TUGAS PENTING AHLI IMAN DI BULAN ROMADHON DAN DI SELURUH ZAMAN

Posted by Admin 0 comments

DENGAN PENGANTAR:

FADHILATUSY SYAIKH ABU ABDILLAH MUHAMMAD BIN ALI BIN HIZAMAL FADHLIY AL BA’DANIY
 –SEMOGA ALLOH MENJAGANYA-
  
Penulis:
ABU FAIRUZ ABDURROHMAN BIN SOEKOJO AL INDONESIY
AL QUDSIY ATH THURIY
–SEMOGA ALLOH MEMAAFKANNYA-

Diterjemahkan Secara Ringkas Oleh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy
–semoga Alloh memaafkannya-
  
Di Darul Hadits Dammaj حرسها الله
Judul Asli:

“BA’DHU MUHIMMATI AHLIL IMAN FI SYAHRI ROMADHON WA SAIRIL AZMAN”

 Terjemah Bebas:
“TUGAS PENTING AHLI IMAN DI BULAN ROMADHON DAN DI SELURUH ZAMAN” 
Dengan Pengantar:
FADHILATUSY SYAIKH ABU ABDILLAH MUHAMMAD BIN ALI BIN HIZAM
AL FADHLIY AL BA’DANIY حفظه الله
  Penulis:
ABU FAIRUZ ABDURROHMAN BIN SOEKOJO AL INDONESIY عفا الله عنه
 Diterjemahkan secara ringkas oleh:
ABU FAIRUZ ABDURROHMAN BIN SOEKOJO AL INDONESIY عفا الله عنه

Pengantar Fadhilatusy Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al Ba’daniy –semoga Alloh menjaganya-

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، أما بعد:
Sungguh saya telah melihat apa yang ditulis oleh saudara kita yang mulia dan diberkahi, penyeru ke jalan Alloh عز وجل : Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy –semoga Alloh mmenjaganya-, dalam kitabnya yang berjudul: “Ba’dhu Muhimmati Ahlil Iman Fi Syahri Romadhon Wa Sairil Azman”. Maka saya mendapatinya menyebutkan di dalamnya wasiat-wasiat yang memberikan faidah, dan nasihat-nasihat yang terbimbing.
Kami mohon pada Alloh عز وجل agar menjadikan ini bermanfaat bagi pemiliknya dan seluruh muslimin, dan kami mohon pada Alloh عز وجل agar mengokohkan kami dan saudara kami Abu Fairuz di atas sunnah dan pencarian ilmu hingga kita berjumpa dengan-Nya.
والحمد لله رب العلمين.

Ditulis oleh:
Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al Fadhli Al Ba’daniy
Semoga Alloh memaafkannya
Pada hari Jum’at, bertepatan dengan tanggal 23 Sya’ban 1430 H
PENGANTAR PENERJEMAH

         الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم أما بعد:
            Beraneka ragamnya kesibukan hidup menyebabkan diri kita terkadang lalai akan perguliran waktu dan perputaran roda zaman. Terkadang tanpa kita sadari bulan agung Romadhon yang setahun lalu meninggalkan kita, sekarang sudah di ambang pintu. Memang ibadah merupakan kewajiban para hamba sepanjang waktu, sesuai dengan jenis dan kadarnya. Akan tetapi yang barangkali sepanjang tahun sibuk dengan konsentrasi duniawi, maka sudah waktunya bagi dirinya untuk bersiap-siap menghadapkan hatinya untuk mengisi Romadhon dengan ibadah-ibadah yang disyariatkan, sambil banyak-banyak menghitung amalan dan kesalahan yang telah dilakukan selama ini.
            Maka dalam rangka turut berperan serta untuk menyambut bulan agung ini, meskipun dengan andil yang sederhana, saya sampaikan terjemahan ringkas([1]) dari kitab kecil saya “Ba’dhu Muhimmati Ahlil Iman Fi Syahri Romadhon Wa Sairil Azman” . Bukanlah ilmu baru yang saya sampaikan, tapi sekedar mengingatkan kembali sebagian perkara diniyyah yang telah lewat, dan sebagai pemicu untuk melakukan perbaikan dan mengejar ketertinggalan dalam memupuk bekal akhirat. Semoga Alloh memberikah berkah dan manfaat yang banyak.
Selamat menyimak.
Dammaj, 25 Sya’ban 1433 H

Pengantar Penulis

            الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وآله وسلم.
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله  حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ﴾[آل عمران:102].
﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا الله  الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ الله  كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا﴾ [النساء:1].
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا الله  وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله  وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا﴾ [الأحزاب:70 -71].
أما بعد:
            Maka sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kalamulloh, dan sebaik-baik jalan adalah jalan Muhammad صلى الله عليه وعلى آله وسلم , sejelek-jelek perkara adalah perkara yang dibikin-bikin, dan setiap perkara yang dibikin-bikin adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan adalah di dalam neraka.
            Siang dan malam terbang bagaikan anak panah melesat dari busurnya, sebagai pembenaran bagi apa yang diriwayatkan oleh Abu Huroiroh رضي الله عنه :
عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: « يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيَنْقُصُ الْعَمَلُ، وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ». قَالُوا: وَمَا الْهَرْجُ؟ قَالَ: «الْقَتْلُ، الْقَتْلُ».
Dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang bersabda: “Zaman akan saling berdekatan, amalan akan berkurang, dan akan dilemparkanlah syuhh (penyakit pelit yang keras), dan haroj akan membanyak.” Mereka berkata: “Apa itu Haroj?” Beliau menjawab: “Pembunuhan, pembunuhan.” (HR. Al Bukhoriy (6037) dan Muslim (157)).
            Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«لا تقوم الساعة حتى يتقارب الزمان فتكون السنة كالشهر ويكون الشهر كالجمعة وتكون الجمعة كاليوم ويكون اليوم كالساعة وتكون الساعة كاحتراق السعفة الخوصة».
“Tidaklah datang hari Kiamat sampai zaman berdekatan, maka setahun seperti sebulan, sebulan seperti sejum’at, sejum’at seperti sehari, sehari seperti satu jam, satu jam seperti terbakarnya daun pohon kurma yang telah menghitam.” (HR. Ahmad (10943). Dihasankan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (1439)).
            Tanpa kita sadari kecuali bulan Romadhon ada di depan rumah-rumah kita, sudah hampir mengetuk pintu dengan bingkisan dan kegembiraan. Dari Abu Huroiroh رضي الله عنهyang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ»
“Jika Romadhon telah masuk, dibukalah pintu-pintu Jannah, ditutuplah pintu-pintu Jahannam, dan dirantailah setan-setan.” (HR. Al Bukhoriy (3277) dan Muslim (1079)).
            Dan Alloh ta’ala mensyari’atkan di dalam Romadhon ibadah puasa, dan ini merupakan ibadah yang sangat agung. Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«قال الله عز و جل: كل عمل ابن آدم له إلا الصيام هو لي وأنا أجزي به فوالذي نفس محمد بيده لخلفة فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك …» الحديث
“Alloh عز وجل berfirman: “Seluruh amalan Bani Adam adalah untuknya kecuali puasa, karena sesungguhnya dia itu adalah untuk-Ku, dan Aku akan membalas dengannya.” Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, benar-benar bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Alloh daripada aroma misik…” hingga akhir hadits. (HR. Al Bukhoriy (1904) dan Muslim (1151)).
            Dan Dari Abu Umamah رضي الله عنه bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلمbersabda:
«عليك بالصوم فإّنه لا مثل له…» الحديث
“Banyaklah berpuasa, karena sesungguhnya tiada yang semisal dengannya,…” (HR. Ahmad (22141) dan dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (488)).
            Maka saya ingin turut serta di dalam kebaikan-kebaikan ini dengan menyodorkan beberapa nasihat untuk saudara kita kaum Muslimin,
]تَبْصِرَةً وَذِكْرَى لِكُلِّ عَبْدٍ مُنِيبٍ[ [ق/8].
“Sebagai tabshiroh (ilmu pengetahuan) dan dzikro (pengingat) bagi setiap hamba yangmunib (kembali).”
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata tentang makna ayat ini: “Yaitu untuk menjadi tabshiroh dan dzikro. Dan perbedaan antara dua istilah ini adalah: bahwasanya tabshiroh mengharuskan dihasilkannya ilmu dan pengenalan. Sedangkan dzikro mengharuskan sikap kembali dan taat. Dan dengan keduanya sempurnalah hidayah.” (“Syifaul ‘Alil”/Bab Sebelas/hal. 326-327/Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
            Dan bukanlah maksud saya untuk menulis lengkap seluruh bidang Romadhon ataupun merinci pembahasan, karena yang demikian itu butuh kepada kemampuan yang besar dan waktu yang luas. Hanya saja yang menjadi tujuan saya adalah pahamnya para pembaca terhadap tanbihat singkat, nasihat lurus dan berita gembira yang menyenangkan ini, semoga bisa menjadikan Robb عز وجل ridho, bertepatan berjumpa dengan hati yang rindu kepada kebenaran. Dan taufiq hanyalah dari Alloh semata.
            Dan saya bersyukur pada Syaikh kami yang mulia, Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al Fadhli Al Ba’daniy حفظه الله ورعاه atas sikap tawadhu’ beliau untuk mengoreksi risalah ini, mengarahkannya, kemudian berkenan memberikan kalimat pengantar untuknya.
            Dan saya bersyukur pada Syaikh kami yang mulia, Abu Hamzah Muhammad ibnul Husain Al ‘Amudiy Al Hadhromiy حفظه الله ورعاه atas sikap tawadhu’ beliau, dan curahan kerja keras beliau untuk mengoreksi risalah ini, dengan tanbihat yang penting dan nasihat-nasihat yang berharga.
            Dan saya bersyukur kepada beberapa ikhwah yang turut memberikan bantuan semangat dan sebagainya.
            Maka semoga Alloh ta’ala menerima  amalan mereka semua.
Nasihat pertama: Mengikhlaskan Ibadah Hanya Untuk Robbul ‘Alamin
            Sesungguhnya Alloh tidak menciptakan jin ataupun manusia kecuali agar mereka menunggalkan-Nya di seluruh peribadatan, dan tidak menyekutukan dengan-Nya sesuatu apapun, sebagaimana akan datang penyebutan dalil tentang itu. Alloh ta’ala berfirman:
}وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة وذلك دين القيمة{ (سورة البينة: 5).
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar mereka beribadah kepada Alloh dalam keadaan memurnikan ketaatan kepada-Nya dan condong dari kesyirikan kepada tauhid, dan menegakkan sholat serta menunaikan zakat, dan itulah agama yang lurus.” (QS Al Bayyinah: 5(
Alloh subhanah berfirman:
﴿قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لله رَبِّ الْعَالَمِينَ * لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِين﴾ [الأنعام/162، 163]
“Katakanlah (wahai Rosululloh): Sesungguhnya sholatku, penyembelihan yang kulakukan, kehidupanku dan kematianku adalah untuk Alloh Robbul alamin, tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintahkan, dan aku adalah orang muslim pertama (di umat ini).”
            Dari Umar ibnul Khoththob رضي الله عنه bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى. فمَنْ كانت هجرته إِلَى الله ورسوله فهجرته إِلَى الله ورسوله، ومن كانت هجرته إلى دنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إِلَى ما هاجر إليه
“Sesungguhnya amalan itu hanyalah sesuai dengan niatnya, dan hanyalah setiap orang itu akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Maka barangsiapa hijrohnya itu kepada Alloh dan Rosul-Nya maka hijrohnya itu adalah kepada Alloh dan Rosul-Nya dan barangsiapa hijrohnya itu kepada dunia yang akan diperolehnya atau perempuan yang akan dinikahinya maka hijrohnya itu adalah kepada apa yang diniatkannya.” (HSR Al Bukhori (1) dan Muslim (1907)).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Ibadah adalah suatu nama yang mencakup setiap perkara yang dicintai oleh Alloh dan diridhoi-Nya, baik berupa ucapan, perbuatan, yang bersifat lahiriyyah ataupun bathiniyyah. Maka sholat, zakat, puasa, haji, ucapan jujur, penunaian amanah, berbakti pada orang kedua tua, silaturrohim, penunaian janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, memerangi orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik pada tetangga, anak yatim, orang miskin, budak, binatang, juga berdoa, berdzikir, membaca Al Qur’an dan yang semisal dengan itu adalah termasuk dari ibadah. Demikian pula cinta pada Alloh dan Rosul-Nya, takut pada Alloh, inabah (sikap kembali dengan cepat kepada-Nya), pemurnian agama untuk-Nya, bersabar untuk hukum-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, ridho pada ketetapan-Nya, tawakkal pada-Nya, mengharapkan rohmat-Nya, takut pada siksaan-Nya, dan yang seperti itu, dia itu termasuk dari ibadah pada Alloh.
Dan yang demikian itu dikarenakan ibadah kepada Alloh itu adalah tujuan yang dicintai dan diridhoi oleh Alloh, yang untuk itulah Alloh menciptakan para makhluk, sebagaimana firman Alloh ta’ala:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ  [الذاريات/56]
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56).
Dan dengannya Alloh mengutus seluruh Rosul, sebagaimana perkataan Nuh kepada kaumnya:
]اعبدوا الله ما لكم من إله غيره[ [الأعراف: 59 ]
“Sembahlah Alloh, kalian tidak punya sesembahan yang benar selain Dia.”
Demikian pula ucapan Hud (Al A’rof: 65), Sholih (Al A’rof: 73), Syu’aib (Al A’rof: 85) dan yang selain mereka kepada kaum mereka. Dan Alloh ta’ala berfirman:
]ولقد بعثنا في كل أمة رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت فمنهم من هدى الله ومنهم من حقت عليه الضلالة[ [النحل: 36]
“Dan sungguh Kami telah mengutus di setiap umat seorang rosul yang berkata: “Sembahlah Alloh dan jauhilah thoghut” maka di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Alloh, dan di antara mereka ada yang telah pasti baginya kesesatan.”
Dan Alloh ta’ala berfirman:
]وما أرسلنا من قبلك من رسول إلا نوحي إليه أنه لا إله إلا أنا فاعبدون[ ]الأنبياء: 25[
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rosulpun sebelummu kecuali Kami mewahyukan padanya bahwasanya tiada sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku.”
Dan Alloh ta’ala berfirman:
]إن هذه أمتكم أمة واحدة وأنا ربكم فاعبدون[ [ الأنبياء: 92]
“Sesungguhnya ini adalah agama kalian yang satu, dan Aku adalah Robb kalian, maka sembahlah Aku.”
Selesai.
(“Al ‘Ubudiyyah”/karya Syaikhul Islam رحمه الله/dengan syarh Asy Syaikh Abdul ‘Aziz Ar Rojihiy حفظه الله/hal. 6-9/cet. Darut Tauhid Was Sunnah).
Maka barangsiapa mencapekkan dirinya di bulan Romadhon –dan juga di seluruh bulan- dengan berbagai jenis ibadah yang disyariatkan, dengan ikhlas, maka sesungguhnya Alloh tak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan. Alloh ta’ala berfirman:
]وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا[ [النساء/124].
“Dan barangsiapa beramal sholih, dari kalangan lelaki ataupun perempuan, dalam keadaan dia itu mukmin, maka mereka itu akan masuk Jannah dan tidak dizholimi seukuran naqir([2])pun.”
            Dan sebaliknya, Alloh جل ذكره berfirman:
]وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا[  [الكهف/49]،
“Dan diletakkanlah kitab (catatan amalan), maka engkau akan melihat orang-orang yang jahat merasa ketakukan dengan apa yang ada di dalamnya, dan mereka berkata: “Aduh celaka kami, ada apa dengan kitab ini? Tidaklah dia meninggalkan yang kecil ataupun yang besar kecuali telah mencatat semuanya.” Dan mereka mendapatkan apa yang mereka kerjakan ada di situ. Dan Robbmu tidak menzholimi seorangpun.”
            Maka kita berlindung kepada Alloh dari kerugian. Alloh ta’ala berfirman:
]وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا[  [الفرقان/23]
“Dan Kami hadapi amalan yang mereka kerjakan, maka Kami menjadikannya bagaikan debu halus yang bertebaran.”
            Dan dari Sulaiman bin Yasar yang berkata: “Orang-orang telah berpencar meninggalkan Abu Huroiroh. Maka Natil, dari penduduk Syam, berkata: “Wahai Syaikh, berilah kami hadits yang Anda dengar dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم . beliau menjawab: Baiklah, aku mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
« إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا. قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ: جَرِىءٌ. فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا. قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ. وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ: قَارِئٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِي فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ الله عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا. قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ. فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِىَ فِى النَّارِ».
“Sesungguhnya orang yang pertama kali diputuskan urusannya pada hari kiamat adalah orang yang dianggap mati syahid. Maka dia didatangkan dan diperlihatkan padanya nikmat-nikmat yang diberikan, dan diapun mengenalnya. Maka dia ditanya,”Apa yang kau kerjakan dengan nikmat tadi?” Dia menjawab,”Saya berperang di jalan-Mu sampai saya terbunuh syahid.” Alloh berfirman: “Kamu bohong. Tapi kamu berperang agar dikatakan sebagai “Pemberani”, dan hal itu telah dikatakan.” Maka diperintahkan agar dia diseret, maka diseretlah dia di atas mukanya sampai dilemparkan ke dalam neraka. Dan (yang kedua) adalah orang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan membaca Al Qur’an. Maka dia didatangkan dan diperlihatkan padanya nikmat-nikmat yang diberikan, dan diapun mengenalnya. Maka dia ditanya,”Apa yang kau kerjakan dengan nikmat tadi?” Dia menjawab,”Saya mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan membaca Al Qur’an untuk-Mu.” Alloh berfirman: “Kamu bohong. Tapi kamu belajar agar dikatakan sebagai “Alim”, dan membaca Al Qur’an agar dikatakan “Dia adalah Qori’”, dan hal itu telah dikatakan.” Maka diperintahkan agar dia diseret, maka diseretlah dia di atas mukanya sampai dilemparkan ke dalam neraka. Dan (yang ketiga) adalah orang yang dikaruniai Alloh keluasan rizqi dan diberi-Nya beraneka macam harta semuanya. Maka dia didatangkan dan diperlihatkan padanya nikmat-nikmat yang diberikan, dan diapun mengenalnya. Maka dia ditanya,”Apa yang kau kerjakan dengan nikmat tadi?” Dia menjawab,”Tidaklah saya tinggalkan satu jalanpun yang Engkau sukai untuk diinfaqi di situ untuk-Mu.” Alloh berfirman: “Kamu bohong. Tapi kamu lakukan itu agar dikatakan sebagai “Dermawan”, dan hal itu telah dikatakan.” Maka diperintahkan agar dia diseret, maka diseretlah dia di atas mukanya sampai dilemparkan ke dalam neraka.” (HSR Muslim (1906)).
Nasihat Kedua: Terus Berupaya Mencocoki Syari’at Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم
Alloh ta’ala berfirman:
﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ الله فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ الله وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَالله غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾ [آل عمران/31].
“Katakanlah: Jika kalian mencintai Alloh, maka ikutilah aku, niscaya Alloh akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Alloh itu Ghofur (Maha Pengampun) dan Rohim (Maha Menyayangi para hamba).” (QS. Ali Imron: 31).
            Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan hanyalah kesempurnaan rasa cinta pada beliau dan pengagungannya itu ada pada mutaba’ah (mengikutinya), taat dan mengikuti perintahnya, menghidupkan sunnah-sunnahnya yang lahiriyyah dan bathiniyyah, menyebarkan syariat yang beliau diutus dengannya, menegakkan jihad untuknya dengan hati, tangan dan lisan. Maka inilah jalan para As Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik.” (“Iqtidhoush Shirothol Mustaqim”/2/hal. 124/Maktabatur Rusyd).
Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta pada Alloh, tapi dia tidak berada di atas jalan Muhammad  صلى الله عليه وسلم , karena dia itu sungguh pada hakikatnya telah berdusta di dalam pengakuannya, sampai dia itu mau mengikuti syariat Muhammad صلى الله عليه وسلم  dan agama Nabi di dalam seluruh ucapan dan keadaannya, sebagaimana telah tetap di dalam “Ash Shohih” dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
«مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عليه أمْرُنَا فَهُوَ رَدُّ»
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan dari urusan agama kami maka amalannya itu tertolak.”
Oleh karena itulah Alloh berfirman: (yang artinya:) “Katakanlah: Jika kalian mencintai Alloh, maka ikutilah aku, niscaya Alloh akan mencintai kalian” Yaitu kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi apa yang kalian cari, yaitu diakuinya cinta kalian pada-Nya. Yang akan kalian dapatkan adalah: Alloh cinta pada kalian, dan itu lebih agung daripada yang pertama. sebagaimana sebagian orang bijak berkata: “Bukanlah yang penting itu kalian mencintai, tapi yang penting adalah: kalian dicintai.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/1/hal. 494-495/cet. Darus Shiddiq).
Al ‘Irbadh bin Sariyah رضي الله عنه berkata:
صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم، ثم أقبل علينا فوعظنا موعظة بليغة، ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب، فقال قائل: يا رسول الله كأن هذه موعظة مودّع، فماذا تعهد إلينا؟ فقال: «أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبداً حبشيّاً، فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيراً فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسكوا بها وعضّوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة».
Rosululloh صلى الله عليه وسلم pernah mengimami kami sholat pada suatu hari, kemudian beliau menghadapkan wajah pada kami, lalu menasihati kami dengan nasihat yang tajam, yang dengannya air mata berlinang, dan hati merasa takut. Maka seseorang berkata: “Wahai Rosululloh, seakan-akan ini adalah nasihat orang yang hendak berpisah, maka apakah perjanjian yang Anda ambil dari kami?” maka beliau bersabda: “Kuwasiatkan kalian untuk bertaqwa pada Alloh, dan mendengar dan taat kepada pemerintah, sekalipun dia itu adalah budak Habasyah, karena orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk memegang sunnahku dan sunnah Al Khulafaur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Pegang teguhlah dia dan gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan hindarilah setiap perkara yang muhdats karena yang muhdats itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Abu Dawud (4594) dan lainnya dihasankah oleh Al Wadi’iy -rohimahullohu- dalam “Ash Shohihul Musnad” (921)).
            Dan dari ‘Aisyah رضي الله عنها yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ ».
“Barangsiapa membikin dalam urusan agama kami perkara yang tidak ada dalam agama kami, maka dia itu tertolak.” (HR. Al Bukhoriy (2697) dan Muslim (1718)).
            Maka berhati-hatilah kalian, jangan sampai bulan Romadhon –dan juga seluruh bulan- kalian ramaikan dengan perkara baru dalam agama, dalam keadaan kalian mengira kalian sedang berbuat baik, sementara kalian telah membikin marah Robb kalian. Alloh ta’ala berfirman:
]قل هل أنبئكم بالأحسرين أعمالا * الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا[  [الكهف/104]
“Katakanlah: maukah aku beritahukan pada kalian orang-orang yang paling merugi amalannya? Yaitu orang-orang yang usahanya itu tersesat dalam kehidupan dunia dalam keadaan mereka mengira bahwasanya mereka itu memperbagus perbuatan.”
            Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Ayat ini mencakup seluruh orang yang menyembah Alloh bukan di atas metode yang diridhoi, dia mengira dirinya benar dalam metode itu, dan bahwasanya amalannya itu diterima, padahal dia itu keliru, dan amalannya tertolak, sebagaimana firman Alloh ta’ala:
]وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً[ [الغاشية: 2-4]
“Wajah-wajah pada hari itu tertunduk, telah beramal dengan capeknya, akan masuk ke dalam api yang panas.”
Dan seterusnya. (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/3/hal. 150/cet. Darus Shiddiq).
Dalil-dalil dan ucapan para ulama tentang bab ini itu banyak dan telah dikenal.
            Dan termasuk dari bagian mengikuti syari’at Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم dalam puasa Romadhon adalah: penentuan awal bulan dengan memakai melihat hilal.
            Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«صوموا لرؤيته، وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين».
“Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal), dan berbukalah (di akhir bulan) karena melihatnya. Jika pandangan kalian terhalangi, maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari.” (HR. Al Bukhoriy (1909) dan Muslim (1081)).
            Dan permulaan puasa adzan subuh ketika fajar shodiq telah muncul. Dari Ibnu Umar dan ‘Aisyah رضي الله عنهم bercerita:
أَنَّ بِلاَلاً كَانَ يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ، فَقَالَ رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم -: «كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ لاَ يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ».
Bahwasanya Bilal biasa mengumandangkan adzan di waktu malam([3]), maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Makan dan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan([4]), karena dia itu tidaklah mengumandangkan adzan sampai terbit fajar.” (HR. Al Bukhoriy (1919)) dan Muslim meriwayatkannya dari Ibnu Umar رضي الله عنهما (1092)).
            Al Imam An Nawawiy رحمه الله membikin bab: Penjelasan bahwasanya masuk ke dalam puasa itu terjadi dengan terbitnya fajar, dan bahwasanya boleh bagi dirinya untuk makan dan lain-lain hingga terbit fajar. Dan penjelasan sifat fajar yang hukum-hukum itu terkait dengannya, baik berupa masuk ke puasa, masuknya waktu sholat, dan selain itu. (“Shohih Muslim”/dengan tabwibun Nawawiy/hal. 526/cet. Daru Ibnil Jauziy).
Dan termasuk dari syariat Rosululloh صلى الله عليه وسلم adalah menyegerakan berbuka puasa ketika matahari terbenam.
Dari Sahl bin Sa’d رضي الله عنهما bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ».
“Terus-menerus manusia itu dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.” (HR. Al Bukhoriy (1957) dan Muslim (1098)).
            Dan dari Abdulloh bin Abi Aufa رضي الله عنهما yang berkata:
كُنَّا مَعَ رَسُولِ الله – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلَمَّا غَرَبَتِ الشَّمْسُ قَالَ لِبَعْضِ الْقَوْمِ: «يَا فُلاَنُ قُمْ، فَاجْدَحْ لَنَا». فَقَالَ: يَا رَسُولَ الله، لَوْ أَمْسَيْتَ. قَالَ: «انْزِلْ، فَاجْدَحْ لَنَا». قَالَ: يَا رَسُولَ الله فَلَوْ أَمْسَيْتَ. قَالَ: «انْزِلْ، فَاجْدَحْ لَنَا». قَالَ: إِنَّ عَلَيْكَ نَهَارًا. قَالَ: «انْزِلْ، فَاجْدَحْ لَنَا». فَنَزَلَ فَجَدَحَ لَهُمْ، فَشَرِبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ثُمَّ قَالَ: «إِذَا رَأَيْتُمُ اللَّيْلَ قَدْ أَقْبَلَ مِنْ هَا هُنَا، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ».
“Kami pernah bersama Rosululloh صلى الله عليه وسلم dalam suatu perjalanan dalam keadaan beliau berpuasa. Ketika matahari terbenam, beliau berkata pada sebagian orang: “Wahai fulan, bangkitlah dan bikinkan untuk kami adonan sawiq.” Maka dia menjawab: “Wahai Rosululloh, seandainya Anda bersedia mengakhirkannya sampai waktu gelap.” Beliau bersabda lagi: “Turunlah, lalu bikinkan untuk kami adonan sawiq.” Maka dia menjawab: “Wahai Rosululloh, seandainya Anda bersedia mengakhirkannya sampai waktu gelap.” Beliau bersabda lagi: “Turunlah, lalu bikinkan untuk kami adonan sawiq.” Maka dia menjawab: “Anda masih di waktu siang.” Beliau bersabda lagi: “Turunlah, lalu bikinkan untuk kami adonan sawiq.” Maka dia turun dan membikin adonan sawiq untuk mereka. Maka Nabi صلى الله عليه وسلم minum lalu bersabda: “Jika kalian telah melihat malam telah datang dari arah sana, maka sungguh orang yang puasa itu telah boleh berbuka.”(HR. Al Bukhoriy (1955) dan Muslim (1011)).
            Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Orang yang diajak bicara tadi masih melihat bekas-bekas cahaya dan warna merah yang ada setelah terbenamnya matahari, maka dia mengira bahwasanya berbuka itu tidak halal kecuali setelah hilangnya itu. Dan menurutnya bisa jadi Nabi صلى الله عليه وسلم tidak melihatnya, maka dia ingin mengingatkan dan memberitahu beliau. Dan yang menguatkan ini adalah ucapannya: “Anda masih di waktu siang.” Karena dia mengira bahwasanya cahaya tadi adalah bagian dari siang yang wajib untuk orang wajib berpuasa di situ, dan itulah makna ucapannya: (لَوْ أَمْسَيْت) yaitu: “Seandainya Anda bersedia mengakhirkannya sampai masuk waktu gelap.” Dia mengulangi bantahannya karena dominasi keyakinannya bahwasanya yang demikian tadi adalah adalah waktu siang yang diharomkan untuk makan saat ini, bersamaan dengan dirinya menganggap bisa jadi Nabi صلى الله عليه وسلم tidak melihat dengan sempurna cahaya tadi, maka dia bermaksud menambahi pemberitahuan tentang masih adanya cahaya tadi. Dan dalam hadits ini ada faidah: bolehnya berpuasa di perjalanan, dan itu lebih utama, daripada tidak berpuasa bagi orang yang tidak tertimpa kesukaran yang jelas dengan puasanya tadi. Dalam hadits ini juga ada penjelasan bahwasanya waktu puasa itu berakhir dengan semata-mata terbenamnya matahari. Dan disunnahkan menyegerakan berbuka. Dan bolehnya mengingatkan seorang alim perkara yang dikhawatirkan dirinya itu lupa dengannya …” dan seterusnya. (“Al Minhaj”/karya An Nawawiy رحمه الله /7/hal. 217-218/cet. Darul Qolam).
Nasihat Ketiga: Bersungguh-sungguh Untuk Menuntut Ilmu Syar’iy
            Tidaklah Alloh عز وجل ditauhidkan dengan kebodohan, dan tidak pula Rosul صلى الله عليه وسلم diikuti dengan kebodohan. Demikian pula tiada seorangpun yang selamat dari kesyirikan dan kebid’ahan kecuali dengan ilmu. Maka kita harus memperkuat kaki kita dengan kekokohan ilmu.
            Alloh ta’ala berfirman:
]وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ[ [التوبة/122].
“Dan tidak sepantasnya kaum mukminin itu berangkat perang semuanya. Kenapa tidak berangkat sekelompok orang dari setiap golongan dari mereka untuk memahami agama, dan agar memberikan peringatan pada kaum mereka jika mereka telah tembali kepada mereka agar mereka berhati-hati?”
Alloh ta’ala berfirman:
]وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا[ [طه/114].
“Dan katakanlah: Wahai Robbku, tambahilah saya ilmu.”
Dalil-dalil tentang bab ini banyak dan telah dikenal, hanya saja saya ingin sedikit mengingatkan. Alloh ta’ala berfirman:
]فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالله يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ[ [محمد/19].
“Maka ketahuilah bahwasanya tiada sesembahan yang benar selain Alloh, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan untuk mukminin dan mukminat. Dan Alloh itu mengetahui tempat berbolak-baliknya kalian dan tempat tinggal kalian.”
            Al Imam Al Bukhoriy رحمه الله berkata: Bab Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Berdasarkan firman Alloh ta’ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا الله [محمد/19].
“Maka ketahuilah bahwasanya tiada sesembahan yang benar selain Alloh”
Maka Alloh memulai dengan ilmu. Dan bahwasanya para ulama itulah pewaris para Nabi –mewarisi ilmu- barangsiapa mengambilnya, mengambil bagian yang banyak. Dan barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Alloh akan memudahkan untuknya jalan ke jannah. Dan Alloh جل ذكره berfirman:
﴿إِنَّمَا يَخْشَى الله مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء﴾ [فاطر/28]
“Yang takut kepada Alloh dari kalangan hamba-Nya hanyalah para ulama.”
Dan berfirman:
﴿وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ﴾ [العنكبوت: 43]
“Dan tidaklah memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”
Dan berfirman:
﴿وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِير﴾ [الملك: 10]
“Dan mereka berkata: seandainya dulu kami mendengar atau memahami, niscaya kami tidak menjadi penghuni neraka Sa’ir.”
Dan berfirman:
﴿قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُون﴾ [الزمر: 9]
“Katakanlah: apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”
Dan Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«من يرد الله به خيرا يفقهه فى الدين»
“Dan barangsiapa Alloh kehendaki dengannya kebaikan, Alloh akan memahamkannya tentang agama ini.”
Dan bersabda:
«وإنما العلم بالتعلّم» اهـ.
“Hanyalah ilmu itu didapatkan dengan cara belajar.”
Selesai dari ucapan Al Imam Al Bukhoriy dalam “Shohih” beliau (hal. 30/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Maka orang yang sempurna adalah orang yang menjadikan ilmu sebagai hakim terhadap keadaan, lalu dia bertindak dalam keadaannya itu dengan ilmunya, dan menjadikan ilmu pada posisi cahaya yang dengannya dia membedakan mana yang shohih dan mana yang rusak.” (“Badai’ul Fawaid”/2/hal. 192/cet. Darul Kutubil ‘Arobiy).
            Kemudian bulan Romadhon bukanlah masa liburan dari ilmu, bahkan dia adalah bulan menanam dan mengumpulkan barokah. Meka barangsiapa menanam kebaikan, dia akan memanen sesuatu yang lebih bagus pahalanya. Alloh ta’ala berfirman:
]مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ[ [النحل/97].
“Barangsiapa beramal sholih baik dia itu lelaki ataupun perempuan dalam keadaan dia itu mukmin, pastilah Kami akan memberinya kehidupan yang bagus, dan pastilah Kami akan membalasi mereka pahala mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang dulu mereka lakukan.”
            Dan tiada keraguan bahwasanya membaca Al Qur’an dan merenungkannya –dan dia adalah sumber ilmu dan pengetahuan- itu lebih didahulukan daripada yang lain pada bulan yang diberkahi ini.
            Dan termasuk pendekatan diri yang terbesar kepada Alloh adalah: mencari ilmu syar’iy. Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Sisi ke seratus delapan: sesungguhnya kebanyakan para imam telah terang-terangan menyatakan bahwasanya amalan yang paling utama setelah kewajiban adalah mencari ilmu. Asy Syafi’iy berkata: “Tiada sesuatu setelah kewajiban-kewajiban yang lebih utama daripada menuntut ilmu. Dan inilah yang disebutkan oleh para pengikut beliau dari beliau bahwasanya itu adalah madzhabnya. Dan demikian juga perkataan Sufyan Ats Tsauriy, dan dihikayatkan oleh para hanafiyyah dari Abu Hanifah. Adapun Al Imam Ahmad maka dihikayatkan dari beliau tiga riwayat: salah satunya: yang paling utama setelah kewajiban adalah mencari ilmu, karena ditanyakan pada beliau: apa yang lebih Anda sukai: “Saya duduk di malam hari menyalin ataukah saya sholat sunnah?” Beliau menjawab: “Penyalinan yang engkau lakukan yang dengannya engkau jadi tahu urusan agamamu, maka itu lebih aku sukai.” Dan Al khollal menyebutkan dari beliau dalam “Kitabul Ilm” nash-nash yang banyak tentang pengutamaan ilmu. Dan termasuk dari ucapan beliau juga: “Manusia itu lebih butuh kepada ilmu daripada kebutuhan mereka pada makan dan minum.”…(dan seterusnya).” (“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 150/cet. Al Maktabatul ‘Ashriyyah).
            Al Imam Abdurrohman bin Nashir As Sa’diy رحمه الله dalam tafsir firman Alloh ta’ala:
﴿وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ الله لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ﴾
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk mencari keridhoan Kami, pastilah Kami akan memberi mereka petunjuk kepada jalan-jalan keridhoan Kami, dan sesungguhnya Alloh itu benar-benar bersama dengan orang yang berbuat ihsan.” (QS Al ‘Ankabut 67)
Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk mencari keridhoan Kami” mereka itu adalah orang-orang yang berhijroh di jalan Alloh, memerangi musuh-musuh mereka, mencurahkan kesungguhan mereka dalam mengikuti keridhoan-Nya “pastilah Kami akan memberi mereka petunjuk kepada jalan-jalan keridhoan Kami” yaitu: jalan-jalan yang menyampaikan kepada Kami. Dan yang demikian itu dikarenakan mereka itu adalah orang-orang yang berbuat ihsan. “dan sesungguhnya Alloh itu benar-benar bersama dengan orang yang berbuat ihsan” dengan pertolongan, kemenangan dan hidayah. Ini menunjukkan bahwasanya orang yang paling pantas mencocoki kebenaran adalah ahli jihad. Dan ini juga menunjukkan bahwasanya barangsiapa berbuat baik terhadap apa yang diperintahkan, Alloh akan menolongnya dan memudahkan untuknya sebab-sebab hidayah. Dan ini juga menunjukkan bahwasanya barangsiapa bersungguh-sungguh dan bekerja keras dalam mencari ilmu syar’iy, maka sesungguhnya dia akan mendapatkan hidayah dan pertolongan untuk mendapatkan apa yang dicarinya, dengan perkara-perkara ilahiyyah yang di luar dari apa yang bisa dicapai oleh kerja kerasnya, dan mudahlah baginya urusan ilmu, karena sesungguhnya menuntut ilmu syar’iy merupakan bagian dari jihad fi sabilillah. Bahkan dia itu salah satu dari dua jenis jihad, yang tidak bisa ditegakkan kecuali oleh makhluk-makhluk yang khusus, yaitu jihad dengan ucapan dan lisan, terhadap orang-orang kafir dan munafiqin, dan jihad untuk mengajarkan urusan agama, dan untuk menolak penyelisihan orang-orang yang menyelisihi kebenaran, sekaliipun mereka adalah dari kalangan muslimin.” (“Taisirul Karimir Rohman”/hal. 763/cet. Dar Ihyait Turotsil ‘Arobiy).
            Al Imam Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله berkata: “Alloh سبحانه وتعالى telah memuji ilmu dan ahli ilmu, dan mendorong para hamba-Nya untuk mencari ilmu dan menambah bekal darinya. Demikian pula sunnah yang suci. Maka ilmu adalah termasuk amal sholih yang paling utama, dan dia itu termasuk ibadah yang paling utama dan paling agung, ibadah tathowwu’, karena dia itu adalah satu jenis dari jihad fi sabilillah, karena sesungguhnya agama Alloh عز وجل hanyalah tegak dengan dua perkara: yang pertama: ilmu dan burhan. Yang kedua: peperangan dan tombak. Kedua perkara ini harus ada. Dan tidak mungkin agama Alloh tegak dan menang kecuali dengan keduanya secara bersamaan. Yang pertama lebih didahulukan daripada yang kedua. Oleh karena itulah dulu Nabi صلى الله عليه وسلم tidak menyerang mendadak terhadap suatu kaum hingga dakwah ilalloh عز وجل itu sampai pada mereka, sehingga jadilah ilmu itu mendahului peperangan.” (“Kitabul ‘Ilm”/pasal kedua/hal. 13/cet. Daruts Tsuroyya).
            Syaikh kami al Muhaddits Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله berkata: “Tidak ada di sana jihad yang lebih bermanfaat daripada ilmu, pada zaman-zaman ini.” (faidah ini dicatat pada tanggal 23 Sya’ban 1430 H).
Nasihat Keempat: Mementingkan Naiknya Derajat Di Sisi Ar Rohman
            Di antara karunia Alloh kepada para hamba-Nya adalah bahwasanya Dia memilihkan untuk mereka agama yang lurus ini, dan mensyariatkan paada mereka amal-amal yang utama, dan menetapkan untuk mereka keadaan-keadaan yang dengannya Alloh mengangkat derajat-derajat mereka, di antaranya adalah:

PERTAMA:

IMAN YANG JUJUR

            Alloh ta’ala berfirman:
﴿وَمَنْ يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُولَئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَا * جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاءُ مَنْ تَزَكَّى﴾ [طه/75، 76]
“Dan barangsiapa mendatangi-Nya dalam keadaan mukmin dan telah beramal sholih, maka mereka itulah yang akan mendapatkan derajat-derajat yang tinggi, yaitu jannah-jannah ‘Adn yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selamanya, dan yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang mensucikan diri.”
            Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Firman-Nya: “Dan barangsiapa mendatangi-Nya dalam keadaan mukmin dan telah beramal sholih” yaitu: dan barangsiapa berjumpa dengan Robbnya pada hari Kembali dalam keadaan hatinya beriman, jiwanya membenarkan ucapannya dan amalannya, “maka mereka itulah yang akan mendapatkan derajat-derajat yang tinggi”, yaitu jannah yang memiliki derajat-derajat yang tinggi, dan kamar-kamar yang aman, tempat tinggal tempat tinggal yang bagus –sampai pada ucapan beliau:- “dan yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang mensucikan diri” yaitu orang yang mensucikan dirinya dari kotoran, kebusukan dan kesyirikan, hanya menyembah Alloh satu-satunya, tiada sekutu bagi-Nya, dan membenarkan para Rosul terhadap apa yang mereka bawa, baik berupa berita ataupun tuntutan.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/4/hal. 221/cet. Darush Shiddiq).
            Alloh ta’ala berfirman:
]إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ الله وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آَيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ * الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ * أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ[. (الأنفال: 2-4)
“Hanyalah orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang jika disebut nama Alloh, hati mereka merasa takut, dan jika ayat-ayat-Nya dibacakan pada mereka, ayat itu menambahi mereka dengan keimanan, dan hanya kepada Robb mereka sajalah mereka bertawakkal. Yaitu orang-orang yang menegakkan sholat, dan menginfaqkan sebagian dari apa yang Kami rizqikan pada mereka. Mereka itulah mukminun yang sebenarnya. Mereka akan mendapatkan derajat-derajat di sisi Robb mereka, ampunan, dan rizqi yang mulia.”
            Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: dan ini adalah sifat mukmin yang sebenarnya, “orang yang jika disebut nama Alloh, hati mereka merasa takut”, yaitu: takut kepada-Nya, sehingga dia mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya… dst. (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/2/hal. 392/cet. Darush Shiddiq).
Dan pada firman-Nya ta’ala: “dan jika ayat-ayat-Nya dibacakan pada mereka, ayat itu menambahi mereka dengan keimanan” Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan yang demikian itu bahwasanya ayat itu menambahi mereka dengan ilmu yang mereka sebelumnya belum mereka ketahui, dan menambahi mereka amalan dengan ilmu tadi, dan menambahi mereka kesadaran terhadap apa yang dulu mereka lupakan, dan amalan dengan peringatan tadi. dan demikian pula perkara yang disaksikan oleh para hamba, yang berupa ayat-ayat di ufuk-ufuk, dan pada diri mereka sendiri, Alloh ta’ala berfirman:
]سنريهم آياتنا فى الآفاق وفى أنفسهم حتى يتبين لهم أنه الحق[
"Dan Kami akan memperlihatkan pada mereka ayat-ayat Kami di ufuk-ufuk dan pada diri mereka sendiri sampai jelas bagi mereka bahwasanya dia itulah yang benar.”
Yaitu: bahwasanya Al Qur’an itu benar.
Kemudian Alloh ta’ala berfirman:
]أو لم يكف بربك أنه على كل شيء شهيد[
“Atau apakah Robbmu tidak cukup bahwasanya Dia itu Saksi terhadap segala sesuatu?”
            Karena sesungguhnya Alloh itu saksi tentang Al Qur’an dengan apa yang dikabarkannya, maka orang mukmin beriman dengannya, kemudian Alloh memperlihatkan pada mereka ayat-ayat-Nya di ufuk-ufuk dan pada diri mereka sendiri, yang menunjukkan seperti apa yang dikabarkannya di dalam Al Qur’an, maka ayat-ayat ini menjelaskan pada mereka bahwasanya Al Qur’an itu benar, bersamaan dengan apa yang telah mereka dapatkan sebelum itu.” (“Majmu’ul Fatawa”/7/hal. 236).
            Dan firman Alloh ta’ala: “dan hanya kepada Robb mereka sajalah mereka bertawakkal” Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Yaitu: mereka tidak mengharapkan selain-Nya, dan tidak menginginkan selain-Nya, tidak berlindung kecuali dengan sisi-Nya, tidak meminta kebutuhan kecuali dari-Nya, tidak berdoa kecuali kepada-Nya, dan mereka mengetahui bahwasanya apa yang diinginkan-Nya pasti terjadi, dan apa yang tidak diinginkan-Nya pasti tak akan terjadi, dan bahwasanya Dia itu sajalah yang mengurusi kerajaan-Nya, satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya, tiada yang membantah hukum-Nya, dan Dia itu Mahacepat perhitungan-Nya. Oleh karena itulah Sa’id bin Jubair berkata: “Tawakkal pada Alloh merupakan kumpulan iman.”
            Dan firman-Nya: “Yaitu orang-orang yang menegakkan sholat, dan menginfaqkan sebagian dari apa yang Kami rizqikan pada mereka” Alloh mengingatkan dengan itu tentang amalan-amalan mereka, setelah menyebutkan keyakinan mereka. Dan amalan ini mencakup seluruh jenis kebaikan, yaitu menegakkan sholat, dan itu adalah hak Alloh ta’ala. Qotadah berkata: “Menegakkan sholat adalah menjaga waktu-waktunya dan wudhunya, ruku’nya, dan sujudnya.” Muqotil bin Hayyan berkata: “Menegakkan sholat adalah menjaga waktu-waktunya dan menyempurnakan kesucian di dalamnya, dan kesempurnaan ruku’nya dan sujudnya, dan membaca Al Qur’an di dalamnya, tasyahhud, sholawat pada Nabi صلى الله عليه وسلم. Inilah penegakan sholat.”
            Dan menginfaqkan sebagian dari apa yang Alloh rizqikan pada mereka itu mencakup pengeluaran zakat, dan seluruh hak para hamba yang wajib ataupun yang mustahab. Dan makhluk semuanya adalah tanggungan Alloh. Maka makhluk yang paling dicintai Alloh adalah yang paling bermanfaat buat makhluk-Nya. Qotadah berkata: “Dalam firman-Nya: “menginfaqkan sebagian dari apa yang Kami rizqikan pada mereka” maka infaqkanlah sebagian dari apa yang Kami berikan pada kalian, karena harta-harta ini adalah titipan di sisimu, wahai anak Adam, dan sebentar lagi engkau akan berpisah dengannya.”
            Firman-Nya: “Mereka itulah mukminun yang sebenarnya” yaitu: orang-orang yang bersifat dengan sifat-sifat ini, mereka itulah mukminun yang sejati.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/2/hal. 392/cet. Darush Shiddiq).
            Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Mereka akan mendapatkan derajat-derajat di sisi Robb mereka” yaitu: tempat-tempat tinggal dan kedudukan-kedudukan serta derajat-derajat di jannah-jannah. Alloh ta’ala berfirman:
]هُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ الله وَالله بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ[ [آل عمران: 163]
“Mereka itu berderajat-derajat di sisi Alloh. Dan Alloh itu Maha Melihat dengan apa yang mereka lakukan.”
Dan ampunan” yaitu: Alloh mengampuni kesalahan-kesalahan mereka, dan mensyukuri kebaikan-kebaikan mereka…”  (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/2/hal. 393/cet. Darush Shiddiq).
            Dari Abu sa’id Al Khudriy رضي الله عنه :
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «إِنَّ أَهْلَ الْجَنَّةِ يَتَرَاءَيُونَ أَهْلَ الْغُرَفِ مِنْ فَوْقِهِمْ كَمَا يَتَرَاءَيُونَ الْكَوْكَبَ الدُّرِّىَّ الْغَابِرَ فِى الأُفُقِ مِنَ الْمَشْرِقِ أَوِ الْمَغْرِبِ، لِتَفَاضُلِ مَا بَيْنَهُمْ». قَالُوا: يَا رَسُولَ الله، تِلْكَ مَنَازِلُ الأَنْبِيَاءِ لاَ يَبْلُغُهَا غَيْرُهُمْ. قَالَ: «بَلَى وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ، رِجَالٌ آمَنُوا بِالله وَصَدَّقُوا الْمُرْسَلِينَ».
Dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Sesungguhnya ahlul jannah melihat ke ahli ghurof (kamar-kamar) yang ada di atas mereka seperti mereka melihat bintang kejora di ufuk timur atau barat, dikarenakan perbedaan keutamaan di antara mereka.” Mereka berkata: “Wahai Rosululloh, itu adalah tempat tinggal para Nabi yang tidak bisa dicapai oleh selain mereka?” beliau menjawab: “Bahkan bisa dicapai oleh yang lain. Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, bisa dicapai oleh orang-orang yang beriman pada Alloh dan membenarkan para Rosul.” (HR. Al Bukhoriy (3256) dan Muslim (2831)).
            Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Dan maknanya adalah: bahwasanya para penduduk Jannah itu tempat tinggal tempat tinggal mereka berbeda-beda sesuai dengan derajat mereka dalam masalah keutamaan, sampai bahkan sesungguhnya penduduk derajat-derajat yang tinggi dilihat oleh orang yang di bawah mereka seperti bintang-bintang. Yang demikian itu telah di beliau jelaskan dalam hadits ini dengan sabda beliau: “dikarenakan perbedaan keutamaan di antara mereka” –sampai pada ucapan beliau:- “dan membenarkan para Rosul” yaitu: dengan pembenaran mereka yang sejati. Soalnya jika tidak demikian, pastilah setiap orang yang beriman pada Alloh dan membenarkan para Rosul-Nya bisa mencapai derajat itu, dan kenyataannya tidak demikian.” Dan seterusnya. (“Fathul Bari”/6/hal. 394-395/cet. Darus Salam).
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan di dalam permisalan dengan bintang kejora, bukan dengan bintang-bintang yang tepat di atas kepala padahal dia itu lebih tinggi, ada dua faidah: yang pertama: jauhnya bintang kejora dari mata. Yang kedua: bahwasanya Jannah itu berderajat-derajat, sebagiannya lebih tinggi daripada yang lain, walaupun yang derajat tinggi tidak tepat di atas derajat yang bawah, tapi seperti dua kebun yang memanjang dari puncak gunung hingga ke kaki gunung tersebut, wallohu a’lam.” (“Hadil Arwah”/Bab tujuh belas/hal. 96/cet. Maktabah ‘Ibadur Rohman).

KEDUA:

KEMUMUMAN AMAL SHOLIH, DAN PERLOMBAAN UNTUK ITU

            Alloh جل ذكره berfirman:
]وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَالَهُمْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ[ [الأحقاف/19]
“Dan masing-masing akan mendapatkan derajat-derajat dengan apa yang mereka amalkan, dan agar Alloh mencukupi balasan amalan mereka dan mereka itu tidak dizholimi.”
Robb kita عز وجل juga berfirman:
]وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ[ [الأنعام/132]
“Dan masing-masing akan mendapatkan derajat-derajat dengan apa yang mereka amalkan, dan tidaklah Robb kamu lalai dengan apa yang mereka amalkan.”
            Al Imam Abu Ja’far Ath Thobariy رحمه الله berkata: “Alloh Yang Mahatinggi penyebutan-Nya berfirman: dan setiap orang yang beramal dalam ketaatan pada Alloh atau kedurhakaan pada-Nya, masing-masingnya akan mendapatkan posisi-posisi dan tingkatan-tingkatan sesuai dengan amalannya, yang Alloh akan menyampaikannya pada posisinya tadi, dan membalasnya dengan itu: jika amalannya baik, maka balasannya baik, tapi jika amalannya jelek, maka balasannya juga jelek. “dan tidaklah Robb kamu lalai dengan apa yang mereka amalkan” Alloh Yang agung pujian-Nya berfirman: dan itu semua adalah dari amalan mereka wahai Muhammad, dengan ilmu dari Robbmu, Dia yang menghitungnya, dan menetapkannya untuk mereka di sisi-Nya, agar Dia membalasi mereka berdasarkan amalan tadi ketika mereka berjumpa dengan-Nya dan kembalinya mereka kepada-Nya.” (“Jami’ul Bayan”/12/hal. 125/cet. Darut Tarbiyah Wat Turots).
            Dari Sa’d bin Abi Waqqosh رضي الله عنه yang berkata:
كَانَ رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم – يَعُودُنِى عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بِي فَقُلْتُ إِنِّى قَدْ بَلَغَ بِى مِنَ الْوَجَعِ وَأَنَا ذُو مَالٍ، وَلاَ يَرِثُنِى إِلاَّ ابْنَةٌ، أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَي مَالِى قَالَ: «لاَ». فَقُلْتُ بِالشَّطْرِ فَقَالَ: «لاَ» ثُمَّ قَالَ: «الثُّلُثُ وَالثُّلْثُ كَبِيرٌ – أَوْ كَثِيرٌ – إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ، وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ الله إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ». فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ الله، أُخَلَّفُ بَعْدَ أَصْحَابِ؟ قَالَ: «إِنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ فَتَعْمَلَ عَمَلاً صَالِحًا إِلاَّ ازْدَدْتَ بِهِ دَرَجَةً وَرِفْعَةً، ثُمَّ لَعَلَّكَ أَنْ تُخَلَّفَ حَتَّى يَنْتَفِعَ بِكَ أَقْوَامٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ، اللهمَّ أَمْضِ لأَصْحَابِى هِجْرَتَهُمْ، وَلاَ تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ، لَكِنِ الْبَائِسُ سَعْدُ ابْنُ خَوْلَةَ، يَرْثِي لَهُ رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم – أَنْ مَاتَ بِمَكَّةَ ».
“Dulu Nabi صلى الله عليه وسلم pernah menjengukku pada tahun Haji Wada’ dikarenakan sakit keras yang menimpaku. Maka kukatakan: “Sesungguhnya saya telah tertimpa penyakit padahal saya punya banyak harta, dan tiada yang mewarisi saya kecuali satu anak perempuan. Maka bolehkah saya bersedekah dengan dua pertiga dari harta saya? ([5])” beliau menjawab: “Tidak boleh.” Saya berkata: “Saya bersodaqoh separuhnya?” beliau menjawab: “Tidak boleh.” Kemudian beliau bersabda: “Sepertiganya. Dan sepertiga itu besar -atau banyak-. Sesungguhnya engkau jika meninggalkan ahli warismu dalam keadaan mereka kaya, itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan mereka miskin menengadahkan tangan mereka kepada manusia. Dan sesungguhnya engkau, tidaklah dirimu berinfaq dengan suatu nafkah yang dengannya engkau mencari wajah Alloh kecuali engkau akan diberi pahala dengan sebab itu, sampai apa yang engkau jadikan di mulut istrimu.”
Saya berkata: “Wahai Rosululloh, apakah saya akan tertinggal sepulang teman-teman saya([6]) beliau menjawab: “Sesungguhnya engkau tidak akan mati sampai engkau mengerjakan amalan sholih, kecuali akan bertambah dengannya derajat dan ketinggian. Kemudian barangkali engkau akan menjadi pemimpin hingga ada kaum-kaum yang mengambil manfaat denganmu, dan sebagian yang lain akan terbahayakan dengannya. Ya Alloh, lanjutkanlah untuk para sahabatku hijroh mereka, dan janganlah Engkau kembalikan mereka ke belakang punggung mereka. Akan tetapi sayang sekali Sa’d bin khoulah.” Rosululloh صلى الله عليه وسلم  menyampaikan duka cita untuknya karena mati di Mekkah.” (HR. Al Bukhoriy (1295) dan Muslim (1628)).
            Alloh ta’ala berfirman:
]والسابقون السابقون أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ * فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ[ (الواقعة: 10-12)
“Dan orang-orang yang bersegera beramal sholih, mereka bersegera mendapatkan kemuliaan pahala. Mereka itulah orang-orang yang didekatkan, di jannah-jannah yang penuh kenikmatan.”
            Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: ”Maka sesungguhnya yang dikehendaki dengan sabiqun adalah orang-orang yang bersegera mengerjakan kebaikan sebagaimana yang diperintahkan, sebagaimana firman Alloh ta’ala:
]وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالأرْضُ[ [آل عمران: 133]،
“Dan berlomba-lombalah kalian kepada ampunan dari Robb kalian dan Jannah yang luasnya seperti langit-langit dan bumi.”
Dan berfirman:
]سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالأرْضِ[ [الحديد: 22]
“Dan berlomba-lombalah kalian kepada ampunan dari Robb kalian dan Jannah yang luasnya seperti langit dan bumi.”
Maka barangsiapa bersegera di dunia ini kepada kebaikan, maka di akhirat dia termasuk orang yang bersegera kepada kemuliaan, karena sesungguhnya balasan itu sesuai dengan amalan, dan sebagaimana engkau berbuat, begitu pula engkau akan diperlakukan. Oleh karena itulah Alloh ta’ala berfirman: “Mereka itulah orang-orang yang didekatkan, di jannah-jannah yang penuh kenikmatan”. (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/4/hal. 371/cet. Darush Shiddiq).
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan jadilah maknanya: orang-orang yang bersegera di dunia ini kepada kebaikan, maka mereka itulah orang-orang yang bersegera di hari kiamat kepada jannah-jannah. Dan orang-orang yang bersegera kepada keimanan, mereka itulah orang-orang yang bersegera kepada jannah-jannah.” (“Hadil Arwah”/hal. 143/cet. Maktabah “Ibadirrohman).
            Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama masuk Islam dari kalangan Shohabat رضي الله عنهم mereka itu lebih agung derajatnya daripada orang yang setelah mereka. Alloh ta’ala berfirman:
]لا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلا وَعَدَ الله الْحُسْنَى وَالله بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ[ (الحديد: 10).
“Dan tidaklah sama dari kalian orang yang berinfaq dan berperang sebelum Fath (Fathu Hudaibiyyah), mereka itulah yang lebih agung derajatnya daripada orang-orang berinfaq dan berperang setelah Fath. Dan masing-masingnya telah Alloh janjikan dengan al husna (Jannah), dan Alloh itu Khobir (Mahatahu) terhadap apa yang kalian lakukan.”
Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: ”Yaitu: tidak sama orang ini dengan orang yang tidak mengerjakan seperti perbuatan mereka. Yang demikian itu adalah bahwasanya sebelum fathu Makkah keadaannya itu susah, tidak ada yang beriman pada saat itu kecuali shiddiqun. Adapun setelah Fath, sungguh Islam telah menang dengan kemenangan yang agung, dan manusia masuk ke dalam agama Alloh dengan berbondong-bondong. Oleh karena itulah Alloh berfirman: “mereka itulah yang lebih agung derajatnya daripada orang-orang berinfaq dan berperang setelah Fath. Dan masing-masingnya telah Alloh janjikan dengan al husna (Jannah)” Mayoritas ulama berpendapat bahwasanya Fath yang diinginkan di sini adalah Fathu Makkah. Adapun dari Asy Sya’biy dan yang lainnya, yang diinginkan dengan fath di sini adalah: perjanjian Hudaibiyyah. Dan pendapat ini didukung dengan dalil yang diriwayatkan Al Imam Ahmad: haddatsana Ahmad bin Abdil Malik, haddatsana Humaid Ath Thowil, ‘an Anas qola:
كان بين خالد بن الوليد وبين عبد الرحمن بن عوف كلام، فقال خالد لعبد الرحمن: تستطيلون علينا بأيام سبقتمونا بها؟ فبلغنا أن ذلك ذُكر للنبي صلى الله عليه وسلم فقال: «دعوا لي أصحابي فوالذي نفسي بيده، لو أنفقتم مثل أحد-أو مثل الجبال-ذهبًا، ما بلغتم أعمالهم».
“Pernah terjadi perdebatan antara Kholid ibnul Walid dan Abdurrohman bin ‘Auf. Maka Kholid berkata pada Abdurrohman: “Apakah engkau akan merasa tinggi terhadap kami dengan hari-hari yang kalian mendahului kami dengannya?” maka sampai pada kami bahwasanya hal itu disebutkan pada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau bersabda: “Biarkan untukkan para sahabatku. Maka demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian menginfaqkan seperti gunung Uhud –atau seperti gunung-gunung- emas, kalian tak akan mencapai amalan mereka.”
            Dan telah diketahui bahwasanya Islamnya Kholid ibnul Walid yang sabda Nabi tadi diarahkan kepadanya adalah antara perjanjian hudaibiyyah dan Fathu Makkah. Dan pertengkaran yang terjadi antara kedua tokoh tadi berlangsung tentang Bani Judzaimah yang Rosululloh صلى الله عليه وسلم mengutus Kholid ibnul Walid untuk menyerang mereka setelah Fath. Maka Bani Judzimah berkata: “Shoba’na (kami keluar dari agama kami)” dan tidak bisa mengatakan “Aslamna (kami masuk Islam)” maka Kholid menyuruh untuk membunuh mereka dan membunuh orang yang tertawan dari mereka. Maka Abdurrohman bin Auf, Ibnu Umar, dan yang lainnya menyelisihinya. Maka bertengkarlah Kholid ibnul Walid dan Abdurrohman bin ‘Auf disebabkan oleh yang demikian tadi. dan yang di “Shohih” dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم beliau bersabda:
«لا تسبوا أصحابي، فوالذي نفسي بيده، لو أنفق أحدكم مثل أحد ذهبًا، ما بلغ مُدّ أحدهم ولا نَصيفه»  
“Janganlah kalian mencaci para sahabatku, Maka demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan seperti gunung Uhud emas, dia tak akan mencapai satu mudd dari salah seorang dari mereka, ataupun setengah muddnya.” [HR. Al Bukhori (3673) dan Muslim (2540-2541) dari Abu Huroiroh رضي الله عنه]
-sampai pada ucapan beliau رحمه الله:- oleh karena itulah Alloh berfirman: “dan Alloh itu Khobir (Mahatahu) terhadap apa yang kalian lakukan” yaitu: karena keahlian-Nya, Dia membedakan antara pahala orang yang berinfaq dan berperang sebelum Fath dengan orang yang mengerjakan itu setelah Fath. Dan tidaklah yang demikian itu kecuali dikarena Dia mengetahui maksud kelompok yang pertama, dan keikhlasannya yang sempurna, serta infaqnya dalam suasana berat, sedikit dan sempit. -sampai pada ucapan beliau:- dan tiada keraguan bagi ahli iman bahwasanya Abu Bakr Ash Shiddiq رضي الله عنه punya bagian yang paling banyak dari ayat ini, karena beliau adalah pemimpin bagi orang yang mengamalkannya dari seluruh umat para Nabi, karena beliau menginfaqkan seluruh hartanya dalam rangka mencari wajah Alloh عز وجل dan tiada seorangpun yang punya jasa nikmat di sisi beliau untuk beliau balas.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/4/hal. 402-404/cet. Darush Shiddiq).

KETIGA:

JIHAD DI JALAN ALLOH عز وجل

            Alloh ta’ala berfirman:
]وَفَضَّلَ الله الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا * دَرَجَاتٍ مِنْهُ وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً وَكَانَ الله غَفُورًا رَحِيمًا[ [النساء/95، 96]
“Dan Alloh lebih mengutamakan para mujahidin di atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang agung, derajat-derajat di sisi-Nya, ampunan-Nya dan rohmat-Nya. Dan Alloh itu senantiasa Ghofur (Maha Pengampun) lagi Rohim (Maha Penyayang).”
            Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata:
قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم -: «من آمن بالله وبرسوله وأقام الصلاة وصام رمضان، كان حقا على الله أن يدخله الجنة جاهد فى سبيل الله، أو جلس فى أرضه التى ولد فيها». فقالوا: يا رسول الله أفلا نبشر الناس؟ قال: «إن فى الجنة مائة درجة أعدها الله للمجاهدين فى سبيل الله، ما بين الدرجتين كما بين السماء والأرض، فإذا سألتم الله فاسألوه الفردوس، فإنه أوسط الجنة وأعلى الجنة، أراه فوقه عرش الرحمن، ومنه تفجّر أنهار الجنة».
Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Barangsiapa beriman pada Alloh dan Rosul-Nya, menegakkan sholat dan berpuasa Romadhon, menjadi kewajiban atas Alloh untuk memasukkannya ke dalam Jannah, baik dia itu berjihad di jalan Alloh ataukah duduk di negrinya yang dia dilahirkan di situ.” Mereka berkata: Wahai Rosululloh, apakah tidak sebaiknya kami mengabari manusia dengan berita gembira ini?” Beliau bersabda:“Sesungguhnya di Jannah ada seratus derajat yang Alloh sediakan untuk para mujahidin di jalan Alloh, jarak antara dua derajat bagaikan antara langit dan bumi. Maka jika kalian minta pada Alloh, mintalah pada-Nya Firdaus, karena sungguh dia itu pertengahan Jannah dan yang tertingginya.” –aku kira beliau bersabda:- “atapnya adalah ‘Arsy Ar Rohman. Dan dari jannah tadi memancarnya sungai-sungai Jannah.”(HR. Al Bukhoriy (2790)).
            Dan jihad Muslimin yang paling agung pada hari ini adalah jihad dengan lisan dan pena terhadap seluruh pelaku kebatilan, sesuai dengan sarana yang memungkinkan. Dan tiada jalan ke situ kecuali dengan memperdalam ilmu agama Alloh ta’ala dan mengamalkannya serta berdakwah di jalan Alloh عز وجل.

KEEMPAT:

DZIKRULLOH TA’ALA

            Robbuna عز وجل berfirman:
]وَلَذِكْرُ الله أَكْبَرُ وَالله يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُون[ [العنكبوت/45]
“Dan benar-benar dzikrulloh itu lebih besar, dan Alloh mengetahui apa yang kalian kerjakan.”
Dari Abud Darda رضي الله عنه yang berkata:
قال النبى -صلى الله عليه وسلم-: «ألا أنبئكم بخير أعمالكم وأزكاها عند مليككم، وأرفعها فى درجاتكم وخير لكم من إنفاق الذهب والورق، وخير لكم من أن تلقوا عدوكم فتضربوا أعناقهم ويضربوا أعناقكم؟». قالوا: بلى. قال: «ذكر الله تعالى».
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Maukah kukabarkan pada kalian dengan amalan kalian yang terbaik, dan paling suci di sisi Raja kalian, dan paling tingginya di derajat-derajat kalian, dan lebih baik bagi kalian daripada menginfaqkan emas dan perak, dan lebih baik bagi kalian daripada kalian berjumpa dengan musuh kalian, lalu kalian memukul leher-leher mereka dan mereka memukul leher-leher kalian?” Mereka menjawab: “Tentu.” Beliau bersabda: “Dzikrulloh ta’ala.” (HR. Al Imam Ahmad (5/195), At Tirmidziy (3377/Ahwadzi), Ibnu Majah (37990) dan dishohihkan Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (1038)).
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan hadits ini adalah pemutus perkara dan perinci antara orang yang berdzikir dan orang yang berjihad, karena sesungguhnya orang yang berdzikir sekaligus berjihad, dia itu lebih baik daripada orang yang berdzikir tanpa berjihad, dan juga lebih baik daripada orang yang berjihad tapi lalai. Orang yang berdzikir tanpa jihad itu lebih baik daripada orang yang berjihad tapi lalai pada Alloh ta’ala. Maka sebaik-baik orang yang berdzikir adalah orang yang berjihad, dan sebaik-baik orang yang berjihad adalah orang yang berdzikir. Alloh ta’ala berfirman:
]يا أيها الذين آمنوا إذا لقيتم فئة فاثبتوا واذكروا الله كثيرا لعلكم تفلحون[
“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian berjumpa dengan suatu kelompok (musuh) maka teguhlah dan sebutlah Alloh sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.”
Maka Alloh memerintahkan mereka untuk berdzikir yang banyak dan berjihad secara bersamaan, agar mereka ada di atas harapan keberuntungan. Alloh ta’ala berfirman:
]يا أيها الذين آمنوا اذكروا الله ذكرا كثيرا[
“Wahai orang-orang yang beriman sebutlah Alloh sebanyak-banyaknya”
Dan Alloh ta’ala berfirman:
]والذاكرين الله كثيرا والذاكرات[
“Dan lelaki yang banyak-banyak menyebut nama Alloh, dan para perempuan yang menyebut nama Alloh”
Yaitu: banyak-banyak juga.
]فإذا قضيتم مناسككم فاذكروا الله كذكركم آباءكم أو أشد ذكراً[
“Maka jika kalian telah menunaikan manasik kalian maka sebutlah nama Alloh sebagaimana kalian menyebut bapak-bapak kalian, atau lebih keras lagi penyebutan-Nya.”
Maka di dalamnya ada perintah untuk berdzikir yang banyak dan keras, karena kerasnya kebutuhan hamba pada dzikir tersebut dan tidak mungkin dia itu tidak butuh pada dzikir sekejap matapun. Maka selang waktu apapun yang di situ hamba kosong dari dzikrulloh عز وجل maka itu adalah kerugian baginya, bukan keberuntungan baginya. Dan kerugiannya di situ lebih besar daripada keberuntungannya dalam kelalaiannya pada Alloh.” (“Al Wabilush Shoyyib”/hal. 78-79/cet. Maktabah Daril Bayan).
            Dari Abu Huroiroh  yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«إِنَّ الله مَلاَئِكَةً يَطُوفُونَ فِى الطُّرُقِ، يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ، فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ الله تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ. قَالَ: فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا. قَالَ: فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهْوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ: مَا يَقُولُ عِبَادِى؟ قَالُ: يَقُولُونَ: يُسَبِّحُونَكَ، وَيُكَبِّرُونَكَ، وَيَحْمَدُونَكَ، وَيُمَجِّدُونَكَ. قَالَ: فَيَقُولُ: هَلْ رَأَوْنِى؟ قَالَ: فَيَقُولُونَ: لاَ وَالله مَا رَأَوْكَ . قَالَ: فَيَقُولُ: وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِى؟ قَالَ: يَقُولُونَ: لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً، وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا، وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا. قَالَ: يَقُولُ: فَمَا يَسْأَلُونِى؟ قَالَ: يقولون: يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ. قَالَ: يَقُولُ: وَهَلْ رَأَوْهَا؟ قَالَ: يَقُولُونَ: لاَ وَالله يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا. قَالَ: يَقُولُ: فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا؟ قَالَ: يَقُولُونَ: لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا، وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا، وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً. قَالَ: فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ؟ قَالَ: يَقُولُونَ: مِنَ النَّارِ. قَالَ: يَقُولُ: وَهَلْ رَأَوْهَا؟ قَالَ: يَقُولُونَ: لاَ وَالله مَا رَأَوْهَا. قَالَ: يَقُولُ: فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا؟ قَالَ: يَقُولُونَ: لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا، وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً. قَالَ: فَيَقُولُ: فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ. قَالَ: يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ: فِيهِمْ فُلاَنٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ. قَالَ: هُمُ الْجُلَسَاءُ لاَ يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ».
“Sesungguhnya Alloh memiliki para malaikat yang berkeliling di jalan-jalan mencari ahli dzikr. Jika mereka menemukan suatu kaum yang sedang menyebut nama Alloh, merekapun saling memanggil: “Kemarilah kepada kebutuhan kalian.” Maka malaikat tadi mengelilingi mereka dengan sayap-sayap mereka sampai ke langit dunia. Maka Robb mereka bertanya pada mereka –padahal Dia lebih tahu daripada mereka-: “Apa yang diucapkan para hamba-Ku?” mereka menjawab: “mereka mensucikan Engkau, membesarkan Engkau, memuji Engkau, dan mengagungkan Engkau.” Alloh bertanya: “Apakah mereka melihat-Ku?” mereka menjawab,”Tidak, demi Alloh, mereka tidak melihat-Mu.” Alloh bertanya: “Bagaimana jika mereka melihat-Ku?” Mereka menjawab: “Seandainya mereka melihat-Mu niscaya mereka akan lebih keras beribadah kepada-Mu, lebih keras mengagungkan-Mu, dan lebih banyak mensucikan-Mu.” Alloh bertanya: “Lalu apa yang mereka minta dari-Ku?” mereka menjawab: “Mereka meminta kepada-Mu Jannah.” Alloh bertanya: “Apakah mereka melihat Jannah?” Mereka menjawab: “Tidak, demi Alloh wahai Robb, mereka tidak melihat Jannah.” Alloh bertanya: “Maka bagaimana jika mereka melihatnya?” mereka menjawab: “Seandainya mereka melihatnya pastilah mereka lebih keras lagi bersemangat kepadanya, dan lebih keras meminta, dan lebih besar lagi minat padanya.” Alloh bertanya: “Mereka berlindung dari apa?” mereka menjawab: “Dari neraka.” Alloh bertanya: “Apakah mereka melihatnya?” Mereka menjawab: “Tidak, demi Alloh, mereka tidak melihatnya.” Alloh bertanya: “Maka bagaimana jika mereka melihatnya?” mereka menjawab: “Seandainya mereka melihatnya pastilah mereka lebih keras lari darinya, dan lebih keras rasa takutnya padanya.” Maka Alloh berfirman: “Maka Aku persaksikan kalian bahwasanya Aku telah mengampuni mereka.” Seorang dari malaikat berkata: “Di kalangan mereka ada fulan yang bukan dari golongan mereka, dia cuma datang karena suatu kebutuhan.” Alloh berfirman: “Mereka adalah teman-teman duduk yang tidak akan celaka orang yang duduk-duduk dengan mereka.” (HR. Al Bukhoriy (6408)).
            Iya, orang yang menit-menit itu melewati dirinya tanpa berdzikir pada Alloh عز وجل akan menyesal. Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
«ما قعد قوم مقعدا لا يذكرون الله عز و جل ويصلون على النبي صلى الله عليه و سلم إلا كان عليهم حسرة يوم القيامة وان دخلوا الجنة للثواب».
“Tidaklah suatu kaum duduk di suatu tempat duduk, tidak menyebut nama Alloh عز وجل dan tidak bersholawat untuk Nabi صلى الله عليه وسلم kecuali hal itu akan menjadi penyesalan atas mereka pada hari kiamat, sekalipun mereka masuk Jannah, karena pahala (yang luput).” (HR. Al Imam Ahmad (9965) dan dishohihkan Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (1328)).

KELIMA:

BERSHOLAWAT UNTUK NABI صلى الله عليه وسلم

            ALloh ta’ala telah memerintahkan para hamba-Nya untuk bersholawat dan salam kepada Nabi صلى الله عليه وسلم . Alloh berfirman:
]إِنَّ الله وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا[ [الأحزاب/56]
“Sesungguhnya Alloh dan para malaikat-Nya bersholawat pada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bersholawatlah kalian kepadanya dan ucapkanlah salam dengan sebenar-benarnya.”
            Dan termasuk yang menunjukkan pada ketinggian derajat orang yang bersholawat pada Nabi صلى الله عليه وسلم adalah bahwasanya Anas bin Malik رضي الله عنه berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«من صلى علي صلاة واحدة صلى الله عليه عشر صلوات، وحطت عنه عشر خطيئات، ورفعت له عشر درجات».
“Barangsiapa bersholawat kepadaku satu kali, Alloh akan bersholawat untuknya sepuluh kali, dan sepuluh kesalahannya dihapuskan darinya, dan diangkat untuknya sepuluh derajat.” (“HR. Ahmad (11998) dan dihasankan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (89)).
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Tentang faidah dan buah yang dihasilkan dengan bersholawat pada beliau: yang pertama: melaksanakan perintah Alloh سبحانه وتعالى . Yang kedua: mencocoki Alloh سبحانه untuk bersholawat pada beliau, sekalipun kedua sholawat ini berbeda. Sholawat kita pada beliau adalah doa dan permintaan (pada Alloh untuk mencurahkannya untuk beliau). Sementara sholawat Alloh ta’ala pada beliau adalah pujian dan pemuliaan (untuk beliau), sebagaimana telah lalu. Yang ketiga: mencocoki malaikat-Nya untuk bersholawat pada beliau. Yang keempat: dihasilkannya sepuluh sholawat dari Alloh kepada orang yang bersholawat satu kali. Yang kelima: Alloh mengangkat sepuluh derajat. Keenam: Alloh mencatat untuknya sepuluh kebaikan. Ketujuh: Alloh menghapus darinya sepuluh kejelekan,…dst.” (“Jalail Afham”/hal. 521/cet. Dar ‘Alamil Fawaid).
            Dan harus diingat bahwasanya bersholawat pada Nabi صلى الله عليه وسلم itu merupakan bagian dari hak-hak beliau pada kita, bukan karena kita telah berjasa pada beliau dengan sholawat tadi. Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Ketigapuluh delapan: bahwasanya sholawat untuk beliau merupakan penunaian paling sedikit dari hak beliau, dan bersyukur untuk beliau atas nikmatnya yang Alloh karuniakan dengannya kepada kita, bersamaan dengan hak beliau yang tak terhitung secara ilmu, kemampuan dan keinginan, akan tetapi Alloh سبحانه karena kedermawanannya meridhoi dari para hamba-Nya sedikit dari syukur mereka kepada-Nya dan penunaian hak-Nya.” (“Jalail Afham”/hal. 534/cet. Dar ‘Alamil Fawaid).

 

KEENAM:

PENDAMAIAN DUA ORANG YANG BERTIKAI

            Dari Abud Darda رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسبم bersabda:
«ألا أخبركم بأفضل من درجة الصيام والصلاة والصدقة». قالوا: بلى. قال: «إصلاح ذات البين وفساد ذات البين الحالقة».
“Maukah kuberitahukan pada kalian amalan yang lebih utama daripada derajat puasa, sholat dan shodaqoh.” Mereka berkata: “Iya.” Beliau menjawab: “Pendamaian dua orang yang bertikai. Dan kerusakan hubungan dua orang merupakan pencukur.” (HR. Abu Dawud (4911/Aun), At Tirmidziy (2509/Ahwadzi), dan dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (1050)).
            Al ‘Allamah Al Mubarokfuriy رحمه الله berkata: Al Asyrof berkata: yang dimaksudkan dengan amalan yang tersebut tadi adalah nafilah (mustahabbah), bukan faroidh (kewajiban). Al Qori berkata: “Wallohu a’lam dengan maksudnya, karena terkadang tergambarkan bahwasanya pendamaian tadi berlaku pada kerusakan yang bercabang darinya pertumpahan darah, perampasan harta, perusakan kehormatan, hal itu lebih utama daripada kewajiban-kewajiban ibadah yang terbatas ini, bersamaan dimungkinkannya pembayaran kewajiban tadi jika sampai ditinggalkan, dan itu adalah termasuk dari hak Alloh yang dia itu lebih ringan di sisi Alloh سبحانه daripada hak-hak para hamba. Maka jika demikian, benarlah untuk dikatakan bahwasanya jenis amalan ini lebih utama daripada jenis tadi, karena sebagian individunya itu lebih utama, seperti: manusia lebih baik daripada malaikat, dan laki-laki lebih baik daripada perempuan.” (“Tuhfatul Ahwadzi”/7/hal. 255/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
Lalu beliau رحمه الله berkata: dalam “An Nihayah” pengarangnya berkata: pencukur adalah karakter yang bersifat mencukur, yaitu membinasakan dan menghabiskan agama, sebagaimana pisau cukur menghabiskan rambut.” –sampai pada ucapan beliau:- Ath Thibiy berkata: dalam hadits ini ada dorongan dan anjuran untuk mendamaikan dua pihak, dan menjauhi perusakan di dalamnya, karena perbaikan itu merupakan sebab berpegang teguhnya semua dengan tali Alloh dan tiadanya perpecahan di antara muslimin. Sementara kerusakan dua pihak itu merupakan keretakan dalam agama. Maka barangsiapa mengusahakan perbaikannya dan menghilangkan kerusakannya, dia akan mendapatkan derajat di atas derajat yang dicapai oleh orang yang berpuasa dan sholat yang sibuk dengan dirinya sendiri. Maka berdasarkan ini, seharusnya sholat dan puasa (yang tersebut dalam hadits tadi) dibawa kepada kemutlakannya, dan pencukur tadi dibawa kepada makna yang dibutuhkan oleh urusan agama.” (sumber yang sama).

 

KETUJUH: MEMPERBANYAK SUJUD

            Dari Abu Umamah  yang berkata: -dalam hadits yang panjang, di dalamnya:-
يا رسول الله أمرتنا بالصيام فأرجو أن يكون قد بارك الله لنا فيه، يا رسول الله فمرني بعمل آخر قال: «اعلم أنك لن تسجد لله سجدة إلا رفع الله لك بها درجة، وحط عنك بها خطيئة».
“Wahai Rosululloh, Anda telah memerintahkan kami untuk berpuasa, maka saya berharap Alloh telah memberkahi kami di dalamnya. Wahai Rosululloh, maka perintahkanlah kami dengan amalan yang lain.” Maka beliau bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya engkau tidaklah dirimu bersujud untuk Alloh satu kali, kecuali Alloh akan mengangkat untukmu dengannya satu derajat, dan menghapuskan darimu dengannya satu kesalahan.” (HR. Ahmad (22141) dan dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (488)).
            Dari Mi’dan bin Abi Tholhah Al Ya’muriy yang berkata: “Aku berjumpa dengan Tsauban pembantu Rosululloh صلى الله عليه وسلم , maka kukatakan padanya: kabarilah saya dengan suatu amalan yang jika saya mengamalkannya, Alloh akan memasukkan saya dengannya Jannah. Atau berkata: dengan amalan yang paling disukai oleh Alloh. Maka beliau diam. Lalu saya tanya lagi, ternyata beliau diam. Lalu saya bertanya pada kali yang ketiga, maka beliau berkata: Aku bertanya tentang itu pada Rosululloh صلى الله عليه وسلم maka beliau menjawab:
«عليك بكثرة السجود لله، فإنك لا تسجد لله سجدة إلا رفعك الله بها درجة، وحط عنك بها خطيئة»
“Engkau harus memperbanyak sujud untuk Alloh, karena sungguh tidaklah engkau bersujud satu kali untuk Alloh, kecuali Alloh akan mengangkat untukmu dengannya satu derajat, dan menghapuskan darimu dengannya satu kesalahan.”
Mi’dan berkata: kemudian aku berjumpa dengan Abud Darda رضي الله عنه lalu kutanya beliau, maka beliau menjawabku seperti apa yang diucapkan Tsauban padaku.” (HR. Muslim (488)).
            Dan dari Robi’ah bin Ka’ab Al Aslamiy رضي الله عنه yang berkata:
كنت أبيت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فأتيته بوضوئه وحاجته، فقال لي: «سل» فقلت: أسألك مرافقتك في الجنة. قال: «أو غير ذلك؟» قلت: هو ذاك. قال: «فأعني على نفسك بكثرة السجود».
“Aku pernah bermalam bersama Rosululloh صلى الله عليه وسلم maka aku mendatangkan wudhu untuk beliau dan kebutuhan beliau. Maka beliau berkata padaku: “Mintalah sesuatu.” Maka aku menjawab: “Saya minta bisa menemani Anda di Jannah.” Beliau bertanya: “Atau permintaan yang lain?” Aku menjawab: “Itu saja.” Maka beliau bersabda: “Maka bantulah aku untuk dirimu sendiri dengan banyaknya sujud.” (HR. Muslim (489)).
            Dari Al Ahnaf bin Qois رحمه الله yang berkata:
دخلت بيت المقدس فوجدت فيه رجلا يكثر السجود فوجدت في نفسي من ذلك. فلما انصرف قلت: أتدري على شفع انصرفتَ أم على وتر؟ قال: إن أك لا أدري فإن الله عز و جل يدرى، ثم قال: أخبرني حبّي أبو القاسم صلى الله عليه وسلم، ثم بكى. ثم قال: أخبرني حبّي أبو القاسم صلى الله عليه وسلم، ثم بكى. ثم قال: أخبرني حبّي أبو القاسم صلى الله عليه وسلم أنه قال: «ما من عبد يسجد لله سجدة إلا رفعه الله بها درجة، وحط عنه بها خطيئة، وكتب له بها حسنة». قال: قلت: أخبرني من أنت يرحمك الله؟ قال: أنا أبو ذر صاحب رسول الله صلى الله عليه وسلم. فتقاصرتُ إلي نفسي.
“Aku masuk ke Baitul Maqdis, lalu aku dapati di situ seseorang yang memperbanyak sujud. Maka aku merasakan sesuatu dalam diriku terhadap perbuatan itu. Ketika dia berpaling, kukatakan padanya: “Tahukah engkau, engkau itu berpaling berdasarkan bilangan genap ataukah berpaling berdasarkan bilangan ganjil?” Dia menjawab: “Jika aku tidak tahu, maka sesungguhnya Alloh عز وجل tahu.” Lalu dia berkata: “Orang yang kucintai, Abul Qosim صلى الله عليه وسلم, mengabariku.” Lalu dia menangis. Lalu dia berkata: “Orang yang kucintai, Abul Qosim صلى الله عليه وسلم, mengabariku.” Lalu dia menangis. dia berkata: “Orang yang kucintai, Abul Qosim صلى الله عليه وسلم, mengabariku bahwasanya beliau bersabda: “Tiada seorang hambapun yang bersujud untuk Alloh satu kali kecuali Alloh mengangkatnya dengan itu satu derajat, dan menghapus darinya dengan itu satu kesalahan, dan mencatat untuknya dengan itu satu kebaikan.” Maka kutanya dia: “Kabarilah saya, siapakah Anda, semoga Alloh merohmati Anda?” beliau menjawab: “Aku adalah Abu Dzarr, sahabat Rosululloh صلى الله عليه وسلم .” Maka akupun merasa rendah diri. (HR. Al Imam Ahmad (21452) dan dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (271)).
            Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Di dalam hadits itu ada dorongan untuk memperbanyak sujud, dan anjuran untuk itu. Dan yang dimaksud dengannya adalah sujud dalam sholat. Dan di dalamnya ada dalil bagi orang yang berpendapat bahwasanya memperbanyak sujud itu lebih utama daripada memperpanjang berdiri. Dan masalah ini telah lewat, dan perselisihan di dalamnya pada bab sebelum ini. Dan sebab dari dorongan tersebut adalah hadits yang telah lewat:
«أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد»
“Keadaan seorang hamba yang paling dekat dengan Robbnya adalah dalam keadaan dia itu sujud.” [HR. Muslim (482)].
Dan itu mencocoki firman Alloh ta’ala:
]واسجد واقترب[
“Dan sujudlah dan mendekatlah.”
Karena sujud itu adalah puncak ketawadhu’an dan peribadatan untuk Alloh ta’ala. Di di dalamnya ada peletakan anggota badan manusia yang paling mulia dan paling tinggi yaitu wajahnya, ke tanah yang diinjak dan dihinakan. Wallohu a’lam.” (“Al Minhaj”/3/hal. 451/cet. Darul Qolam).
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Sujud adalah rahasia sholat dan rukunnya yang paling agung, dan penutup rekaat. Rukun-rukun yang sebelumnya itu bagaikan pembukaan untuknya, maka dia itu seperti thowaf ziyaroh dalam haji, karena dia itu adalah maksud dari haji dan tempat masuk kepada Alloh dan berziaroh kepada-Nya. Yang sebelumnya itu bagaikan pembukaan untuknya. Karena itulah beliau bersabda: “Keadaan seorang hamba yang paling dekat dengan Robbnya adalah dalam keadaan dia itu sujud.”
Dan keadaan yang paling utama untuknya adalah keadaan di mana dirinya paling dekat kepada Alloh. Oleh karena itulah doa di tempat ini paling dekat untuk dikabulkan.
Dan manakala Alloh سبحانه menciptakan hamba dari tanah, maka pantaslah untuk tidak keluar dari asilnya, bahkan kembali kepadanya jika tabiat dan nafsunya menuntut untuk keluar darinya. Karena sesungguhnya hamba itu jika tabiatnya dan dorongan nafsunya dibiarkan, pastilah dirinya akan menyombongkan diri, berbuat jahat dan keluar dari aslinya yang dirinya diciptakan darinya, dan pastilah dia akan melompat kepada hak Robbnya yang berupa kesombongan dan keagungan, berusaha merebutnya dari Alloh. Dan dirinya diperintahkan untuk sujud untuk merendahkan diri pada keagungan Robbnya dan penciptanya, dan khusyu’ dan menghinakan diri di hadapan-Nya, merasa patah hati untuk-Nya. Maka jadilah kekhusyu’an, ketundukan dan penghinaan diri ini sebagai bentuk pengembalian dirinya kepada hukum peribadatan, dan untuk menyusuli ketergelinciran, kelalaian dan keberpalingan dirinya yang dengan itu dia tadi keluar dari asalnya. Maka tergambarkanlah untuknya hakikat tanah yang dirinya diciptakan darinya, dan dia meletakkan anggota badannya yang paling mulia dan paling tinggi yaitu wajahnya, dan jadilah bagian yang paling tinggi menjadi bagian yang paling rendah sebagai ketundukan di hadapan Robbnya yang tertinggi, dan kekhusyu’an untuknya, dan penghinaan diri pada keagungan-Nya dan kerendahan diri pada kemuliaan-Nya. Dan ini adalah puncak kekhusyu’an zhohir.”
Lalu beliau رحمه الله berkata: “Dan sujud adalah rukun fi’liyyah sholat yang paling utama, dan rahasia sholat yang sholat itu disyariatkan untuk itu. Terulangnya sujud dalam sholat lebih banyak daripada terulangnya seluruh rukun, dan Alloh menjadikan sujud sebagai penutup rekaat dan puncak rekaat. Sujud itu disyariatkan setelah ruku’, karena ruku’ adalah permulaan dan pembukaan sebelum sujud. Di dalamnya disyariatkan pujian pada Alloh yang mencocoki sujud, yaitu ucapan hamba: (سبحان ربي الأعلى) “Mahasuci Robbku Yang Mahatinggi.” Maka ini adalah dzikir yang paling utama diucapkan dalam sujud,…dst.’ (“Sholat Wa Hukmu Tarikiha”/hal. 179-182).

SISIPAN:

Sesungguhnya ahli tauhid dan fithroh dalam sujudnya berkata –dengan keyakinan sebagaimana ucapan Rosululloh صلى الله عليه وسلم :
«سبحان ربي الأعلى».
“Mahasuci Robbku Yang Mahatinggi.” (HR. Muslim (772) dari Hudzaifah رضي الله عنه).
Adapun orang yang terfitnah oleh ilmu kalam, maka dia tidak meyakini bahwasanya Alloh itu Mahatinggi dzat-Nya. Al Imam Ibrohim bin Muhammad bin ‘Arofah An Nahwiy رحمه الله menulis kitab “Ar Roddu ‘Alal Jahmiyyah” dan menceritakan di situ dari Ibnul A’robiy, lalu berkata: dan aku mendengar Dawud bin Ali berkata: “Dulu (Bisyr) Al Marisiy, semoga Alloh tidak merohmatinya, berkata: (سبحان ربي الأسفل) “Mahasuci Robbku Yang Maharendah.” Dan ini adalah kebodohan dari orang yang mengucapkannya, dan bantahan terhadap nash Al Kitab padahal Alloh berfirman:
]أأمِنْتُم منْ في السّماء[
“Apakah kalian merasa aman dari Yang ada di langit?” (Surat Al Mulk ayat 16).
(dinukilkan oleh Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله dalam “Ijtima’ul Juyusyil Islamiyyah”/hal. 266/cet. Maktabatur Rusyd).
Ini merupakan bagian dari akibat buruk dari mencari kebenaran dari selain Al Qur’an As Sunnah dan manhaj Salaf. Al Imam Ibnu Abil ‘Izz رحمه الله menceritakan tentang Bisyr Al Marisiy bahwasanya didengar dirinya berkata dalam sujudnya: (سبحان ربي الأسفل) “Mahasuci Robbku Yang Maharendah.”
Mahatinggi Alloh dari apa yang diucapkan oleh orang-orang yang zholim dan menentang, dengan ketinggian yang besar, dan bahwasanya orang yang peniadaannya itu menyampaikan dirinya pada keadaan macam ini, pantas saja untuk menjadi zindiq (munafiq I’tiqodiy), jika Alloh tidak menyusulinya dengan rohmat-Nya. Dan jauh sekali kebaikan dari orang yang semisal ini. Alloh ta’ala berfirman:
]وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ[
“Dan Kami bolak-balikkan hati-hati dan mata-mata mereka sebagaimana mereka dulu tidak beriman pada kali yang pertama.”
]فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ الله قُلُوبَهُمْ[.
“Maka manakala mereka menyimpang, Alloh simpangkan hati-hati mereka.”
Maka barangsiapa tidak mencari taufiq dari tempatnya, dia akan dihukum dengan dihalangi dari taufiq tadi. kita mohon pada Alloh maaf dan keselamatan.” (“Syarhul ‘Aqidatith Thohawiyyah”/hal. 272-273/cet. Dar Ibni Hazm).
            Maka umat ini harus diperingatkan dari kebid’ahan, terutama ilmu kalam dan filsafat, dan dinasihati agar berpegang dengan Al Qur’an As Sunnah berdasarkan manhaj Salaf.
Fadhilatusy Syaikh Ahmad An Najmiy رحمه الله berkata: “Dan demi Alloh, tak akan kembali kepada muslimin pertolongan untuk mereka dan kemuliaan mereka, kecuali jika mereka kembali kepada mata air yang bersih dan sumber air yang segar serta salsabil yang melimpah, yaitu Kitabulloh yang terang dan tali-Nya yang kokoh serta jalan-Nya yang lurus, kemudian As Sunnah, atsar dan jalan Salaf yang terbaik dari kalangan Shohabat Nabi صلى الله عليه وسلم dan orang yang mengikuti mereka di atas petunjuk di zaman-zaman yang telah lalu dan sekarang, dari seluruh penjuru. Dan inilah yang Alloh عز وجل perintahkan yang mana Dia berfirman:
]وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا واتقوا الله إن الله شديد العقاب[
“Dan apa saja yang dibawa oleh Rosul maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya maka berhentilah darinya. Dan bertaqwalah pada Alloh, sesungguhnya Alloh itu keras siksaan-Nya.”
(“Al Mauridul ‘Adzbiz Zulal”/hal. 291).
            Saya katakan: bukanlah Romadhon itu menjadi sebab tidak adanya peperangan terhadap kebid’ahan dan penyimpangan, karena para pengekor hawa nafsu juga tidak surut di bulan Romadhon dalam menyebarkan racun ke muslimin. Bahkan perang Badr dan Fathu Makkah itu terjadi di bulan Romadhon.

KEDELAPAN:

MEMBACA AL QUR’AN DAN MEMIKIRKAN MAKNA-MAKNANYA

            Alloh ta’ala berfirman:
]وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ مُصَدِّقُ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَلِتُنْذِرَ أُمَّ الْقُرَى وَمَنْ حَوْلَهَا[ [الأنعام/92]
“Dan ini adalah kitab yang Kami turunkan, diberkahi dan membenarkan kitab yang sebelumnya, dan agar engkau memberikan peringatan pada Ummul Quro (Mekkah) dan orang yang di sekitarnya.”
Alloh سبحانه berfirman:
]وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ[ [الأنعام/155]
“Dan ini adalah kitab yang Kami turunkan, diberkahi, maka ikutilah dia dan bertaqwalah agar kalian dirohmati.”
Dan Alloh جل ذكره berfirman:
]كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ[ [ص/29]
“Kitab yang Kami turunkan kepadamu, yang diberkahi, agar mereka memikirkan ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang punya mata hati menjadi sadar.”
Alloh عز وجل berfirman:
]أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ الله لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا[ [النساء/82]
“Maka apakah mereka tidak memikirkan Al Qur’an? Andaikata Al Qur’an itu datang dari sisi selain Alloh, pastilah mereka akan mendapati di situ perselisihan yang banyak.”
Alloh سبحانه berfirman:
]أفلا يتدبرون القرآن أم على قلوب أقفالها[ [محمد: 24] .
Maka apakah mereka tidak memikirkan Al Qur’an ataukah di atas hati mereka ada gemboknya?” (QS. Muhammad: 24).
            Dan di antara yang menunjukkan ketinggian derajat ahli Al Qur’an adalah: hadits dari ‘Amir bin Watsilah رضي الله عنه bahwasanya Nafi’ bin Abdil Harits berjumpa dengan Umar di ‘Usfan. Dan Umar mempekerjakannya sebagai wali Mekkah.
فقال: من استعملت على أهل الوادي؟ فقال: ابن أبزى قال: ومن ابن أبزى؟ قال: مولى من موالينا. قال: فاستخلفت عليهم مولى؟ قال: إنه قارئ لكتاب الله عز وجل، وإنه عالم بالفرائض. قال عمر: أما إن نبيكم صلى الله عليه وسلم قد قال: «إن الله يرفع بهذا الكتاب أقواما ويضع به آخرين».
Umar bertanya: “Siapakah yang engkau jadikan sebagai wali penduduk wadi itu (Makkah)?” dia menjawab: “Ibnu Abza.” Umar bertanya: “Siapakah Ibnu Abza?” dia menjawab: “Bekas budak kami.” Umar bertanya: “Engkau menjadikan bekas budak sebagai pemimpin mereka?” dia menjawab: “Sesungguhnya dia itu pembaca Kitabulloh عز وجل dan alim dalam hukum warisan.” Umar berkata: “Ketahuilah sesungguhnya Nabi kalian صلى الله عليه وسلم telah bersabda: “Sesungguhnya Alloh mengangkat dengan kitab ini beberapa kaum, dan merendahkan dengannya kaum yang lain.” (HR. Muslim (817)).
            Dan dari Abdulloh bin Amr رضي الله عنهما yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا»
“Dikatakan pada ahli Al Qur’an: bacalah dan naiklah, dan bacalah dengan tenang sebagaimana dulu engkau membaca dengan tenang di dunia, karena sesungguhnya kedudukanmu ada di akhir ayat yang engkau baca.” (HR. Abu Dawud (1461), At Tirmidziy (2914), dan dihasankan oleh Al Imam Al Albaniy رحمه الله sebagaimana dalam “Al Misykah” (2134/Maktabatul Islamiy) dan Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (792/Darul Atsar)).
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan ini mengandung dua kemungkinan: bisa jadi kedudukannya di akhir hapalannya, dan bisa jadi di akhir bacaannya yang terjaga. Wallohu a’lam.” (“Hadil Arwah”/hal. 84/cet. Maktabah ‘ibadirrohman).
            Beliau juga berkata: “Dan ini jelas bahwasanya tingkatan-tingkatan di Jannah itu lebih dari seratus derajat.” (“Hadil Arwah”/hal. 98/cet. Maktabah ‘ibadirrohman).
            Al Imam Abuth Thoyyib رحمه الله berkata: “Dikatakan” yaitu ketika masuk Jannah, “pada ahli Al Qur’an”: yaitu orang yang senantiasa membaca Al Qur’an dan mengamalkannya, bukan orang yang hanya membaca tapi tidak mengamalkannya. “bacalah dan naiklah” yaitu: kepada derajat-derajat Jannah atau tingkatan-tingkatan kedekatan (dengan Alloh), “dan bacalah dengan tenang” yaitu: jangan tergesa-gesa dalam membacanya di Jannah yang mana itu adalah untuk bersenang-senang saja dan persaksian yang terbesar, seperti ibadah para malaikat, “sebagaimana dulu engkau membaca dengan tenang” yaitu: dalam bacaanmu. Dan di sini ada isyarat bahwasanya balasan itu sesuai dengan amalan, secara jumlah dan tata caranya. “di dunia” yaitu: berupa memperbagus bacaan huruf dan mengetahui tempat perhentian.”
Beliau رحمه الله juga berkata: “Dan diambil dari hadits ini bahwasanya pahala yang paling agung ini tidak dicapai kecuali oleh orang yang menghapal Al Qur’an, memantapkan penunaiannya dan bacaannya sebagaimana seharusnya.”
Beliau رحمه الله juga berkata: “Ath Thibiy berkata: sesungguhnya kenaikan dirinya itu berlangsung terus sebagaimana bacaannya di penghujung mushaf menyerunya untuk membuka lagi bacaan yang tidak putus-putus, demikian pula bacaan dan kenaikan ini di posisi-posisi yang tiada batasnya. Dan bacaan ini bagi mereka seperti tasbih bagi malaikat, yang tidak menyibukkan mereka dari kesenangan-kesenangan mereka, bahkan bacaan ini adalah kesenangan mereka yang terbesar.”
Beliau رحمه الله juga berkata: “Sebagian ulama berkata: sesungguhnya orang yang mengamalkan Al Qur’an seakan-akan dia itu terus-menerus membaca Al Qur’an sekalipun dia tidak membacanya. Dan orang yang tidak mengamalkan Al Qur’an seakan-akan dia itu tidak membaca Al Qur’an sekalipun dia terus-terusan membacanya. Alloh ta’ala berfirman:
]كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ[ [ص/29]
“Kitab yang Kami turunkan kepadamu, yang diberkahi, agar mereka memikirkan ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang punya mata hati menjadi sadar.”
Maka sekedar bacaan dan hapalan itu tidak teranggap dengan nilai yang menyebabkan tingginya tingkatan-tingkatan baginya di Jannah yang tinggi.” (lihat semua di “Aunul Ma’bud”/di bawah no. (1461)/cet. Darul Kutubil ‘ilmiyyah).
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Maksudnya adalah: tilawah yang haqiqi adalah tilawatul ma’na dan mengikutinya dengan membenarkan beritanya, melaksanakan perintahnya, dan berhenti dari larangannya, dan mengikutinya, ke manapun dia membimbingmu, engkau mengikutinya. Maka tilawatul Qur’an itu mencakup tilawatul lafzh dan tilawatul ma’na. dan tilawatul ma’na itu lebih mulia daripada sekedar tilawatul lafzh. Dan pelaku tilawatul ma’na itulah ahli Al Qur’an yang mendapatkan pujian di dunia dan akhirat, karena sungguh mereka itu adalah ahli tilawah dan ahli mutaba’ah yang sejati.” (“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 57/cet. Al Maktabatul ‘Ashriyyah).
Maka kita harus memperhatikan Al Qur’an, terutama di bulan Romadhon yang Alloh ta’ala berfirman tentangnya:
]شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ[ [البقرة/185].
“Bulan Romadhon yang diturunkan di dalamnya Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan dari petunjuk dan pembeda.”
            Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: -dalam hadits panjang, di antaranya:-
وما اجتمع قوم في بيت من بيوت الله يتلون كتاب الله ويتدارسونه بينهم إلا نزلت عليهم السكينة وغشيتهم الرحمة وحفتهم الملائكة وذكرهم الله فيمن عنده ومن بطأ به عمله لم يسرع به نسبه.
“Dan tidaklah suatu kaum berkumpul di suatu rumah dari rumah-rumah Alloh, mereka membaca Kitabulloh dan saling mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, rohmat meliputi mereka, dan para malaikat mengelilingi mereka, dan Alloh menyebut-nyebut mereka di kalangan makhluk yang di sisi-Nya. Dan barangsiapa amalannya lambat, nasabnya tak bisa mempercepatnya.” (HR. Muslim (2699)).
            Dari Abu Musa Al Asy’ariy رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«مثل المؤمن الذى يقرأ القرآن كمثل الأترجة ، ريحها طيب وطعمها طيب ، ومثل المؤمن الذى لا يقرأ القرآن كمثل التمرة لا ريح لها وطعمها حلو ، ومثل المنافق الذى يقرأ القرآن مثل الريحانة ، ريحها طيب وطعمها مر ، ومثل المنافق الذى لا يقرأ القرآن كمثل الحنظلة ، ليس لها ريح وطعمها مر».
“Permisalan mukmin yang membaca Al Qur’an itu seperti Utrujah, aromanya harum, rasanya lezat. Permisalan mukmin yang tidak membaca Al Qur’an itu seperti kurma, tak punya aroma, tapi rasanya manis. Permisalan munafiq yang membaca Al Qur’an itu seperti Roihanah, aromanya harum, tapi rasanya pahit. Permisalan munafiq yang tidak membaca Al Qur’an itu seperti Hanzholah, tak punya bau, dan rasanya pahit.”(HR. Al Bukhoriy (5427) dan Muslim (797)).
            Dan Nabi صلى الله عليه وسلم mendorong untuk mencontoh Nabiyyulloh Dawud عليه السلام tentang banyaknya bacaan qur’an beliau, yaitu Zabur. Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه , dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
«خفف على داود عليه السلام القرآن ، فكان يأمر بدوابه فتسرج ، فيقرأ القرآن قبل أن تسرج دوابه ، ولا يأكل إلا من عمل يده».
“Diringankan kepada Dawud عليه السلام Al Qur’an, beliau itu biasa memerintahkan agar tunggangannya diberi pelana, lalu beliau membaca Al Qur’an sebelum pelana itu dipasang ke tunggangannya. Dan beliau tidak makan kecuali dari hasil kerja tangan beliau.” (HR. Al bukhoriy (3417)).

KESEMBILAN:

AKHLAQ YANG BAIK

            Dari Abu Umamah رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِى رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا وَبِبَيْتٍ فِى وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا، وَبِبَيْتٍ فِى أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ».
“Aku menjamin dengan rumah di jannah yang bawah bagi orang yang meninggalkan perdebatan sekalipun dia itu benar. Dan aku menjamin dengan rumah di jannah yang tengah bagi orang yang meninggalkan kedustaan sekalipun sedang bercanda. Dan aku menjamin dengan rumah di jannah yang paling atas bagi orang yang memperbagus akhlaqnya.” (HR. Abu Dawud (4792), hasan lighoirih. Lihat “Ash Shohihah” no. (273)/Maktabatul Ma’arif).
            Al Imam Syamsul Haqq Abuth Thoyyib رحمه الله berkata: yaitu dia meninggalkan perdebatan, dalam rangka mematahkan jiwanya sendiri agar tidak mengangkat dirinya sendiri di atas lawannya dengan penampilan keutamaannya.” (“Aunul Ma’bud”/13/hal. 109/cet. Darul kutubil ‘Ilmiyyah).
            Dari Abud Darda رضي الله عنه yang berkata: Aku mendengar Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«مَا مِنْ شَىْءٍ يُوضَعُ فِى الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلاَةِ ».
“Tiada sesuatupun yang diletakkan di timbangan lebih berat daripada akhlaq yang baik, dan sesungguhnya pemilik akhlaq yang baik benar-benar mencapai dengannya derajat pelaku puasa dan sholat.” (HR. At Tirmidziy (2003) dan Abu dawud (4788/Aun), untuk baris kedua dari Aisyah رضي الله عنها. Dan Diriwayatkan Abu Dawud (4789/Aun) untuk baris pertama dari Abud Darda رضي الله عنه, dan dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (1037)).
            Al Imam Abuth Thoyyib رحمه الله berkata: “derajat pelaku puasa dan sholat” yaitu: orang yang sholat malam dalam ketaatan. Dan hanyalah pemilik akhlaq yang baik diberi karunia yang agung ini karena orang yang puasa dan sholat malam itu memerangi dirinya sendiri dalam menyelisihi pamrih pribadi. Adapun orang yang memperbagus akhlaqnya bersama manusia, bersamaan dengan perbedaan tabiat dan akhlaq mereka, seakan-akan dirinya itu sedang memerangi jiwa yang banyak , maka dia mendapatkan apa yang didapatkan orang yang puasa dan sholat, sehingga seimbanglah derajatnya, bahkan bisa jadi lebih tinggi.” (“Aunul Ma’bud”/13/hal. 107/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
            Maka akhlaq yang baik adalah termasuk dari ketinggian akhlaq kenabian. Alloh ta’ala berfirman pada Nabi-Nya:
]وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ[ [القلم/4]
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas akhlaq yang agung.”
Dan termasuk dari akhlaq yang baik adalah: ucapan yang baik di posisinya yang tepat. Alloh ta’ala berfirman:
]وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ لَا تَعْبُدُونَ إِلَّا الله وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ[ الآية [البقرة/83]
“Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian yang teguh dari Bani Isroil: kalian tidak beribadah kecuali hanya kepada Alloh, dan berbuat baik pada kedua orang tua, dan sanak kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan berkatalah kepada manusia dengan ucapan yang baik, dan tegakkanlah sholat, dan bayarlah zakat.”
            Alloh ta’ala berfirman:
]وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا[  [الفرقان/63]
“Dan para hamba Ar Rohman adalah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan tenang dan rendah hati, dan jika orang-orang bodoh berkata jelek pada mereka, mereka menjawab dengan keselamatan (memaafkan dan tidak mengucapkan yang jelek pula).”
Dan termasuk dari akhlaq yang baik adalah: kelembutan yang dilatakkan pada tempatnya.
Dari ‘Aisyah رضي الله عنها istri Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«يا عائشة إن الله رفيق يحب الرفق، ويعطي على الرفق ما لا يعطي على العنف، وما لا يعطي على ما سواه».
“Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Alloh itu Lembut, menyukai kelembutan, dan Dia memberi berdasarkan kelembutan sesuatu yang tidak diberikan berdasarkan kebengisan, dan sesuatu yang tidak diberikan-Nya berdasarkan yang lainnya.” (HR. Muslim (2593)).
Peringatan:
Memperingatkan umat dari pengekor hawa nafsu dan kebatilan itu bukanlah merupakan akhlaq yang jelek. Bahkan ini merupakan kesetiaan pada Alloh, pada kitab-Nya, pada Rosul-Nya, dan nasihat untuk seluruh muslimin, sebagaimana dalam hadits Tamim Ad Dariy رضي الله عنه. Maka rujuklah penjelasannya dalam “Al Minhaj” karya Al Imam An Nawawiy رحمه الله dan yang lainnya.
            Al Imam Adz Dzahabiy رحمه الله berkata: “Maka renungkanlah kalimat yang lengkap cakupannya ini, yaitu sabda beliau: “Agama itu nasihat”. Maka barangsiapa tidak memberikan kesetiaan untuk Alloh dan tidak memberikan nasihat untuk para pemimpin dan orang awam, maka dia itu orang yang agamanya kurang. Dan engkau jika diseru: “Wahai orang yang agamanya kurang” pasti engkau akan marah. Maka katakanlah padaku: “Kapankah engkau akan menasihati mereka?” sama sekali tidak, demi Alloh. Bahkan andaikata engkau itu diam dan tidak bicara (itu lebih mendingan). Bukankah engkau memperbagus kebatilan di hadapan pemimpinmu? Dan engkau membikinnya lancang untuk berbuat kezholiman dan engkau menipunya? Maka karena itu engkaupun jatuh di matanya, dan di mata-mata mukminin. Maka demi Alloh, katakanlah padaku: “Kapankah akan beruntung orang yang merasa gembira dengan perkara yang membahayakannya? Dan kapankah akan beruntung orang yang tidak merasa diawasi oleh Tuannya? Dan kapankah akan beruntung orang yang telah dekat dengan tempat tinggalnya, dan generasinya telah punah, tapi perbuatannya dan ucapannya buruk?” Maka apa yang dikehendaki Alloh pasti terjadi, dan kami tidak mengharapkan bagusnya ahli zaman ini, tapi kami tidak meninggalkan doa, semoga Alloh berbuat lembut, dan memperbaiki kita. Amin.” (“Siyar A’lamin Nubala”/11/hal. 500/Ar Risalah).
            Demikian pula sikap keras terhadap orang yang berhak mendapatkannya bukanlah merupakan akhlaq yang jelek. Dan dalil-dalil tentang bab ini banyak, di antaranya adalah:
Abu Huroiroh رضي الله عنه berkata:
أَنَّ رَسُولَ الله – صلى الله عليه وسلم – قَضَى فِى امْرَأَتَيْنِ مِنْ هُذَيْلٍ اقْتَتَلَتَا ، فَرَمَتْ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى بِحَجَرٍ ، فَأَصَابَ بَطْنَهَا وَهْىَ حَامِلٌ ، فَقَتَلَتْ وَلَدَهَا الَّذِى فِى بَطْنِهَا فَاخْتَصَمُوا إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَضَى أَنَّ دِيَةَ مَا فِى بَطْنِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ أَوْ أَمَةٌ ، فَقَالَ وَلِىُّ الْمَرْأَةِ الَّتِى غَرِمَتْ كَيْفَ أَغْرَمُ يَا رَسُولَ الله مَنْ لاَ شَرِبَ ، وَلاَ أَكَلَ ، وَلاَ نَطَقَ ، وَلاَ اسْتَهَلَّ ، فَمِثْلُ ذَلِكَ يُطَلّ فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّمَا هَذَا مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ » (أخرجه البخارى (5758) ومسلم (4485)).
“Bahwasanya Rosululloh r pernah memutuskan kasus dua orang wanita dari Hudzail yang baku bunuh, salah satunya melempar lawannya dengan batu dan mengenai perutnya –dalam keadaan dia hamil-. Tewasnya janin yang ada di dalam perutnya. Merekapun berselisih di hadapan Nabi صلى الله عليه وسلم. Beliau memutuskan kewajiban untuk membayar diyat janin tersebut berupa pembayaran dengan budak laki-laki atau perempuan. Maka berkatalah wali perempuan yang terkena denda,”Wahai Rosululloh, bagaimana janin yang belum bisa minum itu mendatangkan denda? Dia itu belum bisa makan, belum bisa bicara ataupun melengking. Dan yang seperti itu adalah batal.” Maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda tentang orang itu: “Orang ini hanyalah saudaranya dukun.” (HSR Al Bukhori/ 5758 dan Muslim/ 4485).
Dari Al Ma’rur dari Abu Dzarr رضي الله عنه aku melihat dia pakai satu selendang, dan pembantunya juga pakai satu selendang. Maka kukatakan pada beliau: Seandainya Anda mengambil selendangnya lalu Anda memakainya, jadilah hullah. Dan Anda bisa memberinya baju yang lain. Maka beliau menjawab:
كان بينى وبين رجل كلام، وكانت أمه أعجمية، فنلت منها فذكرني إلى النبى – صلى الله عليه وسلم – فقال لى: «أساببت فلانا». قلت: نعم. قال: «أفنلت من أمه». قلت: نعم. قال: «إنك امرؤ فيك جاهلية». قلت: على حين ساعتى هذه من كبر السن؟ قال: «نعم، هم إخوانكم، جعلهم الله تحت أيديكم، فمن جعل الله أخاه تحت يده فليطعمه مما يأكل، وليلبسه مما يلبس، ولا يكلفه من العمل ما يغلبه، فإن كلفه ما يغلبه فليعنه عليه».
“Dulu pernah terjadi perselisihan antara diriku dan seseorang, dan ibunya itu a’jamiyyah. Maka aku mencaci ibunya juga. Maka aku dilaporkan pada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau bersabda padaku: “Apakah engkau beradu cacian dengan si fulan?” Aku menjawab: “Iya”. Beliau bertanya: “Lalu engkau mencaci ibunya juga?” Aku menjawab: “Iya”. Beliau bersabda: “Engkau adalah seseorang yang di dalam dirimu ada sifat jahiliyyah.” Aku bertanya: “Di saat ini dengan tuanya usia saya ini?” beliau menjawab: “Iya. Mereka adalah saudara-saudara kalian, Alloh menjadikan mereka ada di bawah tangan kalian. Maka barangsiapa Alloh jadikan saudaranya ada di bawah tangannya, maka hendaknya dia memberinya makan dari apa yang dimakannya, dan hendaknya dia memberinya pakaian dari apa yang dipakainya, dan janganlah memberinya beban amal yang tak kuat dipikulnya. Jika dia memberinya beban amal yang tak kuat dipikulnya, hendaknya dia membantunya untuk mengerjakannya.” (HR. Al Bukhoriy (6050) dan Muslim (1661)).
            Dan dalil-dalil tentang kekerasan bagi orang yang berhak mendapatkannya itu banyak, kami tidak akan meninggalkannya karena orang tidak suka, bahkan kami justru akan mengajarkan manhaj yang benar ini, dan kami membiasakan mereka untuk itu dengan keimanan, mencari pahala dan dengan ketundukan pada Alloh.

KESEPULUH:

MERENDAHKAN DIRI PADA ALLOH TA’ALA

            Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه: Dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- yang bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ الله عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لله إِلاَّ رَفَعَهُ الله
“Tidaklah shodaqoh itu mengurangi harta sedikitpun. Dan tidaklah Alloh menambahi seorang hamba dengan kemaafan kecuali kemuliaan. Dan tidaklah seseorang itu merendahkan diri kepada Alloh kecuali Dia akan mengangkatnya.” (HSR Muslim (2588)).
            Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Tidaklah shodaqoh itu mengurangi harta sedikitpun” mereka menyebutkan dua sisi: yang pertama: maknanya adalah: Alloh memberkahinya dan menolak darinya bahaya-bahaya, maka tertopanglah kekurangan zhohir dengan barokah yang tersemmbunyi, dan ini bisa diketahui dengan indra dan kebiasaan. Yang kedua: sekalipun harta tadi berkurang secara zhohir, tapi ada penopang dari pahala yang dihasilkannya, dan pertambahan yang berlipat banyak. “Dan tidaklah Alloh menambahi seorang hamba dengan kemaafan kecuali kemuliaan” di sini juga ada dua sisi, yang pertama: sesuai dengan zhohirnya. Maka barangsiapa dikenal suka memaafkan maka dia itu akan memimpin dan menjadi agung di hati-hati manusia, dan bertambahlah keagungannya dan kemuliaannya. Yang kedua: yang dimaksudkan adalah pahalanya di akhirat dan keagungannya di sana. “Dan tidaklah seseorang itu merendahkan diri kepada Alloh kecuali Dia akan mengangkatnya” di sini juga ada dua sisi, yang pertama: Alloh akan mengangkatnya di dunia, dan mengokohkan untuknya dengan tawadhu’nya itu kedudukan di hati-hati manusia, dan Alloh mengangkatnya di sisi manusia dan memuliakan posisinya. Yang kedua: bahwasanya yang dimaksudkan adalah pahalanya di akhirat, dan terangkatnya dirinya di sana, dengan tawadhu’nya dia di dunia. Para ulama berkata: sisi-sisi ini tentang ketiga kalimat tadi ada di adat kebiasaan dan telah diketahui bersama. Dan bisa jadi yang dimaksudkan adalah dua sisi tadi bersamaan, semuanya, di dunia dan di akhirat. Wallohu a’lam.” (“Al Minhaj”/16/hal. 378/cet. Maktabatul Ma’arif).

KESEBELAS:

MENYEMPURNAKAN WUDHU DALAM SUASANA YANG TIDAK DISUKAI

            Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «ألا أدلكم على ما يمحو الله به الخطايا، ويرفع به الدرجات؟» قالوا: بلى يا رسول الله. قال: «إسباغ الوضوء على المكاره، وكثرة الخطا إلى المساجد، وانتظار الصلاة بعد الصلاة فذلكم الرباط».
“Bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Maukah kutunjukkan kalian pada amalan yang dengannya Alloh menghapus kesalahan-kesalahan, dan mengangkat dengannya derajat-derajat?” mereka menjawab: “Tentu wahai Rosululloh.” Beliau menjawab: “Menyempurnakan wudhu dalam suasana yang tidak disukai, dan banyaknya langkah ke masjid-masjid, dan menunggu sholat seusai sholat. Maka yang demikian itu adalah ribath.” (HR. Muslim (233)).
            Al Imam An Nawawiy رحمه الله menukil dari Al Qodhi رحمه الله berkata: “dan mengangkat dengannya derajat-derajat” yaitu peninggian kedudukan-kedudukan di Jannah. Isbaghul wudhu adalah penyempurnaannya. Suasana yang tidak disukai adalah cuaca sangat dingin, sakitnya badan, dan yang seperti itu. “banyaknya langkah” terjadi dengan jauhnya rumah dan banyaknya pengulangan. “menunggu sholat seusai sholat” Al Qodhi Abul Walid Al Bajiy berkata: Ini ada pada sholat-sholat yang waktunya berserikat. Adapun yang selain itu, bukanlah termasuk amalan manusia. Sabda beliau “Maka yang demikian itu adalah ribath” yaitu ribath yang dianjurkan. Asal dari ribath adalah menahan sesuatu, maka seakan-akan dirinya menahan dirinya untuk melakukan ketaatan ini. Dikatakan: bisa jadi dia itu adalah ribath yang paling utama, sebagaimana dikatakan: jihad yang paling utama adalah memerangi diri sendiri. Dan bisa jadi dia adalah ribath yang mudah dan mungkin dikerjakan, yaitu dia itu adalah termasuk dari jenis-jenis ribath. Ini akhir dari ucapan Al Qodhi, semuanya bagus, kecuali ucapan Al Bajiy tentang menanti sholat, ini perlu diperiksa lagi.” (“Al Minhaj”/3/hal. 143-144/cet. Maktabatul Ma’arif).

KEDUABELAS:

MEMPERBANYAK LANGKAH KE MASJID UNTUK SHOLAT

            Telah lewat dari hadits Abu Huroiroh رضي الله عنه (HR. Muslim (2588) dengan syarhnya.
Dari Jabir bin Abdillah رضي الله عنهما yang berkata:
كانت ديارنا نائية عن المسجد فأردنا أن نبيع بيوتنا فنقترب من المسجد، فنهانا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: «إن لكم بكل خطوة درجة».
“Dulu perumahan kami jauh dari masjid, maka kami ingin menjual rumah-rumah kami lalu mendekat ke masjid, maka Rosululloh صلى الله عليه وسلم melarang kami dan bersabda:“Sesungguhnya kalian akan mendapatkan satu derajat dengan setiap langkah.” (HR. Muslim (664)).
            Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«من تطهّر في بيته ثم مشى إلى بيت من بيوت الله ليقضي فريضة من فرائض الله، كانت خطوتاه إحداهما تحط خطيئة،والأخرى ترفع درجة».
“Barangsiapa bersuci di rumahnya lalu berjalan ke suatu rumah dari rumah-rumah Alloh untuk menunaikan kewajiban dari kewajiban-kewajiban Alloh, maka langkah-langkahnya itu salah satunya menghapus kesalahan, yang lain mengangkat derajat.”(HR. Muslim (666)).
            Dan dari Ibnu Mas’ud رضي الله عنه yang berkata:
من سرّه أن يلقى الله غدا مسلما فليحافظ على هؤلاء الصلوات حيث ينادى بهن، فإن الله شرع لنبيكم صلى الله عليه وسلم سنن الهدى، وإنهن من سنن الهدى، ولو أنكم صليتم في بيوتكم كما يصلي هذا المتخلف في بيته لتركتم سنة نبيكم ولو تركتم سنة نبيكم لضللتم، وما من رجل يتطهر فيحسن الطهور ثم يعمد إلى مسجد من هذه المساجد إلا كتب الله له بكل خطوة يخطوها حسنة، ويرفعه بها درجة، ويحط عنه بها سيئة، ولقد رأيتنا وما يتخلف عنها إلا منافق معلوم النفاق، ولقد كان الرجل يؤتى به يهادى بين الرجلين حتى يقام في الصف.
“Barangsiapa senang untuk besok berjumpa Alloh sebagai seorang muslim, maka hendaknya dia menjaga sholat-sholat tersebut kapan saja dia  diseru untuk menunaikannya, karena sesungguhnya Alloh telah mensyariatkan untuk Nabi kalian صلى الله عليه وسلم sunnah-sunnah petunjuk, dan sesungguhnya sholat-sholat tadi termasuk dari sunnah-sunnah petunjuk. Seandainya kalian sholat di rumah-rumah kalian sebagaimana sholatnya orang yang tertinggal ini di rumahnya, sungguh kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian. Dan jika kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian, pastilah kalian itu tersesat. Dan tiada seorangpun yang bersuci, lalu memperbagus pensuciannya, kemudian sengaja berangkat ke masjid dari masjid-masjid ini, kecuali Alloh akan mencatat untuknya dengan setiap langkahnya satu kebaikan, dan mengangkat dengannya satu derajat, dan menghapuskan dengannya darinya satu kejelekan. Dan sungguh kami telah melihat tidak ada yang tertinggal dari sholat-sholat tadi kecuali munafiq yang telah diketahui kemunafiqannya. Dan sungguh dulu ada orang yang didatangkan dipapah di antara dua orang hingga diberdirikan dalam shoff (barisan).” (HR. Muslim (654)).

KETIGABELAS:

MENANTI SHOLAT SEUSAI SHOLAT

            Telah lewat dari hadits Abu Huroiroh رضي الله عنه (HR. Muslim (2588) dengan syarhnya.
            Al Imam Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله berkata: “Yang ketiga: menanti sholat seusai sholat, yaitu: seseorang dikarenakan kuatnya kerinduannya pada sholat-sholat, setiap kali selesai dari suatu sholat, hatinya terpaut dengan sholat yang lain, dia menantinya. Maka sesungguhnya ini menunjukkan akan keimanannya, kecintaannya, dan kerinduannya pada sholat-sholat yang agung ini,  yang Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda tentangnya:
«وجعلت قرة عيني في الصلاة»
“Dijadikan kesejukan hatiku di dalam sholat.” ([7])
Maka jika dia menanti sholat seusai sholat, maka sesungguhnya ini termasuk amalan yang dengannya Alloh mengangkat derajat-derajat dan menghapus kesalahan-kesalahan. Dan sabda beliau: “Maka yang demikian itu adalah ribath” asal dari ribath adalah tetap tinggal untuk memerangi musuh dengan peperangan dan menambatkan kuda dan persiapannya. Dan ini termasuk amalan yang paling agung. Oleh karena itulah beliau menyerupakannya dengan amalan sholeh dan ibadah di dalam hadits ini, yaitu: membiasakan diri untuk bersuci, sholat dan ibadah itu bagaikan jihad di jalan Alloh. Dikatakan: sesungguhnya ribath di sini adalah nama untuk sesuatu yang ditambatkan padanya. Maknanya adalah: bahwasanya amalan ini mengikat pelakunya dari kemaksiatan dan menahannya darinya.” (“Syarh Riyadhush Sholihin”/1/di bawah no. (131)/cet. Darus Salam).

KEEMPATBELAS: MENUNTUT ILMU SYAR’IY

Alloh ta’ala berfirman:
]وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آَتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ[ [الأنعام/83].
“Dan itu adalah hujjah Kami yang Kami berikan pada Ibrohim terhadap kaumnya. Kami mengangkat derajat-derajat bagi orang yang Kami kehendaki. Sesungguhnya Robbmu Hakim (meletakkan segala sesuatu pada tempatnya) dan ‘Alim (Mahatahu segalanya).”
            Al Imam Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Itu” isyarat kepada seluruh argumentasi Ibrohim hingga mendebat mereka dan mengalahkan mereka dengan hujjah –sampai pada ucapan beliau:- “Kami mengangkat derajat-derajat bagi orang yang Kami kehendaki” yaitu dengan ilmu, pemahaman dan keimaman serta kekuasaan.” (“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/17/hal. Hal. 253/cet. Darul Kitabil ‘arobiy).
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Sisi keduapuluh tiga: Bahwasanya Alloh subhanah menyebutkan perdebatan Ibrohim terhadap ayahnya dan kaumnya, dan keunggulan beliau terhadap mereka dengan hujjah, dan mengabarkan tentang pengutamaannya dengan itu, dan pengangkatan derajatnya dengan ilmu dan hujjah, … dst.” (“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 68/cet. Al Maktabatul ‘Ashriyyah).
            Alloh ta’ala berfirman:
]نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ[ [يوسف/76].
“Kami mengangkat derajat-derajat bagi orang yang Kami kehendaki. Dan di atas setiap orang yang punya ilmu ada Yang Maha berilmu.”
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan datang dalam tafsirnya: “Kami mengangkat derajat-derajat bagi orang yang Kami kehendaki dengan ilmu, sebagaimana Kami mengangkat derajat Yusuf di atas saudara-saudaranya dengan ilmu.” (“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 212/cet. Al Maktabatul ‘Ashriyyah).
            Robbuna جل وعلا berfirman:
]يَرْفَعِ الله الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَالله بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ[ [المجادلة/11]
“Alloh akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al Mujadilah: 11).
            Al Imam Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Yaitu tentang pahala di akhirat dan tentang kemuliaan di dunia. Maka Alloh mengangkat orang mukmin di atas orang yang bukan mukmin, dan orang alim di atas orang yang bukan alim “beberapa derajat” yaitu derajat-derajat dalam agama mereka jika mereka mengerjakan apa yang diperintahkan.” (“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/17/hal. 253/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).
            Syaikhul Islam رحمه الله berkata: Pasal: dan firman Alloh ta’ala:
]يَرْفَعِ الله الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَالله بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ[ [المجادلة/11]
“Alloh akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al Mujadilah: 11).
Alloh subhanah mengkhususkan pengangkatannya dengan kadar-kadar dan derajat-derajat untuk orang-orang yang diberi ilmu dan iman, dan mereka adalah orang-orang yang Alloh mengambil persaksian dengan mereka dalam firman-Nya ta’ala:
]شهد الله أنه لا إله إلا هو والملائكة وأولوا العلم قائما بالقسط[
“Alloh bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang benar selain Dia, dan para malaikat-Nya dan orang-orang yang diberi ilmu juga bersaksi, dalam keadaan Alloh menegakkan keadilan.”
Dan Alloh mengabarkan bahwasanya mereka itulah yang berpandangan bahwasanya apa yang diturunkan kepada Rosul itulah yang benar, dengan firman-Nya ta’ala:
]ويرى الذين أوتوا العلم الذي أنزل إليك من ربك هو الحق[
“Dan orang-orang yang diberi ilmu melihat bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Robbmu itulah yang benar.”
Maka ini menunjukkan bahwasanya mempelajari hujjah dan menegakkannya itu mengangkat derajat-derajat orang yang mengangkatnya, sebagaimana Alloh ta’ala berfirman:
﴿ نَرْفَعُ دَرَجَاتٍ مَنْ نَشَاءُ[ [الأنعام/83].
“Kami mengangkat derajat-derajat bagi orang yang Kami kehendaki.”
Zaid bin Aslam berkata: (mengangkat derajat) dengan ilmu. Maka pengangkatan derajat-derajat dan kadar-kadar itu sesuai dengan kadar perlakuan hati dengan ilmu dan iman. Maka berapa banyaknya orang yang mengkhotamkan Al Qur’an dalam sehari satu kali atau dua kali, dan orang yang lain tidak tidur malam, dan orang yang lain lagi tidak berbuka, sementara yang selain mereka lebih sedikit ibadahnya daripada mereka, tapi lebih tinggi nilainya di hati-hati umat? Ini dia Kurz bin Wabroh, Kahmas, dan Ibnu Thoriq, mereka itu mengkhotamkan Al Qur’an dalam sebulan Sembilan puluh kali, sementara keadaan Sa’id ibnul Musayyab, Ibnu Sirin, Hasan dan yang lainnya lebih tinggi di dalam hati-hati manusia.” (“Majmu’ul Fatawa”/16/hal. 48-49).
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Sisi keseratus tigapuluh delapan: bahwasanya ilmu itu mengangkat pemiliknya di dunia dan akhirat dengan pengangkatan yang tak dilakukan oleh kekuasaan, harta ataupun yang lain. Maka ilmu menambahi orang yang mulia dengan kemuliaan, dan mengangkat hamba sahaya hingga mendudukkannya ke majeli-majelis raja-raja.” Kemudian beliau menyebutkan hadits. (“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 202/cet. Al Maktabatul ‘Ashriyyah).

KELIMABELAS:

MUSIBAH YANG MENIMPA MUKMININ

            Kita tidak senang tertimpa bencana-bencana, bahkan kita minta pada Alloh keselamatan. Akan tetapi kita beriman bahwasanya Alloh jika menguji hamba-Nya yang mukmin dengan suatu musibah, maka sesungguhnya yang demikian itu lebih baik baginya. Di antaranya adalah: kenaikan derajat.
            Al Aswad رحمه الله berkata:
دخل شباب من قريش على عائشة -رضي الله عنه- وهي بمنى وهم يضحكون فقالت: ما يضحككم؟ قالوا: فلان خرّ على طنب فسطاط فكادت عنقه أو عينه أن تذهب. فقالت: لا تضحكوا، فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «ما من مسلم يشاك شوكة فما فوقها إلا كتبت له بها درجة ومحيت عنه خطيئة».
“Beberapa pemuda Quroisy masuk mengunjungi ‘Aisyah رضي الله عنها ketika beliau di Mina, dalam keadaan mereka tertawa. Maka beliau bertanya: “Apa yang membikin kalian tertawa?” mereka menjawab: “Si fulan tersungkur karena terkena tali kemah. Hampir saja lehernya atau atau matanya hilang.” Maka beliau berkata: “Janganlah kalian tertawa, karena aku mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Tidak ada seorang muslimpun yang tertusuk duri atau yang lebih dari itu, kecuali akan dicatat untuknya dengan itu satu derajat, dan dihapus darinya satu kesalahan.” (HR. Muslim (2572)).
            Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Dalam hadits ini ada larangan untuk tertawa karena kejadian yang seperti ini, kecuali jika keinginan tertawa telah mendominasi sehingga tidak mungkin untuk ditahan. Adapun sengaja tertawa karena itu maka itu adalah tercela, karena di dalamnya ada kegembiraan terhadap musibah seorang muslim dan membikin hatinya patah –sampai pada ucapan beliau:- dan di dalam hadits-hadits ini ada kabar gembira yang agung bagi muslimin, karena jarang sekali ada orang dari mereka yang terbebas satu jam saja dari perkara-perkara ini. Di dalam hadits ini ada penghapusan kesalahan-kesalahan dengan penyakit-penyakit dan musibah-musibah dunia dan keresahannya, sekalipun kesukarannya kecil. Di dalamnya juga ada pengangkatan derajat dengan perkara-perkara ini, dan pertambahan kebaikan. Dan inilah yang benar yang dipegang oleh mayoritas ulama. Al Qodhi mengisahkan dari sebagian dari mereka bahwasanya musibah tadi hanya menghapus kesalahan-kesalahan saja, dan tidak mengangkat derajat, dan tidak mencatat kebaikan. Beliau berkata: dan diriwayatkan yang seperti ini dari Ibnu Mas’ud yang berkata: rasa sakit tidak tercatat dengannya pahala, akan tetapi terhapus dengannya kesalahan-kesalahan saja. Dan beliau bertopang dengan hadits-hadits yang di dalamnya ada penghapusan kesalahan-kesalahan, dan belum sampai pada beliau hadits-hadits yang disebutkan oleh Al Imam Muslim yang jelas menyebutkan pengangkatan derajat-derajat dan penulisan kebaikan-kebaikan.” (“Al Minhaj”/16/hal. 364/cet. Maktabatul Ma’arif).
Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«إن الرجل ليكون له عند الله المنزلة، فما يبلغها بعمل فما يزال الله يبتليه بما يكره، حتى يبلغه إياها».
“Sesungguhnya ada seseorang yang dia itu punya kedudukan di sisi Alloh tapi dia tidak mencapainya dengan amalannya, maka Alloh terus-menerus mengujinya dengan apa yang dibencinya hingga Dia menyampaikannya ke kedudukan tadi.” (HR. Abu Ya’la (no. 6095)/Darul Ma’mun Lit turots dan yang lainnya. Sanadnya hasan. Dan dihasankan oleh Al Imam Al Albaniy رحمه الله di “Ash Shohihah” (no. 1599)/Maktabatul Ma’arif).
            Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan jika ujian itu membesar, maka yang demikian itu bagi seorang mukmin yang sholih merupakan sebab untuk mencapai ketinggian derajat dan agungnya pahala,…” (“Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 152-153/cet. Maktabah Ibni Taimiyyah).

KEENAMBELAS:

ORANG TUA YANG SHOLIH

            Alloh ta’ala berfirman:
]وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ[[الطور/21].
“Dan orang-orang yang beriman dan keturunan mereka mengikuti mereka dengan keimanan, Kami gabungkan kepada mereka keturunan mereka dan Kami tidak mengurangi mereka dari amalan mereka sedikitpun. Setiap orang tergadaikan dengan apa yang dikerjakan.”
            Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Alloh ta’ala mengabarkan tentang keutamaan-Nya, kedermawanan-Nya, karunia-Nya, kelembutan-Nya dan kebaikan-Nya kepada para makhluq-Nya: bahwasanya mukminun jika keturunan mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Alloh akan menggabungkan mereka dengan bapak-bapak mereka dalam posisi sekalipun mereka tidak mencapai amalan bapak-bapak mereka, agar menjadi bahagialah para bapak dengan adanya anak-anak di sisi mereka di tempat-tempat tinggal mereka. Maka Alloh mengumpulkan mereka pada sisi yang paling bagus, dengan mengangkat orang yang amalannya kurang, dengan orang yang amalannya sempurna, dan tidak mengurangi yang demikian itu dari amalannya dan kedudukannya dengan kesamaan antara dirinya dan orang tadi. karena itulah Alloh berfirman: “Kami gabungkan kepada mereka keturunan mereka dan Kami tidak mengurangi mereka dari amalan mereka sedikitpun” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/4/hal. 311/cet. Darush Shiddiq).
            Apakah yang dimaksudkan dengan keturunan mereka itu yang telah baligh ataukah yang belum baligh? Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan pengkhususan keturunan di sini dengan anak-anak yang masih kecil itu lebih jelas agar tidak mengharuskan kesetaraan generasi belakangan dengan yang terdahulu dalam derajat-derajat, dan seperti ini tidak menjadi keharusan pada kasus anak-anak karena anak-anak kecil setiap orang dan keturunannya itu ada di derajat orang itu, wallohu a’lam.” (“Hadil Arwah”/hal. 435/cet. Maktabah ‘Ibadirrohman).
            Maka demi Alloh, sesungguhnya jasa kedua orang tua terhadap anak-anaknya itu besar sekali, tak mungkin bagi sang anak untuk membalasnya. Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«لا يجزي ولد والدا إلا أن يجده مملوكا فيشتريه فيعتقه».
“Tidaklah anak itu bisa membalas orang tuanya kecuali jika dia mendapati orang tuanya menjadi budak, lalu dia membelinya, lalu dia memerdekakannya.” (HR. Muslim (1510)).
Maka kita wajib berbuat baik pada orang tua kita. Dan Alloh telah menjadikan hak orang tua di atas kebanyakan dari hak-hak manusia. Alloh ta’ala berfirman:
]وَاعْبُدُوا الله وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ الله لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا[ [النساء/36]
“Dan beribadah kepada Alloh dan janganlah berbuat syirik dengan-Nya sesuatu apapun, dan berbuat baiklah pada kedua orang tua, dan sanak kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan kepada istri, dan kepada pengembara, dan kepada para budak kalian. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang yang angkuh dan berbangga-bangga.”

KETUJUHBELAS:

ANAK YANG SHOLIH

            Alloh ta’ala berfirman:
]جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آَبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلَائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ * سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّار[ [الرعد/23، 24].
“Yaitu janah-jannah ‘Adn yang mereka memasukinya bersama orang yang sholih dari kalangan bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan keturunan mereka. Dan para malaikat masuk mengunjungi mereka dari seluruh pintu dengan berkata: Salam sejahtera untuk kalian disebabkan oleh kesabaran kalian. Maka ini adalah negri kesudahan yang terbaik.”
Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Yaitu Alloh mengumpulkan di Jannah antara mereka dan orang-orang yang mereka cintai dari kalangan bapak-bapak mereka, istri-istri mereka dan anak-anak mereka, yang memang pantas untuk masuk ke dalam Jannah, agar  hati mereka jadi sejuk dengan keberadaan mereka, sampai-sampai Alloh mengangkat derajat orang yang lebih rendah ke derajat orang yang lebih tinggi, tanpa mengurangi orang yang lebih tinggi dari derajatnya, bahkan itu adalah karunia dan kebaikan dari Alloh, …dst” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/2/hal. 688/cet. Darush Shiddiq).
            Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«إن الله عز وجل ليرفع الدرجة للعبد الصالح في الجنة فيقول: يا رب أنى لي هذه؟ فيقول: باستغفار ولدك لك».
“Sesungguhnya Alloh عز وجل mengangkat derajat untuk hamba yang sholih di Jannah, maka dia bertanya: Wahai Robbku, dari mana saya mendapatkan derajat ini? Maka Alloh menjawab: Dengan permohonan ampunan anakmu untukmu.” (HR. Al Imam Ahmad (10710) dan yang lainnya, dihasankan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” no. (1389)).

KEDELAPAN BELAS:

BERDOA UNTUK KENAIKAN DERAJAT

            Barangsiapa berdoa pada Alloh agar mengangkatnya, maka sesungguhnya Dzat Yang Mahabaik lagi Maha Penyayang berfirman:
]وَآَتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ الله لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ[ [إبراهيم/34]
“Dan Alloh memberikan pada kalian dari setiap apa yang kalian minta, dan jika kalian menghitung nikmat Alloh niscaya kalian tak bisa menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zholim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (QS Ibrohim 34)
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Maka barangsiapa diberi ilham untuk berdoa maka sungguh telah diinginkan untuknya pengabulan doa, karena sesungguhnya Alloh subhanah berfirman:
]إدعوني أستجب لكم[ [غافر/60]
“Berdoalah kalian pada-Ku, Aku akan mengabulkannya untuk kalian.”
Dan berfirman:
]وإذا سألك عبادي عني فأني قريب أجيب دعوة الداع أذا دعان[ [البقرة/186]
“Dan jika para hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka sesungguhnya Aku itu dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa jika dia berdoa pada-Ku.”
Dan seterusnya. (“Ad Da Wad Dawa”/hal. 24/cet. Dar Ibnil Jauziy).
            Beliau رحمه الله juga berkata: “Dan Alloh subhanah telah menjadikan untuk setiap perkara yang dicari itu kunci untuk membukanya. Maka Dia menjadikan kunci sholat adalah bersuci, sebagaimana sabda beliau: “Kunci sholat adalah kesucian”. Dan kunci haji adalah ihrom, kunci kebajikan adalah kejujuran, kunci Jannah adalah tauhid, kunci ilmu adalah bagusnya soal dan bagusnya perhatian, kunci pertolongan adalah kesabaran, kunci tambahan nikmat adalah syukur, kunci kewalian adalah rasa cinta dan dzikir, kunci keberuntungan adalah taqwa, kunci taufiq adalah roghbah (minat dan harapan) dan rohbah (rasa takut), kunci terkabulnya permohonan adalah doa, kunci  adalah harapan di akhirat adalah zuhud terhadap dunia, kunci keimanan adalah memikirkan apa yang Alloh menyeru para hamba untuk memikirkannya, kunci masuk kepada Alloh adalah islamnya hati, keselamatan hati untuk Alloh, dan keikhlasan untuk Alloh adalah rasa cinta, kebencian, perbuatan, meninggalkan perbuatan. Dan kunci kehidupan hati adalah memikirkan Al Qur’an dan merunduk di akhir malam serta meninggalkan dosa. Kunci dihasilkannya rohmat adalah berbuat baik dalam ibadah pada Sang Pencipta dan berupaya untuk memberikan manfaat para para hamba-Nya. Kunci rizqi adalah usaha yang disertai dengan istighfar dan taqwa. Kunci kemuliaan adalah taat pada Alloh dan Rosul-Nya. Kunci persiapan untuk akhirat adalah pembatasan angan-angan. Kunci setiap kebaikan adalah adanya minat dan harapan pada Alloh dan negri akhirat. Kunci segala kejelekan adalah rasa cinta pada dunia dan panjangnya angan-angan. Dan ini adalah pintu yang agung, termasuk pintu-pintu ilmu yang paling bermanfaat, yaitu: mengetahui kunci-kunci kebaikan dan kejelekan. Tidak ada yang diberi taufiq untuk mengetahuinya dan memperhatikannya kecuali orang yang bagiannya dan taufiqnya itu besar, …dst.” (“Hadil Arwah”/hal. 86/cet. Maktabah ‘ibadirrohman).
            Dari Abdulloh bin Mas’ud رضي الله عنه :
أن النبي صلى الله عليه وسلم أتاه بين أبي بكر وعمر وعبد الله يصلي فافتتح النساء فسحلها فقال النبي صلى الله عليه وسلم: «من أحب أن يقرأ القرآن غضا كما أنزل فليقرأه على قراءة بن أم عبد» ثم تقدم يسأل فجعل النبي صلى الله عليه وسلم يقول: «سل تعطه سل تعطه» فقال فيما سأل: اللهم إني أسألك إيمانا لا يرتد ونعيما لا ينفد ومرافقة نبيك محمد صلى الله عليه و سلم في أعلى جنة الخلد. قال: فأتى عمر رضي الله عنه عبد الله ليبشره فوجد أبا بكر رضوان الله عليه قد سبقه فقال: إن فعلتَ لقد كنت سباقا بالخير.
“Bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersama Abu Bakr dan Umar mendatanginya, maka dirinya membuka bacaan surat An Nisa dan membacanya dengan terus bersambung. Maka Nabi  صلى الله عليه وسلم bersabda: “Barangsiapa senang untuk membaca Al Qur’an dalam keadaan segar seperti ketika diturunkan, maka hendaknya dia membacanya berdasarkan bacaan Ibnu Ummi ‘Abd.” Lalu dirinya mulai berdoa. Maka Nabi  صلى الله عليه وسلم bersabda: “Mintalah, engkau akan diberi. Mintalah, engkau akan diberi.” Maka dirinya berkata dalam doanya: “Ya Alloh, sungguh saya mohon kepada-Mu keimanan yangtidak murtad, dan kenikmatan yang tidak habis, dan menyertai Nabi-Mu Muhammad صلى الله عليه وسلم di Jannah kekekalan yang tertinggi.” Maka Umar رضي الله عنه mendatangi Abdulloh untuk memberinya kabar gembira, ternyata dia mendapati Abu Bakr رضوان الله عليه telah mendahuluinya. Maka Umar berkata padanya: “Jika engkau telah melakukannya, maka sungguh engkau memang selalu lebih dulu dalam kebaikan.” (HR. Al Imam Ahmad (4255) dan yang lainnya, dihasankan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Al jami’ush Shohih” (4/hal. 73/Darul Atsar)).
            Demikian pula jika berdoa pada Alloh agar mengangkat derajat orang lain, maka sungguh Alloh itu mendengar dan mengabulkan doa.
Dari Abu Musa Al Asy’ariy رضي الله عنه yang berkata:
لَمَّا فَرَغَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مِنْ حُنَيْنٍ بَعَثَ أَبَا عَامِرٍ عَلَى جَيْشٍ إِلَى أَوْطَاسٍ فَلَقِىَ دُرَيْدَ بْنَ الصِّمَّةِ، فَقُتِلَ دُرَيْدٌ وَهَزَمَ الله أَصْحَابَهُ. قَالَ أَبُو مُوسَى: وَبَعَثَنِى مَعَ أَبِى عَامِرٍ، فَرُمِىَ أَبُو عَامِرٍ فِى رُكْبَتِهِ ، رَمَاهُ جُشَمِىٌّ بِسَهْمٍ فَأَثْبَتَهُ فِى رُكْبَتِهِ ، فَانْتَهَيْتُ إِلَيْهِ فَقُلْتُ: يَا عَمِّ مَنْ رَمَاكَ فَأَشَارَ إِلَى أَبِى مُوسَى فَقَالَ: ذَاكَ قَاتِلِى الَّذِى رَمَانِى. فَقَصَدْتُ لَهُ فَلَحِقْتُهُ فَلَمَّا رَآنِى وَلَّى فَاتَّبَعْتُهُ وَجَعَلْتُ أَقُولُ لَهُ: أَلاَ تَسْتَحِى، أَلاَ تَثْبُتُ. فَكَفَّ فَاخْتَلَفْنَا ضَرْبَتَيْنِ بِالسَّيْفِ، فَقَتَلْتُهُ ثُمَّ قُلْتُ لأَبِى عَامِرٍ: قَتَلَ الله صَاحِبَكَ. قَالَ: فَانْزِعْ هَذَا السَّهْمَ فَنَزَعْتُهُ فَنَزَا مِنْهُ الْمَاءُ. قَالَ: يَا ابْنَ أَخِى أَقْرِئِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – السَّلاَمَ، وَقُلْ لَهُ: اسْتَغْفِرْ لِى. وَاسْتَخْلَفَنِى أَبُو عَامِرٍ عَلَى النَّاسِ، فَمَكَثَ يَسِيرًا ثُمَّ مَاتَ، فَرَجَعْتُ فَدَخَلْتُ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى بَيْتِهِ عَلَى سَرِيرٍ مُرْمَلٍ وَعَلَيْهِ فِرَاشٌ قَدْ أَثَّرَ رِمَالُ السَّرِيرِ بِظَهْرِهِ وَجَنْبَيْهِ، فَأَخْبَرْتُهُ بِخَبَرِنَا وَخَبَرِ أَبِى عَامِرٍ، وَقَالَ: قُلْ لَهُ: اسْتَغْفِرْ لِي، فَدَعَا بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ فَقَالَ: «اللهمَّ اغْفِرْ لِعُبَيْدٍ أَبِي عَامِرٍ». وَرَأَيْتُ بَيَاضَ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ: «اللهمَّ اجْعَلْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَوْقَ كَثِيرٍ مِنْ خَلْقِكَ مِنَ النَّاسِ». فَقُلْتُ: وَلِي فَاسْتَغْفِرْ. فَقَالَ: «اللهمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِ الله بْنِ قَيْسٍ ذَنْبَهُ وَأَدْخِلْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُدْخَلاً كَرِيمًا».
“Seusai Nabi صلى الله عليه ولسم perang Hunain, beliau mengutus Abu Amir memimpin pasukan ke Authos, maka dirinya berjumpa dengan Duroid ibnush Shimmah, lalu Duroid terbunuh, dan Alloh mengalahkan teman-teman Duroid. Dan Nabi mengutusku bersama Abu Amir. Lalu Abu Amir terkena lemparan panah di lututnya, ditembak oleh seorang dari Jusyam dengan panah. Lalu panah tadi dibiarkan tetap menancap di lututnya. Maka aku mendatangi beliau dan bertanya: “Wahai paman, siapakah yang menembakmu?” Maka beliau mengisyaratkan ke arah Abu Musa([8]) seraya berkata: “Itulah orang yang membunuhku, yang menembakku dengan panah.” Maka aku mengejarnya hingga menyusulnya. Manakala dia melihatku, diapun berbalik lari. Maka aku mengejarnya dan mulailah aku berkata padanya: “Tidakkah engkau malu? Tidakkah engkau berhenti?” Maka diapun berhenti. Maka kami baku hantam dengan pedang dua kali, lalu kubunuh dia. Lalu kukatakan pada Abu Amir: “Alloh telah membunuh orang yang menembakmu.” Lalu beliau berkata,”Cabutlah panah ini.” Lalu kucabut panah itu, maka memancarlah darinya air. Lalu beliau berkata: “Wahai anak dari saudaraku, sampaikanlah salam pada Nabi صلى الله عليه وسلم, dan katakan beliau: Mohonkanlah ampunan untuk saya,” lalu Abu Amir menjadikan diriku pengganti beliau untuk memimpin orang-orang, lalu beliau bertahan sebentar kemudian meninggal. Lalu aku pulang dan masuk menemui Nabi صلى الله عليه وسلم di rumah beliau, beliau ada di atas dipan yang dihampari dengan kerikil, dan di atasnya ada kasur. Kerikil itu telah berbekas di punggung dan samping badan beliau. Maka kukabarkan berita kami dan berita Abu Amir, dan ucapannya: “Mohonkanlah ampunan untuk saya,” maka beliaupun meminta didatangkan air wudhu, lalu beliau berwudhu, lalu mengangkat kedua tangannya dan berkata: “Ya Alloh, ampunilah Ubaid Abu Amir,” dan aku melihat putihnya kedua ketiak beliau. Lalu beliau berkata: “Ya Alloh jadikanlah dia di hari kiamat ada di atas kebanyakan dari makhluk-Mu dari kalangan manusia.” Akupun berkata: “Dan untuk saya juga, mohonkanlah ampunan untuk saya,” maka beliau berkata: “Ya Alloh, ampunilah Abdulloh bin Qois dosanya, dan masukkanlah dia pada hari kiamat pada tempat masuk yang mulia.”(HR. Al Bukhoriy (4323)).
            Dan dari Ummu Salamah رضي الله عنها yang berkata:
دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم على أبي سلمة، وقد شق بصره فأغمضه ثم قال: «إن الروح إذا قبض تبعه البصر» فضجّ ناس من أهله، فقال: «لا تدعوا على أنفسكم إلا بخير، فإن الملائكة يؤمنون على ما يقولون» ثم قال: «اللهم اغفر لأبي سلمة، وارفع درجته في المهديين، واخلفه في عقبه في الغابرين، واغفر لنا وله يا ربّ العالمين، وافسح له في قبره، ونوّر له فيه».
“Rosululloh صلى الله عليه وسلم mengunjungi Abu Salamah, dalam keadaan matanya terbelalak, lalu beliau memejamkannya, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya ruh jika dicabut, maka akan mengikutinya.” Maka orang-orang dari keluarganya bersuara gaduh, maka beliau bersabda: “Janganlah kalian berdoa kejelekan terhadap diri kalian sendiri, tapi doalah dengan kebaikan, karena sesungguhnya para malaikat mengaminkan apa yang kalian katakan.” Lalu beliau berdoa: “Ya Alloh, ampunilah Abu Salamah, dan angkatlah derajatnya di mahdiyyin([9]) , dan gantikanlah untuknya pada keturunannya yang masih hidup, dan ampunilah untuk kami dan untuknya wahai Robbul ‘alamin, dan luaskanlah untuknya dalam kuburannya, dan terangilah untuknya di kuburannya.” (HR. Muslim (920)).
            Dari Ibnu Abbas رضي الله عنهما bahwasanya dulu beliau sering berdoa:
اللهم! تقبّل شفاعة محمد الكبرى ، وارفع درجته العليا، وآته سؤله في الآخرة والأولى، كما آتيت إبراهيم وموسى.
“Ya Alloh, terimalah syafa’at terbesar Muhammad, dan angkatlah derajatnya yang tertinggi, dan kabulkanlah untuknya permohonannya di akhirat dan dunia, sebagaimana Engkau mengabulkan untuk Ibrohim dan Musa.” (HR. Abdurrozzaq (3104) dan yang lainnya dengan sanad shohih, dan dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Asy Syafa’ah” no. (25)/cet. Darul Atsar).
            Dan Alloh tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berdoa untuk saudaranya. Dari Ummud Darda رحمها الله yang berkata:
حدثني سيدي –وهو أبو الدرداء رضي الله عنه-: أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: «من دعا لأخيه بظهر الغيب، قال الملك الموكل به: آمين، ولك بمثل».
“Tuanku –yaitu Abud Darda رضي الله عنه – menceritakan padaku bahwasanya dia mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Barangsiapa berdoa untuk saudaranya secara rahasia, malaikat yang ditugaskan untuk mengurusinya berkata: “Semoga Alloh mengabulkan doamu, dan untukmu semisal dengan itu.” (HR. Muslim (2732)).
            Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Adapun sabda beliau صلى الله عليه وسلم: “secara rahasia” maka maknanya: dalam keadaan orang yang didoakan tidak hadir di situ, dan dalam keadaan rahasia, karena yang demikian itu lebih mendalam keikhlasannya –sampai pada ucapan beliau:- dalam hadits ini ada keutamaan mendoakan saudaranya yang muslim secara rahasia. Jika dirinya berdoa untuk sekelompok muslimin, pastilah akan dihasilkan keutamaan ini. Dan jika dirinya berdoa untuk seluruh muslimin, maka yang jelas akan dihasilkan pula keutamaan ini. Dulu sebagian Salaf jika ingin berdoa untuk dirinya sendiri, beliau mendoakan saudaranya yang muslim dengan doa itu, karena doa itu terkabulkan, dan dia akan mendapatkan yang semisal dengan itu.” (“Al Minhaj”/17/hal. 53-54/cet. Maktabatul Ma’arif).

KESEMBILAN BELAS:

TAAT PADA ALLOH DAN MENGIKUTI ROSUL-NYA صلى الله عليه وسلم SEBAGAI REALISASI RASA CINTA

            Alloh ta’ala berfirman:
]وَمَنْ يُطِعِ الله وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ الله عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا[[النساء/69]
“Dan barangsiapa taat pada Alloh dan Rosul, maka mereka bersama dengan orang-orang yang Alloh beri nikmat pada mereka dari kalangan para Nabi, Shiddiqin, syuhada dan Sholihin. Dan mereka itulah teman seiring yang baik.”
            Dari Anas رضي الله عنه :
أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ السَّاعَةِ، فَقَالَ: مَتَى السَّاعَةُ؟ قَالَ: «وَمَاذَا أَعْدَدْتَ لَهَا». قَالَ: لاَ شَىْءَ إِلاَّ أَنِّى أُحِبُّ الله وَرَسُولَهُ – صلى الله عليه وسلم – . فَقَالَ: «أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ». قَالَ أَنَسٌ: فَمَا فَرِحْنَا بِشَىْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم -: «أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ». قَالَ أَنَسٌ: فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّى إِيَّاهُمْ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ.
Bahwasanya seseorang bertanya pada Nabi صلى الله عليه وسلم tentang hari kiamat: “Kapankah datangnya kiamat?” Maka beliau bertanya: “Apa yang telah engkau persiapkan untuknya?” dia menjawab: “Tidak ada, selain saya cinta pada Alloh dan Rosul-Nya صلى الله عليه وسلم, maka beliau bersabda: “Engkau bersama dengan orang yang engkau cintai.”
Anas berkata: Maka kami tidak bergembira dengan sesuatu sebagaimana kegembiraan kami dengan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : “Engkau bersama dengan orang yang engkau cintai.” Maka aku cinta pada Nabi صلى الله عليه وسلم, Abu Bakr dan Umar, dan aku berharap bersama dengan mereka, sekalipun aku tidak beramal seperti amalan mereka.” (HR. Al Bukhoriy (3688)).
Dan diriwayatkan Muslim (2689), di situ ada lafazh: si badui menjawab: “Saya tidak mempersiapkan untuk kiamat sholat ataupun puasa ataupun shodaqoh yang banyak.”
            An Nawawiy رحمه الله berkata: “Ucapannya: “Saya tidak mempersiapkan untuk kiamat sholat ataupun puasa ataupun shodaqoh yang banyak.” Yaitu: selain yang wajib-wajib. Maknanya adalah: Saya tidak mempersiapkan untuk kiamat amalan mustahab berupa sholat ataupun puasa ataupun shodaqoh yang banyak.” (“Al Minhaj”/16/hal. 426-427/cet. Maktabatul Ma’arif).
            Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Para Rosul –semoga sholawat dan salam dari Alloh tercurah pada mereka- mereka berkewajiban untuk menyampaikan dengan jelas. Dan mereka telah menyampaikan risalah dengan penyampaian jelas. Dan penutup para Rosul, Muhammad, Alloh telah menurunkan kitab-Nya untuk membenarkan kitab yang terdahulu, dan sebagai batu ukuran terhadap kitab yang terdahulu. Maka dia adalah kepercayaan terhadap seluruh kitab. Beliau telah menyampaikan dengan penyampai yang paling jelas, melengkapkannya, dan menyempurnakannya. Beliau adalah makhluq yang paling memberikan nasihat untuk para hamba Alloh. Beliau itu penuh belas kasihan pada mukminin. Beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, dan berjihad di jalan Alloh dengan sebenar-benar jihad, dan beribadah pada Alloh hingga didatangi kematian.Maka makhluq yang paling berbahagia, yang paling besar kenikmatannya, dan paling tinggi derajatnya adalah makhluq yang paling besar ittiba’nya (pengikutannya) dan kecocokannya dengan beliau secara ilmu dan amalan.” (“Majmu’ul Fatawa”/4/hal. 26).

KEDUAPULUH:

BERSUNGGUH-SUNGGUH MEMILIH PERKATAAN YANG MEMBUAT RIDHO ALLOH TA’ALA

            Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
«إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ الله لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً، يَرْفَعُ الله بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ الله لاَ يُلْقِى لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِى جَهَنَّمَ».
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan kalimat dari keridhoan Alloh, tanpa dia pertimbangkan, dengannya Alloh mengangkat derajat-derajat. Dan sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan kalimat dari kemurkaan Alloh, tanpa dia pertimbangkan, dengannya dia terhempas ke Jahannam.” (HR. Al Bukhoriy (6478)).
            Mulla ‘Ali Al Qori رحمه الله berkata: “Yaitu: dia berbicara dengan kalimat yang di dalamnya ada keridhoan Alloh, dirinya tidak menganggap ucapan tadi punya nilai, atau tidak apa-apa, dengannya –dengan kalimat tadi- Alloh mengangkat untuk dirinya beberapa derajat. Maknanya adalah: sang hamba tadi tidak mengetahui nilai ucapan tadi, dia mengiranya ucapan yang rendah dan tak banyak arti, padahal ucapan tadi agung nilainya di sisi Alloh –sampai pada ucapan beliau:- di dalam hadits ini ada dorongan untuk merenung dan berpikir ketika mau berbicara. –sampai pada ucapan beliau:- maknanya adalah: dia berbicara dengan perkataan yang benar yang dikiranya kecil, ternyata di sisi Alloh itu agung, sehingga dia mendapatkan keridhoan Alloh. Dan terkadang dirinya berkata yang jelek dan dia tak tahu yang demikian itu padahal itu di sisi Alloh adalah dosa yang besar, sehingga dia mendapatkan dengan itu kemurkaan Alloh, …dst. “ (“Mirqotul Mafatih”/di bawah no. (4813)/cet. Al Maktabatut Tijariyyah).

KEDUAPULUH SATU:

SHOLAT WAJIB BERJAMA’AH

            Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«صَلاَةُ الرَّجُلِ فِى الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلاَتِهِ فِى بَيْتِهِ وَفِى سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا، وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لاَ يُخْرِجُهُ إِلاَّ الصَّلاَةُ ، لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلاَّ رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ ، فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلِ الْمَلاَئِكَةُ تُصَلِّى عَلَيْهِ مَا دَامَ فِى مُصَلاَّهُ اللهمَّ صَلِّ عَلَيْهِ، اللهمَّ ارْحَمْهُ . وَلاَ يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاَةَ».
“Sholat seorang pria di jamaah itu dilipatkan daripada sholatnya di rumahnya dan di pasarnya sbanyak dua puluh lima lipatan. Yang demikian itu dikarenakan dirinya berwudhu lalu memperbagus wudhunya, lalu keluar ke masjid, tidak ada yang mengeluarkannya kecuali sholat. Tidaklah dia melangkahkan satu kaki kecuali diangkat untuknya dengan itu satu derajat, dan dihapuskan darinya dengan itu satu kesalahan. Dan jika dia telah sholat, terus-menerus para malaikat bersholawat untuknya, selama dia masih di tempat sholatnya: “Ya Alloh, berilah sholawat untuknya, ya Alloh rohmatilah dia.” Dan terus-menerus salah seorang dari kalian di dalam sholat selama dia menanti sholat.” (HR. Al Bukhoriy (647) dan Muslim (649)).
Dalam riwayat yang lain: “Duapuluh lima derajat” (HR. Al Bukhoriy (4717) dan Muslim (649)).

            Demikianlah sebagian amalan dan keadaan yang dengannya derajat seorang hamba itu terangkat di sisi Alloh.
Adapun hadits yang diriwayatkan dari Umar رضي الله عنه bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«مَنْ دَخَلَ السُّوقَ فَقَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيكُ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيتُ وَهُوَ حَىٌّ لاَ يَمُوتُ بِيَدِهِ الْخَيْرُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ كَتَبَ الله لَهُ أَلْفَ أَلْفِ حَسَنَةٍ وَمَحَا عَنْهُ أَلْفَ أَلْفِ سَيِّئَةٍ وَرَفَعَ لَهُ أَلْفَ أَلْفِ دَرَجَةٍ ».
“Barangsiapa masuk ke pasar, lalu berkata: LA ILAHA ILLALLOH WAHDAHU LA SYARIKALAH LAHUL MULK WALAHUL HAMD YUHYI WA YUMIT WAHUWA HAYYUN LA YAMUT DIYADIHIL KHOIR WAHUWA ‘ALA KULLI SYAIIN QODIR, Alloh mencatat untuknya satu juta kebaikan, menghapus darinya satu juta kejelekan, dan mengangkat untuknya satu juta derajat.” (HR. At Tirmidziy (3438/Ahwadzi) dan berkata: ini hadits yang ghorib (asing), dan Ibnu Majah (2235)).
            Al Mundziriy رحمه الله berkata: “Sanadnya bersambung dan hasan, para perowinya tsiqot atsbat (terpercaya dan kokoh). Tapi tentang Azhar bin Sinan ada perselisihan. Ibnu Adi berkata: “Aku berharap dia tidak apa-apa. At Tirmidziy berkata di suatu riwayat sebagai ganti posisi “dan mengangkat untuknya satu juta derajat” adalah “dan membangun untuknya satu rumah di Jannah”. Meriwayatkan dengan lafazh ini Ibnu Majah, Ibnu Abid Dunya dan Al Hakim, dan beliau menshohihkannya. Semuanya dari riwayat Amr bin Dinar Qohroman Aluz Zubair, dari Salim bin Abdillah dari ayahnya dari kakeknya. Dan Al Hakim meriwayatkannya juga dari hadits Abdulloh bin Umar marfu’ (ke Nabi) dan berkata: “Sanadnya shohih.” Demikianlah beliau berkata, padahal dalam sanadnya ada Marzuq bin Marzubban. Akan datang ucapan tentangnya.” (“At Targhib Wat Tarhib”/no. (2523)/cet. Dar Ibni Katsir).
Ibnu Hajar رحمه الله berkata: Azhar bin Sinan lemah.
Asy Syaukaniy رحمه الله berkata: “Dan hadits ini minimal hasan, sekalipun di dalam penyebutan jumlah dengan sifat ini ada nakaroh (penyelisihan rowi yang lemah terhadap rowi yang lebih kuat).” (“Tuhfatudz Dzakirin Bi ‘Iddatil Hishinil Hashin”/hal. 180/cet. Darul Kitabil ‘Arobiy).
Al Imam Al Albaniy رحمه الله berkata: “Hasan lighoirih.” (“Shohihut Targhib”/no. (1694)/cet. Maktabatul Ma’arif).
Syaikhuna Yahya Al Hajuriy حفظه الله berkata:  hadits ini hasan karena penguat yang lain, kecuali lafazh “dan mengangkat untuknya satu juta derajat”.
            Al Imam Ath Thibiy رحمه الله berkata: ”Barangsiapa masuk ke pasar” dikhususkan penyebutan pasar karena dia adalah tempat kelalaian dari mengingat Alloh dan tempat kesibukan dengan perdagangan. Dia ada tempat kekuasaan setan dan tempat kumpul tentaranya. Maka orang yang berdzikir di situ dia sedang berperang dengan setan dan mengalahkan tentara-tentaranya, maka dia pantas untuk mendapatkan pahala yang disebutkan.”
Beliau juga berkata: “Maka barangsiapa berdzikir menyebut Alloh di situ, dirinya masuk ke dalam rombongan orang-orang yang disebutkan Alloh tentang mereka:
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ الله
“Orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan ataupun jual beli dari mengingat Alloh.”
(Dinukilkan oleh Al Mubarokfuriy رحمه الله dalam “Tuhfatul Ahwadzi” (9/hal. 359/cet. Dar Ihyaut Turots).

 

NASIHAT KELIMA:

MEMPERBANYAK ISTIGHFAR DAN TAUBAT


Alloh ta’ala berfirman:
]إِنَّ الله يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ[ [البقرة/222]
“Sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang banyak bertobat dan mencintai orang-orang yang bersuci.”
Dari Abu Dzar رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم tentang apa yang beliau riwayatkan dari Alloh تبارك وتعالى bahwasanya Dia berfirman:
«يا عبادي إني حرمت الظلم على نفسي وجعلته بينكم محرما فلا تظالموا، يا عبادي كلكم ضال إلا من هديته فاستهدوني أهدكم، يا عبادي كلكم جائع إلا من أطعمته فاستطعموني أطعمكم، يا عبادي كلكم عار إلا من كسوته فاستكسوني أكسكم. يا عبادي إنكم تخطئون بالليل والنهار وأنا أغفر الذنوب جميعا فاستغفروني أغفر لكم». الحديث.
“Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharomkan terhadap diri-Ku kezholiman, dan Aku jadikan kezholiman itu harom di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzholimi. Wahai para hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mohonlah petunjuk pada-Ku, Aku akan beri kalian petunjuk. Wahai para hamba-Ku, kalian semua lapar kecuali orang yang Aku beri makan, maka mohonlah makanan pada-Ku, maka Aku akan beri kalian makanan. Wahai para hamba-Ku, kalian semua telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mohonlah pakaian pada-Ku, maka Aku akan beri kalian pakaian. Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat salah di malam dan siang, dan Aku mengampuni dosa semuanya, maka mohonlah ampunan pada-Ku, Aku akan mengampuni kalian.” Sampai akhir hadits. (HR. Muslim (2577)).
Dan dalil-dalil tentang bab ini banyak sekali. Maka barangsiapa memahami kedudukan ibadah jenis ini (tobat dan istighfar), lalu dia benar-benar mengupayakannya, sungguh dia akan beruntung. Alloh ta’ala berfirman:
]وَتُوبُوا إِلَى الله جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ[ [النور/31]
“Dan bertobatlah kalian semua kepada Alloh wahai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung.”
Abdulloh bin Busr رضي الله عنه berkata: Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِى صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيرًا».
“Thuba (nama sebuah pohon di Jannah) bagi orang yang mendapatkan dalam catatan amalannya istighfar yang banyak.” (HR. Ibnu Majah (3818) dan dihasankan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” no. (552)).
            Dan termasuk sebab ampunan yang paling penting di hati-hati kaum mukminin adalah: sholat malam Al Qodar. Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ».
“Barangsiapa sholat pada malam Al Qodar dengan keimanan dan mencari pahala Alloh, akan diampuni untuknya dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa berpuasa pada bulan Romadhon dengan keimanan dan mencari pahala Alloh, akan diampuni untuknya dosanya yang telah lalu.” (HR. Al Bukhoriy (1901) dan Muslim (760)).
            Adapun orang yang menyepelekan tobat dan istighfar, maka sungguh dia termasuk orang-orang yang rugi. Alloh ta’ala berfirman:
﴿قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ الله إِنَّ الله يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ * وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ * وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ * أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ الله وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ أَوْ تَقُولَ لَوْ أَنَّ الله هَدَانِي لَكُنْتُ مِنَ الْمُتَّقِينَ * أَوْ تَقُولَ حِينَ تَرَى الْعَذَابَ لَوْ أَنَّ لِي كَرَّةً فَأَكُونَ مِنَ الْمُحْسِنِينَ * بَلَى قَدْ جَاءَتْكَ آَيَاتِي فَكَذَّبْتَ بِهَا وَاسْتَكْبَرْتَ وَكُنْتَ مِنَ الْكَافِرِينَ * وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ تَرَى الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى الله وُجُوهُهُمْ مُسْوَدَّةٌ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْمُتَكَبِّرِين﴾ [الزمر/53-60].
“Katakanlah wahai para hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rohmat Alloh, sesungguhnya Alloh mengampuni dosa-dosa semuanya, sungguh Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kalian kepada Robb kalian dan tunduklah kepada-Nya sebelum datang pada kalian siksaan kemudian kalian tidak tertolong. Dan ikutilah yang terbaik dari apa yang diturunkan kepada kalian dari Robb kalian sebelum datang pada kalian siksaan dengan tiba-tiba dalam keadaan kalian tidak menyadarinya. Jangn sampai ada jiwa yang berkata: alangkah besarnya penyesalanku terhadap hak Alloh yang aku sia-siakan, dan sungguh aku dulu termasuk orang-orang yang mengejek. Atau berkata: seandainya Alloh memberiku petunjuk pastilah aku termasuk orang-orang yang bertaqwa. Atau berkata ketika melihat adzab seandainya aku punya kesempatan lagi pasti aku akan menjadi termasuk orang-orang yang berbuat kebaikan. Bahkan telah datang padaku ayat-ayat-Ku lalu engkau mendustakannya dan menyombongkan diri, dan engkau termasuk dari orang-orang kafir. Dan pada hari Kiamat engkau akan melihat orang-orang yang berdusta atas nama Alloh wajah-wajah mereka menghitam. Bukankah di dalam Jahannam ada tempat tinggal bagi orang-orang yang menyombongkan diri?”
Alloh جل ذكره berfirman:
﴿إِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى الله لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السُّوءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِنْ قَرِيبٍ فَأُولَئِكَ يَتُوبُ الله عَلَيْهِمْ وَكَانَ الله عَلِيمًا حَكِيمًا * وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآَنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا﴾ [النساء/17، 18]
“Hanyalah taubah itu menjadi tanggung Alloh bagi orang-orang yang melakukan kejelekan dengan kebodohan, kemudian dia bertobat dalam waktu dekat, maka mereka itulah orang-orang yang Alloh berikan tobat kepada mereka, dan Alloh itu Mahatahu dan Maha Penuh Hikmah. Dan tidaklah tobat itu bagi orang yang mengerjakan kejelekan-kejelekan sampai jika datang pada salah seorang dari mereka kematian dia berkata: sesungguhnya saya bertobat sekarang. Dan tobat juga tidak diterima dari orang-orang yang mati dalam keadaan mereka itu kafir. Mereka itulah yang telah Kami siapkan untuk mereka siksaan yang pedih.”
            Dari ‘Aisyah رضي الله عنها yang berkata:
قلت: يا رسول الله ابن جدعان كان في الجاهلية يصل الرحم ويطعم المسكين فهل ذاك نافعه؟ قال: «لا ينفعه إنه لم يقل يوما: رب اغفر لي خطيئتي يوم الدين».
“Kukatakan: Wahai Rosululloh, Ibnu Jud’an dulu di masa jahiliyyah menyambung silaturrohim, dan memberi makan orang miskin. Maka hal itu bermanfaat baginya?” maka beliau menjawab: “Hal itu tidak bermanfaat baginya karena dia tak pernah berkata sama sekali: “Wahai Robbku, ampunilah kesalahanku pada hari Pembalasan.” (HR. Muslim (214)).
Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«رغم أنف رجل ذكرت عنده فلم يصل عليّ ورغم أنف رجل دخل عليه رمضان فانسلخ قبل أن يغفر له ورغم أنف رجل أدرك عنده أبواه الكبر فلم يدخلاه الجنة».
“Sungguh rugilah orang yang diriku disebutkan di sisinya lalu dia tidak bersholawat untukku. Sungguh rugilah orang yang masuk kepadanya Romadhon lalu Romadhon itu pergi sebelum orang itu diampuni. Dan sungguh rugilah orang yang kedua orang tuanya di sisinya mendapati usia tua lalu keduanya tidak memasukkannya ke dalam Jannah.” (HR. Al Imam Ahmad (7451) dan yang lainnya. Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (1282) berkata: hadits ini naik ke derajat shohih lighoirih).

 

NASIHAT KEENAM:

MELANJUTKAN MUJAHADAH SYAR’IYYAH


            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Maka jihad itu ada empat tingkatan: memerangi diri sendiri, memerangi setan, memerangi orang-orang kafir dan memerangi orang-orang munafiqin.
[Tingkatan memerangi diri sendiri] maka memerangi diri sendiri itu ada empat tingkatan juga: yang pertama: memerangi diri agar mau mempelajari petunjuk dan agama yang benar yang mana jiwa itu tak akan punya keberuntungan dan kesuksesan di dunia dan akhiratnya kecuali dengan itu. Dan kapan saja luput darinya ilmunya, dia akan celaka di dua negri. Yang kedua: memerangi diri untuk mengamalkan ilmu tadi setelah dia mengetahuinya. Jika tidak demikian, maka sekedar ilmu tanpa amalan kalaupun tidak membahayakan, tak akan bermanfaat baginya. Ketiga: memerangi diri sendiri agar mau berdakwah dan mengajarkan ilmu tadi kepada orang yang belum mengetahuinya. Jika tidak demikian, maka dia termasuk orang yang menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang Alloh turunkan, dan ilmunya tidak bermanfaat baginya dan tak akan menyelamatkannya dari adzab Alloh. Keempat:memerangi diri sendiri untuk bersabar di atas kesulitan dakwah kepada Alloh dan gangguan para makhluq, dan untuk memikul itu semua untuk Alloh.
Jika dia telah menyempurnakan empat tingkatan ini, jadilah dia termasuk para Robbaniyyin, karena sesungguhnya Salaf itu telah bersepakat bahwasanya seorang alim itu tidak berhak dinamakan sebagai Robbaniy sampai dirinya mengetahui kebenaran, mengamalkannya dan mengajarkannya. Maka barangsiapa mengetahui, beramal dan mengajarkannya, maka dia itulah yang dipanggil sebagai orang agung di kerajaan langit.
Pasal [memerangi setan]. Memerangi setan itu ada dua tingkatan. Yang pertama:memeranginya untuk menolak syubuhat dan keraguan yang merusak keimanan yang dilemparkannya pada hamba. Yang kedua: memerangi setan dengan menolak keinginan-keinginan yang rusak dan syahwat-syahwat yang dilemparkannya pada hamba. Jihad yang pertama, setelahnya adalah keyakinan. Untuk jihad yang kedua, setelahnya adalah kesabaran. Alloh ta’ala berfirman:
﴿وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ﴾ [السجدة/24].
“Dan Kami jadikan dari mereka para imam yang membimbing dengan perintah Kami ketika mereka bersabar dan mereka senantiasa yakin dengan ayat-ayat Kami.”
Alloh ta’ala mengabarkan bahwasanya kepemimpinan dalam agama hanyalah didapatkan dengan kesabaran dan keyakinan. Kesabaran menolak syahwat-syahwat dan keinginan yang rusak. Keyakinan menolak keraguan-keraguan dan kesamaran-kesamaran.
Pasal [memerangi orang kafir dan munafiq] adapun memerangi orang kafir dan munafiq itu ada empat tingkatan: dengan hati, dengan lisan, dengan harta dan dengan jiwa. memerangi orang kafir itu lebih khusus dengan tangan, sedangkan memerangi orang munafiq itu lebih khusus dengan lidah.
Pasal [memerangi para pelaku kezholiman, kebid’ahan dan kemungkaran]. Adapun memerangi para pelaku kezholiman, kebid’ahan dan kemungkaran maka ada tiga tingkatan. Yang pertama: dengan tangan jika mampu. Jika tak bisa, berpindah ke lidah. Jika tidak sanggup maka dengan hatinya.
Maka inilah tigabelas tingkatan dari jihad. Dan barangsiapa mati dan tidak berperang dan tidak mengajak bicara dirinya untuk berperang, dia mati di atas satu cabang dari kemunafiqan.” (“Zadul Ma’ad”/hal. 370-371/cet. Dar Ibni Hazm).
            Maka bulan Romadhon adalah bulan mujahadah. Al Imam Ibnu Rojab رحمه الله berkata: “Dan ketahuilah bahwasanya mukmin itu terkumpul untuknya di bulan Romadhon dua jihad terhadap dirinya sendiri: jihad di siang hari untuk berpuasa, dan jihad di malam hari untuk sholat. Maka baransiapa mengumpulkan dua jihad ini, menunaikan hak-haknya, sabar untuk melaksanakan keduanya, dua akan dipenuhi pahalanya tanpa dihitung, …dst.” (“Lathoiful Ma’arif”/hal. 237/cet. Darul Hadits).
            Dan termasuk mujahadah di bulan Romadhon adalah menghidupkan malam-malamnya di sepuluh malam terakhir. Dari ‘Aisyah رضي الله عنها yang berkata:
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Dulu Nabi  jika telah masuk sepuluh terakhir, beliau mengencangkan ikat sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR. Al Bukhoriy (2024)).
Dan demikian pula bantahan terhadap pengekor hawa nafsu, dan memperingatkan umat dari mereka itu termasuk ibadah yang terbesar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Dan seperti para pemimpin kebid’ahan dari kalangan pemilik ucapan-ucapan yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, atau ibadah-ibadah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, maka penjelasan keadaan mereka, dan memperingatkan umat terhadap mereka adalah wajib, dengan kesepakatan muslimin. Sampai dikatakan pada imam Ahmad bin Hanbal: “Seseorang yang berpuasa, sholat dan I’tikaf lebih Anda sukai ataukah orang yang berbicara tentang ahlul bida’?” Maka beliau menjawab,”Jika dia berpuasa, sholat dan I’tikaf, maka hanyalah hal itu untuk dirinya sendiri. Tapi jika dia berbicara tentang ahlul bida’ maka itu hanyalah untuk muslimin, dan itu lebih utama.” Maka beliau menerangkan bahwasanya manfaat amalan yang ini mencakup seluruh muslimin di dalam agama mereka, dari jenis jihad fisabilillah.”  (“Majmu’ul Fatawa” 28/hal. 231-232).
Beliau رحمه الله juga berkata,”Maka orang yang membantah ahlul bida’ adalah mujahid. Sampai-sampai Yahya bin Yahya berkata,”Pembelaan terhadap sunnah itu lebih utama daripada jihad.”” (“Majmu’ul Fatawa”/4/hal. 12).
Muhammad bin Yahya Adz dzuhli رحمه الله berkata,”Aku mendengar Yahya bin Ma’in berkata,”Pembelaan terhadap sunnah itu lebih utama daripada jihad fi sabilillah.” Maka kukatakan pada Yahya,”Orang itu (mujahid) menginfaqkan hartanya, membikin capek dirinya, dan berjihad. lalu orang ini (yang membela sunnah) lebih utama daripada dia!?” Beliau menjawab,”Iya, lebih utama banyak sekali.” (“Siyar A’lam”/10/hal. 518).
Catatan: Al Imam Adz Dzahabiy  memasukkan atsar ini ke dalam biografi Yahya bin Yahya, wallohu a’lam.
Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata tentang ahlul bid’ah: “Maka menyingkap kebatilan mereka dan menjelaskan pembongkaran aib-aib mereka serta kerusakan kaidah-kaidah mereka termasuk jihad fi sabilillah yang paling utama. Nabi صلى الله عليه وسلم telah bersabda kepada Hassan bin Tsabit رضي الله عنه:
«إن روح القدس معك ما دمت تنافح عن رسوله»
“Sesungguhnya Ruhul Quds bersamamu selama engkau membela Rosul-Nya.”
Juga bersabda:
«أهجهم أو هاجهم وجبريل معك»
“Serang mereka dengan syair, atau balas serangan syair mereka, dan Jibril bersamamu.”
Juga bersabda:
«اللهم أيده بروح القدس ما دام ينافح عن رسولك»
“Ya Alloh, dukunglah dia dengan Ruhul Quds selama dia membela Rosul-Mu.”
Beliau juga bersabda tentang serangan syair beliau:
«والذي نفسي بيده لهو أشد فيهم من النبل»
“Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, benar-benar itu lebih keras bagi mereka daripada panah.”
Dan bagaimana penjelasan itu tadi tidak termasuk dari jihad fi sabilillah?” (“Showa’iqul Mursalah” /1/hal. 114/cet. Maktabatur Rusyd).
Al Imam Al Wadi’y rohimahulloh berkata:  ”Karena termasuk dari bagian Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, dan bagian dari dakwah ke jalan Alloh, dan bahkan termasuk jihad fi sabilillah adalah menjelaskan ‘Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, pembelaan untuknya, dan menyingkap kebatilan ahlul bida’, ahlul ilhad dan peringatan dari mereka, sebagaimana Alloh ‘Azza Wajalla berfirman:
]بل نقذف بالحقّ على الباطل فيدمغه فإذا هو زاهق[.
"Bahkan Kami akan melemparkan al haq terhadap kebatilan sehingga dia menyirnakan kebatilan tadi, maka tiba-tiba kebatilan tadipun lenyap." (QS Al Anbiya 18)
Maka semoga Alloh membalas Ahlussunnah dengan kebaikan, karena mereka sejak zaman lampau maju menentang ahlil bida' sampai-sampai sebagian dari mereka lebih mengutamakan bantahan terhadap ahlul bida' di atas jihad fi sabilillah." (kitab beliau "Rudud Ahlil 'Ilmi"/hal. 5-6/cet. Darul Atsar).
            Fadhilatusy Syaikh Ahmad bin yahya An Najmiy رحمه الله berkata: “Dan Syaikhul Islam telah menukilkan ijma’ terhadap hal itu: bahwasanya orang yang membantah ahli bid’ah dengan maksud untuk membela agama, dan pembersihan agama dari apa yang bukan dari agama, bahwasanya yang demikian terhitung sebagai jihad fi sabillah dan penjagaan syariatnya, …dst.” (“Ar Roddul Muhabbir”/hal. 138/karya Asy Syaikh Ahmad An Najmiy رحمه الله/cet. Darul Minhaj).
Fadhilatusy Syaikh Robi' -hafizhahulloh- berkata tentang ulama Salaf: "Mereka memahami dari dalil-dalil tadi sikap-sikap yang selamat dan sehat terhadap ahlul bida' wadh dholal, dan mereka mencatatnya di dalam kitab-kitab mereka. Dan mereka berkata,"Sesungguhnya mubtadi'ah itu tiada ghibah buatnya, dan wajib memperingatkan umat darinya, dan bahwasanya memerangi ahlil bida' adalah jihad, dan dia itu lebih utama daripada memukul dengan pedang." ("Al Mauqifush Shohih"/hal. 23/cet. Darul Imam Ahmad).
Beliau حفظه الله juga berkata: “… dan bahwasanya membantah ahli bid’ah dan memperingatkan umat dari mereka merupakan jihad fi sabilillah.” (“Naqdur Rijal”/hal. 137/cet. Darul Minhaj).
Fadhilatu Syaikhinal Muhaddits Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله berkata tentang nilai memerangi orang kafir dan munafiqin dan yang lain: “Alangkah miripnya seorang mujahid dengan lidahnya dengan mujahid dengan tombaknya. Bahkan mujahid dengan lidahnya lebih keras.” (dicatat tanggal 27 Jumadal Ula 1430 H).
Dan bukanlah ini –memerangi mubtadi’ah- termasuk perusak kesucian Romadhon, bahkan ini termasuk ibadah yang teragung, dan dengannya Alloh menjaga kesucian Romadhon dan syariat-Nya dari kotoran dan polusi. Dan ini adalah di jalan Alloh. Dan memerangi mubtadi’ah sambil berpuasa merupakan ibadah agung di jalan Alloh. Alangkah agungnya itu. Dari Abu Sa’id رضي الله عنه yang berkata: Aku mendengar Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«مَنْ صَامَ يَوْمًا فِى سَبِيلِ الله بَعَّدَ الله وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا».
“Barangsiapa berpuasa satu hari di jalan Alloh, Alloh akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh tujuh puluh tahun.” (HR. Al Bukhoriy (2840) dan Muslim (1153)).
            Dan ini semua tidak keluar dari jihad terhadap diri sendiri. Dari Fudholah bin Ubaid رضي الله عنه yang berkata: Aku mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«المجاهد من جاهد نفسه في سبيل الله عز و جل».
“Mujaahid yang sebenarnya adalah orang yang memerangi dirinya sendiri di jalan Alloh عز وجل.” (HR. Ahmad (23965). Dishohihkan oleh Al Imam Al Albaniy رحمه الله dalam “Ash Shohihah” no. (549) dan Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” di bawah no. (1065)).

NASIHAT KETUJUH:

MENEKUNI NASIHAT DAN LOYALITAS PADA PEMERINTAH MUSLIMIN


Dari Tamim Ad Dary rodhiyallohu 'anhu yang berkata:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « الدِّينُ النَّصِيحَةُ » قُلْنَا لِمَنْ قَالَ « لله وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ ».
"Bahwasanya Nabi -shalallohu 'alaihi wa sallam- bersabda: "Agama ini adalah nasihat." Maka kami bertanya,"Buat siapa?" Beliau bersabda: "Untuk Alloh, untuk kitab-Nya, untuk Rosul-Nya, untuk pemimpin muslimin dan orang awamnya." (HR. Muslim (55)).
            Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Adapun nasihat untuk para pemimpin muslimin adalah dengan membantu mereka di atas kebenaran, menaati mereka dalah kebenaran, memerintahkan mereka dengan kebenaran, mengingatkan mereka untuk bersifat lunak dan lembut, memberitahu mereka perkara yang mereka lalaikan dan hak-hak muslimin yang belum sampai ke mereka, tidak memberontak pada mereka, menyatukan hati-hati manusia untuk menaati mereka. Al Khoththobiy رحمه الله berkata: “Termasuk dari menasihati mereka adalah sholat di belakang mereka, berjihad bersama mereka, membayar zakat pada mereka, tidak memberontak pada mereka dengan pedang jika nampak pada mereka ketidakadilan dan jeleknya hubungan, dan tidak menipu mereka dengan pujian dusta atas mereka, mendoakan mereka dengan kebaikan. Dan ini semua jika yang dimaksudkan dengan para pemimpin muslimin adalah para kholifah dan para pejabat yang selain mereka yang menegakkan urusan muslimin. Dan inilah yang terkenal.” (“Al Minhaj Syarh Shohih Muslim bin Hajjaj”/1/hal. 398/cet. Maktabatul Ma’arif).
Dari ‘Auf bin Malik رضي الله عنه:
عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «خيار أئمتكم الذين تحبونهم، ويحبونكم، ويصلون عليكم، وتصلون عليهم. وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم، ويبغضونكم، وتلعنونهم، ويلعنونكم» قيل: يا رسول الله أفلا ننابذهم بالسيف؟ فقال: «لا ما أقاموا فيكم الصلاة. وإذا رأيتم مِن وُلاتكم شيئاً تكرهونه، فاكرهوا عمله ولا تنزعوا يدا من طاعة».
Dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang bersabda: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian sukai, dan mereka menyukai kalian, mereka mendoakan kalian, dan kalian mendoakan untuk mereka. Dan Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah orang-orang yang kalian benci, dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka, dan mereka melaknat kalian.” Dikatakan: “Wahai Rosululloh, tidakkah sebaiknya kami memerangi mereka dengan pedang?” maka beliau menjawab: “Jangan, selama mereka menegakkan sholat di antara kalian. Jika kalian melihat suatu perkara yang tidak kalian sukai dari pemimpin kalian, maka bencilah amalannya, dan janganlah kalian mencabut tangan dari ketaatan padanya.” (HR. Muslim (1855)).
            Dan dari Ummu Salamah istri Nabi صلى الله عليه وسلم :
عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: «إنه يستعمل عليكم أمراء فتعرفون وتنكرون. فمن كره فقد برئ، ومن أنكر فقد سلم، ولكن من رضى وتابع» قالوا: يا رسول الله ألا نقاتلهم؟ قال: «لا ما صلوا».
Dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda: “Sesungguhnya akan dipekerjakan terhadap kalian para penguasa, kalian mengenalinya dan mengingkarinya. Maka barangsiapa membenci, berarti dia telah berlepas diri. Dan barangsiapa mengingkari, sungguh dia telah selamat. Akan tetapi orang yang ridho dan mengikuti mereka (itulah yang celaka).” Mereka bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah tidak sebaiknya kami memerangi mereka?” beliau menjawab: “Jangan, selama mereka masih sholat.” (HR. Muslim (1854)).
            Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«عليك السمع والطاعة في عسرك ويسرك ومنشطك ومكرهك وأثرة عليك»
“Engkau harus mendengar dan taat dalam masa susahmu, kemudahanmu, kerajinanmu, dan keterpaksaanmu, dan saat hakmu dizholimi.” (HR. Muslim (1836)).
Dan dari 'Ubadah Ibnush Shomit رضي الله عنه berkata:
بايعنا رسول الله صلى الله عليه وسلم على السمع والطاعة في العسر واليسر والمنشط والمكره، وعلى أثرة علينا، وعلى أن لا ننازع الأمر أهله، وعلى أن نقول بالحق أينما كنا لا نخاف في الله لومة لائم.
“kami membai'at Rosululloh -shalallohu 'alaihi wa sallam- untuk mendengar dan taat dalam keadaan kami merasa sulit dan mudah, dalam keadaan kami rajin dan terpaksa, dan dalam keadaan kami tertimpa kezholiman, dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya, dan agar kami berkata yang benar di manapun kami berada, dan kami tidak takut di jalan Alloh celaan orang yang mencela. " (HR. Muslim (1709)).
            Dan ketaatan para penguasa itu dalam perkara yang tidak menyelisihi Kitabulloh dan sunnah Rosululloh صلى الله عليه وسلم . Alloh ta’ala berfirman:
﴿يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا﴾ [النساء: 59]
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Alloh dan taatilah Rosul dan para pemegang urusan di antara kalian. Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara maka kembalikanlah pada Alloh dan Rosul jika kalian memang beriman pada Alloh dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik dan lebih bagus kesudahannya.”
            Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Maka ini adalah perintah-perintah untuk menaati ulama dan umaro. Karena itulah Alloh ta’ala berfirman: “taatilah Alloh” yaitu: ikutilah kitab-Nya, “dan taatilah Rosul” yaitu: ambil sunnahnya, “dan para pemegang urusan di antara kalian” yaitu: dalam perkara yang mereka memerintahkan kalian yang berupa ketaatan pada Alloh, bukan dalam kedurhakaan pada Alloh, karena tiada ketaatan pada makhluq dalam kedurhakaan pada Alloh, …dst.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/1/hal. 713/cet. Darus Shiddiq).
            Dari Ali رضي الله عنه yang berkata:
بَعَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – سَرِيَّةً فَاسْتَعْمَلَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ، وَأَمَرَهُمْ أَنْ يُطِيعُوهُ، فَغَضِبَ فَقَالَ: أَلَيْسَ أَمَرَكُمُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ تُطِيعُونِى. قَالُوا: بَلَى. قَالَ: فَاجْمَعُوا لِي حَطَبًا. فَجَمَعُوا، فَقَالَ: أَوْقِدُوا نَارًا. فَأَوْقَدُوهَا، فَقَالَ: ادْخُلُوهَا. فَهَمُّوا، وَجَعَلَ بَعْضُهُمْ يُمْسِكُ بَعْضًا، وَيَقُولُونَ: فَرَرْنَا إِلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – مِنَ النَّارِ. فَمَا زَالُوا حَتَّى خَمَدَتِ النَّارُ، فَسَكَنَ غَضَبُهُ، فَبَلَغَ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: «لَوْ دَخَلُوهَا مَا خَرَجُوا مِنْهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ».
“Nabi صلى الله عليه وسلم mengutus suatu pasukan lalu mempekerjakan seseorang dari Anshor dan memerintahkan mereka untuk menaatinya. Kemudian (suatu ketika) pemimpin itu marah seraya berkata: “Bukankah Nabi صلى الله عليه وسلم memerintahkan kalian untuk menaatiku?” mereka menjawab: “Iya,” dia berkata: “Maka kumpulkanlah untukku kayu bakar.” Maka merekapun mengumpulkannya. Lalu dia berkata: “Nyalakanlah api,” maka mereka menyalakan api. Lalu dia berkata: “Masuklah kalian ke dalamnya.” Maka mereka hampir berniat melakukannya. Dan mulailah sebagian dari mereka memegang sebagian yang lain dan berkata: “Kita lari kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dari api neraka.” Terus-menerus mereka dalam keadaan demikian sampai padamlah api itu, dan redalah kemarahan sang pemimpin. Lalu berita itu sampai pada Nabi صلى الله عليه وسلم maka beliau bersabda: “Jika mereka masuk ke dalam api tadi, mereka tak akan keluar darinya sampai hari Kiamat. Ketaatan itu dalam perkara yang baik.” (HR. Al bukhoriy (4340) dan Muslim (1840)).
            Dan termasuk berbuat kebajikan dan kebaikan pada pemimpin adalah dengan mencurahkan nasihat untuk mereka dan tidak menaati mereka dalam kedurhakaan pada Alloh, agar tidak menjadi banyaklah dosa-dosa mereka dan hukuman mereka pada hari Kiamat. Dari Thoriq bin Syihab  yang berkata:
أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه و سلم وقد وضع رجله في الغرز أي الجهاد أفضل؟ قال: «كلمة حق عند سلطان جائر».
“Bahwasanya seseorang bertanya pada Rosululloh صلى الله عليه وسلم dalam keadaan beliau telah meletakkan kakinya di pijakan di tunggangan beliau,”Apakah jihad yang paling utama?” maka beliau menjawab: “Kalimat yang benar di hadapan penguasa yang lalim.” (HR. Ahmad (18828). Dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (518)).
            Abuth Thoyyib Muhammad Syamsul haqqil ‘Azhim رحمه الله berkata: “Hanyalah yang demikian itu menjadi jihad yang paling utama karena orang yang memerangi musuh itu berbolak-balik antara harapan dan rasa takut, dia tak tahu apakah akan menang atau kalah. Sementara orang yang menasihati penguasa itu berada dalam kekuasaan tangannya. Dan dia jika mengatakan yang benar dan memerintahkan yang ma’ruf berarti telah menyodorkan diri pada kebinasaan dan menjadikan dirinya sebagai sasaran kematian. Maka jadilah ini jenis jihad yang paling utama, karena dominasi rasa takut. Ini diucapkan oleh Al Khoththobiy dan yang lainnya.” (“Aunul Ma’bud”/di bawah no. (4334)/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).
            Ini adalah bagian dari aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Andaikata muslimin berpegang teguh dengannya pastilah akan dibukakan kepada mereka keberkahan-keberkahan dari langit dan bumi, dan mereka bisa beribadah pada Robb mereka عز وجلdengan keamanan dan ketenangan. Akan tetapi sebagian orang yang tolol tidak mau kecuali demonstrasi, penggulingan kekuasaan, peledakan, penggerakan masyarakat untuk menentang pemimpin-pemimpin mereka, sehingga terjadilah dengan sebab itu kejelekan yang luas.
            Sa’id bin Jumhan berkata:
أتيت عبد الله بن أبي أوفى وهو محجوب البصر، فسلمت عليه، قال لي: من أنت؟ فقلت: أنا سعيد بن جمهان، قال: فما فعل والدك؟ قال: قلت: قتلته الأزارقة، قال: لعن الله الأزارقة، لعن الله الأزارقة، حدثنا رسول الله صلى الله عليه وسلم «أنهم كلاب النار»، قال: قلت: الأزارقة وحدهم أم الخوارج كلها؟ قال: بل الخوارج كلها. قال: قلت: فإن السلطان يظلم الناس، ويفعل بهم. قال: فتناول يدي فغمزها بيده غمزة شديدة ، ثم قال: ويحك يا ابن جمهان عليك بالسواد الأعظم، عليك بالسواد الأعظم. إن كان السلطان يسمع منك، فأته في بيته، فأخبره بما تعلم، فإن قبل منك، وإلا فدعه، فإنك لست بأعلم منه.
Aku mendatangi Abdulloh bin Abi Aufa dalam keadaan beliau telah buta. Lalu kuucapkan salam pada beliau, maka beliau bertanya: “Siapakah engkau?” kujawab: “Saya Sa’id bin Jumhan.” Beliau berkata: “Apa yang dikerjakan oleh ayahmu?” kujawab: “Beliau dibunuh oleh Azariqoh.” Maka beliau menjawab: “Semoga Alloh melaknat Azariqoh, semoga Alloh melaknat Azariqoh.” Rosululloh صلى الله عليه وسلم menceritakan pada kami: “Bahwasanya mereka adalah anjing-anjing neraka.” Aku bertanya: “Azariqoh saja ataukah seluruh khowarij?” beliau menjawab: “Bahkan seluruh khowarij.” Aku berkata: “Sesungguhnya sang penguasa telah menzholimi manusia dan bersikap keras pada mereka.” Maka beliau mengambil tanganku dan menggenggamnya dengan keras, lalu berkata: “Kasihan kamu wahai Ibnu Jumhan, engkau harus setia dengan As Sawadul A’zhom([10]), engkau harus setia dengan As Sawadul A’zhom. Jika sang penguasa mendengar ucapanmu, maka datangilah di rumahnya, lalu kabarilah dia dengan apa yang engkau ketahui. Jika dia menerima darimu, maka itu yang diharapkan, jika tidak, maka biarkan dia, karena engkau tidaklah lebih tahu daripada dirinya.” (HR. Ahmad (19415) dan dihasankan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” no. (545)/Darul Atsar).
            Dan dari Abu Gholib yang berkata:
لَمَّا أُتِىَ بِرُءُوسِ الأَزَارِقَةِ فَنُصِبَتْ عَلَى دَرَجِ دِمَشْقَ جَاءَ أَبُو أُمَامَةَ فَلَمَّا رَآهُمْ دَمَعَتْ عَيْنَاهُ فَقَالَ: «كِلاَبُ النَّارِ – ثَلاَثَ مَرَّاتٍ –هَؤُلاَءِ شَرُّ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ وَخَيْرُ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ الَّذِينَ قَتَلَهُمْ هَؤُلاَءِ». قَالَ: فَقُلْتُ: فَمَا شَأْنُكَ دَمَعَتْ عَيْنَاكَ؟ قَالَ: رَحْمَةً لَهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا مِنْ أَهْلِ الإِسْلاَمِ. قَالَ: قُلْنَا: أَبِرَأْيِكَ قُلْتَ هَؤُلاَءِ كِلاَبُ النَّارِ، أَوْ شَىْءٌ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ الله -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: إِنِّى لَجَرِىءٌ بَلْ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ الله -صلى الله عليه وسلم- غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ ثِنْتَيْنِ وَلاَ ثَلاَثٍ. قَالَ: فَعَدَّ مِرَاراً.
“Ketika didatangkan kepala-kepala orang-orang Azariqoh lalu ditancapkan di tangga-tangga Dimasyq, datanglah Abu Umamah. Maka beliau melihat mereka, mengalirlah air mata mereka, seraya berkata: “Anjing-anjing neraka.” Sebanyak tiga kali. “Mereka adalah sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah kolong langit. Dan sebaik-baik orang yang terbunuh di bawah kolong langit adalah orang yang mereka bunuh.” Maka aku bertanya: “Lalu kenapa air mata Anda berlinang?” beliau menjawab: “Rasa kasihan kepada mereka. Sesungguhnya mereka dulunya adalah muslimin.” Kami katakan: “Apakah Anda mengucapkan bahwasanya mereka adalah anjing-anjing neraka ini dengan pendapat Anda sendiri, ataukah sesuatu yang Anda dengar dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم?” beliau menjawab: “Aku sungguh lancang jika demikian. Bahkan aku mendengarnya dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم bukan cuma sekali, atau dua kali atau tiga kali.” Beliau menghitungnya berkali-kali.” (HR. Ahmad (22314) dan dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” no. (482)/Darul Atsar).

 

NASIHAT KEDELAPAN:

MEMPERBANYAK MENGINGAT KEMATIAN DAN AKHIRAT


Alloh ta’ala berfirman:
]كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ[ [آل عمران/185]
“Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian. Dan hanyalah pahala kalian itu akan dicukupi pada hari Kiamat. Maka barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam Jannah, maka sungguh dia itu beruntung. Dan tidaklah kehidupan dunia itu kecuali kesenangan yang menipu.”
            Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Ayat ini di dalamnya ada berita duka untuk seluruh manusia, karena tidaklah tersisa seorangpun di muka bumi sampai dia mati. Maka jika jangka waktu telah usai, dan nuthfah yang Alloh tetapkan keberadaannya telah kosong dari sulbi Adam, dan para makhluq telah habis, Alloh akan menegakkan Kiamat dan membalas para makhluq dengan amalan mereka, yang agungnya atupun amalan yang remehnya, yang banyak ataupun yang sedikit, yang besarnya ataupun amalan yang kecilnya. Maka Alloh tidak menzholimi seorangpun sekecil dzarrohpun. Karena itulah Alloh berfirman: “Dan hanyalah pahala kalian itu akan dicukupi pada hari Kiamat” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/1/hal. 595/cet. Darus Shiddiq).
            Dan dari Hani pembantu Utsman bin Affan yang berkata:
كَانَ عُثْمَانُ إِذَا وَقَفَ عَلَى قَبْرٍ بَكَى حَتَّى يَبُلَّ لِحْيَتَهُ فَقِيلَ لَهُ تُذْكَرُ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ فَلاَ تَبْكِى وَتَبْكِى مِنْ هَذَا، فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ الله -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: «إِنَّ الْقَبْرَ أَوَّلُ مَنَازِلِ الآخِرَةِ فَإِنْ نَجَا مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَيْسَرُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ يَنْجُ مِنْهُ فَمَا بَعْدَهُ أَشَدُّ مِنْهُ ». قَالَ: وَقَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم-: «مَا رَأَيْتُ مَنْظَرًا قَطُّ إِلاَّ وَالْقَبْرُ أَفْظَعُ مِنْهُ ».
“Dulu Utsman jika berdiri di kuburan, beliau menangis hingga membasahi jenggot beliau. Maka dikatakan pada beliau: “Anda jika disebutkan Jannah dan neraka tidak menangis, tapi kenapa Anda menangis karena kuburan?” maka beliau menjawab: “Sesungguhnya Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Sesungguhnya kuburan adalah persinggahan pertama di akhirat. Jika dia selamat darinya, maka apa yang setelahnya lebih mudah darinya. Tapi jika tidak selamat darinya, maka apa yang setelahnya lebih keras daripadanya.” Rosululloh صلى الله عليه وسلم juga bersabda: “Tidaklah aku melihat suatu pemandangan satupun kecuali dalam keadaan kuburan itu lebih mengerikan daripadanya.” (HR. At Tirmidziy (2478/Ahwadzi), dan dihasankan oleh Al Imam Al Albaniy رحمه الله dalam “Misykatul Mashobih” no. (132), dan Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” no. (909)).
            Dan Alloh ta’ala berfirman:
]فَإِذَا جَاءَتِ الطَّامَّةُ الْكُبْرَى * يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ مَا سَعَى * وَبُرِّزَتِ الْجَحِيمُ لِمَنْ يَرَى * فَأَمَّا مَنْ طَغَى * وَآَثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا * فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَى * وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى * فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى[ [النازعات/34-41]
“Maka jika telah datang malapetaka besar (Kiamat), pada hari manusia mengingat apa yang telah dia usahakan. Dan Jahim ditampilkan bagi orang yang melihat. Maka adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya Jahim itulah tempat tinggalnya. Adapun orang yang takut pada kebesaran Robbnya dan menahan dirinya dari keinginannya maka Jannahlah tempat tinggalnya.”
            Dan juga berfirman:
]بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ * إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي ضَلَالٍ وَسُعُرٍ * يَوْمَ يُسْحَبُونَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ ذُوقُوا مَسَّ سَقَرَ[ [القمر/46-48]
“Bahkan hari Kiamat itu adalah hari yang dijanjikan pada mereka, dan hari Kiamat itu lebih berat dan lebih pahit. Sesungguhnya orang-orang yang jahat itu di dalam kesesatan dan gejolak api. Pada hari mereka diseret di dalam neraka di atas wajah-wajah mereka, (dikatakan pada mereka:) “Rasakanlah sentuhan neraka Saqor.”
            Dan dari Al Miqdad ibnul Aswad رضي الله عنه yang berkata:
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: «تدني الشمس يوم القيامة من الخلق حتى تكون منهم كمقدار ميل» – قال سليم بن عامر (أحد الرواة): فوالله ما أدري ما يعني بالميل؟ أمسافة الأرض أم الميل الذي تكتحل به العين؟- قال: «فيكون الناس على قدر أعمالهم في العرق فمنهم من يكون إلى كعبيه، ومنهم من يكون إلى ركبتيه، ومنهم من يكون إلى حقويه، ومنهم من يلجمه العرق إلجاماً» قال: وأشار رسول الله صلى الله عليه وسلم بيده إلى فيه.
“Aku mendengar Rosululloh رضي الله عنه bersabda: “Matahari pada hari Kiamat akan didekatkan kepada para makhluq hingga berjarak dari mereka seperti ukuran mil.” –Salim bin Amir (salah seorang rowi) berkata: Maka demi Alloh Aku tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan mil, apakah jarak di bumi ataukah alat yang dipakai untuk bercelak mata?- beliau bersabda: “Maka jadilah manusia berkeringat sesuai dengan kadar amalan mereka. Di antara mereka ada yang keringatnya setinggi kedua mata kakinya, di antara mereka ada yang keringatnya sampai ke kedua lututnya, di antara mereka ada yang keringatnya sampai ke pinggangnya, di antara mereka ada yang keringatnya sampai mengekang mulutnya.” Rosululloh رضي الله عنه mengisyaratkan dengan tangannya ke mulutnya.” (HR. Muslim (2864)).
            Maka alangkah butuhnya kita pada air yang segar dan banyak pada hari kehausan yang terbesar. Abdulloh bin Amr رضي الله عنه berkata: Nabi رضي الله عنه bersabda:
«حَوْضِى مَسِيرَةُ شَهْرٍ، مَاؤُهُ أَبْيَضُ مِنَ اللَّبَنِ، وَرِيحُهُ أَطْيَبُ مِنَ الْمِسْكِ، وَكِيزَانُهُ كَنُجُومِ السَّمَاءِ، مَنْ شَرِبَ مِنْهَا فَلاَ يَظْمَأُ أَبَدًا».
“Telagaku (sepanjang dan selebar) perjalanan sebulan, airnya lebih putih dari susu, aromanya lebih harum daripada misik, gayungnya seperti bintang-bintang di langit. Barangsiapa meminum darinya, dia tak akan dahaga selamanya.” (HR. Al Bukhoriy (6579) dan Muslim (2292)).
            Akan tetapi tidak setiap orang dari umat ini boleh minum darinya.
            Dari Abu Hazim  رحمه الله:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم -: «إِنِّى فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ، مَنْ مَرَّ عَلَىَّ شَرِبَ، وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا، لَيَرِدَنَّ عَلَىَّ أَقْوَامٌ أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُونِى، ثُمَّ يُحَالُ بَيْنِى وَبَيْنَهُمْ». قَالَ أَبُو حَازِمٍ: فَسَمِعَنِى النُّعْمَانُ بْنُ أَبِى عَيَّاشٍ فَقَالَ: هَكَذَا سَمِعْتَ مِنْ سَهْلٍ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. فَقَالَ: أَشْهَدُ عَلَى أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ لَسَمِعْتُهُ وَهْوَ يَزِيدُ فِيهَا: «فَأَقُولُ إِنَّهُمْ مِنِّى. فَيُقَالُ إِنَّكَ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ. فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ غَيَّرَ بَعْدِى».
Dari Sahl bin Sa’d رضي الله عنهما yang berkata: “Nabi رضي الله عنه bersabda: “Sungguh aku mendahului kalian di atas telaga. Barangsiapa melewati diriku, dia akan minum. Dan barangsiapa minum dia tak akan dahaga selamanya. Pasti akan ada orang-orang yang mendatangi diriku, aku mengenal mereka dan mereka mengenalku. Lalu mereka dihalangi antara aku dan mereka.” Abu Hazim berkata: An Nu’man bin ‘Ayyasy mendengarku menyampai hadits ini, lalu dia berkata: “Demikiankah engkau mendengar dari Sahl?” maka kujawab: “Iya.” Maka dia berkata: “Aku bersaksi atas Abu Sa’id Al khudriy, sungguh aku mendengarnya menambahi di situ: “Maka aku berkata: “Sesungguhnya mereka adalah dari golonganku.” Maka dikatakan: Sesungguhnya engkau tidak tahu apa perkara baru yang mereka bikin sepeninggalmu.” Maka kukatakan: “Menjauhlah, menjauhlah bagi orang yang merubah sepeninggalku.” (HR. Al Bukhoriy (6583-6584) dan Muslim (2290-2291)).
Jabir -rodhiyallohu ‘anhu- berkata:
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لكعب بن عجرة: «أعاذك الله من إمارة السفهاء» قال: وما إمارة السفهاء؟ قال: «أمراء يكونون بعدي لا يقتدون بهديي ولا يستنون بسنتي فمن صدقهم بكذبهم وأعانهم على ظلمهم فأولئك ليسوا مني ولست منهم ولا يردوا على حوضي، ومن لم يصدقهم بكذبهم ولم يعنهم على ظلمهم فأولئك مني وأنا منهم وسيردوا على حوضي » الحديث.
“Nabi -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada Ka’b bin ‘Ujroh: “Semoga Alloh melindungimu dari pemerintahan orang-orang yang tolol.” Maka dia bertanya,”Apa itu pemerintahan yang tolol?” Beliau menjawab: “Pemerintah sepeninggalku yang tidak berpedoman dengan jalanku, dan tidak menempuh sunnahku. Barangsiapa membenarkan mereka di dalam kedustaan mereka dan juga membantu mereka di dalam kezholiman mereka, maka mereka itu bukan dari golonganku, dan aku bukan dari golongan mereka. Dan mereka tidak akan mengunjungiku di telagaku. Tapi barangsiapa tidak membenarkan mereka di dalam kedustaan mereka dan juga tidak membantu mereka di dalam kezholiman mereka, maka mereka itu adalah dari golonganku, dan aku pun dari golongan mereka. Dan mereka akan mengunjungiku di telagaku.” Al hadits. (HR. Ahmad (14441) dan dihasankan oleh Al Imam Al Wadi’iy -rohimahullohu- dalam “Ash Shohihul Musnad” (245)).
            Maka tidaklah mendapatkan telaga Rosululloh صلى الله عليه وسلم kecuali orang yang menaati beliau dan mengikuti jalan beliau.
Al Imam Ibnul Qoyyim -rohimahullohu-  berkata: “Dan bahwasanya kedatangan manusia ke telaga tersebut, dan minumnya mereka darinya pada hari kehausan yang terbesar adalah sesuai dengan kunjungan mereka kepada sunnah Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- dan kadar minumnya mereka dari sunnah tersebut. Maka barangsiapa mengunjunginya, meminumnya dan meneguknya di dunia ini, dia akan mengunjungi telaga tersebut di sana meminumnya dan meneguknya. Maka Rosululloh -shalallohu ‘alaihi wa sallam- punya dua telaga yang besar. Telaga di dunia, dan dia itu adalah sunnah beliau dan syariat yang beliau bawa. Dan telaga di akhirat. Maka orang-orang yang minum dari telaga ini di dunia, merekalah yang akan meminum dari telaganya pada hari kiamat. Maka ada yang minum, ada yang terlarang, ada yang minumnya banyak, dan ada yang minumnya sedikit. Dan orang-orang yang diusir oleh beliau dan para malaikat dari telaganya hari kiamat adalah orang-orang yang mengusir dirinya sendiri dan para pengikutnya dari sunnah beliau, dan lebih mengutamakan ajaran yang lain daripada sunnah beliau. Maka barangsiapa kehausan dari sunnah beliau di dunia ini dan tiada urusan dengan sunnah beliau, maka dia di hari kiamat akan lebih kehausan, dan hatinya lebih kepanasan.” dst (“Ijtima’ul Juyusy Al Islamiyyah” /hal. 85-86/cet. Maktabatur Rusyd).
Kemudian renungkanlah kerasnya keadaan di Shiroth di atas punggung Jahannam. Alloh ta’ala telah berfirman:
]وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا * ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا[ [مريم/71، 72]
“Dan tiada seorangpun dari kalian kecuali akan melewati Jahannam itu. Itu merupakan kewajiban atas Robbmu yang pasti akan ditunaikan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa dan Kami akan biarkan orang-orang zholim di dalamnya dalam keadaan berlutut.”
Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه :
 عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: «وترسل الأمانة والرحم فتقومان جنبتي الصراط يميناً وشمالاً، فيمر أولكم كالبرق» قال: قلت: بأبي أنت وأمي أيّ شيء كمرّ البرق؟ قال: «ألم تروا إلى البرق كيف يمرّ ويرجع في طرفة عين؟ ثم كمرّ الريح ثم كمرّ الطير وشدّ الرجال، تجري بهم أعمالهم، ونبيكم قائم على الصراط يقول: رب سلم سلم، حتى تعجز أعمال العباد حتى يجيء الرجل فلا يستطيع السير إلا زحفاً» قال: «وفي حافتي الصراط كلاليب معلقة مأمورة بأخذ من أمرت به، فمخدوش ناج، ومكدوس في النار»، والذي نفس أبي هريرة بيده إن قعر جهنم لسبعون خريفا.
Dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda: “Akan diutuslah amanah dan rohim, lalu keduanya akan berdiri di kedua sisi Shiroth sebelah kanan dan kiri. Maka yang pertama dari kalian akan melintas seperti kilat.” Maka kukatakan: “Ayah dan ibuku sebagai jaminan Anda. Apa itu sesuatu yang seperti lintasan kilat?” beliau menjawab:“Tidakkah kalian melihat kilat bagaimana lewat dan kembali seperti kedipan mata? Lalu seperti lintasan angin, lalu seperti lintasan pria-pria yang kuat. Amalan merekalah yang memperjalankan mereka. Dan Nabi kalian berdiri di atas Shiroth dengan berkata: “Robbi selamatkanlah selamatkanlah.” Hingga melemahlah amalan para hamba, hingga datang orang yang tak sanggup berjalan kecuali merangkak.”Beliau bersabda: “Dan di kedua tepi Shorith ada cakar-cakar yang tergantung dan diperintahkan untuk mengambil orang yang diperintahkan untuk diambil. Maka ada orang yang tercakar tapi selamat, ada yang terdorong dan jatuh ke dalam neraka.”Dan demi Dzat yang jiwa Abu Huroiroh di tangan-Nya, sesungguhnya jurang Jahannam benar-benar sedalam tujuh puluh tahun.” (HR. Muslim (195)).
            Maka tidak ada yang selamat dari kekerasan ini kecuali orang yang kokoh di atas kebenaran dalam memerangi syubuhat dan syahawat. Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Maka barangsiapa mendapatkan petunjuk di dunia ini ke shiroth Alloh yang lurus yang dengannya Alloh mengutus para Rosul-Nya, dan menurunkan dengannya kitab-kitab-Nya, maka dia akan mendapatkan petunjuk di sana (akhirat) ke shiroth yang lurus yang menyampaikannya ke jannah Alloh dan negeri pahala-Nya. Dan sesuai kadar kokohnya kaki sang hamba di atas shiroth yang Alloh pancangkan untuk para hamba-Nya di dunia inilah kekokohan kakinya di atas shiroth yang dipancangkan di atas punggung jahannam. Dan sesuai dengan kadar perjalanannya di atas shiroth di sinilah perjalanannya di atas shiroth di sana. Maka di antara mereka ada yang melintas seperti kilat, dan di antara mereka ada yang melintas seperti kedipan mata. Di antara mereka ada yang melintas seperti angin, di antara mereka ada yang melintas seperti tunggangan yang cepat, di antara mereka ada yang melintas dengan berlari, di antara mereka ada yang melintas dengan berlari, ada yang merangkak. Adayang tercakar tapi diselamatkan, ada yang terjatuh ke dalam neraka. Maka hendaknya sang hamba memperhatikan perjalanannya di shiroth tersebut berdasarkan perjalanannya di atas shiroth di sini, sama persis bagaikan bulu panah yang kiri dengan yang kanan
]جزاء وفاقا[
“Sebagai balasan yang sesuai.”
]هل تجزون إلا ما كنتم تعملون[
“Tidaklah kalian dibalasi kecuali sesuai dengan apa yang kalian kerjakan.”
Dan hendaknya dia memperhatikan syubuhat dan syahawat yang menggelincirkannya dari perjalanannya di atas shiroth ini, karena dia itu adalah cakar-cakar besi yang ada di kedua tepi shiroth tadi, menyambarnya dan menggelincirkannya dari perlintasannya. Jika syubuhat dan syahawat tadi banyak dan kuat di sini, demikian pula disananantinya.
]وما ربك بظلام للعبيد[.
“Dan tidaklah Robbmu menzholimi hamba-Nya."
 ("Madarijus Salikin" 1/hal. 10/cet. Darul Hadits).
Maka tidaklah sadar kecuali orang-orang yang punya mata hati.
            Ibnu Umar رحمه الله berkata:
كنت عاشر عشرة في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم، أبو بكر، وعمر، وعثمان، وعلي، وابن مسعود، وحذيفة، وابن عوف، وأبو سعيد الخدري رضي الله عنهم، فجاء فتى من الأنصار فسلم على رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم جلس فقال: يا رسول الله أي المؤمنين أفضل؟ قال: «أحسنهم خلقا» قال: فأي المؤمنين أكيس؟ قال: «أكثرهم للموت ذكراً، وأحسنهم له استعداداً قبل أن ينزل بهم، أولئك من الأكياس» ثم سكت الفتى، وأقبل عليه النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا معشر المهاجرين خمس إن ابتليتم بهن ونزل فيكم، أعوذ بالله أن تدركوهن: لم تظهر الفاحشة في قوم قط حتى يعملوا بها إلا ظهر فيهم الطاعون والأوجاع التي لم يكن مضت في أسلافهم، ولم ينقصوا المكيال و الميزان إلا أخذوا بالسنين وشدة المؤنة وجور السلطان عليهم، ولم يمنعوا الزكاة إلا منعوا القطر من السماء ولولا البهائم لم يمطروا، ولم ينقضوا عهد الله وعهد رسوله إلا سلط عليهم عدوهم من غيرهم وأخذوا بعض ما كان في أيديهم، وما لم يحكم أئمتهم بكتاب الله إلا ألقى الله بأسهم بينهم» الحديث.
“Aku pernah menjadi orang kesepuluh di masjid Rosululloh صلى الله عليه وسلم , Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Ibnu ‘Auf, dan Abu Sa’id Al khudriy رضي الله عنهم . lalu datanglah anak muda dari Anshor, lalu dia mengucapkan salam pada Rosululloh صلى الله عليه وسلم , lalu duduk seraya berkata: “Wahai Rosululloh, siapakah mukmin yang paling utama?” beliau menjawab: “Yang paling bagus di antara mereka akhlaqnya.” Dia bertanya lagi: “Wahai Rosululloh, siapakah manusia yang paling cerdas?” beliau menjawab: “Orang yang paling banyak mengingat kematian, dan paling bagus persiapan untuk itu sebelum kematian itu turun pada mereka. Mereka itulah orang-orang yang cerdas.”
Lalu anak muda itu diam. Dan Nabi صلى الله عليه وسلم menghadap ke arahnya seraya berkata:“Wahai orang-orang Muhajirin, ada lima perkara yang jika kalian diuji dengannya dan turun di antara kalian, aku berlindung pada Alloh untuk kalian menjumpai lima perkara itu: tidaklah kekejian itu nampak di suatu kaum sama sekali hingga mereka mengerjakannya kecuali akan nampak pada mereka wabah Tho’un dan penyakit-penyakit yang belum datang pada para pendahulu mereka. Dan tidaklah takaran dan timbangan mereka kurangi kecuali mereka akan dihukum dengan tahun-tahun paceklik, kerasnya tanggungan, dan kezholiman penguasa. Dan tidaklah mereka menahan zakat kecuali mereka akan terhalangi dari hujan. Seandainya bukan karena binatang-binatang ternak, niscaya mereka tak akan diberi hujan. Dan tidaklah membatalkan perjanjian dengan Alloh dan perjanjian dengan Rosul-Nya kecuali akan dikuasakan pada mereka musuh mereka dari luar kalangan mereka, mereka akan mengambil sebagian kekuasaan yang dulu ada di tangan mereka. Dan tidaklah para pemimpin mereka berhukum dengan Kitabulloh kecuali Alloh akan melemparkan kekerasan mereka di antara mereka.” Al hadits. (HR. Al Hakim dalam “Al Mustadrok “8688) dan yang lainnya. Al Imam Al Albaniy رحمه الله berkata dalam “Ash shohihah” (1384): “Maka hadits ini hasan dengan kumpulan jalan-jalannya.” Dan dihasankan juga oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Al Jami’ush Shohih Fil Qodar” (hal. 431/cet. Maktabah Shon’a Al Atsariyyah).
            Dan terminal mukminin yang rajin puasa adalah pintu Ar Royyan.
Dari Sahl رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
«إن فى الجنة بابا يقال له الريان، يدخل منه الصائمون يوم القيامة، لا يدخل منه أحد غيرهم يقال: أين الصائمون؟ فيقومون، لا يدخل منه أحد غيرهم، فإذا دخلوا أغلق، فلم يدخل منه أحد».
“Sesungguhnya di Jannah ada satu pintu yang dinamakan sebagai Ar Royyan. Masuk darinya orang-orang yang berpuasa di hari Kiamat, tidak masuk dari pintu itu seorangpun selain mereka. Dikatakan: “Manakah orang-orang yang berpuasa?” lalu mereka berdiri, tidak masuk dari pintu itu seorangpun selain mereka. jika mereka telah masuk, pintu itu ditutup, maka tidak masuk dari pintu itu seorangpun.” (HR. Al Bukhoriy (1896) dan Muslim (1152)).
Maka bergembiralah orang-orang mukmin yang berpuasa.
            Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
«يقول الله عز وجل: الصوم لي وأنا أجزى به يدع شهوته وأكله وشربه من أجلي، والصوم جنة، وللصائم فرحتان فرحة حين يفطر وفرحة حين يلقى ربه...» الحديث.
“Alloh عز وجل berfirman: “Puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku yang akan membalas dengannya. Dia meninggalkan syahwatnya, makannya dan minumnya untuk diri-Ku. Dan puasa itu adalah tameng. Dan orang yang berpuasa itu punya dua kegembiraan. Kegembiraan ketika berbuka puasa, dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Robbnya, …” al hadits. (HR. Al Bukhoriy (7492) dan Muslim (1151)).

NASIHAT KESEMBILAN:

JANGAN MENYOMBONGKAN DIRI TERHADAP KEBENARAN, SEKALIPUN YANG MEMBAWANYA ADALAH ANAK KECIL


            Sesungguhnya orang-orang yang berpuasa itu menginginkan ridho Alloh dan pahalanya. Maka tidak boleh baginya untuk melakukan perkara yang menimbulkan murka Alloh, di antaranya adalah kesombongan.
Abu Salamah -rahimahulloh- berkata:
الْتَقَى عَبْدُ الله بْنُ عُمَرَ وَعَبْدُ الله بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِى عَلَى الْمَرْوَةِ فَتَحَدَّثَا ثُمَّ مَضَى عَبْدُ الله بْنُ عَمْرٍو وَبَقِىَ عَبْدُ الله بْنُ عُمَرَ يَبْكِى فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مَا يُبْكِيكَ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ هَذَا - يَعْنِى عَبْدَ الله بْنَ عَمْرٍو - زَعَمَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ الله -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ أَكَبَّهُ الله عَلَى وَجْهِهِ فِى النَّارِ ».
"Abdulloh bin Umar berjumpa dengan Abdulloh bin Amr ibnul 'Ash -rodhiyallohu 'anhum- di atas bukit Marwah. Lalu mereka saling menyampaikan hadits. Kemudian Abdulloh bin Amr berlalu, dan tinggallah Abdulloh bin Umar di situ menangis. Maka seseorang bertanya kepadanya,"Apa yang membikin Anda menangis, wahai Abu Abdirrohman?" Beliau menjawab,"Orang ini tadi - Abdulloh bin Amr- menyatakan bahwa Rosululloh -shalallohu 'alaihi wa sallam- bersabda: "Barangsiapa di hatinya ada kesombongan seberat timbangan biji sawi, Alloh akan menelungkupkan dirinya di dalam neraka di atas wajahnya." (HR. Ahmad (7015/Ar Risalah) dan dishohihkan Al Imam Al Wadi'iy رحمه الله di "Ash Shohihul Musnad" no. (800)).
Ibnu 'Abbas رضي الله عنهما berkata: "Dulu aku membacakan Al Qur'an kepada para tokoh dari Muhajirin, di antara mereka adalah Abdurrohman bin 'Auf" (HR. Al Bukhory (6830)).
Ibnul Jauzy رحمه الله berkata: "Maka di dalam atsar tadi ada peringatan untuk mau mengambil ilmu dari ahlinya meskipun umur mereka masih muda, atau derajat mereka rebih rendah. Dulu Hakim bin Hizam -rodhiyallohu 'anhu- belajar Al Qur'an pada Mu'adz bin Jabal -rodhiyallohu 'anhu-. Maka dikatakan pada beliau,"Anda belajar Al Qur'an pada bocah Khozrojy itu?" Maka beliau berkata,"Hanyalah yang membinasakan kita itu kesombongan." ("Kasyful Musykil" 1/hal. 41).
Ibnul Madiny رحمه الله berkata: "Sesungguhnya ilmu itu bukan berdasarkan umur." ("Al Adabusy Syar'iyyah"/Imam Ibnu Muflih رحمه الله /2/hal. 192/cet. Ar Risalah).
Sufyan bin 'Uyainah رحمه الله berkata: "Anak kecil adalah ustadz jika dia tsiqoh" ("Al Adabusy Syar'iyyah"/Imam Ibnu Muflih رحمه الله /2/hal. 192/cet. Ar Risalah).
Waki' ibnul Jarroh رحمه الله berkata: "Tidaklah seseorang itu menjadi seorang alim sampai dia mau mendengar hadits dari orang yang lebih tua darinya, dan yang seumur dengannya, dan yang lebih muda darinya." /Imam Ibnu Muflih رحمه الله /2/hal. 192/cet. Ar Risalah).
Al Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله berkata: "Tiada seorangpun pada zaman Ibnul Mubarok yang lebih bersemangat menuntut ilmu daripada beliau. Beliau pergi ke Yaman, ke Mesir, ke Syam, ke Bashroh dan Kufah. Dan beliau termasuk perawi ilmu dan ahli ilmu, menulis ilmu dari orang kecil maupun orang besar .." ("Tarikh Dimasyq" /32/hal. 407/cet. Darul Fikr).
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Aku mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Kesombongan itu lebih buruk daripada kesyirikan, karena orang yang sombong itu menyombongkan diri dari beribadah pada Alloh ta’ala, sementara musyrik itu menyembah Alloh dan yang lainnya.” Kukatakan: oleh karena itulah Alloh menjadikan neraka sebagai negri orang-orang yang menyombongkan diri, sebagaimana firman Alloh ta’ala dalam surat Az Zumar dan surat Ghofir:
]فادخلوا أبواب جهنم خالدين فيها فبئس مثوى المتكبرين[ ]غافر: 76[، و]الزمر: 72[
“Maka masuklah kalian ke dalam pintu-pintu Jahannam dengan kekal di dalamnya. Maka itu adalah sejelek-jelek tempat tinggal orang-orang yang menyombongkan diri.”
Dan dalam surat An Nahl:
]فادخلوا أبواب جهنم خالدين فيها فلبئس مثوي المتكبرين[ ]النحل: 29[
“Maka masuklah kalian ke dalam pintu-pintu Jahannam dengan kekal di dalamnya. Maka itu adalah benar-benar sejelek-jelek tempat tinggal orang-orang yang menyombongkan diri.”
Dan dalam surat Tanzil:
]أليس في جهنم مثوى للمتكبرين[ ]الزمر: 60[
“Bukankah di dalam Jahannam itu ada tempat tinggal bagi orang-orang yang menyombongkan diri.”
Dan Alloh mengabarkan bahwasanya pelaku kesombongan dan pemaksaan, mereka itulah yang Alloh timpakan cetakan di atas hati mereka. Alloh ta’ala berfirman:
]كذلك يطبع الله على كل قلب متكبر جبار[ ]غافر: 35[
“Demikianlah Alloh mencetak di atas setiap hati orang yang menyombongkan diri dan memaksa.”
Dan bersabda (Nabi صلى الله عليه وسلم) :
لا يدخل الجنة من في قلبه مثقال ذرة من كبر
"Tak akan masuk Jannah orang yang di hatinya ada semisal dzarroh dari kesombongan." [HR. Muslim (91) dari Ibnu Mas'ud  رصي الله عنه].
Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
الكبر بطر الحق وغمص الناس
“kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” [seperti sebelumnya. Dan datang dengan lafazh "kesombongan itu adalah masa bodoh terhadap kebenaran dan meremehkan manusia.” Diriwayatkan Al Imam Ahmad (6583) dari Abdulloh bin Amr, dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (801)).
 Dan Alloh ta'ala berfirman:
إن الله لا يغفر أن يشرك به (النساء : 8)
"Sesungguhnya Alloh tidak mengampuni kesyirikan terhadap diri-Nya" (QS An Nisa 8)
sebagai peringatan bahwasanya Dia tidak mengampuni kesombongan yang hal itu lebih besar daripada kesyirikan. Dan sebagaimana bahwasanya orang yang bertawadhu' kepada Alloh, Alloh akan mengangkatnya, demikian pula barangsiapa menyombongkan diri dari ketundukan kepada al haq, Alloh akan menghinakannya, merendahkannya, mengecilkannya, meremehkannya. Dan barangsiapa menyombongkan diri dari ketundukan kepada al haq walaupun mendatanginya melalui anak kecil atau orang yang dibencinya atau memusuhinya, maka sebenarnya kesombongannya itu hanyalah kepada Alloh, karena sesungguhnya Alloh itulah Al Haq, firman-Nya adalah haq, agama-Nya adalah haq, dan Al Haq adalah sifat-Nya, dari-Nya dan milik-Nya. Maka jika sang hamba menolak al haq dan menyombongkan diri dari menerimanya, maka dia itu hanyalah membantah Alloh dan menyombongkan diri kepada Alloh. Wallohu a'lam."
Pasal: penulis “Al Manazil” berkata: tawadhu’ adalah sang hamba merendahkan diri terhadap kekuasaan kebenaran.
Yaitu: dia menjumpai kekuasaan kebenaran dengan ketundukan, penghinaan diri dan ketaatan padanya, dan masuk ke dalam perbudakannya, yang mana kebenaran itulah yang mengatur di situ seperti pengaturan sang tuan terhadap budaknya. Maka dengan ini dihasilkanlah untuk hamba akhlaq tawadhu’. Oleh karena itulah maka Nabi menafsirkan kesombongan dengan kebalikannya: “kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia
Bathorul haqq adalah menolaknya dan menentangnya, dan menolak dadanya seperti menolak seorang penyerang. Ghomsun nas adalah: meremehkan dan menghina mereka. maka kapan saja dirinya meremehkan dan menghina manusia, dia akan menolak, menentang hak-hak mereka dan menghinakan hak-hak mereka. dan manakala pemilik kebenaran itu punya hak bicara dan kekuasaan, jadilah jiwa-jiwa yang sombong tidak mengakui kekuasaan kebenaran terhadap kekuasaan jiwa yang sombong, terutama jiwa-jiwa yang berbuat kebatilan yang menyerang kekuasan kebenaran dengan kesombongannya dan kebatilannya. Maka hakikat tawadhu’ adalah: merunduknya diri hamba kepada kekuasaan kebenaran, dan ketaatannya kepadanya, maka dirinya tidak menghadapi kekuasaan kebenaran dengan penentangan.” ("Madarijus Salikin" /2/hal. 271/cet. Darul Hadits).
            Al Imam Ibnu Rojab رحمه الله berkata: "Maka karena inilah dulunya para imam Salaf yang telah disepakati keilmuan dan keutamaan mereka, mereka mau menerima al haq dari orang yang mendatangkannya kepada mereka sekalipun anak kecil, dan mereka berwasiat kepada para sahabat dan pengikut mereka untuk menerima al haq jika telah nampak (meskipun) dari selain perkataan mereka." ("Al Farqu Bainan Nashihah wat Ta'yir" /2/hal. 404/cet. Al Faruqul Haditsiyyah).
Ibrohim رحمه الله berkata: Al Fudhoil ditanya: “Apakah tawadhu’ itu?” beliau menjawab: “Engkau tunduk pada kebenaran dan menaatinya. Sekalipun engkau mendengarnya dari anak kecil, engkau menerimanya darinya. Sekalipun engkau mendengarnya dari orang yang paling bodoh, engkau menerimanya darinya.” (“Hilyatul Auliya”/3/hal. 392/cet. Dar Ummil Quro/atsar hasan).
Asy Syaikh Hamd bin 'Atiq –dari ulama Najd- mengirimkan surat ke Al Imam Al 'Allamah Shiddiq Hasan Khon رحمهما الله dan berkata di dalamnya: "… dan saya memberanikan diri kepada Anda sekalipun orang seperti saya tidak pantas melakukan itu, karena saya punya dugaan kuat bahwasanya Anda mau memperhatikan peringatan, dan karena termasuk dari akhlaq para pemimpin agama adalah: menerima peringatan dan tidak sombong, sekalipun orang yang mengucapkannya bukanlah orang yang ahli. Dan karena sampai berita pada saya dari orang yang berkumpul dengan Anda bahwasanya Anda itu suka berkumpul dengan ulama dan bersemangat untuk itu, Anda menerima ilmu walaupun datang dari orang yang jauh lebih rendah dari Anda. Maka saya berharap hal itu menjadi alamat taufiq, Alloh menjadikan Anda seperti itu dan lebih baik dari itu." (pembukaan "Qothfuts Tsimar"/karya Shiddiq Hasan Khon/hal. 12/dengan tahqiq Syaikhuna Abu Amr Al Hajuriy حفظه الله /cet. Maktabah Shon'a Al Atsariyyah).

NASIHAT KESEPULUH:

MENJAGA LIDAH DARI KEBATILAN

           Sesungguhnya bulan Romadhon punya kesucian yang agung, maka tidak boleh melanggarnya dengan perkataan yang batil. Demikian pula seluruh siang dan malam.
            Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ »
"Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan pengamalannya, maka Alloh tak punya kebutuhan pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya." (HR. Al Bukhoriy (1903)).
Maka perkara lidah itu berbahaya. Alloh ta'ala berfirman:
]مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ[ [ق/18]
“Tidaklah terucapkan suatu perkataanpun kecuali di sisinya ada malaikat pengawasan yang selalu hadir.”
Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا، يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ، أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ».
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan kalimat yang tidak jelas bagi dirinya, lalu dia tergelincir dengan itu ke dalam neraka lebih jauh daripada jarak timur dan barat.” (HR. Al Bukhoriy (6477) dan Muslim (2988)).

TERMASUK DARI BAHAYA LIDAH ADALAH:

YANG PERTAMA:

KEDUSTAAN

            Dari Abdulloh bin Mas’ud رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
«إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا ».
“Sesungguhnya kejujuran itu membimbing pada kebajikan, dan sesungguhnya kebajikan itu membimbing kepada Jannah. Dan sesungguhnya seseorang itu senantiasa berusaha jujur sampai menjadi shiddiq. Dan sesungguhnya kedustaan itu membimbing pada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu membimbing kepada neraka. Dan sesungguhnya seseorang itu senantiasa berusaha dusta sampai tercatat di sisi Alloh sebagai pendusta.” (HR. Al Bukhoriy (6094) dan Muslim (2606)).
            Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«من علامات المنافق ثلاثة: إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف، وإذا ائتمن خان»
“Termasuk dari alamat munafiq ada tiga: jika dia berbicara maka dia berdusta. Jika dia berjanji maka dia mengingkarinya, dan jika dia dipercaya maka dia akan berkhianat.” (HSR Al Bukhori (33) dan Muslim (59)).

YANG KEDUA:

MENGGUNJING

Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: «أتدرون ما الغيبة؟» قالوا: الله ورسوله أعلم. قال: «ذكرك أخاك بما يكره» قيل: أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟ قال: «إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته، وإن لم يكن فيه فقد بهته».
Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka menjawab: “Alloh dan Rosul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda: “Ghibah itu adalah engkau menyebutkan saudaramu dengan sesuatu yang dia benci.” Mereka berkata,”Kabarkanlah pada kami bagaimana jika pada saudaraku itu ada yang saya sebutkan? Beliau menjawab,“Jika memang yang kau katakan itu ada padanya, maka engkau telah menggibahinya. Tapi jika yang kau katakan itu tidak ada padanya, maka engkau telah berdusta atas nama dia.” (HR. Muslim (2589)).

PERINGATAN:

Nasihat yang dilakukan oleh Ahlussunnah untuk umat ini, dan peringatan mereka terhadap pelaku bid’ah dan pengekor hawa nafsu itu boleh, bahkan wajib dengan kesepakatan para ulama.
Dalam pembukaan Shohih Muslim: bab penjelasan bahwasanya sanad adalah bagian dari agama, dan bahwasanya riwayat itu tidak diterima kecuali dari para tsiqot, dan bahwasanya jarh (celaan) terhadap para rowi sesuai dengan kenyataan yang ada pada mereka adalah boleh dan bahkan wajib, dan bahwasanya hal itu bukanlah termasuk dari ghibah (pergunjingan) yang diharomkan. Bahkan hal itu termasuk dari pembelaan untuk syariat yang dimuliakan. (“Shohih Muslim”/1/hal. 199-200/Al Minhaj/cet. Maktabatul Ma’arif).
            Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata dalam syarh hadits ghibah:
“Ghibah itu diperbolehkan untuk tujuan yang syar’iy, dan yang demikian itu untuk enam sebab:
Yang pertama: mengadukan kezholiman. Boleh bagi orang yang terzholimi untuk mengadukan kezholiman kepada penguasa, hakim dan yang lainnya, dari kalangan yang punya kekuasaan atau kemampuan untuk berbuat adil dari orang yang menzholiminya, dengan berkata: “Fulan menzholimiku, atau berbuat begini-begini padaku.”
Yang kedua: meminta bantuan untuk merubah kemungkaran, mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada kebenaran, dengan berkata pada orang yang diharapkan kemampuanny: “Fulan berbuat demikian, maka cegahlah dia dari itu,” dan yang seperti itu.
Yang ketiga: minta fatwa dengan berkata pada mufti: “Fulan, atau ayahku, atau saudaraku, atau suamiku menzholimiku dengan berbuat ini. Maka apakah boleh dia berbuat demikian? Dan bagaimana jalan keluar bagiku darinya, dan menolak kezholimannya dariku?” dan yang seperti itu. Maka ini boleh karena kebutuhan. Dan lebih bagus jika berkata tentang seseorang atau suami atau orang tua atau anak: “Dia berbuat demikian.” Sekalipun demikian penyebutan namanya boleh berdasarkan hadits Hindun dan perkataannya: “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat pelit”
Yang keempat: peringatan muslimin dari kejelekan. Yang demikian itu ada beberapa sisi:
Di antaranya adalah celaan terhadap rowi yang pantas dicela, atau para saksi, atau para penulis, dan yang demikian itu boleh dengan kesepakatan ulama. Bahkan wajib dalam rangka menjaga syariat. Di antaranya adalah pengabaran tentang aibnya ketika sedang bermusyawarah untuk berhubungan dengannya. Di antaranya adalah: jika engkau melihat ada orang yang membeli sesuatu yang cacat, atau membeli budak yang suka mencuri atau suka berzina atau suka minum khomr atau yang seperti itu, engkau mengingatkan sang pembeli jika dia tak tahu itu, sebagai bentuk nasihat, bukan dengan maksud menyakiti atau merusak. Dan di antaranya adalah: jika engkau melihat ada orang yang gemar menuntut ilmu tapi berbolak-balik pada orang yang fasiq atau mubtadi’, dia mengambil ilmu darinya, dan engkau mengkhawatirkan bahaya terhadapnya, maka wajib atasmu untuk menasihatinya dengan menjelaskan keadaannya dengan maksud menasihati. Dan di antaranya adalah: dirinya punya kekuasaan tapi dirinya tak bisa menjalankan sebagaimana mestinya karena tak punya keahlian atau karena dirinya fasiq, maka seseorang melaporkan pada orang yang lebih berkuasa di atasnya menjelaskan tentang keadaannya sehingga tidak tertipu dengannya dan senantiasa bersikap lurus.
Yang kelima: dirinya terang-terangan dengan kefasiqan atau kebid’ahan, seperti khomr, mengusir manusia, mengambili pajak, mengurusi perkara-perkara batil, maka boleh untuk disebutkan perkara yang dia terang-terangan tersebut. Dan tak boleh menyebutkan yang lain kecuali dengan sebab lain.
Yang keenam: untuk memperkenalkan, jika dirinya memang dikenal dengan suatu julukan, seperti Al A’masy, Al A’roj, Al Azroq, Al Qoshir, Al A’ma, Al Aqtho’ dan yang seperti itu, maka boleh memperkenalkan dengan itu. Dan diharomkan menyebutkan dalam rangka merendahkan. Jika memungkinkan memperkenalkan dengan julukan yang lain itu lebih utama. Wallohu a’lam” (“Al Minhaj”/16/hal. 379/cet. Maktabatul Ma’arif).
Dari ‘Affan رحمه الله yang berkata: “Aku ada di sisi Isma’iI bin ‘Ulayyah, maka ada seseorang yang menyampaikan hadits dari seseorang. Maka kukatakan: “Janganlah Anda menyampaikan hadits dari orang ini, karena dia itu tidak kokoh.” Maka dia berkata: “Engkau telah mengghibahi dia.” Maka Isma’il berkata: “Dia tidak mengghibahi dirinya, dia tapi menghukumi orang itu bahwasanya dirinya itu tidak kokoh.” (“Al Jarh Wat Ta’dil”/karya Al Imam Ibnu Abi Hatim Ar Roziy/2/hal. 23/atsar shohih/cet. Darul Fikr).
Al Imam Ibnu Abi Hatim Ar Roziy رحمه الله menyebutkan atsar ini di bawah judul: bab pensifatan rowi dengan kelemahan, dan bahwasanya yang demikian itu bukanlah ghibah.
Dari Abu Sholih Al Faro yang berkata: “Aku ceritakan pada Yusuf bin Asbath tentang Waki’ tentang suatu perkara fitnah. Maka Yusuf berkata: “Orang itu seperti ustadznya –yaitu: Hasan bin Hayy- maka kukatakan pada Yusuf: “Apakah Anda tidak takut bahwasanya ini adalah ghibah?” maka beliau menjawab: “Memangnya kenapa wahai orang tolol? Aku lebih baik untuk mereka daripada ayah ibu mereka. aku melarang manusia dari melakukan apa yang mereka bikin yang bisa menyebabkan dosa-dosa mereka mengikuti mereka. dan orang yang berlebihan memuji mereka itu lebih berbahaya terhadap mereka.” (“Adh Dho’afa”/karya Al ‘Uqoiliy رحمه الله/1/hal. 232/cet. Darul Kutubil ‘Ilmiyyah).

KETIGA:

NAMIMAH (ADU DOMBA)

            Dari Hammam yang berkata: Kami pernah bersama Hudzaifah, maka dikatakan pada beliau: sesungguhnya ada seseorang yang suka melaporkan pembicaraan ke Utsman. Maka Hudzaifah berkata: Aku mendengar Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ ».
“Tukang adu domba tak akan masuk Jannah.” (HR. Al Bukhoriy (6056) dan Muslim (105)).
            Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Ulama berkata: namimah adalah menukil ucapan orang-orang sebagiannya kepada sebagian yang lain untuk merusak hubungan di antara mereka.” (“Al Minhaj”/2/hal. 181/di bawah no. hadits (105)/cet. Dar Ihyaut Turots).
Faidah:
            Al Imam An Nawawiy رحمه الله menukilkan dari Al Ghozaliy رحمه الله : “Dan setiap orang yang dibawakan kepadanya namimah, dan dikatakan padanya: “Si fulan berkata tentangmu demikian” atau “Si fulan berbuat terhadapmu demikian”, maka dirinya harus melakukan enam perkara:
Pertama: tidak membenarkannya karena pengadu domba itu fasiq
Kedua: melarangnya dari yang demikian, dan menasihatinya, serta menjelaskan buruknya perbuatannya itu.
Ketiga: membenci pelakunya karena Alloh, karena orang itu dibenci di sisi Alloh ta’ala. Dan wajib untuk membenci orang yang dibenci Alloh ta’ala.
Keempat: tidak menduga saudaranya yang tidak hadir tadi dengan dugaan jelek.
Kelima: tidak membawanya kisah yang diceritakan tadi untuk memata-matai dan menelusurinya.
Keenam: tidak meridhoi untuk dirinya perkara yang si pengadu domba tadi dilarang darinya, maka jangan menceritakan kisah adu domba tadi darinya dengan berkata: “Si Fulan menceritakan demikian” sehingga dirinya sendiri juga menjadi pengadu domba, dan mendatangi perkara yang dilarang tadi.” (“Al Minhaj”/2/hal. 181/di bawah no. hadits (105)/cet. Dar Ihyaut Turots).
PERINGATAN:
Kebanyakan hizbiyyin –dengan berdalilkan dengan hadits di atas dan yang semisalnya- bersemangat untuk membungkam Ahlussunnah dari mengatakan yang benar, dan berusaha untuk merusak nama baik Ahlussunnah bahwasanya mereka itu “Tukang Adu Domba”. Maka harus ada penjelasan tentang dalil-dalil tersebut.
            Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Dan seluruh perkara yang tersebut dalam namimah tadi, jika tidak ada di situ maslahat syar’iyyah. Adapun jika ada kebutuhan untuk menceritakan hal itu, maka perbuatan itu tidaklah terlarang. Dan yang demikian itu seperti orang yang bercerita padanya bahwasanya seseorang ingin menyerangnya, atau menyerang keluarganya, atau mengambil hartanya. Atau dirinya mengabarkan pada penguasa atau oran yang punya wewenang bahwasanya ada orang yang berbuat demikian dan melakukan perkara yang ada kerusakan di situ. Dan wajib bagi penguasa untuk menyingkap hal tersebut dan menghilangkannya. Dan ini semua dan yang semisalnya tidaklah harom, dan bisa jadi sebagiannya itu wajib, sebagiannya mustahab, sesuatu dengan keadaan. Wallohu a’lam. (“Al Minhaj”/2/hal. 181/ cet. Dar Ihyaut Turots).
            Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Dan dalam hadits ini –yaitu hadits no. (6100) dalam Shohihul Bukhoriy- ada dalil tentang bolehnya mengabari pemimpin dan tokoh utama tentang sesuatu yang dikatakan tentang mereka, perkara yang tidak pantas untuk mereka, agar mereka memperingatkan orang yang mengucapkannya. Dan dalam hadits ini ada penjelasan tentang ghibah dan namimah yang diperbolehkan, karena gambaran keduanya itu ada pada perbuatan Ibnu Mas’ud ini, dan Nabi صلى الله عليه وسلم tidak mengingkari dirinya. Yang demikian itu karena maksud dari Ibnu Mas’ud adalah sebagai nasihat untuk Nabi صلى الله عليه وسلم dan mengabari beliau untuk orang yang mencerca beliau, yang menampakkan keislaman tapi menyembunyikan kemunafiqan, agar beliau berhati-hati dari orang itu. Dan ini boleh, sebagaimana bolehnya memata-matai orang-orang kafir agar kita aman dari tipu daya mereka. Dan orang yang tersebut tadi dengan ucapannya terhadap beliau tadi telah melakukan dosa besar sehingga tak punya kehormatan.” (“fathul Bari”/10/hal. 629/cet. Darus Salam).

KEEMPAT:

BERITA DUSTA TERHADAP MUSLIM

            Abdulloh bin Umar -semoga Alloh meridhoi keduanya- berkata: Aku mendengar Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wasallam- bersabda:
« مَنْ حَالَتْ شَفَاعَتُهُ دُونَ حَدٍّ مِنْ حُدُودِ الله فَقَدْ ضَادَّ الله، وَمَنْ خَاصَمَ فِى بَاطِلٍ وَهُوَ يَعْلَمُهُ لَمْ يَزَلْ فِى سَخَطِ الله حَتَّى يَنْزِعَ عَنْهُ،وَمَنْ قَالَ فِي مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ الله رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ».
“Barangsiapa syafaatnya menghalangi hukum had dan haddnya Alloh, maka sungguh dia telah menentang Alloh. Dan barangsiapa bertengkar dalam kebatilan dalam keadaan dia tahu itu, maka dia terus-menerus dalam kemurkaan Alloh sampai dirinya mencabut diri dari itu. Dan barangsiapa berkata tentang seorang mukmin dengan suatu perkara yang tidak ada pada dirinya, maka Alloh akan menjadikan dia tinggal di dalam rodghotul khobal (perasan penduduk neraka) sampai dia keluar dari apa yang diucapkannya.” (HR. Abu Dawud (3592), dishohihkan Al Imam Al Albaniy رحمه الله dalam “Ash Shohihah” no. (437) dan dishohihkan Imam Al Wadi’y رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (755)).
            Dari Sa’id bin Zaid رضي الله عنهما dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
« إن من أربى الربا الاستطالة فى عرض المسلم بغير حق ».
“Sesungguhnya termasuk riba yang terbesar adalah panjang lisan (menuduh atau mencaci) terhadap kehormatan Muslim tanpa kebenaran.” (HR. Abu Dawud (4866) dan dishohihkan Al Imam Al Albaniy رحمه الله dalam “Shohihut Targhib” (2532) dan Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (435)).

NASIHAT KESEBELAS:

MEMIKIRKAN DISYARIATKANNYA PUASA DAN I’TIKAF TERHADAP RUH DAN JASAD


SYARIAT PUASA

            Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«كل عمل ابن آدم يضاعف الحسنة عشرة أمثالها إلا سبعمائة ضعف. قال الله عز وجل: إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به، يدع شهوته وطعامه من أجلي، للصائم فرحتان فرحة عند فطره وفرحة عند لقاء ربه ولخلوف فيه أطيب عند الله من ريح المسك».
“Seluruh amalan anak Adam dilipatkan kebaikannya sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus lipatan. Alloh عز وجل berfirman: “Kecuali puasa, karena sesungguhnya dia itu adalah untuk-Ku, dan Aku akan membalas dengannya. Dia meninggalkan syahwatnya dan makannya demi Aku. Orang berpuasa punya dua kegembiraan: kegembiraan ketika berbuka puasa, dan kegembiraan ketika berjumpa dengan Robbnya. Benar-benar bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Alloh daripada aroma misik.” (HR. Al Bukhoriy (1904), dan Muslim (1151), ini lafazh Muslim).
            Al Imam Ibnu Rojab رحمه الله berkata: firman Alloh: “Dia meninggalkan syahwatnya dan makannya dan minumnya demi Aku” di sini ada isyarat kepada makna yang telah kami sebutkan, bahwasanya orang yang berpuasa itu mendekat kepada Alloh dengan meninggalkan perkara yang diinginkan oleh nafsunya yang berupa makanan, minuman dan pernikahan. Dan ini adalah keinginan-keinginan jiwa yang terbesar. Dan dalam pendekatan diri dengan meninggalkan syahwat-syahwat tadi dengan berpuasa ada beberapa faidah:
Di antaranya: mematahkan jiwa, karena kekenyangan dan berkumpul dengan perempuan itu membawa jiwa kepada kegembiraan yang berlebihan, kesombongan, dan kelalaian. Di antaranya:
Mengosongkan hati untuk berpikir dan berdzikir, karena melakukan syahwat-syahwat tadi membikin hati jadi kaku dan buta serta menghalangi hamba dengan dzikir dan berpikir serta mendatangkan kelalaian. Kosongnya batin dari makanan dan minuman([11]) akan menyinari hati dan mendatangkan kelembutan hati, menghilangkan kekakuannya dan mengosongkannya untuk berdzikir dan berpikir. Di antaranya juga: bahwasanya orang yang kaya jadi mengenal kadar kenikmatan ALloh kepadanya dengan menjadikannya mampu mendapatkan apa-apa yang kebanyakan orang miskin terhalangi darinya, yang berupa makanan, minuman dan pernikahan yang berlebih. Orang yang kaya tadi dengan penghalangan dirinya dari perkara-perkara tadi pada waktu yang khusus dan adanya kesulitan saat itu, dia jadi ingat akan orang yang sama sekali tidak mampu mendapatkannya, maka hal itu mengharuskannya untuk mensyukuri nikmat Alloh padanya dengan kekayaannya tadi, dan menyerunya untuk mengasihani saudaranya yang membutuhkan, dan berbagi dengannya apa yang mungkin untuk dibagikan kepadanya.
Dan di antaranya juga: puasa itu menyempitkan aliran darah yang menjadi tempat berlarinya setan di dalam tubuh anak Adam, karena setan itu mengalir di dalam tubuh anak Adam seperti aliran darah. Maka bisikan setan itu menjadi berkurang dengan puasa, dinding syahwat dan kemarahan akan rusak. Oleh karena itulah Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«الصوم وجاء»
“Puasa adalah tameng.” [HR. Al Bukhoriy (1905) dan Muslim (1400)].
Karena puasa itu memotong syahwat pernikahan.
Dan ketahuilah bahwasanya pendekatan diri kepada Alloh ta’ala dengan meninggalkan syahwat-syahwat yang asalnya diperbolehkan di luar waktu puasa ini, tidaklah sempurna kecuali setelah mendekatkan diri pada Alloh dengan meninggalkan perkara-perkara yang diharomkan Alloh di setiap keadaan, seperti dusta, kezholiman, dan melampaui batas terhadap manusia dalam darah, harta dan kehormatan mereka. oleh karena itulah Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ »
“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan pengamalannya, maka Alloh tak punya kebutuhan pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya.
Diriwayatkan oleh Al Bukhoriy [1903], …dst.” (“Lathoiful Ma’arif”/hal. 213-214/cet. Darul Hadits).
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Manakala kebaikan dan kelurusan hati di atas perjalannya kepada Alloh ta’ala itu tergantung pada konsentrasinya kepada Alloh, dan pengumpulan kesemrawutannya dengan penghadapan penuh kepada Alloh ta’ala, karena sesungguhnya kesemrawutan hati itu tidak terkumpul kecuali dengan penghadapan penuh kepada Alloh ta’ala. Dan kelebihan makanan, kelebihan minuman, kelebihan pergaulan dengan manusia, kelebihan bicara, dan kelebihan tidur itu menambah kesemrawutan hati, memporakporandakannya di setiap lembah, dan memotongnya dari perjalannya kepada Alloh ta’ala, atau melemahkannya, atau menghalanginya dan menghentikannya. Maka rohmat Alloh Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang terhadap para hamba-Nya menuntut disyariatkannya untuk mereka puasa yang bisa menghilangkan kelebihan makanan, kelebihan minuman, dan mengeluarkan dari hati campuran-campuran syahwat yang menghalanginya dari perjalanannya kepad Alloh ta’ala dan syariat-Nya, sesuai dengan kadar kemaslahatan, yang mana sang hamba bisa mengambil manfaat dengan puasa itu di dunianya dan akhiratnya, dan tidak sampai membahayakannya ataupun memotongnya dari kemaslahatannya di dunia dan akhirat.” (“Zadul Ma’ad”/hal. 370-371/cet. Dar Ibni Hazm).

SYARIAT I’TIKAF

            Adapun I’tikaf, Alloh ta’ala berfirman:
]وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ[ [البقرة/187]
“Dan janganlah kalian menggauli istri-istri kalian dalam keadaan kalian beri’tikaf di masjid-masjid.”
            Dari Abdulloh bin Umar رضي الله عنهما yang berkata:
كَانَ رَسُولُ الله – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ.
“Dulu Rosululloh صلى الله عليه وسلم beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir dari Romadhon.” (HR. Al Bukhoriy (2025) dan Muslim (1171)).
Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan mensyariatkan untuk mereka yang mana maksudnya dan ruhnya adalah berhentinya hati dan terus-menerusnya hati di dekat Alloh ta’ala, konsentrasinya kepada-Nya dan menyendiri dengan-Nya, serta memutuskan diri dari tersibukkan diri dengan para makhluq, lalu menyibukkan diri hanya dengan Alloh semata Yang Mahasuci, yang mana jadilah ingatannya, rasa cintanya dan konsentrasinya kepada-Nya adalah pengganti bagi lainnya. Dan jadilah seluruh keinginan itu dengan taufiq dan pertolongan-Nya, seluruh khayalan adalah dengan mengingat-Nya, dan berpikir untuk mendapatkan keridhoan-Nya dan apa yang mendekatkan dirinya kepada-Nya.. maka jadilah keakrabannya kepada-Nya sebagai pengganti dari keakrabannya dengan makhluq, dan dia menganggapnya dengan itu sebagai keakraban untuknya pada hari keterasingan di alam kubur ketika dirinya tak lagi punya teman akrab dan apa yang bisa dengannya dia bergembira selain-Nya. Maka inilah maksud I’tikaf yang terbesar.
            -sampai pada ucapan beliau:- adapun masalah pembicaraan, sesungguhnya disyariatkan pada umat ini untuk menahan lidah dari seluruh perkara yang tidak bermanfaat di akhirat. Adapun tidur yang berlebihan, sesungguhnya disyariatkan pada mereka untuk sholat malam yang mana itu lebih utama daripada begadang, dan lebih terpuji akibatnya. Dan sholat malam adalah begadang yang pertengahan yang bermanfaat bagi hati dan badan, dan tidak menghalangi kemaslahatan hamba. Dan poros olah raga para ahli riyadhoh dan suluk (ibadah ruhaniyyah) ada di atas tiang-tiang utama ini. Dan orang yang paling berbahagia di antara mereka dengan “olah raga ruhani” ini adalah orang yang menempuh jalan Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم , dan tidak menyeleweng seperti penyimpangannya orang-orang yang berlebihan, dan tidak bersikap kurang seperti pengurangan yang dilakukan oleh orang-orang yang menyepelekan.
Dan kami telah menyebutkan jalan Nabi صلى الله عليه وسلم dalam masalah puasa dan sholat beliau. Dan kami akan menyebutkan jalan beliau dalam masalah I’tikaf. Dulu beliau صلى الله عليه وسلم beri’tikaf di sepuluh hari terakhir dari Romadhon hingga Alloh عز وجل mewafatkan beliau. Beliau pernah meninggalkan I’tikaf sekali, lalu membayarnya di bulan Syawwal. Beliau pernah juga beri’tikaf pada sepuluh hari pertama, lalu yang pertengahan, lalu sepuluh yang terakhir untuk mencari lailatul Qodr. Kemudian jelaslah bagi beliau bahwasanya lailatul Qodr itu ada di sepuluh malam terakhir. Lalu beliau meneruskan I’tikafnya hingga berjumpa dengan Robbnya عز وجل. Beliau dulu memerintahkan untuk dipasang tenda di dalam masjid, untuk beliau menyendiri dengan Robbnya عز وجل.
-sampai pada ucapan beliau:- dulu beliau صلى الله عليه وسلم jika beri’tikaf, beliau masuk ke tendanya sendirian. Beliau tidak masuk rumah dalam keadaan I’tikaf kecuali karena kebutuhan manusiawi. Beliau pernah mengeluarkan kepalanya dari masjid ke rumah ‘Aisyah, lalu ‘Aisyah menyisirnya dan mencucinya, dalam keadaan beliau di masjid, dan dalam keadaan ‘Aisyah haidh. Dan terkadang sebagian istri beliau mengunjungi beliau dalam keadaan beliau I’tikaf. Jika istri beliau tadi bangkit untuk pergi, beliau bangkit bersamanya mengantarnya pulang, dan waktu itu malam hari. Dan beliau tidak menggauli satu orangpun dari istri beliau dalam keadaan beliau beri’tikaf, tidak menciumnya atupun perbuatan yang lain. Dan beliau jika beri’tikaf dihamparkanlah untuk beliau kasur beliau. Dan diletakkan untuk beliau ranjang beliau di tempat I’tikaf beliau. Jika beliau keluar karena kebutuhan beliau, lalu melewati orang sakit dan dia di jalan beliau, beliau tidak menuju kepadanya dan tidak menanyakan keadaannya.
Pernah juga beliau beri’tikaf di kubah turki (kubah kecil dari anyaman) dan menjadikan di pintunya kerikil. Itu semua untuk menghasilkan maksud dari I’tikaf dan ruh I’tikaf, berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang bodoh yang mejadikan tempat I’tikaf mereka luas untuk sepuluh orang, dan menarik kedatangan para pengunjung, lalu mereka mengobrol. Maka ini adalah dua jenis amalan, sementara I’tikaf yang diajarkan Nabi adalah amalan lain. Semoga Alloh memberikan taufiq.” (“Zadul Ma’ad”/hal. 370-371/cet. Dar Ibni Hazm).

NASIHAT KEDUABELAS:

JANGAN MENERIMA KEDATANGAN AHLI SYUBUHAT


            Di hari-hari Romadhon –bahkan sebelum itu- para pengekor hawa nafsu dan pemilik ajaran yang rancu menyebarkan dai-dai mereka ke masjid-masjid muslimin dan tempat perkumpulan mereka, agar para dai sesat tadi itulah yang menjadi imam dan khothib di tempat-tempat muslimin, sehingga mereka bisa memasukkan racun mereka kepada muslimin, dan menguasai anak-anak mereka dengan nama dakwah, pembekalan, atau memakmurkan Romadhon, atau pengarahan, atau buka puasa bersama, atau sahur bersama, atau yang seperti itu. Maka dihasilkanlah dengan makan dan tipu daya ini bahaya-bahaya aqidah terhadap muslimin.
Maka umat harus diperingatkan dari para musuh tersebut, menjaga pendengaran, hati, masjid muslimin dan seluruh tempat perkumpulan mereka. Dari Imron bin Hushoin رضي الله عنهما yang berkata: Rosululloh صلى الله وعليه وسلم bersabda:
«من سمع بالدجال فلينأ عنه فوالله إن الرجل ليأتيه وهو يحسب أنه مؤمن فيتبعه مما يبعث به من الشبهات أو لما يبعث به من الشبهات ».
“Barangsiapa mendengar datangnya dajjal maka hendaknya dia menjauh darinya. Karena demi Alloh, sesungguhnya ada orang yang mendatangi dajjal dalam keadaan dia mengira dirinya itu mukmin, lalu dia mengikuti dajjal itu dikarenakan syubhat-syubhat yang dibangkitkan oleh dajjal.” (HR. Abu Dawud (4311) dan dishohihkan oleh Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (1019)).
            Setelah menyebutkan hadits ini Al Imam Ibnu Baththoh رحمه الله berkata: “Ini adalah sabda Rosul صلى الله عليه وسلم dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan. Maka demi Alloh wahai kaum Muslimin, jangan sampai baik sangka salah seorang dari kalian terhadap dirinya sendiri dan terhadap keshohihan madzhabnya yang diketahuinya membawa dirinya untuk melakukan taruhan dengan agamanya, dengan duduk-duduk dengan para pengekor hawa nafsu, lalu berkata: “Aku akan masuk kepadanya untuk melakukan diskusi dengannya, atau akan kukeluarkan darinya madzhabnya.” Karena sesungguhnya ahli hawa itu lebih besar fitnahnya daripada dajjal. Ucapan mereka lebih lengket daripada kurap, dan lebih membakar hati daripada gejolak api. Sungguh aku telah melihat sekelompok orang yang dulunya melaknati ahli hawa, mencaci mereka. Lalu mereka duduk-duduk dengan mereka untuk mengingkari mereka dan membantah mereka. Terus-menerus berlangsung ramah-tamah di antara mereka, makar tersembunyi, dan halusnya kekufuran tersamarkan hingga akhirnya orang-orang tadi masuk ke madzhab ahli hawa tadi.” (“Al Ibanatul Kubro”/di bawah no. (480)/cet. Darul Kutub wal Watsaiqil Qoumiyyah).
Al Imam Ahmad bin Hanbal رحمه الله berkata: “Prinsip-prinsip sunnah menurut kami adalah: berpegang teguh dengan apa yang dulu para Shohabat Rosululloh صلى الله عليه وسلم ada di atasnya, mencontoh mereka, meninggalkan bid’ah-bid’ah, dan setiap bid’ah itu kesesatan, meninggalkan persengketaan, tidak mau duduk-duduk bersama ahli hawa, meninggalkan perdebatan dalam agama.” (“Ushulus Sunnah Imam Ahmad”/Syarh Syaikh Robi’ حفظه الله/hal. 7/cet. Darul Imam Ahmad).
Al Imam Abu Utsman Ash Shobuni رحمه الله berkata: “Kumpulan adab-adab ahlul hadits adalah: … dan mereka saling cinta karena agama ini, saling benci juga karena agama ini, menghindari perdebatan dan pertengkaran tentang Alloh, saling menjauh dengan ahli bid’ah dan pelaku kesesatan, memusuhi pengekor hawa nafsu dan kebodohan, …-sampai pada ucapan beliau- dan membenci ahlul bid’ah yang membikin dalam agama perkara yang tidak masuk di dalamnya, tidak mencintai mereka, tidak bersahabat dengan mereka, tidak mendengarkan ucapan mereka, tidak duduk-duduk dengan mereka, tidak mau berdebat mereka tentang agama, tidak berdiskusi dengan mereka. dan berpandangan untuk menjaga telinga-telinga mereka dari mendengarkan kebatilan ahli bid’ah tadi,… dst.” (“Aqidatis Salaf Ashabil Hadits”/ hal. 107-108/cet. Darul Minhaj).
Al Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisiy رحمه الله berkata: “Termasuk dari sunnah adalah meninggalkan ahli bid’ah, memisahkan diri dari mereka, tidak mau berdebat dan bertengkar dengan mereka tentang agama, tidak membaca-baca kitab-kitab mubtadi’ah, tidak mau mencurahkan pendengaran pada ucapan mereka. dan setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah.” (“Lum’atul I’tiqod”/karya Ibnu Qudamah/syarh Ibnu Utsaimin/hal. 97/cet. Darul Atsar).
Al Imam Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله berkata dalam syarh beliau: “Maka menjauhkan diri dari tempat-tempat kesesatan itu wajib berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم tentang Dajjal:“Barangsiapa mendengar datangnya dajjal maka hendaknya dia menjauh darinya. Karena demi Alloh, sesungguhnya ada orang yang mendatangi dajjal dalam keadaan dia mengira dirinya itu mukmin, lalu dia mengikuti dajjal itu dikarenakan syubhat-syubhat yang dibangkitkan oleh dajjal.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud. Al Albaniy berkata: dan “Dan sanadnya shohih.” (“Lum’atul I’tiqod”/karya Ibnu Qudamah/syarh Ibnu Utsaimin/hal. 97-98/cet. Darul Atsar).
Al ‘Allamah Abuth Thoyyib Shiddiq bin Hasan Khon At Tanukhiy رحمه الله berkata:([12]) “Termasuk dari sunnah adalah meninggalkan ahli bid’ah, menjauhkan diri dari mereka, tidak mau berdebat dan bertengkar dengan mereka tentang agama dan sunnah. Dan setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah. Tidak membaca-baca kitab-kitab mubtadi’ah, tidak mau mencurahkan pendengaran pada ucapan mereka dalam masalah inti agama ataupun cabangnya, …dst.” (“Qothfuts Tsimar”/karya Shiddiq Hasan Khon/hal. 178/dengan tahqiq Syaikhuna Abu Amr Al Hajuriy حفظه الله /cet. Maktabah Shon’a Al Atsariyyah).
Aku mendengar Syaikhuna An Nashihul Amin Yahya bin Ali Al Hajuriy حفظه الله berkata: “Janganlah kalian terpesona dengan ilmu kalian, -semoga Alloh menjaga kalian- dan bahwasanya kalian tak akan terpengaruh dengan syubuhat-syubuhat mereka, sesungguhnya lautan kesesatan itu dalam, berapa lamakah kalian bisa berenang?! Maka kita itu tidak lebih berilmu daripada Salaf kita yang sholih, dan tidak pula lebih kuat daripada mereka.”
 Dari Sallam bin Abi Muthi’ رحمه الله bahwasanya seorang ahli ahwa berkata pada Ayyub As Sakhtiyaniy: “Wahai Abu Bakr, bolehkah saya menanyai Anda satu kata?” maka beliau berpaling sambil mengisyaratkan dengan jarinya : “Setengah katapun aku tak mau, setengah katapun aku tak mau.” (diriwayatkan Al Imam Al Ajurriy رحمه الله dalam “Asy Syari’ah” no. (113)/ cet. Darul Kitabil ‘Arobiy dan dishohihkan Syaikhuna Abu Amr Al Hajuriy حفظه الله ).
Dan janganlah tertipu oleh ucapan mereka: “Kami hanyalah ingin membaca Al Qur’an di sisi kalian, dan membaca hadits.” Ahli kebid’ahan itu lebih busuk daripada kalajengking atau yang semisalnya.
Dari Asma bin khorijah رحمه الله yang bercerita: Ada dua orang dari kalangan ahli ahwa yang masuk menemui Muhammad bin Sirin seraya berkata: “Wahai Abu Bakr, bolehkah kami menyampaikan hadits padamu?” beliau mejawab: “Tidak boleh.” Lalu keduanya berkata: “Maka kami akan membacakan padamu satu ayat dari Kitabulloh عز وجل ,” Maka beliau menjawab: “Tidak boleh. Kalian yang pergi dari sisiku, atau aku yang akan pergi.” (diriwayatkan Al Ajurriy رحمه الله dalam “Asy Syari’ah” no. (113)/ cet. Darul Kitabil ‘Arobiy dan dishohihkan Syaikhuna Abu Amr Al Hajuriy حفظه الله ).
Dari Mufadhdhol bin Muhalhil رحمه الله yang berkata : “Andaikata pelaku kebid’ahan jika engkau duduk di sisinya, dia menyampaikan kebid ‘ahannya, pastilah engkau akan menghindar darinya dan lari darinya. Akan tetapi dia akan menyampaikan hadits-hadits sunnah di permulaan majelisnya, lalu memasukkan kepadamu kebid’ahannya. Maka bisa jadi kebid’ahan itu akan bercokol di hatimu. Maka kapankah kebid’ahan itu akan keluar dari hatimu ?” (“Al Ibanatul Kubro”/karya Al Imam Ibnu Baththoh رحمه الله/no. (399)/cet. Al Faruqul Haditsiyyah/sanad hasan).
Ali bin Abi Kholid berkata: “Saya katakan kepada Ahmad: “Sesungguhnya orang tua ini -yang saat itu bersama kami- adalah tetanggaku. Aku telah manasehatinya agar menjauhi seseorang, tetapi dia ingin mendengar dari Anda tentang Harits Al-Qoshir -maksudnya Harits Al-Muhasibi-. Anda pernah melihatku bersamanya selama bertahun-tahun, kemudian Anda mengatakan kepadaku: “Janganlah kamu duduk-duduk dan berbicara dengannya!!” Maka sejak itu aku tidak berbicara dengannya sampai saat ini, tetapi orang tua ini duduk-duduk dengannya, maka apa pendapatmu tentang orang ini?” Maka aku lihat Ahmad merah padam mukanya, urat leher dan matanya membesar. Aku tidak pernah melihat dia seperti itu sama sekali. Kemudian dia mengibaskan tangannya seraya berkata: “Orang itu (Harits Al-Muhasibi), semoga Alloh memperlakukannya dengan seperti ini dan itu. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang telah bergaul dan mengenalnya dengan baik. Uwaih, uwaih, uwaih. orang itu tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang pernah bergaul dengannya dan mengenalnya dengan baik. Orang itu berteman dengan Al-Mughozili, Ya’qub dan juga si fulan kemudian menjerumuskan mereka ke dalam pemikiran Jahm (bin Sofwan, pencetus paham Jahmiyyah). Mereka binasa karena ulahnya.” Kemudian orang tua itu berkata: “Wahai Abu Abdillah, dia (Harits Al-Muhasibi) meriwayatkan hadits, pembawaannya tenang, khusyu’ dan seperti ini dan seperti itu.” Maka Abu Abdillah marah kemudian berkata: “Janganlah kamu tertipu dengan kekhusyu’an dan kelembutannya!!” Juga berkata: “Janganlah tertipu karena dia menundukkan kepala. Dia itu adalah seorang yang jahat, tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang telah mengenalnya dengan baik. Janganlah kamu berbicara dengannya; tidak ada kemuliaan baginya. Apakah setiap orang yang membawakan hadits dari Rosululloh –shollallohu ‘alaihi wa sallam- tetapi dia adalah seorang ahlul bid’ah, lantas kamu duduk dengannya?!! Tidak, tidak ada kemuliaan baginya, dan tiada kesenangan baginya!” Kemudian dia terus mengatakan bahwa dia itu seperti ini dan itu.” (“Thobaqotul Hanabilah”/1/hal. 233-234/cet. Darul Ma’rifah).
Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله berkata: “Sifat hizbiyyun adalah bahwasanya mereka itu di permulaannya mengajak kepada Al Kitab dan As Sunnah hingga orang-orang terbiasa dengan mereka, dan hingga otot-otot mereka menguat. Jika mereka mengetahui bahwasanya kritikan terhadap mereka tidak berpengaruh terhadap mereka, mulailah mereka menampakkan aqidah asli mereka.” (“Tuhfatul Mujib”/hal. 180/cet. Darul Atsar).
Maka janganlah menerima kedatangan mereka, jangan mendengarkan ucapan mereka, baik di bulan Romadhon  ataupun di seluruh waktu, karena hati itu lemah, dan syubuhat itu menyambar-nyambar.

 

NASIHAT KETIGABELAS:

BERSABARLAH, INI HANYA HARI-HARI YANG SINGKAT


            Wahai Muslimin, bersabarlah menghadapi sukarnya perjalanan ini, dan kokohlah di atas jalan yang lurus, kehidupan dunia ini hanyalah hari-hari yang singkat. Alloh ta’ala berfirman:
]وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ كَأَنْ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنَ النَّهَارِ يَتَعَارَفُونَ بَيْنَهُمْ قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ الله وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ[[يونس/45]
“Dan pada hari Alloh menggiring mereka seakan-akan mereka tidak tinggal di dunia kecuali hanyalah sesaat dari waktu siang. Mereka saling mengenal di antara mereka.” (QS Yunus 45)
Alloh ta’ala berfirman:
]فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلَاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُون[ [الأحقاف/35]
“Maka bersabarlah engkau sebagaimana sabarnya para pemilik tekad yang teguh dari kalangan para Rosul, dan janganlah engkau tergesa-gesa terhadap mereka. Seakan-akan pada hari mereka melihat apa yang dijanjikan itu tidaklah mereka tinggal di dunia kecuali sesaat dari waktu siang. Ini adalah pelajaran yang cukup. Maka tidaklah dibinasakan kecuali kaum yang fasiq.”
Alloh subhanah berfirman:
]كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا[ [النازعات/46]
“Seakan-akan pada hari mereka melihat kiamat itu tidaklah mereka tinggal di dunia kecuali waktu sore atau waktu dhuha saja.” (QS An Nazi’at 46)
Alloh tabaroka wata’ala berfirman:
]يَوْمَ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ وَنَحْشُرُ الْمُجْرِمِينَ يَوْمَئِذٍ زُرْقًا * يَتَخَافَتُونَ بَيْنَهُمْ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا عَشْرًا * نَحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَقُولُونَ إِذْ يَقُولُ أَمْثَلُهُمْ طَرِيقَةً إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا يَوْمًا[ [طه/102-104]
“Pada hari ditiupnya sangkakala dan Kami menggiring orang-orang jahat pada hari itu dalam keadaan haus. Mereka saling berbisik di antara mereka: “Tidaklah kalian tinggal di dunia kecuali sepuluh hari saja.” Kami lebih tahu dengan apa yang mereka katakan ketika orang yang paling baik jalannya dari mereka berkata: “Tidaklah kalian tinggal di dunia kecuali satu hari saja.”
            Bisa jadi hari kiamat itu telah dekat. Alloh ta’ala berfirman:
]فَهَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا السَّاعَةَ أَنْ تَأْتِيَهُمْ بَغْتَةً فَقَدْ جَاءَ أَشْرَاطُهَا فَأَنَّى لَهُمْ إِذَا جَاءَتْهُمْ ذِكْرَاهُمْ[ [محمد/18]
“Maka tidaklah mereka menunggu kecuali hari Kiamat yang akan mendatangi mereka secara tiba-tiba. Telah datang tanda-tandanya. Maka bagaimana kesadaran itu bermanfaat untuk mereka jika telah datang pada mereka Kiamat?”
            Dan dari Abdulloh bin Umar رضي الله عنهما bahwasanya beliau mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«إنما بقاؤكم فيما سلف قبلكم من الأمم كما بين صلاة العصر إلى غروب الشمس، أوتى أهل التوراة التوراة فعملوا حتى إذا انتصف النهار عجزوا، فأعطوا قيراطاً قيراطاً، ثم أوتى أهل الإنجيل الإنجيل فعملوا إلى صلاة العصر، ثم عجزوا، فأعطوا قيراطاً قيراطاً، ثم أوتينا القرآن فعملنا إلى غروب الشمس، فأعطينا قيراطين قيراطين، فقال أهل الكتابين: أى ربنا أعطيت هؤلاء قيراطين قيراطين، وأعطيتنا قيراطاً قيراطاً، ونحن كنا أكثر عملا، قال قال الله عز وجل: هل ظلمتكم من أجركم من شىء؟ قالوا: لا، قال: فهو فضلي أوتيه من أشاء».
“Hanyalah tinggalnya kalian dibandingkan dengan umat-umat yang telah lewat sebelum kalian itu seperti antara sholat Ashr hingga terbenamnya matahari. Ahli tauroh diberi Tauroh, lalu mereka beramal hingga sampai pertengahan siang, lalu mereka melemah. Maka mereka diberi satu qiroth satu qiroth. Kemudian Ahli Injil diberi Injil, lalu mereka beramal hingga sholat Ashr, lalu mereka melemah. Maka mereka diberi satu qiroth satu qiroth. Kemudian kita diberi Al Qur’an lalu kita beramal sampai matahari terbenam, maka kita diberi dua qiroth dua qiroth. Maka Ahli dua kitab bertanya: “Wahai Robb, Engkau memberi mereka dua qiroth dua qiroth, sementara Engkau memberi kami satu qiroth satu qiroth padahal kami lebih banyak amalannya.” Maka Alloh عز وجل berfirman: “Apakah aku menzholimin pahala kalian sedikitpun?” mereka menjawab: “Tidak,” Alloh berfirman: “Itu adalah karunia-Ku, Aku memberikannya pada orang yang Aku kehendaki.” (HR. Al Bukhoriy (557)).
            Dari Abu Dzarr رضي الله عنه yang berkata:
قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لأَبِى ذَرٍّ حِينَ غَرَبَتِ الشَّمْسُ: «تَدْرِى أَيْنَ تَذْهَبُ». قُلْتُ: الله وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: «فَإِنَّهَا تَذْهَبُ حَتَّى تَسْجُدَ تَحْتَ الْعَرْشِ، فَتَسْتَأْذِنَ فَيُؤْذَنَ لَهَا، وَيُوشِكُ أَنْ تَسْجُدَ فَلاَ يُقْبَلَ مِنْهَا، وَتَسْتَأْذِنَ فَلاَ يُؤْذَنَ لَهَا، يُقَالُ لَهَا: ارْجِعِى مِنْ حَيْثُ جِئْتِ. فَتَطْلُعُ مِنْ مَغْرِبِهَا، فَذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى: ]وَالشَّمْسُ تَجْرِى لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ[».
Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda pada Abu Dzarr ketika matahari terbenam: “Tahukah engkau kemana matahari itu pergi?” Aku menjawab: “Alloh dan Rosul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda: “Maka sesungguhnya dia pergi hingga bersujud di bawah Arsy, lalu dia minta izin, lalu diizinkan. Dan hampir-hampir dia bersujud ternyata tidak diterima darinya, dan dia minta izin, tapi tidak diizinkan. Dikatakan padanya: “Kembalilah engkau dari arah kedatanganmu.” Maka dia terbit dari arah Barat. Maka yang demikian adalah firman Alloh ta’ala: “Dan matahari berjalan sampai ke tempat menetapnya. Yang demikian itu adalah ketentuan Al Aziz (Yang Maha Perkasa) Al ‘Alim (Yang Mahatahu).” (HR. Al Bukhoriy (3199) dan Muslim (159)).
            Dan dari Kholid bin Umair Al ‘Adawiy yang berkata: Utbah bin Ghozwan رضي الله عنه berkhothbah di hadapan kami, beliau memuji Alloh dan menyanjung-Nya, lalu berkata:
أما بعد فإن الدنيا قد آذنت بصرم وولت حذاء ولم يبقى منها إلا صبابة كصبابة الإناء يتصابها صاحبها، وإنكم منتقلون منها إلى دار لا زوال لها فانتقلوا بخير ما بحضرتكم فإنه قد ذكر لنا أن الحجر يلقى من شفة جهنم فيهوي فيها سبعين عاما لا يدرك لها قعر ووالله لتملأن أفعجبتم ؟ ولقد ذكر لنا أن ما بين مصراعين من مصاريع الجنة مسيرة أربعين سنة وليأتين عليها يوم وهو كظيظ من الزحام ولقد رأيتني سابع سبعة مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ما لنا طعام إلا ورق الشجر حتى تقرحت أشداقنا فالتقطت بردة فشققتها بيني وبين سعد بن مالك فاتزرت بنصفها واتزر سعد بنصفها فما أصبح اليوم منا أحد إلا أصبح أميرا على مصر من الأمصار وإني أعوذ بالله أن أكون في نفسي عظيما وعند الله صغيرا وإنها لم تكن
“Kemudian daripada itu, sesungguhnya dunia telah mengumumkan masa penghabisan dan berlalu dengan cepat. Dan tidak tersisa darinya kecuali air sedikit yang tersisa dari bejana yang telah dituangkan oleh pemiliknya. Dan sesungguhnya kalian akan berpindah darinya menuju negri yang tiada kerusakan di situ. Maka pindahlah kalian sebaik-baik apa yang bisa kalian hadirkan (amal sholih), karena sesungguhnya telah disebutkan pada kami bahwasanya ada batu yang dilemparkan dari bibir Jahannam lalu dia melayang jatuh ke dalamnya selama tujuh puluh tahun belum mencapai dasarnya. Demi Alloh Jahannam itu pasti akan penuh. Apakah kalian merasa heran? Dan sungguh telah disebutkan kepada kami bahwasanya jarak antara dua tepi pintu Jannah itu sejarak perjalanan empat puluh tahun. Dan pasti akan datang padanya suatu hari di mana pintu tadi penuh karena berdesakannya orang-orang. Dan sungguh aku telah melihat diriku sebagai orang ketujuh bersama Rosululloh صلى الله عليه وسلم , kami saat itu tak punya makanan kecuali daun pepohonan hingga melukai tepi-tepi bibir kami. Lalu aku mengambil satu burdah, kurobek jadi dua antara diriku dan antara Sa’d bin Malik, lalu aku memakai setengahnya sebagai sarung, dan Sa’d bin Malik memakai setengah yang lain sebagai sarung. Sekarang setiap orang dari kami masing-masingnya menjadi gubernur di suatu kota. Dan sungguh aku berlindung kepada Alloh untuk menjadi besar di dalam diriku padahal aku di sisi Alloh itu kecil. Dan sesungguhnya tiada suatu kenabianpun kecuali saling menghapus, hingga akhir kesudahannya adalah suatu kerajaan. Maka kalian akan mengetahui dan akan mencoba para pemimpin sesudah kami.” (HR. Muslim (2967)).

PENUTUP RISALAH

            Ini adalah beberapa nasihat sederhana yang ingin saya sampaikan kepada muslimin, karena menyukai kebaikan tercurah untuk mereka, dan demi menjaga agama mereka. seluruh nasihat ini kembali kepada peperangan terhadap syahawat dan syubuhat pada bulan Romadhon –dan juga seluruh masa-. Maka barangsiapa Alloh beri taufiq untuk kokoh dan sabar di atas peperangan terhadap fitnah syahawat, dan kokoh serta yakin dalam memerangi fitnah syubuhat, maka hendaknya dia bergembira dengan keimaman dalam agama.
            Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Maka fitnah syubuhat itu tertolak dengan keyakinan. Dan fitnah syahawat itu tertolak dengan kesabaran. Dan karena itulah Alloh subhanah menjadikan keimaman dalam agama tergantung pada dua perkara ini, Alloh berfirman:
﴿وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ﴾ [السجدة/24].
“Dan Kami jadikan dari mereka para imam yang membimbing dengan perintah Kami ketika mereka bersabar dan mereka senantiasa yakin dengan ayat-ayat Kami.”
            Maka ini menunjukkan bahwasanya dengan kesabaran dan keyakinan itu didapatkanlah keimaman dalam agama. Dan Alloh telah mengumpulkan antara keduanya juga dalam firman-Nya:
]وتواصوا بالحق وتواصوا بالصبر[
“Dan mereka saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran.”
Maka mereka saling berwasiat dengan kebenaran yang menolak syubuhat, dan saling berwasiat dengan kesabaran yang menahan dari syahawat.
Dan Alloh mengumpulkan antara keduanya dalam firman-Nya:
]واذكر عبادنا إبراهيم وإسحق ويعقوب أولى الأيدي والأبصار[
“Dan ingatlah para hamba Kami Ibrohim, Ishaq dan Ya’qub yang memiliki tangan-tangan dan mata hati.”
Tangan-tangan di sini adalah: kekuatan dan tekad di jalan Alloh.
Mata hati di sini adalah: pengetahuan dan keyakinan dalam agama Alloh.
Ungkapan para Salaf beredar pada makna ini.” (“Ighotsatul Lahfan”/2/hal. 241/cet. Al Maktabul Islamiy).
Dan Alloh sajalah yang memberikan taufiq kepada jalan yang paling lurus. dan semoga Alloh menerima amalan kita semua.
والحمد لله رب العالمين.
Ditulis oleh Al Faqir Ila Robbihi عز وجل
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy
Tanggal 18 Sya’ban 1430 H
Darul Hadits Dammaj
Yaman
Semoga Alloh menjaganya

Daftar Isi
Contents
Pengantar Fadhilatusy Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam Al Ba’daniy –semoga Alloh menjaganya- 3
Pengantar Penerjemah. 4
Pengantar Penulis. 5
Nasihat pertama: Mengikhlaskan Ibadah Hanya Untuk Robbul ‘Alamin. 7
Nasihat Kedua: Terus Berupaya Mencocoki Syari’at Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم 9
Nasihat Ketiga: Bersungguh-sungguh Untuk Menuntut Ilmu Syar’iy. 13
Nasihat Keempat: Mementingkan Naiknya Derajat Di Sisi Ar Rohman. 15
Pertama: Iman yang jujur. 16
Kedua: Kemumuman Amal Sholih, dan Perlombaan Untuk Itu. 18
Ketiga: Jihad di Jalan Alloh عز وجل. 21
Keempat: Dzikrulloh ta’ala. 22
Kelima: Bersholawat Untuk Nabi صلى الله عليه وسلم 24
Keenam: Pendamaian Dua Orang Yang Bertikai 25
Ketujuh: Memperbanyak Sujud. 25
Sisipan: 28
Kedelapan: Membaca Al Qur’an dan Memikirkan Makna-maknanya. 29
Kesembilan: Akhlaq Yang Baik. 32
Kesepuluh: Merendahkan Diri Pada Alloh ta’ala. 34
Kesebelas: Menyempurnakan Wudhu Dalam Suasana Yang Tidak Disukai 35
Keduabelas: Memperbanyak Langkah ke Masjid Untuk Sholat 35
Ketigabelas: Menanti Sholat Seusai Sholat 36
Keempatbelas: Menuntut Ilmu Syar’iy. 37
Kelimabelas: Musibah Yang Menimpa Mukminin. 38
Keenambelas: Orang Tua Yang Sholih. 39
Ketujuhbelas: Anak Yang Sholih. 40
Kedelapan belas: Berdoa Untuk Kenaikan Derajat 41
Kesembilan belas: Taat Pada Alloh dan Mengikuti Rosul-Nya صلى الله عليه وسلم Sebagai Realisasi Rasa Cinta  44
Keduapuluh: Bersungguh-sungguh Memilih Perkataan Yang Membuat Ridho Alloh ta’ala. 45
Keduapuluh satu: Sholat Wajib Berjama’ah. 45
Nasihat Kelima: Memperbanyak Istighfar dan Taubat 47
Nasihat Keenam: Melanjutkan Mujahadah Syar’iyyah. 49
Nasihat Ketujuh: Menekuni Nasihat Dan Loyalitas Pada Pemerintah Muslimin. 52
Nasihat Kedelapan: Memperbanyak Mengingat Kematian dan Akhirat 56
Nasihat Kesembilan: Jangan Menyombongkan Diri Terhadap Kebenaran, Sekalipun yang Membawanya Adalah Anak Kecil 61
Nasihat Kesepuluh: Menjaga Lidah Dari Kebatilan. 64
Yang pertama: kedustaan. 65
Yang kedua: Menggunjing. 65
Ketiga: Namimah (adu domba) 67
Keempat: berita dusta terhadap muslim.. 68
Nasihat Kesebelas: Memikirkan Disyariatkannya Puasa Dan I’tikaf Terhadap Ruh Dan Jasad. 68
Syariat Puasa. 68
Syariat I’tikaf 70
Nasihat keduabelas: Jangan Menerima Kedatangan Ahli Syubuhat 71
Nasihat Ketigabelas: Bersabarlah, Ini Hanya Hari-Hari Yang Singkat 74
Penutup Risalah. 76
Daftar Isi 77




([1]) Sengaja saya hanya menerjemahkan yang saya anggap paling penting untuk ditampilkan dikarenakan keterbatasan waktu dan tenaga. Terkadang saya tambahi sedikit atau saya lakukan perubahan yang tidak mengganggu, sesuai dengan kebutuhan. Barangsiapa ingin membandingkan silakan merujuk kembali ke buku aslinya, telah dicetak oleh “Darut Taisir” Shon’a Yaman tahun 1430 H. Alhamdulillah.
([2]) Catatan penerjemah: naqir adalah titik yang ada di permukaan biji kurma. Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/hal. 336).
([3]) Catatan penerjemah: Yaitu adzan pertama.
([4]) Catatan penerjemah: Yaitu adzan kedua.
([5]) Catatan penerjemah: yaitu, dua pertiga saya sodaqohkan ke orang lain, sementara yang diwarisi anak perempuan saya hanya sepertiga saja.
([6]) Catatan penerjemah: menurut sebagian syarh, maknanya yaitu: apakah saya akan tertinggal di Mekkah sepulang mereka ke Madinah? (lihat “Faidhul Bari” karya Muhammad Al Kasymiriy رحمه الله)
([7]) Tambahan penerjemah: ini riwayat Al Imam Ahmad (14037), Abu Awanah (4020) dan Ath Thobroniy (“Al Ausath” (5203)) dari Anas bin Malik dengan sanad hasan.
([8]) Catatan penerjemah: Barangkali yang dimaksudkan adalah: Abu Amir mengisyaratkan ke orang Jusyam yang kebetulan ada di belakang Abu Musa, searah dengan beliau. Wallohu a’lam.
([9]) Catatan penerjemah: maknanya adalah: orang-orang yang diberi Alloh petunjuk untuk masuk Islam terdahulu dan hijroh kepada makhluq yang terbaik. (“Mirqotul Mafatih”/3/hal. 1168).
([10]) Ibnul Atsir رحمه الله berkata: “Engkau harus setia dengan as sawadul a’zhom” yaitu: keseluruhan manusia dan mayoritas mereka yang bersatu untuk taat pada penguasa dan menempuh jalan yang lurus.” (“An Nihayah Fi Ghoribil Hadits Wal Atsar”/hal. 419).
([11]) Tambahan penerjemah: Yaitu makanan dan minuman yang berlebihan.
([12]) Terkadang ucapan ini tidak didapatkan di sebagian cetakan-cetakan yang lain.

TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: TUGAS PENTING AHLI IMAN DI BULAN ROMADHON DAN DI SELURUH ZAMAN
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/tugas-penting-ahli-iman-di-bulan.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.
credit for cara membuat email - Copyright of Risalah Kajian.