SADARKAH ANDA BAHWA:
SESUNGGUHNYA TAQLID BISA MENGIKIS TAUHID?
(Pembahasan dalam: MENGENAL SYAHADAT MUHAMMAD ROSULULLOH SECARA HAKIKI)
Ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy Al-Andalasy
Waffaqohulloh
Waffaqohulloh
1 Shofar 1434
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده
لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد
Banyak orang yang mengaku bingung dalam
mencari kebenaran di tengah beragamnya komunitas muslimin yang
mendakwakan bahwa kebenaran ada pada barisan mereka, padahal Alloh telah
berfirman:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ * وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ
مُهِينٌ
“Barangsiapa taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di
dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar. Sementara barangsiapa yang mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan
baginya siksa yang menghinakan”. (QS An-Nisa’ 13-14)
Dia telah menjelaskan bahwa agama-Nya
tak akan di tempuh dengan benar kecuali dengan merujuk kepada apa yang
diturunkannya, Al-Qur’an dan sunnah nabi-Nya. Pemahaman tentang keduanya
telah diajarkan Rosululloh kepada orang-orang beriman yang sezaman
dengannya yaitu para shohabatnya.
Bersamaan dengan terangnya itu semua,
pada kenyataan, banyak sekali kaum muslimin yang lebih mengedepankan
pemikiran orang yang mulia di matanya. Jangan tanya berapa banyaknya
fenomena ini terjadi pada berbagai kelompok sempalan dalam Islam, karena
memang kelompok-kelompok mereka tidaklah muncul kecuali dibangun dengan
adanya pemikiran yang baru yang tidak ada di Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Mereka berpegang dengan pemikiran tersebut karena berprasangka bahwa
pencetusnya adalah orang mulia di sisi Alloh, orang yang sholih yang
berjuang demi agama.
Ironisnya hal ini juga terjadi di
kalangan orang-orang yang mengaku berada dalam lingkupan dakwah
salafiyyah, dakwah ahlus sunnah wal Jama’ah, dakwah yang mengedepankan
perkataan Alloh dan rosul-Nya dari perkataan siapapun. Dengan bentuk
yang seakan-akan benar, mereka mengekori tanpa meminta dalil (taqlid),
berpegang teguh –terutama jika terdapat perselisihan pendapat- dengan
ulama tertentu bahkan ustadz tertentu!!, tentunya yang cocok dan sesuai
dengan perasaan mereka. Bahkan tak jarang justru mengajak orang kepada
pemikirannya: “Syaikh fulan lebih berpengalaman …”, “Ustadz lebih paham
dari kita-kita …”, kurang sikap kritis untuk mencari kecocokan pendapat
dengan Al-Qur’an dan sunnah.
Yang ada? kita masih bodoh … pasrahkan saja …
Memang peran ulama dalam agama ini
adalah peran yang sangat sangat penting, karena mereka adalah pewaris
para nabi, mereka yang menyampaikan syariat agama yang mulia ini dan
menerangkan kepada manusia. Karena itu Alloh memerintahkan manusia untuk
bertanya kepada ulama jika mereka tidak mengetahui sesuatu perkara
tentang agama ini. Namun bertanya bukan artinya mengkhususkan ulama yang
disuka, bertanya bukan sekedar mengambil jawaban ya dan tidak, tapi
dicari alasannya sehingga bisa dicocokkan dengan Al-Qur’an dan sunnah.
Dengannya kita bisa tenang beribadah kepada Alloh.
Al-Imam Ash-Shon’any Rohimahulloh dalam “Irsyadun Nuqod” (1/154) mengatakan –terkait firman Alloh Ta’ala-:
فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kalian kepada Ahludz Dzikr, apabila kalian tidak mengetahui” (QS An-Nahl 43)
“Pada ayat ini terdapat perintah untuk
bertanya kepada mereka (Ahludz Dzikr) tentang ayat-ayat dan
hadits-hadits. Ayat tersebut kepada makna ini lebih dekat. Karena Alloh
Ta’ala mengkaitkan ketiadaan ilmu (orang yang bertanya) terhadap
Al-Bayyinat dan Az-Zubur. Maka (makna) yang jelas adalah: “Tanyalah
mereka tentang Al-Bayyinat dan Az-Zubur yang tidak kalian ketahui.
Janganlah kalian bertanya tentang pendapat-pendapat mereka (semata) atau
(sekedar) apa yang mereka pilih, yang mengakibatkan ayat ini (malah)
bisa dipakai untuk membolehkan taqlid” Selesai penukilan
Memang disitulah kesalahan letak
sebagian orang dalam mengamalkan ayat ini mereka menyangka bahwa taqlid
yang mereka lakukan adalah penerapan apa yang Alloh perintahkan, padahal
tak sama.
Imam Asy-Syinqithy Rohimahulloh,
dalam “Adhwa’ul Bayan” mengatakan: “… sesungguhnya ayat ini tidak
menunjukkan jenis taqlid buta ini, yaitu mengikuti seluruh perkataan
seseorang dan meninggalkan setiap yang selainnya.
Tidak diragukan bahwa yang dimaksud
dengan Ahludz Dzikr adalah Ahlul Wahyu, orang-orang yang mengetahui
apa-apa yang berasal dari Alloh, seperti ulama Al-Kitab dan Sunnah.
Mereka (orang yang tidak mengetahui) diperintahkan untuk bertanya kepada
Ahlul Dzikri untuk memfatwakan mereka dengan konsekwensi Adz-Zikr,
yaitu wahyu[1].
Barang siapa yang bertanya tentang wahyu, lalu orang (yang ditanya)
tersebut memberitahukan dan menjelaskan kepadanya. Maka ilmu yang
didapatkan penanya adalah mengikuti wahyu, bukan taqlid. Tidak ada
khilaf dalam keabsahan mengikuti wahyu …” Selesai penukilan
Al-‘Allamah Muhammad bin Isma’il Al-Amir Ash-Shon’any Rohimahulloh
di “Irsyadun Nuqod ila Taisiril Imtihan” (hal 105) mengatakan: “Beda
antara taqlid dengan mengambil bantuan dengan pemahaman ulama adalah;
yang pertama (taqlid) mengambil perkataannya tanpa melihat kepada dalil
dari Al-Kitab ataupun As-Sunnah adapun yang kedua berposisi sebagai
penunjuk jalan yang cakap bagi seorang pengembara, dan itu adalah
petunjuk kepada dalil” Selesai penukilan
Rata-rata sikap taqlid ini muncul dari
kemalasan atau fanatisme yang berlebihan. Mereka menyangka dengan
mengikuti jalan orang yang mereka anut maka mereka akan selamat.
Sadarkah mereka bahwa orang yang mereka ikuti tak luput dari kesalahan,
bahkan bisa saja kesalahan itu membawanya keluar dari sunnah atau dari
Islam sekalipun, naudzubillah minh.
Alloh Ta’ala berfirman:
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan
kepada kalian dari Robb kalian dan janganlah kalian mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kalian mengambil
pelajaran”. (QS Al-A’raf 3)
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُون
“Kemudian Kami jadikan kamu berada
di atas suatu syariat dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu
dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.
(QS Al-Jaatsiyah 18)
Imam Ad-Darimy meriwayatkan dalam sunannya dengan sanad yang shohih dari Ziyad bin Hudair bahwasanya ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu berkata
kepadanya: “Tahukah kamu apa yang bisa merubuhkan Islam?”. Ziyad
berkata: “Tidak”. ‘Umar berkata: “Ia dirubuhkan oleh ketergelinciran
seorang ulama, penyimpangan seorang para munafik berdebat dengan
al-Kitab dan hukum para pemimpin yang sesat”.
Al-’Alamah Ishaq bin ‘Abdurrohman Rahimahulloh
dalam Ad-Durorus-Saniyyah (1/539) mengatakan: “Para ulama, terdapat
pada mereka kesalahan. Mereka bukanlah orang-orang yang ma’shum. Barang
siapa yang berprasangka baik kepada mereka tanpa melihat kepada Al-Kitab
dan As-sunnah maka dia binasa” Selesai penukilan
Ketahuilah bahwa yang namanya ibadah
bukan amalan saja tapi dituntut ilmu yang melatar belakangi amalan
tersebut. Amalan tanpa ilmu adalah jalannya orang-orang yang sesat
layaknya amalan kaum Nashoro.
Imam Ibnu ‘Abdil Barr Rahimahulloh
dalam Jami’ Bayani ‘Ilmi wa Fadhlih (2/230) mengatakan: “Sebuah
perkataan tidak menjadi shohih karena keutamaan pembicaranya, akan
tetapi shohih berdasar penunjukan dalil terhadapnya. Ibnu Mazin
mengatakan dari ‘Isa bin Dinar, dari Ibnul Qosim, dari Malik, beliau
mengatakan: Tidak setiap kali seorang lelaki mengucapkan perkataan
–walau dia memiliki keutamaan- terus perkataannya diikuti” selesai
penukilan
Imam Asy-Syathiby Rahimahulloh
dalam Al-I’tishom (3/460) mengatakan: “Kesimpulan dari yang telah lewat,
bahwa penghukuman yang dilakukan oleh sekelompok seorang tanpa melihat
bahwa mereka sekedar perantara bagi hukum syar’i yang dituntut dalam
syari’at, adalah sebuah kesesatan. Tidak ada yang memberiku taufik
kecuali Alloh. Sesungguhnya hujjah pemutus dan hakim tertinggi adalah
syari’at tidak ada yang lain.
Kemudian kami katakan: Sesungguhnya
inilah mazhab shohabat Rosululloh sholallohu ‘Alaihi wa Sallam. Barang
siapa yang melihat perjalanan mereka, menukil dari mereka dan menelaah
keadaan mereka, akan mengetahui yang demikian dengan yakin” Selesai
penukilan
Ketahuilah bahwasanya taqlid bukanlah
perkara remeh yang bisa dianggap enteng oleh seorang muslim, karena
padanya terkandung perkara yang merusak akidah, terkait dengan
pelanggaran tuntutan dua kalimat syahadat. Penjelasan berikut ini adalah
pembahasan yang terkait dengan hal tersebut, yang disampaikan Syaikh
kami Sa’id bin Da’as Rahimahulloh dalam tulisannya yang berjudul Tajridul Ittiba’ wa Khotorul Tarkil Haqq li Aro’il Kholq wa Maa Yusamma bil Isyrok fir Risalah (hal 8-26), beliau berkata:
PERSAKSIAN BAHWA SESUNGGUHNYA MUHAMMAD ADALAH UTUSAN ALLOH
MENGANDUNG KONSEKWENSI PEMBATALAN: SIKAP MEMASRAHKAN PENGETAHUAN KEBENARAN KEPADA ULAMA TERTENTU
Ketahuilah –wahai seorang muslim-
bahwasanya persaksian “sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh”,
merupakan salah satu rukun yang agung dari rukun-rukun Islam,
sebagaimana disebutkan di hadits Ibnu ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhu.
Maknanya adalah menetapkan, mengakui,
dan beriman akan benarnya kenabian dan kerosulannya, serta akan wajibnya
mengikuti beliau, wajibnya berpegang teguh dengan syari’at dan
petunjuknya, kebenaran yang beliau bawa, serta pengkhususannya secara
mutlak sebagai orang yang diikuti. Karena itulah para ulama mengatakan:
“Tidak ada yang berhak diikuti selain rosululloh. Sementara selain
beliau, jika orang itu diikuti tanpa dalil, maka sungguh dia telah
diikuti dengan cara yang batil”.
Agama ini tidak akan lurus kecuali dengan mengikuti beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan sepenuhnya, sebagaimana Alloh Subhanah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ
إِذَا قَضَى اللَهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ
مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا
مُبِينًا
“Tidaklah patut bagi laki-laki yang
mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata”. (QS Al-Ahzab 36)
Alloh berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Demi Robbmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS An-Nisa’ 65)
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. (QS An-Nur 63)
Berhati-hatilah dari sikap lancang terhadap beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, Alloh berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ * يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَرْفَعُوا
أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ
كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا
تَشْعُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian mendahului Alloh dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada
Alloh. Sesungguhnya Alloh adalah Samii’ (Maha mendengar) lagi ’Aliim
(Maha mengetahui). Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
meninggikan suara melebihi suara Nabi, dan janganlah kalian berkata
kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian
kalian terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala)
amalan-amalan kalian, sedangkan kalian tidak menyadari”. (QS Al-Hujurot 1-2)
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ
مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ
الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ
“Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Alloh yang mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan
(dari Alloh) tentulah mereka telah dibinasakan. Sesungguhnya orang-orang
yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih’. (QS Asy-Syuro 21)
Hal ini sebagaimana disebutkan Syaikhul
Islam di dalam Majmu’ul Fatawa (1/80): “Sesungguhnya Islam dibangun dia
atas dua pondasi. Pertama: Engkau mengibadahi Alloh saja dan tidak
menyekutukan-Nya, kedua: Engkau mengibadahi Alloh dengan apa yang
disyari’atkan-Nya lewat lisan Rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, engkau tidak boleh mengibadahi Alloh atas dasar nafsu dan perkara yang dibuat-buat. Alloh Ta’ala berfirman:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ
الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا
يَعْلَمُونَ * إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا
وَإِنَّ الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَاللَّهُ وَلِيُّ
الْمُتَّقِينَ
Kemudian Kami jadikan kamu berada di
atas suatu syariat dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu
dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu
sedikitpun dari siksaan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu
sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah
adalah pelindung orang-orang yang bertakwa”. (QS Al-Jatsiyah 18-19)
Alloh berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ
مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ
الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيم
“Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Alloh yang mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Alloh? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan
(dari Alloh) tentulah mereka telah dibinasakan. Sesungguhnya orang-orang
yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih’. (QS ASy-Syuro 21)
Maka tidak boleh bagi seorangpun mengibadahi Alloh kecuali dengan apa yang disyari’atkan oleh Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam”. Selesai penukilan
Amalan seseorang tidak akan diterima kecuali dengan mencocoki dan mengikuti petunjuk beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana firman Alloh Ta’ala:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ
يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو
لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ
رَبِّهِ أَحَدًا
“Katakanlah wahai Muhammad:
“Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kalian, yang diwahyukan
kepadaku: “Bahwa Sesungguhnya Robb kalian itu adalah Robb yang Esa”.
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Robbnya, Maka hendaklah ia
mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun
dalam beribadat kepada Robbnya”. (QS Al-Kahfi 110)
Yang dimaksud dengan amalan sholih adalah perbuatan yang mencocoki sunnahnya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Nabi kita Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda:
مَن عملَ عملاً ليسَ عليهِ أمرنا فهوَ رد
“Barangsiapa yang membuat suatu amalan (dalam agama) yang tidak ada perintah kami atasnya maka amalan tersebut tertolak” HR Bukhory-Muslim dari ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha, lafazh ini pada riwayat Muslim)
Karena itulah Alloh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk mengembalikan perselisihan kepada-Nya dan kepada rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dengan mengatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), serta ulil amri di antara
kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah perkara itu kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS An-Nisa’ 59)
Asy-Syafi’i di Ar-Risalah (pada
penggalan kalimat no 264) mengatakan: “Yaitu kepada apa yang dikatakan
Alloh dan Rosul-Nya”. Perkataan beliau ini juga dinukilkan oleh
Al-Baihaqy di Al-Madkhol ilas Sunanil Qubro no 197.
Beliau (Asy-Syafi’i) (pada penggalan kalimat no 266) mengatakan:”Barangsiapa yang berselisih sepeninggal Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam maka dia mesti mengembalikan perkaranya kepada keputusan Alloh dan Rosul-Nya, kemudian kepada keputusan Rosul-Nya”. Selesai
Ketaatan dan pengikutan terhadap beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
berlaku secara mutlak. Adapun selain beliau maka ketaatan kepada mereka
pada kondisi tertentu, mereka hanyalah ditaati pada perkara-perkara
yang mencocoki kebenaran. Kebenaran yang ada padanya itulah yang wajib
ditaati.
Sebab kekhususan tersebut bagi
Rosululloh, karena Alloh telah menyelamatkannya dengan menjaganya dari
kesalahan, memberinya taufik dan hidayah dengan wahyu, sebagaimana Alloh
Subhanah berfirman:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا
مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ
وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Demikianlah Kami wahyukan kepadamu
wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah
mengetahui apakah Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah
iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki
dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.
Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang
lurus”. (QS Asy-Syuro 52)
Alloh berfirman:
وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ
وَرَحْمَتُهُ لَهَمَّتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ أَنْ يُضِلُّوكَ وَمَا
يُضِلُّونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَضُرُّونَكَ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْزَلَ
اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ
تَعْلَمُ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا
“Sekiranya bukan karena karunia
Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka
berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. tetapi mereka tidak menyesatkan
melainkan diri mereka sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakan
sedikitpun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan kitab dan
hikmah (sunnah) kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum
kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”. (QS An-Nisa’ 113)
Alloh Ta’ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Tiadalah yang diucapkannya itu
(Al-Quran dan sunnah) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS An-Najm 3-4)
Para ulama sepakat akan terjaganya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
dari cacat pada sisi kenabian, kerasulan dan penyampaian syari’at.
Berbeda dengan selain beliau dari kalangan yang Alloh telah
memerintahkan kita untuk merujuk dan bertanya kepada mereka, yaitu
kalangan ulama dan pemimpin. Ketaatan kepada mereka bukanlah ketaatan
yang mutlak namun pada perkara yang mereka memiliki dalil yang benar,
sebagaimana kandungan makna tersebut disebutkat Asy-Syafi’i di
Ar-Risalah (hal 77-88), karena orang-orang selain beliau memiliki
kemungkinan bisa menyimpang dan sesat dalam agamanya, paling tidak bisa
saja mereka keliru dan tergelincir, walaupun pelakunya seorang ahli
ijtihad yang diberi uzur.
Alloh hanya memberi kehususan kepada
para nabi dan rosul-Nya dengan penjagaan dari penyimpangan, kesesatan,
kesalahan, dan ketergelinciran dalam syari’at.
Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafy di Al-Itba’
(80-81) mengatakan: “Tidak seorangpun dari mereka –yaitu para imam kaum
muslimin- kecuali terlewat baginya pengetahuan tentang sebagian dalil,
atau tersembunyi baginya sisi yang benar dalam pendalilan, atau dia
tidak mengingat dalil ketika berfatwa dengan sesuatu yang menyelisihi
dalil tersebut . Karena tiap-tiap mereka adalah manusia, lupa
sebagaimana manusia yang lain lupa. Oleh sebab inilah terdapat kesalahan
dalam berijtihad”. Selesai
Abu Syamah Al-Maqdisy mengatakan dalam
Mukhtashorul Mua’ammal (141) mengatakan: “Semestinya bagi seorang
penuntut ilmu, terus menerus mencari tambahan ilmu pada apa-apa yang
tidak diketahuinya dari siapapun. Hikmah, adalah barang yang tercecer
milik seorang mukmin, dimana ketika dia menemukannya maka dia
mengambilnya. Wajib baginya untuk bersikap objektif, meninggalkan
taqlid, mengikuti dalil. Setiap orang bisa salah dan benar kecuali yang
dinyatakan oleh syari’at bahwa dia terjaga (dari kesalahan syari’at)
yaitu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam”. Selesai
Beliau juga mengatakan: “… kemudian
sesungguhnya Asy-Syafi’i telah menjaga dirinya, dia mengetahui bahwa
manusia tidak lepas dari lupa, lalai, dan kurang berhati-hati. Telah sah
dari beliau pada beberapa riwayat bahwa beliau menyuruh -jika
didapatkan pendapat beliau yang menyelisihi hadits yang sah yang bisa
berdalil dengannya- untuk meninggalkan pendapat beliau dan berpegang
dengan hadits”. Selesai
Karena itulah Ibnu Rojab di “Al-Farqu
bainan Nashihah wat Ta’yir” -sebagaimana kumpulan risalah beliau-
(2/404) mengatakan: “Para ulama agama ini sepakat untuk menampakkan haq
yang dengannya Alloh mengutus Rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam,
dan mereka sepakat bahwasanya agama ini sepenuhnya milik Alloh, dan
bahwa agama Alloh adalah yang tertinggi. Mereka semuanya mengakui bahwa
menguasai seluruh ilmu tanpa ada kekeliruan sedikitpun, bukanlah
merupakan kedudukan yang bisa dicapai salah seorang diantara mereka, dan
tak seorangpun dari mereka dari kalangan terdahulu maupun belakangan
yang mengklaim bahwa dirinya mampu untuk itu”. Selesai
Kesimpulan dari apa-apa yang telah
disebutkan, bahwasanya peliputan segenap hukum-hukum syari’ah baik dari
sisi maupun amal, serta terjaganya dari kesalahan dan ketergelinciran,
lupa, penyimpangan dan kesesatan, adalah perkara yang Alloh khususkan
bagi Nabi-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam serta segenap para nabi dan rasul.
Karena itulah mengikuti Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam merupakan
sebuah keharusan secara mutlak, baik dalam perkataan beliau, perbuatan,
dan penetapan, karena hal-hal itu adalah haq dan wahyu, sebagaimana
telah diisyarakan pada penjelasan terdahulu. Hal ini tidak dimiliki
seorang makhluk pun selain beliau.
MEMASRAHKAN PENGETAHUAN
KEBENARAN PADA ULAMA TERTENTU SERTA MENINGGALKAN AL-HAQ KARENA
PENDAPATNYA ADALAH PEMPOSISIANNYA PADA KEDUDUKAN NABI SHOLLALLOHU ‘ALAIHI WA SALLAM DARI SISI KERASULAN DAN PENJAGAAN DARI KEKELIRUAN DALAM SYARI’AT
Berpegang, mengikuti dan meneladani suatu pendapat secara mutlak dari selain Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, serta
memasrahkan pengetahuan kebenaran kepada selain beliau, atau
meninggalkan sesuatu yang telah tampak kebenaran dan kecocokannya dengan
al-haq karena semata-mata pendapat –walaupun yang berpendapat adalah
ulama- merupakan sikap pemposisian ulama tersebut pada posisi Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam hak pengikutan, dan berpegang teguh dengan perkataan, perbuatan dan penetapan beliau secara mutlak.
Seorang yang berilmu, memiliki jiwa
penasehat, pengikut agama Alloh secara murni tidak akan mendakwahkan hal
ini (mengikuti orang tertentu), dia tidak akan berpendapat dengannya,
tidak akan ridho jika yang diikuti itu adalah dirinya ataupun selainnya.
Karena perbuatan tersebut adalah perbuatan orang-orang bodoh yang tak
mau menolong dakwa dan berbuat kekanak-kanakan.
Selain beliau Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah
terlepas dari ketidaktahuan tentang hukum Alloh atau kurangnya
pengetahuan dalam beberapa masalah syari’at, tidak terlepas dari
kesalahan, ketergelinciran bahkan selama hidupnya dia beresiko terfitnah
dalam masalah agamanya. Berapa banya orang yang melakukan amalan
penduduk surga namun dia menutup amalannya dengan amalan penduduk
neraka, sebagaimana Alloh Subhanah berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي
آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ
فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ * وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا
وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الْأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ
كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ
يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا
فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون
“Bacakanlah kepada mereka berita
orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan
tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat
itu dan diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), Maka jadilah dia
termasuk orang-orang yang sesat. Kalau Kami menghendaki, sesungguhnya
Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi Dia cenderung
kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka
perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya
lidahnya dan jika kamu membiarkannya Dia mengulurkan lidahnya (juga).
Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami.
Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka
berfikir”. (QS Al-A’raf 175-176)
Walau pada asalnya sikap kita adalah
berprasangka baik kepada ulama yang berjiwa penasehat, yang dikenal dan
masyhur dengan ilmu, sunnah, kebajikan, ketelitian, dan objektivitas,
tapi hal tersebut bukan berarti kita mengikuti secara mutlak salah
seorang dari mereka dan berpegang teguh dengan pendapatnya, serta
meninggalkan al-haq dan kebenaran gara-gara pendapatnya yang tanpa
dalil, sebagaimana telah lewat penjelasannya.
Bagaimana tidak, seorang ulama yang
memiliki pijakan kejujuran dalam agama Alloh, bisa saja memiliki
ketergelinciran sebagaimana dikatakan Ibnul Qoyyim, Adz-Dzahabi dan
selainnya dari para ulama.
Maka atas dasar ini para ulama -yang
masyhur dengan ittiba’ (pengikutan terhadap Nabi semata) dan yang
berusaha memilah kebenaran dengan teliti, jauh dari pengaruh taqlid dan
bermadzhab-madzhab- mereka melarang untuk berpegang teguh secara mutlak
dengan pendapat selain Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam,
serta meninggalkan selain pendapat ulama (yang diikuti) serta
menolaknya walaupun mencocoki al-haq dan kebenaran. Para ulama
menghitung sikap tersebut (Taqlid pada ulama tertentu) merupakan bentuk
kesyirikan (penyekutuan) dalam kerasulan dan ketaatan, dari sisi
pemposisian seorang ulama -dengan sikap orang tersebut- kepada kedudukan
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Sebagaimana dikatakan Al-‘Allamah Ibnu
Abil ‘Izz Al-Hanafy di “Al-Ittiba’” (104): “Sesungguhnya aga yang Alloh
utus Rosul-Nya dengannya, tidaklah diserahkan kepada salah seorang ulama
dan para pengikutnya. Seandainya seperti itu terjadi meka tentulah
orang (ulama yang dipanut) itu telah menjadi setara dengan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Sikap ini mirip dengan perkataan kaum Rofidhoh”. Selesai
Beliau juga mengatakan (hal 69): “Pada
fithrah yang selamat terdapat pengikutan kebenaran dengan baik, bukan
pengikutan ulama tertentu dan meninggalkan yang lainnya, kecuali jika
ulama tersebut diklaim sebagai seorang yang terjaga dari kesalahan dalam
ijtihad, sementara orang yang lain tidak (terjaga). Orang berakal tidak
akan mengklaim perkara yang seperti ini, karena dengannya berarti dia
telah memposisikan ulama tersebut ke posisi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam”. Selesai
Oleh karena itu Al-‘Allamah Abu Muhammad ‘Abdul Haqq bin ‘Abdul Wahid Al-Hasyimy Rahimahulloh
dalam kitabnya “’Aqidatul Firqotin Najiyah” –dengan resensi dari Imam
Ibnu Baz- (hal 6) –dalam konteks mengingkari taqlid- mengatakan: “Dahulu
mereka –yaitu penduduk negeri beliau- mencemoohkanku dan mengatakan
bahwa aku berada dalam kesesatan dan kebutaan karena aku memfatwakan
haramnya dan wajibnya meninggalkan taqlid, maka aku katakan: “Taqlid
adalah kesyirikan (penyekutuan) dalam kerasulan”. Dahulu aku katakan
kepada mereka: “Barangsiapa yang mengekori seseorang tertentu, tidak
meninggalkan pendapatnya walaupun pendapat tersebut menyelisi sunnah,
tanpa dalil, maka seolah-olah orang ini telah menjadikan imam tersebut
sekutu bagi Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dalam ketaatan”. Selesai
Karena itulah Al-‘Allamah Ibnu Abin ‘Izz
Al-Hanafy dalam “Syarhu Thohawiyah” (1/463) mengatakan: “Tidak
diragukan bahwasanya barangsiapa yang tidak tunduk sepenuhnya kepada
Rosululloh, kurang tauhidnya, orang tersebut telah berkata dengan
pendapatnya semata dan hawa nafsunya. Atau (demikian juga) orang yang
mengekor kepada seorang pemilik pendapat atau hawa nafsu tanpa ada
petunjuk dari Alloh, maka tauhidnya berkurang sesuai kadar keluarnya dia
dari apa yang dibawa oleh Rosululloh, karena dengan (perbuatannya) itu
dia telah mengambil ilah (sembahan) selain Alloh”. Selesai
Beliau juga mengatakan (1/477): “Setiap
yang berkata dengan pendapat, selera dan strateginya –sementara ada
dalil dalam masalah tersebut- atau menentang dalil dengan akalnya, maka
dia telah menyamai Iblis dari sisi tidak menerima perintah Robbnya”.
Selesai
Beliau juga mengatakan (1/446): “Maka wajib taat sepenuhnya pada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam,
patuh dengan perintahnya, menghadapi khabar yang disampaikannya dengan
penuh penerimaan dan pembenaran, tanpa menentangnya dengan khayalan
batil yang dinamakan dengan logika, tanpa merancukan dan membuat
keraguan padanya, atau mendahulukan pendapat-pendapat orang lain serta
sampah pemikiran mereka dari pada perkataan beliau. Maka wajib
mengesakan beliau dalam masalah hukum, penerimaan,, ketaatan dan
kepatuhan, sebagaimana wajibnya mengesakan Yang Mengutus beliau apa
peribadahan, ketundukan, kehinaan, berseah diri, tawakkal. Maka tauhid
ada dua, tidak ada keselamatan bagi seorang hamba dari azab Alloh
kecuali dengan keduanya. Tauhid (Alloh) Yang Mengutusnya, dan tauhid
dalam pengikutan Rosululloh. Tidak boleh mengambil hukum kepada
selainnya, tidak boleh ridho dengan hukum selainnya, Tidak boleh
tertahan dalam menunaikan perintah beliau dan membenarkan khabar beliau
gara-gara perkataan syaikh, Imam, pemimpin madzhab atau kelompoknya atau
orang yang dimuliakannya. Yang apabila mereka mengizinkan barulah
perintah rosululloh dan khobar beliau diterima, kalau tidak maka cari
selamat dengan menyerahkan perkara bulat-bulat kepada mereka dan
berpaling dari perintah dan khobar beliau, kalau tidak demikian maka
perintah dan khobar beliau diselewengkan dari maknanya“. Selesai
Al-Allamah ‘Abdurrohman bin Hasan
Alusy-Syaikh di “Fathul Majid” (hal 460 cet. Darul Mu’ayyid) mengatakan:
“Mereka mengatakan –yakni para pengekor-: “Orang yang aku ikuti lebih
berilmu darimu tentang hadits, masalah nasikh dan mansukh …” dan sebagainya dari omongan yang ujung-ujungnya adalah meninggalkan pengikutan terhadap Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam -yang
tidak berbicara dengan hawa nafsu- kemudian bersandar kepada orang yang
mungkin melakukan kesalahan dan sebagainya dari kalangan para imam yang
perkataan mereka bisa diselisihi dan ditentang dengan dalil. Tak ada
seorangpun imam kecuali dia hanya memiliki sebagian ilmu tidak
seluruhnya”. Selesai
Saya katakan (Sa’id Da’as): Betapa
samanya malam ini dengan malam sebelumnya. Apa yang kita dengar silih
berganti dari para da’i yang menyeru kepada taqlid buta, yang berbuat
kekanak-kanakan dalam ilmu sementara mereka bukanlah ahlinya, dimana
mereka membenturkan dalil-dalil ke tembok, bergantung dengan penyandaran
buta secara mutlak kepada orang-orang yang mungkin salah, atau tidak
berilmu dalam masalah tersebut, mereka berhujjah dengan hujjah
jahiliyyah: “Saya bersama orang yang paling berilmu …”, “Wajib bagi
kalian berpegangan dengan kibar ulama …” “Ulama Fulan lebih tahu,
memiliki pandangan, pengetahuan dan pemahaman …”, dan sebagainya dari
ibarat orang-orang bodoh yang lancang terhadap hukum-hukum syari’at,
mengikuti hawa nafsu dan kebodohan mereka.
Para imam sunnah dan ilmu telah melarang
manhaj (metode) rusak ini, yang menyelisihi apa yang telah Alloh
perintahkan berupa pemurnian pengikutan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, serta meneliti kebenaran, sebagaimana Alloh berfirman:
أَفَمَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ أَمَّنْ لَا يَهِدِّي إِلَّا أَنْ يُهْدَى فَمَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُون
“Apakah orang-orang yang menunjuki
kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat
memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? mengapa kamu (berbuat
demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (QS Yunus 53)
Musibahnya semakin dahstyat ketika orang
yang menganggap dirinya termasuk barisan ulama dan da’i tauhid –baik
pengakuan itu dengan lisan maupun dengan gayanya- sebagaimana halnya Muhammad bin ‘Abdillah yang dijuluki dengan Al-Imam,
serta selainnya dari orang-orang bodoh yang memakai pakaian ulama
kritikus, mempertahankan manhaj salafy, sementara mereka mendengus
dengan kebodohan-kebodohan ini mulai dari pokok manhaj salaf.
Syaikhul Islam sebagaimana di
“Al-Fatawa” (2/93) mengatakan: “Apabila dia mengekori seseorang tidak
yang lainnya dengan semata-mata hawa nafsu, dia menolong orang tersebut
dengan tangan dan lisannya tanpa dia mengetahui apakah kebenaran bersama
orang yang diikutinya tersebut, maka orang ini termasuk orang-orang
jahiliyyah. Apabila orang yang diikuti benar maka amalannya bukanlah
amalan yang sholih, apabila yang diikuti salah, maka dia berdosa”.
Selesai
Syaikhul Islam sebagaimana di
“Al-Fatawa” (35/367) –dalam konteks penyebutan uzur bagi ahli ijtihad-
mengatakan: “Akan tetapi jika diketahui bahwa kebenaran menyelisihi
pendapatnya, tidak boleh baginya meninggalkan kebenaran yang dengannya
Alloh mengutus Rosul-Nya, dikarenakan perkatan salah seorang dari
makhluk. Begitulah syari’at yang diturunkan dari sisi Alloh, yaitu
al-Kitab dan as-sunnah, itulah agama Alloh, agar agamanya menjadi yang
tertinggi dan jadilah agama ini semata-mata bagi Alloh. Janganlah mereka
bersungguh-sungguh di atas perkataan seorang ulama, seorang syaikh,
tidak juga seorang ahli ta’wil, namun bersungguh-sungguhlah mereka untuk
mengibadahi Alloh saya dan menjadikan agama ini hanya baginya”. Selesai
Al-Alusy di “Ruhul Ma’any” (6/123)
mengatakan: “Kebenaran lebih berhak untuk diikuti. Maka kapan kebenaran
itu tampak, wajib bagi seorang muslim untuk mengikutinya walaupun
ijtihad orang yang diikutinya menyatakan itu salah”. Selesai
Al-‘Allamah ‘Abdurrohman bin Hasan Alusy
Syaikh di “Fathul Majid” (hal 461) mengatakan: “Wajib bagi orang yang
menasehati dirinya sendiri, apabila dia membaca dan melihat kitab-kitab
ulama serta mengatahui pendapat mereka, untuk membandingkannya dengan
apa yang ada di al-Kitab dan as-Sunnah. Karena setiap ahli ijtihad dari
kalangan ulama serta orang-orang yang mengikutinya dan menasabkan diri
kepada mazhabnya, wajib menyebutkan dalil atas pendapatnya. Yang benar
dalam sebuah masalah hanyalah satu (pendapat). Para imam mendapatkan
pahala atas ijtihad mereka.
Orang yang berpikiran objektif
menjadikan perhatian dan pengkajian atas pendapat-pendapat mereka
sebagai jalan untuk mengenal dan menggambarkan
permasalahan-permasalahan, serta membedakan yang benar dari yang salah
dengan dalil-dalil yang disebutkan oleh mereka. Dengannya dia bisa
mengetahui siapa yang paling selamat dengan dalil dari kalangan ulama,
maka dia mengikutinya”. Selesai
Inilah wasiat para Imam ilmu, sunnah,
dan yang mengikuti jalan Rosululloh yang jelas, dalam pembelajaran,
pemahaman, murni demi Alloh, Rosul-Nya serta agama-Nya, jauh dari
pemikiran-pemikiran, sekedar prasangka-prasangka baik, dan
kebodohan-kebodohan yang didengar dari sebagian orang yang berteriak
dengan taqlid. Kita melihat bahwasanya jatuh dalam masalah tersebut,
dari waktu ke waktu bersikap kekanak-kanakan dalam masalah hukum
syari’ah. Pada manhaj baru yang rendahan ini –yang hakikatnya adalah
penentangan terhadap kebenaran dan petunjuk, dengan semata pemikiran dan
hawa nafsu, tidak ada riwayat dan tidak ada latar belakang- yang ada
hanyalah kebodohan-kebodohan dan hawa nafsu yang dinampakkan dengan
penampilan yang bagus padalah hakikatnya keji lagi jelek. Terkadang
mereka mengatakan: “Syaikh fulan lebih tahu, punya pemahaman dan
pandangan” atau “Syaikh itu lebih paham dan berilmu” dan sebagainya dari
ibarat-ibarat yang dengannya pelakunya mencoba menandingi al-haq dan
kebenaran.
Karena itulah Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu
mengatakan kepada yang menyelisihinya dalam masalah haji tamattu’
dengan pendapat Abu Bakr dan ‘Umar bahwa keduanya tidak berpendapat
dengan haji tamattu’ namun berpendapat dengan keutamaan haji ifrod,
beliau berkata: “Aku melihat kalian akan binasa. Aku katakan kepada
kalian: “Rosululloh berkata, sementara kalian mengatakan Abu Bakr dan
Umar berkata!?”.
Apakah Ibnu ‘Abbas bodoh dari
kebodohan-kebodohan yang diketahui oleh pengikut manhaj taqlid tersebut?
Dimana ilmu Ibnu ‘Abbas, pandangan, pengetahuan dan pemahamannya
dibandingkan Abu Bakr dan ‘Umar Rodhiyallohu ‘Anhuma?.
Para ulama telah silih berganti
menghitung kisah sebagai sebuah keutamaan bagi Ibnu ‘Abbas bukan sebagai
sebuah kekurangan. Sementara hal itu dalam manhaj orang-orang yang
kekanak-kanakan tersebut merupakan kekurangan dan perbuatan tercela yang
mereka sebut dengan; “Kurang adab terhadap ulama”, “Mengabaikan ulama”,
“Dia tidak melihat ulama sebagai rujukan”, atau slogan bodoh yang lain.
Ibnu ‘Abbas mengetahui kedudukan Abu Bakr dan Umar berupa keutamaan,
pengetahuan dan pandangan, namun semua itu tak setara dengan haq dan
kebenaran jika pemilik berbagai keutamaan tersebut menyelisihi
kebenaran.
Al-‘Allamah Sulaiman Alusy Syaikh di
“Taisirul ‘Azizil Hamid” (hal 544) mengomentari atsar Ibnu ‘Abbas yang
pada Kitabut Tauhid dengan lafazh: “Hampir-hampir ditimpakan batu dari
langit kepada kalian …”, beliau berkata: “Orang yang mendebat (Ibnu
‘Abbas) berdalil dengan larangan Abu Bakr dan ‘Umar, yaitu; “Mereka
berdua lebih berilmu darimu dan lebih berhak untuk diikuti pendapatnya”.
Maka Ibnu ‘Abbas mengatakan perkataan tersebut (diatas) yang muncul
dari kemurnian iman dan semata-mata mengikuti Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, siapapun yang menyelisihinya dan bagaimanapun caranya”. Selesai
MEMASRAHKAN PENGETAHUAN KEBENARAN KEPADA ULAMA TERTENTU MERUPAKAN KESYIRIKAN DALAM RUBUBIYYAH
Sebagian ulama menghitung bahwa
berpegang teguh secara mutlak dengan perkataan salah seorang manusia dan
memasrahkan pengetahuan kebenaran kepadanya tanpa selainnya walaupun
menyelisihi kebenaran, merupakan jenis kesyirikan di masalah Rububiyyah
Alloh Ta’ala[2]. Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala bersendirian dalam hukum dan pensyariatan[3] sesuai tuntutan Rububiyyah-Nya.
Imam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab An-Najdy Rahimahulloh mengatakan
dalam salah satu risalah beliau, sebagaimana di “Ad-Durorus Sunniyah”
(1/45): “Tidak ada perselisihan antara aku dan kalian bahwasanya seluruh
ulama jika sepakat tentang sesuatu maka wajib untuk mengikutinya.
Sekarang perkaranya, jika mereka berselisih apakah wajib bagiku menerima
kebenaran yang datang dan mengembalikannya kepada Alloh dan Rosul-Nya
dengan meneladani ulama, ataukah boleh bagiku menganut pendapat sebagian
mereka tanpa dalil? dan aku sangka bahwa yang benar adalah pendapat
mereka?
Kalian berada dalam pilihan yang
(terakhir) ini, yaitu perkara yang dicela oleh Alloh dan Rosul-Nya dan
menamakannya sebagai kesyirikan yaitu menjadikan ulama sebagai
tuhan-tuhan”. Selesai
Maksud beliau bahwa Alloh menamakannya sebagai sebuah kesyirikan adalah pada firman-Nya:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ
أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا
أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُون
“Mereka menjadikan orang-orang alim
(ulama) dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. Dan (juga
mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, Padahal mereka hanya
disuruh menyembah Robb yang Esa, tidak ada Robb (yang berhak diibadahi)
selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS At-Taubah 31)
Al-Qurthuby dalam tafsirnya (8/120)
mengatakan: “Pakar bahasa mengatakan: Mereka menjadikan rahib-rahib dan
pendeta-pendeta mereka seperti tuhan-tuhan dari sisi mereka mentaati
para pemuka agama tersebut pada setiap perkara”. Selesai
Imam Syaukany di “Fathul Qodir” (2/505)
mengatakan: “Pada ayat ini terdapat larangan untuk taqlid di agama Alloh
bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan
pendengarannya, dan dia menyaksikan yang ada, serta larangan untuk
mengedepankan perkataan pendahulu daripada Al-Kitab yang mulia dan
As-Sunnah yang suci. Karena ketaatan seorang pengikut mazhab (pemahaman)
terhadap orang yang perkataannya diteladani dan perbuatannya diikuti
-dari kalangan ulama umat ini- bersamaan dengan penyelisihannya terhadap
penjelasan dalil-dalil dan tegaknya hujjah Alloh serta bukti-buktinya
yang disebutkan di Kitab-Nya dan lewan lisan para nabi-Nya, maka hal
tersebut (taqlid ulama) seperti perbuatan Yahudi dan Nashoro yang
menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain
Alloh. Sebab Yahudi dan Nashoro tidaklah mengibadahi mereka (para rahib
dan pendeta) akan tetapi mentaati mereka, mengharamkan apa yang mereka
haramkan dan menghalalkan apa yang mereka halalkan. Inilah perbuatan
yang dilakukan oleh para muqollid (pengikut) buta di umat ini”.[4] Selesai
Alloh telah menerangkan masalah tersebut dengan sejelas-jelasnya pada kitab-Nya. Dia Ta’ala berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ
مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ
الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ
أَلِيم
“Apakah mereka mempunyai
sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama
yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan
(dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Sesungguhnya orang-orang
yang zalim itu akan memperoleh azab yang Amat pedih”. (QS Asy-Syuro 21)
Berpegang teguh secara mutlak dengan
perkataan seorang alim adalah pemposisiannya pada posisi pensyariatan
secara mutlak dan itu adalah pemposisian yang syirik.
Al-‘Allamah Asy-Syinqithy di “Adhwa’ul
Bayan” (5/440) mengatakan: “Setiap yang mengikuti pembuat hukum -dalam
penghalalan ataupun pengharaman- yang menyelisihi syari’at Alloh, maka
orang itu telah mengibadahi si pembuat hukum, menjadikannya sebagai
tuhan, menyekutukan dengan-Nya, kafir kepada Alloh”. Selesai
Maka wajib bagi setiap muslim untuk
benar-benar berhati-hati -dalam mentauhidkan Alloh dengan rububiyyahnya
dan mentauhidkan rosul dengan mengikutinya- dari ketergelinciran
syeithon, dan jangannya sampai tertipu dengan orang-orang yang
menampak-nampakkan kepintarannya dari kalangan para da’i yang menyeru
kepada taqlid buta dan pengekoran terhadap salah seorang makhluk, dengan
berpegang teguh pada pendapatnya pada setiap kasus perselisihan dan
selainnya dengan selubung adab dan pengagungan terhadap ulama.
Seolah-olah dia tak salah dan kebenaran tak pernah luput darinya tanpa
menjaga adab terhadap Al-Kholiq (Yang Maha Pencipta) Subhanah, dan tanpa
pengagungan terhadap Rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam
dengan berpegang teguh kepada kebenaran yang disyari’atkan dan
diperintahkan Alloh dan rosul-Nya. Mereka telah berbuat keji terhadap
Al-Kholiq (Yang Maha Pencipta) dan Rosul-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam.
Seandainya pengikut kesesatan ini tidak
memaksudkan kesyirikan yang berbahaya pada asalnya, namun ini adalah
konsekwensi penyelisihannya terhadap haq dan pengembalian perkara kepada
salah seorang manusia.
Syaikhul Islam di “Ash-Shorimul Maslul
(1/59) mengatakan: “Abu Tholib Al-Misykany mengatakan: “Dikatakan
kepadanya –yaitu kepada Imam Ahmad-, “Sesungguhnya suatu kaum
meninggalkan hadits dan mengajak kepada pendapat Sufyan”. Maka dia
menjawab; “Sungguh aneh kaum tersebut. Mereka mendengar hadits,
mengetahui isnadnya dan menshohihkannya dan mereka pergi ke pendapat
Sufyan dan selainnya?! Alloh Ta’ala berfirman:
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ
بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ
يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ
عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم
“Janganlah kalian jadikan panggilan
Rasul diantara kalian seperti panggilan sebahagian kalian kepada
sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang
yang berangsur-angsur pergi di antara kalian dengan berlindung (kepada
kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut
akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih”. (QS An-Nur 63)
Tahukah kalian apa yang dimaksud dengan fitnah? Kekafiran! Alloh Ta’ala berfirman:
وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ
“Berbuat fitnah lebih besar kezholimannya daripada membunuh”. (QS Al-Baqoroh 217)
Mereka meninggalkan hadits dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan lebih mengedepankan nafsu mereka terhadap pendapat?”.
Syaikhul Islam mengatakan –setelahnya-:
“Apabila orang yang menyelisihi perintah-Nya telah diingatkan dengan
kekafiran, kesyirikan dan azab yang pedih, maka itu menunjukkan bahwa
maksudnya adalah: Sebuah penyelisihan ada yang menyebabkan kekafiran dan
ada yang menyebabkan azab yang pedih. Dimaklumi bahwa penyelisihan yang
menimbulkan azab yang pedih bisa dengan semata-mata perbuatan maksiat.
Maka perbuatan yang membawa kepada kekafiran adalah apabila penyelisihan
itu digandengi dengan sikap menganggap enteng perintah sebagaimana
dilakukan oleh Iblis. Maka bagaimana dengan perkara yang lebih berat
seperti menghina, mencela (syari’at), dan semisalnya”. Selesai
Sungguh sangat bagus apa yang
dinasehatkan Imam Asy-Syaukany dalam wacana yang besar ini, yang menimpa
kebanyakan manusia. Beliau dalam “Fathul Qodir” (2/505-506) mengatakan:
“Wahai hamba Alloh … wahai para pengikut Muhammad bin ‘Abdillah …
kenapa kalian meninggalkan al-Kitab dan as-Sunnah di sisi kalian,
kemudian kalian berpaling kepada orang-orang yang seperti kalian dalam
masalah peribadatan kepada Alloh dengan keduanya (Al-Qur’an dan Sunnah)
dan keharusan untuk beramal dengan apa yang diperintahkan oleh keduanya.
Kalian malah beramal dengan pendapat-pendapat yang tidak disokong
dengan tiang kebenaran, tidak ditunjang dengan sendi-sendi agama dan
dalil-dalil dari Kitab dan Sunnah. Engkau menyeru dengan sekuat-kuatnya,
engkau mengangkat suara setinggi-tingginya dengan sesuatu yang
menyelisihi dan berbeda dengan keduanya. Kalian telah menjadikannya
sebagai telinga yang tuli, hati yang tertutup, pemahaman yang sakit,
pemikiran yang dungu, naluri yang cacat, kalian bersajak dengan
perbuatan kalian:
ومَا أَنا إلا مِن غُزيَّةَ إن غوَتْ | غَويتُ وإِن تَرشدْ غزيَّةُ أرشدُ |
Tidaklah aku kecuali bagian dari kaum. Jika mereka sesat maka akupun sesat. Jika mereka lurus maka akupun lurus”. Selesai perkataan beliau semoga Alloh merahmatinya dan memasukkannya ke dalam keluasan surganya.
Dengan ini jelaslah bahwasanya jalan
pemurnian -pengikutan Rosululloh dari unsur kesyirikan dalam ketaatan,
kerasulan, dan pengikutan dalam hukum-hukum syari’at- pada awalnya
tidak akan akan terjadi kecuali dengan mencari, memilih dan meneliti
kebenaran, mencari dalil-dalil dan bukti-buktinya yang datang dari
metoda syar’i yang benar, bukannya dengan memasrahkan semua itu kepada
seorang alim tertentu lalu berpegang teguh dengan pendapatnya tanpa
memperhatikan perkataan orang yang menyelisihinya. Tidak bisa suatu
pendapat dibenarkan dengan oleh dalil syar’i sampai nampak kebenaran
pada masalah itu.
Pada akhirnya seorang
muslim mesti mengambil kebenaran dan meyakininya tanpa memasrahkan hal
itu (diamalkan atau tidak? diyakini atau tidak?) kepada ulama tertentu.
Inilah jalan yang selamat dalam agama dari bala’ taqlid buta yang
merupakan prinsip kebodohan dan kesyirikan dalam kerasulan dan
pengikutan terhadap beliau sebagaimana telah lewat penjelasannya.
Sesungguhnya Alloh tidak mengumpulkan seluruh kebenaran di dalam diri seorang makhluk setelah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam,
yang tidak mungkin luput dan salah dalam syari’at. Semua itu hanya bisa
terjadi lewat ijtihad yang orang yang keliru. Kita memohon kepada Alloh
ampunan dan penutupan aib.
سبحانك اللهم وبحمدك، لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
[1]
Maksudnya: Seorang ulama ditanya bagaimana hukum tentang suatu perkara,
berdasarkan ayat-ayat atau hadits-hadits, bukan semata-mata pendapat
atau prasangkanya.
[2] Lihat artikel APA ITU TAUHID
[3] Lihan Nazhmud Duror Karya Al-Buqo’iy (8/241)
[4]
Lihat juga syarah-syarah Kitabut Tauhid seperti “Taisirul ‘Azizil
Hamid”-Al-’Allamah Sulaiman Alusy Syaikh, “Fathul Majid”- Al-‘Allamah
‘Abdurrohman bin Hasan Alusy Syaikh. Mereka memasukkan taqlid sebagai
kesyirikan, pada Bab “Barang siapa yang mentaati ulama dan pemimpin …”
Sumber: ahlussunnah.web.id
Sumber: ahlussunnah.web.id