Keutamaan Bulan MUHARRAM dan Bid’ah serta Khurafat didalamnya
0
comments
BULAN MUHARRAM
Keutamaan, Kebid’ahan, dan Khurofat Tentangnya (REVISI)
Ditulis oleh:
Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al-Jawiy –Waffaqohulloh-
Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al-Jawiy –Waffaqohulloh-
Darul hadits Dammaj,
Sabtu, 18 Dzulhijjah 1433
(Selesai direvisi: Rabu, 6 Muharram 1434)
Sabtu, 18 Dzulhijjah 1433
(Selesai direvisi: Rabu, 6 Muharram 1434)
Semoga Alloh menjaganya dari segala kejelekan
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا
من يهد الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد:
من يهد الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد:
Diantara ayat-ayat yang menunjukkan
kesempurnaan dan kekuasaan serta kebijaksanaan Alloh adalah pergantian
malam dan siang, perbedaan panjang dan pendeknya, panas serta dinginnya.
Semua ini adalah nikmat Alloh kepada hamba-hambanya yang tidak
menyadari keagungan nikmat ini kecuali orang-orang yang mempunyai akal
sehat, sehingga bisa memahami hikmah dari pergantian hari, bulan dan
tahun. Alloh telah berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآياتٍ لأولِي الأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imron: 190)
يُقَلِّبُ اللَّهُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لأولِي الأبْصَارِ
“Allah mempergantikan malam dan
siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran yang besar
bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” (An-Nuur: 44)
Sebagai seorang muslim sudah sepantasnya
untuk mengambil pelajaran dari perjalanan malam dan siang ini. Lihatlah
bagaimana sesuatu yang baru menjadi usang, sesuatu yang jauh menjadi
dekat, seorang yang belia menjadi renta. Setiap hari yang dilalui oleh
manusia sesungguhnya adalah tunggangan yang akan menjauhkan dirinya dari
dunia yang fana ini dan mendekatkannya kepada akherat, negeri kekekalan
dan keabadian. Orang yang beruntung adalah orang yang memikirkan
waktu-waktu dimana dia sampai di ujung perjalanannya, disaat-saat tidak
ada pilihan untuk berbalik padahal perjalanan baru yang akan ditempuh
begitu panjang dan butuh perbekalan.
Oleh karena
itu, wahai saudaraku muslim, koreksilah kembali waktu-waktu yang telah
berlalu, sudahkah engkau manfaatkan sesuai dengan tuntutan Pencipta-mu??
Sadarilah bahwa saat kini kita berada di akhir tahun dan akan menyambut
tahun baru yang merupakan lahan ‘tuk beramal dan mengumpulkan bekal.
Barangsiapa yang merasa dirinya telah menyia-nyiakan waktu yang telah
Alloh berikan, baik berupa keengganan untuk melaksanakan
perintah-perintah-Nya maupun kelemahan dalam menjauhi
larangan-larangannya, sekaranglah saatnya untuk memperbaiki diri dan
bertaubat serta mendekatkan diri kepadaNya dengan memperbanyak
amalan-amalan sholeh, sebelum datang penghalang dan ajal yang telah
ditentukan.
Merupakan perkara yang yang sangat
tepat, jika pada kesempatan kali ini kita membahas tentang bulan baru
yang sebentar lagi akan menghampiri kita, tentang keutamaan-keutamaan
yang telah Alloh berikan padanya sehingga kita bisa meraihnya, dan
tentang kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan manusia padanya sehingga
kita bisa menjauhinya.
Semoga Alloh memberikan taufiq serta hidayah-Nya kepada kita semua.
* * *
KEUTAMAAN BULAN MUHARRAM
Pertama: Bulan Muharram termasuk salah satu dari empat bulan haram.
Bulan Muharram adalah bulan yang
dengannya dimulai penghitungan tahun Hijriyah sebagaimana telah
ditetapkan berdasarkan ijma’ Shohabat pada zaman kekhalifahan Umar bin
Khoththob. Bulan ini adalah salah satu bulan haram yang disebutkan Alloh dalam firman-Nya:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada
sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi diri-diri
kalian.” (QS. At Taubah: 36)
Empat bulan haram tersebut telah diterangkan oleh Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam- dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakroh –Rodhiyallohu ‘anhu- bahwasanya Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam- bersabda:
السنة اثنا عشر شهراً، منها أربعة حرم: ثلاثة متوالية، ذو القعدة، وذو الحجة، والمحرم، ورجبُ مُضَرَ الذي بين جمادى وشعبان.
“Setahun itu ada dua belas bulan,
diantara bulan bulan itu ada empat bulan haram, tiga bulan (datang)
berturut-turut, yaitu: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan (satu
bulan yang tersisa yaitu:) bulan Rojab Mudhor yang terletak antara
Jumada dan Sya’ban.” (HR. Bukhori: 3197 dan Muslim: 1679)
Alloh menamakan bulan ini dengan
Muharram untuk semakin memperkuat ke-haram-an yang ditetapkan padanya,
sebab orang-orang arab jahiliyyah membolak-balikkan bulan ini semau
mereka, terkadang menjadikannya haram pada tahun tertentu, dan pada
tahun yang lain menjadikannya halal.
Pada ayat di atas Alloh melarang seseorang untuk menzhalimi dirinya pada bulan-bulan haram itu, sebagaimana firman-Nya:
فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Hal ini tidak berarti bahwa hal tersebut
dibolehkan pada selain bulan haram, akan tetapi pengkhususan pelarangan
pada bulan-bulan haram itu menunjukkan bahwa balasan serta dosa kezholiman yang dilakukan pada bulan-bulan tersebut lebih besar daripada bulan-bulan yang lain.
Imam Qotadah mengatakan: “Sesungguhnya
kezholiman pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya
daripada kedzaliman yang dilakukan pada bulan-bulan selainnya, walaupun
kedzaliman itu pada setiap keadaan adalah dosa, akan tetapi Alloh berhak
untuk memperbesar suatu perkara sesuai dengan kehendak-Nya.” (Tafsir
Ibnu Katsir)
Kedua: Puasa pada bulan Muharram diutamakan.
Telah diriwayatkan dari Abu Huroiroh bahwa Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam- bersabda:
أفضلُ الصيام بعد رمضان شهرُ الله المحرم، وأفضلُ الصلاة بعد الفريضة صلاةُ الليل
“Seutama-utama puasa setelah puasa
Romadhon adalah puasa pada Bulan Alloh: Muharram, dan seutama-utama
sholat setelah sholat wajib adalah sholat malam.” (HR. Muslim: 1163)
Hadits ini dengan jelas menunjukkan
keutamaan puasa pada bulan Muharram. Secara dzohir, dipahami bahwa
hadits di atas menganjurkan kita untuk puasa sebulan penuh, akan tetapi
para ulama menerangkan bahwa maksud hadits adalah anjuran untuk memperbanyak puasa pada bulan ini, bukan untuk puasa sebulan penuh. Sebab telah diriwayatkan dari Aisyah –Rodhiyallohu ‘anha- bahwasanya dia berkata:
ما رأيت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – استكمل صيام شهر قط إلا رمضان،
“Tidaklah aku melihat Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam- puasa sebulan penuh kecuali di bulan Romadhon.” (HR Muslim: 1156)
Jadi, yang merupakan sunnah untuk
dilaksanakan pada bulan ini adalah memperbanyak puasa. Selain itu, Alloh
juga memberikan kekhususan lain pada salah satu hari dari hari-hari
yang ada di bulan Muharram dengan pahala yang lebih. Hari tersebut
dinamakan Hari ‘Asyuro’.
Apa itu Hari ‘Asyuro’?
Hari ‘Asyuro’ adalah hari kesepuluh di bulan Muharram. Telah diriwayatkan dari Aisyah -Rodhiyallohu ‘anha- bahwasanya dia berkata:
كان يوم عاشوراء تصومه قريش في الجاهلية،
وكان رسول الله – صلى الله عليه وسلم – يصومه في الجاهلية، فلما قدم
المدينة صامه، وأمر بصيامه، فلما فُرِضَ رمضان ترك يوم عاشوراء، فمن شاء
صامه، ومن شاء تركه.
“Dahulu pada masa jahiliyyah,
orang-orang Quroisy berpuasa pada hari ‘Asyuro’, Rosululloh
–Shollallohu’alai wasallam- pada masa jahiliyyah juga berpuasa Hari ‘Asyuro’. Ketika beliau tiba di Madinah, beliau (juga) puasa Hari ‘Asyuro’ dan memerintahkan untuk berpuasa. Ketika telah diwajibkan puasa Romadhon beliau meninggalkan puasa Hari ‘Asyuro’, barangsiapa yang ingin puasa silakan, yang ingin tinggalkan juga silakan.” (HR. Bukhory: 2002 dan Muslim: 1125).
Hadits di atas menunjukkan bahwa Hari ‘Asyuro’ sudah dikenal oleh orang-orang arab jahiliyyah, dan mereka memuliakan hari tersebut jauh-jauh hari sebelum diutusnya Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam-.
Sebab memang saat itu masih ada sisa-sisa syareat Nabi Ibrohim yang
mereka jaga, walaupun pada hakekatnya mereka melaksanakan kebalikannya.
Karena kemuliaan Hari ‘Asyuro’ ini di sisi
mereka, mereka tidaklah memasang tirai penutup Ka’bah kecuali pada hari
ini, sebagaimana diterangkan dalam hadits ‘Aisyah bahwasanya dia
berkata:
كانوا يصومون عاشوراء قبل أن يفرض رمضان ، وكان يوماً تُسْتَرُ فيه الكعبة … الحديث
“Dulu (orang-orang) berpuasa pada hari ‘Asyuro sebelum diwajibkannya puasa Romadhon, (Hari ‘Asyuro’) adalah hari dipasangkannya tirai penutup Ka’bah…” (HR Bukhory: 1592).
Hukum Puasa Hari ‘Asyuro’.
Dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa hukum puasa Hari ‘Asyuro’ terbagi dalam dua periode, sebelum diwajibkannya puasa romadhon dan setelahnya.
Adapun sebelum diwajibkannya puasa Romadhon, para ulama berselisih pendapat tentang hukum puasa Hari ‘Asyuro’ apakah wajib atau mustahab.
Pendapat yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat yang mengatakan wajibnya puasa Asyuro setelah hijrohnya Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam-
ke Madinah, sebelum turunnya kewajiban puasa Romadhon. Ini adalah
pendapat para ulama ahli tahqiq baik yang dulu atau sekarang. Dalilnya
adalah hadits Salamah bin Akwa’ dan Rubayyi’ binti Mu’awwidz yang
diriwayatkan oleh Bukhory-Muslim.
أمر النبي – صلى الله عليه وسلم – رجلاً
من أسلم أن أذن في الناس : أن من كان أكل فليصم بقية يومه، ومن لم يكن أكل
فليصم ، فإن اليوم يوم عاشوراء
“Nabi –Shollallohu’alai wasallam-
memerintahkan seorang laki-laki dari kabilah Aslam untuk menyerukan
kepada manusia: bahwa siapa saja yang telah makan (pada hari itu) untuk
berpuasa pada waktu yang tersisa (di hari itu), dan barangsiapa yang
belum makan agar berpuasa, karena hari ini adalah Hari ‘Asyuro’.”
Demikian pula hadits ‘Aisyah yang telah lewat, bahwa Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam- setelah
tiba di Madinah memerintahkan untuk berpuasa hari ‘Asyuro. Merupakan
perkara yang disepakati bahwa suatu perintah itu menunjukkan wajibnya
perkara yang diperintahkan.
Adapun setelah turunnya kewajiban puasa
Romadhon pada tahun kedua hijriyah, kewajiban puasa ‘Asyuro dihapus, dan
hukumnya menjadi mustahab (disebut juga dalam istilah ahli
fiqih: sunnah). Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah yang telah
terdahulu bahwa setelah diwajibkannya puasa Romadhon, para sahabat
diberi keluasan untuk memilih antara puasa dan tidak.
Keutamaan Puasa ‘Asyuro
Diriwayatkan dari Abu Qotadah bahwasanya Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam- ditanya tentang puasa Hari ‘Asyuro’, Beliau menjawab:
يكفر السنة الماضية
“(Puasa hari itu) menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang lalu.” (HR. Muslim: 1162)
Karena keutamaan yang besar inilah Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam- sangat memperhatikan puasa pada hari itu, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas ketika ditanya tentang puasa hari Asyuro:
ما علمت أن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – صام يوماً
يطلب فضله على الأيام إلا هذا اليوم، ولا شهراً إلا هذا الشهر، يعني رمضان
يطلب فضله على الأيام إلا هذا اليوم، ولا شهراً إلا هذا الشهر، يعني رمضان
“Tidaklah aku mengetahui Rosululloh
–Shollallohu’alai wasallam- puasa pada suatu hari untuk mencari
keutamaanya kecuali pada hari ini (yaitu hari Asyuro), dan tidak pula
puasa pada suatu bulan kecuali pada bulan ini, yakni bulan Romadhon.”
(HR. Bukhory: 2006 danMuslim: 1132)
Dengan ini, tidaklah pantas bagi seorang muslim yang mengaku cinta kepada Rosulnya –Shollallohu’alai wasallam- untuk menyia-nyiakan keutamaan yang besar ini. Kalau Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam- yang
telah Alloh ampuni dosa-dosanya baik yang terdahulu maupun yang akan
datang, telah dijamin dengan surga dan aman dari panasnya neraka, sangat
bersemangat dalam berpuasa pada hari Asyuro, maka kita yang tidak ada jaminan sedikitpun ini lebih pantas untuk bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya.
Kemudian, perlu untuk diketahui bahwa
apabila ada dalil-dalil yang menunjukkan bahwa suatu amalan tertentu
bisa menghapuskan dosa, seperti puasa Asyuro ini, atau puasa Romadhan,
puasa Arofah, wudhu, atau selainnya, yang dimaksudkan adalah dosa-dosa kecil, berdasarkan sabda Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam-:
الصلوات الخمس، والجمعة إلى الجمعة، ورمضان إلى رمضان،
مكفرات ما بينهن إذا اجتنب الكبائر
مكفرات ما بينهن إذا اجتنب الكبائر
“Sholat lima waktu, jum’at yang satu
sampai jum’at berikutnya, dan Romadhon yang satu sampai Romadhon
berikutnya, adalah penghapus dosa-dosa yang dilakukan diantara
(waktu-waktu tersebut) jika dia menjauhi dosa-dosa besar.” (HR Muslim:
233)
Sisi pendalilan: Jika ibadah-ibadah
besar yang wajib seperti sholat lima waktu, sholat jumat, dan puasa
Romadhon tidak bisa menghapus dosa-dosa besar maka terlebih lagi
ibadah-ibadah yang lainnya.
Oleh karena itulah mayoritas ulama
menyatakan bahwa dosa-dosa besar seperti riba, zina, pencurian, ghibah
dan yang lainnya tidaklah bisa terhapus dengan amalan sholeh. Dosa-dosa
tersebut hanya bisa dihapus dengan taubat yang tulus atau dengan
penegakan hukum had pada dosa-dosa yang disyareatkan had padanya.
Hikmah disyareatkan puasa ‘Asyuro
Pertama: Sebagai bentuk Syukur kepada Alloh atas kemenangan orang-orang beriman atas orang-orang kafir.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas –Rodhiyallohu ‘anhuma- bahwasanya Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam- ketika tiba di Madinah mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada Hari ‘Asyuro’ ,
maka beliu pun bertanya kepada mereka tentangnya, dan mereka menjawab:
“Hari ini adalah hari dimana Alloh memenangkan Musa dan Bani Isroil atas
Fir’aun, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai bentuk syukur, dan
kamipun ikut berpuasa.” Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam- berkata:
نحن أولى بموسى منكم
“Kami lebih berhak tentang Musa daripada kalian.” Kemudian beliau memerintahkan kami untuk berpuasa pada hari tersebut.” (HR. Bukhori: 3943-Muslim: 1130)
Hadits ini menerangkan kepada kita bahwa
hikmah disyareatkan puasa Asyuro adalah untuk memuliakan hari itu dan
sebagai bentuk kesyukuran kepada Alloh atas keselamatan Musa dan Bani
Isroil dan kehancuran Fir’aun beserta bala tentaranya. Jika Musa
berpuasa padanya yang kemudian diikuti oleh orang-orang Yahudi, maka
kita umat Islam lebih berhak daripada mereka untuk mengikuti Musa,
sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi kita:
نحن أولى بموسى منكم
“Kami lebih berhak tentang Musa daripada kalian.”
Maknanya: kami ini lebih berhak dan
lebih dekat untuk mengikuti Musa, sebab agama kami dan agama Musa sama
dari sisi pokok-pokok Syareatnya, adapun kalian (wahai yahudi) kalian
tidaklah mengikuti Musa, bahkan kalian menyelisihinya dengan
mengubah-ubah kitab kalian, jadi dengan ini kami lebih berhak untuk
berpuasa pada hari ‘Asyuro daripada kalian.
Hikmah kedua: Sebagai bentuk penyelisihan terhadap orang-orang Yahudi yang menjadikan ‘Asyuro sebagai hari raya.
Diriwayatkan dari abu Musa, bahwa beliau
berkata: “Hari ‘Asyuro adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang
Yahudi, dan mereka menjadikannya sebagai hari raya. (Karena itulah)
Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam- berkata:
صوموه أنتم
“Puasalah kalian (pada hari itu).” (HR. Bukhory: 3005 dan Muslim: 1131)
Pada riwayat Muslim dikatakan:
“Orang-orang (Yahudi) Khoibar berpuasa pada hari Asyuro dan
menjadikannya hari raya, mereka memakaikan hiasan-hiasan pada
wanita-wanita mereka.”
Hadits ini dengan jelas menunjukkan
bahwa diantara hikmah disyareatkannya puasa Asyuro adalah untuk
menyelisihi kebiasaan orang Yahudi yang mereka menjadikannya sebagai
hari raya, sebab pada hari raya seseorang tidaklah diperintahkan untuk
puasa.
Untuk lebih menyempurnakan penyelisihan dengan orang-orang Yahudi, maka Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam- juga
berkeinginan untuk berpuasa pada hari kesembilan, sehingga benar-benar
terjadi perbedaan nyata antara ibadah kaum muslimin dengan ibadah
mereka.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam-
berpuasa pada hari ‘Asyuro dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa
hari itu, para sahabat berkata: “Wahai Rosululloh, hari itu adalah hari
yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani?! Maka Rosululloh –Shollallohu’alai wasallam- menjawab:
فإذا كان العام المقبل – إن شاء الله – صمنا اليوم التاسع
“(Kalau demikian) Insya Alloh pada tahun yang akan datang kita puasa pada hari kesembilan.”
Di riwayat yang lain beliau berkata: “Jika aku masih hidup tahun depan, sungguh aku akan puasa pada hari kesembilan.”
Akan tetapi belum sampai datang tahun tersebut Rosululloh sudah meninggal. (HR Muslim: 1134)
Hadits ini menunjukkan bahwa orang
yang ingin berpuasa ‘Asyuro, disunnahkan juga untuk untuk berpuasa pada
hari ke sembilan agar penyelisihan terhadap ibadah orang-orang Yahudi
lebih jelas. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh imam al-Baihaqi (4/287)[1]. bahwa dia berkata:
صوموا التاسع والعاشر خالفوا اليهود
“Puasalah kalian pada hari kesembilan dan kesepuluh, selisihilah orang-orang Yahudi.” [Atsar
ini juga diriwayatkan oleh: Abdurrozzaq (7839) dan Ath-Thohawy (2/78)
dengan sanad yang shohih, telah menshohihkannya Syaikh Al-Albany (
lihat: Catatan kaki Shohih Sunan Abi Dawud: 7/207).
Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana
syareat kita ini sangat bertentangan dengan penyerupaan diri terhadap
orang-orang kafir, lalu bagaimana dengan keadaan kebanyakan kita saat
ini yang berlomba-lomba untuk mengambil perkara-perkara yang datang dari
mereka??!! Semoga Alloh memberikan hidayah Nya kepada kita semua.
* * *
BID’AH DAN KHUROFAT DI BULAN MUHARRAM
Bukan merupakan perkara yang aneh lagi
bagi kita, bahwa tidaklah ada suatu ibadah atau sesuatu yang diagungkan
oleh Syareat ini kecuali disana bermunculan bid’ah-bid’ah yang
diada-adakan oleh para pengikut hawa nafsu dan orang-orang yang beibadah
di atas kejahilan, sehingga mereka menganggapnya suatu kebajikan
padahal pada hakekatnya adalah suatu kemaksiatan dan kemungkaran. Alloh
telah berfirman:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ
أَعْمَالًا ۩ الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: "Apakah akan Kami
beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam
kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat
sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)
Berikut ini beberapa kebid’ahan yang
tersebar di kalangan umat, yang merupakan kewajiban bagi kita untuk
meninggalkannya dan memperingatkan manusia darinya:
- Bid’ah perayaan tahun baru Hijriyah.
Bid’ah ini banyak sekali terjadi di
masjid-masjid dan organisasi-organisasi keislaman, sehingga mereka
membuat agenda khusus untuk merayakannya, baik dengan membuat
pengajian-pengajian umum yang mereka sebut “Peringatan Hari Besar Islam”
atau acara-acara yang lainnya. Semua ini tidak lain karena jauhnya
ilmu syar’y dari mereka dan terpatrinya sikap mengekor terhadap
orang-orang kafir. Ketahuilah bahwa perkara ini sama sekali tidak datang
dari Rosululloh –Shollallohu’alaihi wasallam-, tidak pula para
sahabat beliau yang mulia maupun para ulama yang terdahulu. Perkara
ini tidak lain datangnya dari orang-orang yahudi yang dimurkai Alloh dan
Nasrani yang tersesat dan tidak tahu arah.
Perayaan hari pertama suatu tahun pada
asalnya adalah salah satu hari raya orang yahudi yang tertera dalam
Taurot mereka. Hari raya ini semisal dengan idul ‘Adha bagi kaum
muslimin. Mereka mengatakan bahwa pada hari itu Alloh memerintahkan
Ibrohim untuk menyembelih Ishaq. Maha suci Alloh dari kebohongan yang
mereka ada-adakan.
Kemudian perkara ini ditiru oleh
orang-orang Nashroni, sehingga merekapun mengadakan perayaan pada hari
pertama tahun masehi dengan kegiatan-kegiatan yang telah mereka susun
baik berupa makan-makan, begadang malam, nyanyi-nyanyian, tari-tarian
dan kemaksiatan yang lainnya.
Akhirnya, perayaan inipun diambil oleh
kaum muslimin, setelah jauhnya mereka dari bimbingan agama yang benar,
dan tertanamnya kecintaan terhadap budaya-budaya kekafiran. Peringatan
tahun baru hasil adobsi dari yahudi dan nasrani ini pertama kali
diadakan atas nama islam pada zaman daulah Fatimiyyah di Mesir,
sebagaimana disebutkan oleh imam Al-Maqrizy dalam kitab beliau
“Al-Khuthoth wal Atsar” (1/ 490).
Kemudian setelah itu merata di negeri-negeri kaum muslimin. Wallohu musta’an. (lihat: Al-Bida’ Al-Hauliyah: 1/ 297)
- Bid’ah doa akhir tahun dan awal tahun.
Hal ini merupakan perkara yang masyhur,
bahkan mungkin tidak ada satu bukupun yang memuat tentang doa-doa
kecuali dicantumkan doa ini di dalamnya. Doa tersebut bunyinya sebagai
berikut:
اللهم ما عملته في هذه السنة مما نهيتني
عنه ولم ترضه، ونسيته ولم تنسه، وحلمت عليَّ في الرزق بعد قدرتك على
عقوبتي، ودعوتني إلى التوبة بعد جراءتي على معصيتك، اللهم إني استغفرك منه
فاغفر لي، وما عملته فيها من عمل ترضاه ووعدتني عليه الثواب فأسألك يا
كريم، يا ذا الجلال والإكرام أن تقبله مني، ولا تقطع رجائي منك يا كريم،
وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم.
Mereka mengatakan bahwa jika seseorang
membaca doa ini, maka syetan berkata: “Sungguh aku telah susah payah
menggodanya sepanjang tahun kemudian semua itu terhapus dalam sekejap.”
Ketahuilah bahwa doa ini dan doa lainnya
yang dikhususkan pada akhir tahun maupun awal tahun sama sekali tidak
ada dasarnya dari Rosululloh –Shollallohu’alaihi wasallam-, para sahabatnya maupun ulama-ulama setelah mereka. Semua itu tidak lain adalah kedustaan atas nama Rosululloh –Shollallohu’alaihi wasallam- yang tidak diperbolehkan satu orang muslim pun untuk mengamalkannya.
- Bid’ah pengkhususan puasa pada akhir tahun dan awal tahun.
Orang yang melakukan kebid’ahan ini mendasarkan amalannya pada sebuah hadist yang berbunyi:
من صام آخر يوم من ذي الحجة، وأول يوم من الحرم، فقد ختم السنة الماضية، وافتتح السنة المستقبلة بصوم جعل الله له كفارة خمسين سنة
“Barangsiapa berpuasa pada hari
terakhir bulan Dzulhijjah, dan hari pertama bulan Muharram, sungguh dia
telah menutup tahun yang telah lalu dan membuka tahun yang akan datang
dengan puasa yang Alloh menjadikannya sebagai penghapus dosa selama lima
puluh tahun.”
Hadits palsu ini disebutkan oleh Ibnul Jauzy dalam kitab “Maudhu’at” (2/199) dari jalan pendusta dan pemalsu hadits.
Dengan ini maka tidaklah diperbolehkan
seorang muslim untuk mengamalkannya. Adapun doa secara umum, maka hal
tersebut disyareatkan di setiap waktu. Akan tetapi pengkhususan suatu
doa tertentu pada waktu tertentu tanpa dalil yang shohih, inilah yang
dilarang untuk dilakukan, sebab hal ini merupakan kebid’ahan dalam
agama.
- Khurofat bahwa bulan Muharram adalah bulan kesialan.
Keyakinan ini banyak tersebar di negeri
kita, mereka lebih mengenal bulan ini dengan nama bulan Syuro. Oleh
karena itu banyak sekali diadakan acara-acara selamatan pada bulan ini.
Ada yang memberikan sembelihan untuk suatu jembatan tertentu atau sungai
dan laut tertentu atau benda-benda tertentu.
Karena keyakinan ini, mereka takut untuk
mengadakan pernikahan padanya, atau kegiatan-kegiatan yang mereka
anggap penting lainnya. Mereka khawatir jika melakukan hal-hal tersebut
akan ditimpa kesialan atau musibah dan bencana. Persis dengan keyakinan
orang-orang arab jahiliyyah. Bedanya, kalau bulan sial menurut orang
jahiliyyah adalah bulan Shofar, adapun bulan sial mereka adalah Muharram
atau syuro.
Semua ini sangat bertentangan dengan
ajaran islam, bahkan perbuatan dan keyakinan-keyakinan itu bisa
mengeluarkan seseorang dari keislaman jika terpenuhi syarat-syaratnya
dan terbebas dari penghalang-penghalang yang mencegahnya, sebagaimana
yang telah lalu penjelasannya dalam artikel kami yang berjudul “Bahaya Syirik dan Ketakutan Orang-orang Beriman darinya.”
Inilah pembahasan singkat seputar bulan
Muharram, semoga bisa memberikan manfaat bagi kita semua, teriring doa
semoga Alloh memberikan hidayah-Nya kepada saudara-saudara kita kaum
muslimin untuk kembali kepada agamanya dan tunduk kepada syareat yang
telah ditetapkan oleh Alloh Pencipta alam semesta.
اللهم فقهنا في ديننا، وارزقنا العمل به والاستقامة عليه، ويسِّرنا لليسرى، وجنبنا العسرى،
واغفر لنا في الآخرة والأولى،
سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
واغفر لنا في الآخرة والأولى،
سبحانك اللهم وبحمدك لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
[1] Sebelum direvisi tertulis: muslim, kami ucapkan syukur kepada akhuna fillah Wahyu Ario Sadono –waffaqohulloh- yang
telah megirimkan email berupa teguran tantang adanya kekeliruan yang
tidak kami sadari ini. Semoga Alloh membalasnya dengan kebaikan.
Sumber: ahlussunnah.web.id
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Keutamaan Bulan MUHARRAM dan Bid’ah serta Khurafat didalamnya
Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://risalahkajian.blogspot.com/2013/03/keutamaan-bulan-muharram-dan-bidah.html?m=0. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Admin
Rating Blog 5 dari 5