarga yang masih dalam tanggungannya dan alasan-alasan
lain yang pantas. Jika seseorang memang jujur untuk memperbaiki dirinya
dengan menelusuri ilmu ke sumbernya, maka dalam kondisi seperti ini
semestinya seorang pecinta ilmu tetap menjaga keinginan kuatnya untuk menimba ilmu
dari mata airnya. Bukankah Alloh maha kuasa untuk mewujudkan segala
sesuatu? Apa yang tidak bisa diperbuatnya hari ini, apakah mustahil
besok terjadi? Tidakkah kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Salman Rodhiyallohu ‘Anhu? Bukankah Alloh telah mengatakan:
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا
“Setiap jiwa tidak mengetahui apa yang dikerjakannya esok.” (QS Luqman 34)
Namun bagaimanapun besarnya keinginan
kita untuk menggapai kebaikan, tak akan lepas dari kehendak dan
pertolongannya-Nya. Karena itulah seringkali didapatkan masalah
peribadahan digandengkan dengan permintaan tolong kepada-Nya. Alloh
berfirman:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين
“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah: 4)
Demikian juga Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam telah mewasiatkan Mu’adz Rodhiyallohu ‘Anhu untuk tidak meninggalkan dzikir di akhir sholat:
اللَّهُمَّ أَعِنّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِك
“Ya Alloh, tolonglah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan dalam kebagusan[2] ibadahku kepada-Mu”. (HR. Abu Daud dishohihkan Syaikh Albany Rahimahulloh).
Di tempat lain Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ^ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ
“Barangsiapa yang bertaqwa kepada
Alloh niscaya Alloh akan membukakan baginya jalan keluar, serta
membeikan rezki dari arah yang tidak disangka-sangka. Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkan kebutuhannya.” (QS. Ath-Tholaq: 2-3)
Kemudian, bentuk kesempurnaan tawakkal
adalah seorang hamba senantiasa mencari jalan menuju apa yang dia
citakan. Karena itulah, merupakan ciri orang yang memiliki keinginan keras
untuk menuntut ilmu kepada ulama adalah dengan berusaha mencari
jalan-jalannya dan tetap memanfaatkan waktunya dalam menuntut ilmu
walau dengan kemampuan yang terbatas, serta ketika datang kesempatan yang lebih mendukung kesempatannya untuk belajar, maka dia akan bersegera.
Jika seseorang di kampungnya, tidak ada da’i salafy yang bisa
membimbingnya maka mungkin sementara dia bisa memanfaatkan
tulisan-tulisan baik dari buku ataupun situs-situs salafy, serta
rekaman-rekaman pelajaran. Namun perlu diingat ilmu itu butuh penjatahan
waktu. Kalau jatahnya “sambilan”, maka dapatnya juga sambilan, yang
seperti ini menunjukkan lemahnya kepedulian seseorang terhadap ilmu
walau apapun yang dia koarkan, wallohul Musta’an.
Ketika dapat peluang untuk duduk di
majelis seorang pengajar, maka seorang pecinta ilmu pun segera
mendatanginya dengan susah payah demi mengambil aqidah-aqidah salaf dan
perkara halal-haram yang dibutuhkannya, serta berusaha mempelajari
ilmu-ilmu yang akan membuka pemahamannya, seperti nahwu, ilmu hadits
dsb. Manfaat yang didapatkan menjadi lebih besar jika seseorang memilki
kemampuan memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu penunjang lainnya, karena
kitab-kitab ulama serta rekaman pelajaran-pelajaran mereka banyak
tersebar. Walaupun tidak persis keutamaannya dengan belajar
langsung di depan ulama, namun paling tidak membaca langsung
kitab-kitab ulama sunnah, menyimak rekaman pelajaran-pelajaran mereka
termasuk bentuk pengambilan ilmu dari sumbernya, wallohu ‘Alam.
Seperti inilah orang yang jujur dengan
pengakuannya, memanfaatkan berbagai sarana yang bisa mengantarkannya
kepada tujuannya. Juga pada model yang seperti inilah diterapkannya
dalil-dalil tentang keutamaan orang yang memiliki ‘azm (keinginan keras) untuk berbuat kebaikan, diantaranya:
مَنْ سَأَلَ اللهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِه
“Barangsiapa yang meminta mati
syahid dengan jujur, maka Alloh menyampaikannya ke kedudukan syuhada
walaupun meninggal di atas kasurnya”. (HR Muslim dari Sahl bin Hanif Rodhiyallohu ‘Anhu)
Dari Anas Rodhiyallohu ‘Anhu, beliau menyebutkan bahwa dalam suatu peperangan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
إِنَّ أَقْوَامًا بِالْمَدِينَةِ خَلْفَنَا مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلَّا وَهُمْ مَعَنَا فِيهِ حَبَسَهُمُ العُذْرُ
“Sesungguhnya terdapat kaum-kaum di
Madinah berada dibelakang kita. Tidak satupun jalan antara dua bukit
ataupun lembah yang kita lalui, kecuali mereka bersama kita. Uzurlah
yang menahan mereka.” (HR Al-Bukhory)
Bergembiralah orang-orang yang memiliki
cita-cita tinggi dan usaha keras dalam mencari kebaikan bagi dirinya,
baik di depan ulama ataupun tidak. Apakah pantas orang-orang menyangka:
Apabila dia duduk bersama ulama, maka dia akan memborong ilmu
sebanyak-banyaknya, sementara dia lalai memanfaatkan celah-celah ilmu
yang ada disekitarnya? Cerdaskah orang yang melepas burung di tangan
karena mengharap burung di langit? Anggap kalau dia ditakdirkan duduk
bersama ulama, apakah hal itu menjamin seseorang mendapat faidah?
Sebagaimana kita menyaksikan perbedaan santri di ma’had-ma’had,
demikian juga dengan orang-orang yang duduk di hadapan ulama. Kenyataan
dari zaman dahulu cukup menjadi pelajaran. Ilmu didapatkan bagi siapa
yang benar-benar menginginkan bukan sebatas angan-angan.
Latihlah diri dan jagalah niat, semoga Alloh memberikan kita ilmu yang bermanfaat dan memudahkan jalan-jalannya …
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
[1]
Salah satu isi perjanjian Hudaibiyah, bahwasanya kaum muslimin hijroh
bersama Rosululloh, dikembalikan kepada keluarga mereka yang ada di
Makkah. Diantaranya adalah Abu Jandal Rodhiyallohu ‘Anhu.
[2] Yakni ibadah yang diridhoi, berupa keikhlasan niat dan kesesuaian dengan sunnah.
Sumber: ahlussunnah.web.id
Sumber: ahlussunnah.web.id
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Mengangkat Langkah – Mencari Hidayah
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/mengangkat-langkah-mencari-hidayah.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5