Menjawab Kerancuan
Seputar Praktek Jual Beli Kredit di Lapangan
Ditulis oleh:
Abu Zakaria Irham bin Ahmad Al-Jawiy –Waffaqohulloh-
Darul Hadits Dammaj, Ahad, 25 Muharram 1434H
-Semoga Alloh Menjaganya-
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا
من يهد الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد:
من يهد الله فلا مضل له, ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له،
وأشهد أن محمدا عبده ورسوله. أما بعد:
Pada pembahasan tentang permasalaahan jual beli kredit yang telah lalu dalam artikel kami yang berjudul: “Jual Beli Secara Kredit, Bolehkah?”, telah kita ketahui bahwa jual beli dengan cara ini pada asalnya adalah boleh, berdasarkan keumuman firman Alloh:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqoroh :275)
Telah kita ketahui pula bahwa ini adalah
pendapat jumhur ulama; imam madzab yang empat, dan dipilih oleh: Syaikh
Ibnu Baz, Syaikh Utsaimin, Syaikh Al-Fauzan, demikian pula Syaikh kami
Yahya Al-hajury dan Syaikh kami Muhammad Hizam.
Namun, di sana ada pertanyaan penting yang perlu untuk dijawab dengan tuntas, yaitu:
“Apakah yang dimaksud dengan
jual beli kredit yang telah lalu penjelasan tentang kebolehannya itu
adalah jual beli kredit yang kita dapati saat ini di lapangan?”
Insya Alloh dalam pembahasan kali ini,
akan kita kupas permasalahan yang menimbulkan banyak tanda tanya ini.
Walaupun pembahasan ini lumayan pelik dan rumit, tapi kami akan berusaha
sebisa mungkin untuk menyajikannya dalam kajian yang mudah dipahami.
Bagi para pembaca yang benar-benar berniat untuk memahami pokok
pembahasan ini, hendaknya membaca dengan cermat dan seksama sehingga
tidak terjadi kesalahan dalam memahaminya. Nasalulloh at-taufiq was sadad.
Ikhwany –waffaqokumulloh-, untuk mengetahui jawaban pertanyaan di atas, kita harus memahami terlebih dulu dua perkara utama:
Pertama: bentuk jual beli kredit yang dibolehkan oleh mayoritas ulama.
Kedua: praktek jual beli kredit yang ada saat ini dan sejauh mana kesesuaiannya dengan bentuk yang diperbolehkan.
Adapun permasalahan pertama, sebenarnya telah lalu penjelasannya dalam artikel kami “Jual Beli Secara Kredit, Bolehkah?”
(silakan untuk dibaca kembali), sehingga tidak butuh untuk diulang
secara panjang lebar di sini. Namun perlu kami tegaskan di sini beberapa
point utama yang mungkin sebagian pembaca salah paham dalam
mencernanya.
Pertama: Jual beli kredit yang dibahas pada tulisan kami yang lalu itu dan diperbolehkan oleh mayoritas ulama adalah
jual beli yang dilakukan oleh dua belah pihak; pihak penjual dan
pembeli. Jadi, antara penjual dan pembeli terjadi transaksi secara
langsung tanpa campur tangan pihak ketiga.
Kedua: Barang yang diperdagangkan adalah benar-benar milik penjual secara syar’i dan barang tersebut ada
ketika terjadi proses jual beli. Adapun jika barang tersebut bukan
milik penjual atau belum ada waktu terjadi transaksi, maka pembahasannya
lain lagi.
Ketiga: Penjual memberikan pilihan kepada pembeli, apakah mau bayar kontan atau kredit? Dan transaksi selesai dengan tetapnya pilihan pembeli salah satu diantara dua jenis transaksi yang ditawarkan.
Keempat:
Tidak ada persyaratan dan perjanjian khusus antara penjual dan pembeli
seputar transaksi kredit yang telah dilakukan berkenaan dengan
keterlambatan cicilan dan sebagainya, kecuali ketentuan-ketentuan umum
yang telah ditetapkan oleh syareat dalam bermuamalah. Adapun jika
penjual menetapkan syarat-syarat tertentu, maka pembahasannya lain lagi.
Inilah hal-hal yang hendaknya dicermati,
jangan sampai terjadi salah paham dan menyangka bahwa semua jual beli
kredit yang ada saat ini hukumnya boleh.
Praktek Jual Beli Kredit Saat ini
Setelah kami mencermati praktek jual
beli kredit di lapangan berdasarkan sumber-sumber yang berhasil kami
dapatkan, dapat kami simpulkan bahwa praktek yang ada berkisar pada
hal-hal sebagai berikut:
- Adanya pihak ketiga sebagai perantara antara pihak penjual dan pembeli
- Pengenaan denda jika terjadi keterlambatan angsuran dari batas waktu yang telah ditentukan.
- C. Penarikan barang dari pihak pembeli, jika dinyatakan tidak mampu untuk melunasi pembayaran.
Perincian dari point-point di atas adalah sebagai berikut:
- A. Adanya pihak ketiga sebagai perantara antara pihak penjual dan pembeli
Pada jual beli kredit saat ini, selain
pihak konsumen (pembeli) dan penjual ada pihak yang sangat menentukan
dalam proses kredit yaitu pihak perusahaan pembiayaan/ perusahaan
finance/ leasing. Tanpa adanya perusahaan pembiayaan sebagai pihak
ketiga, sulit untuk konsumen dapat memperoleh kredit langsung dari pihak
dealer (penjual), karena biasanya dealer tidak mempunyai dana yang
cukup untuk memberikan dana kredit, walaupun ada beberapa dealer
mempunyai atau memberikan jasa kredit kepada konsumen secara langsung
tanpa adanya campur tangan pihak ketiga.
Pada saat ini perusahaan pembiayaan
sangat banyak. Sampai-sampai terjadi kondisi surplus/ over supply,
dimana perusahaan pembiayaan mengalami kelebihan dana untuk
dibelanjakan, maka yang terjadi perusahaan pembiayaan berlomba-lomba
untuk mendapatkan konsumen dengan berbagai cara, salah satunya dengan
program uang muka yang sangat murah, angsuran yang bersaing, dengan
harapan dapat menambah volume penjualan. Bahkan demi menarik konsumen
kata-kata “Syariah” pun terkadang dijadikan hiasan utama. Sehingga
mereka membagi perusahaan pembiayaan menjadi dua macam: leasing
konvensional yang biasa dikenal dan leasing syariah yang mengklaim bahwa
prosedur mereka telah sesuai dengan syariat Islam berdasarkan fatwa DSN
MUI.
Jadi, seseorang yang ingin beli barang
semisal; motor, mobil atau rumah, datang ke perusahaan pembiayaan ini
untuk mengajukan kredit barang yang diinginkan tersebut. Kebanyakan
perusahaan pembiayaan ini tidaklah memiliki barang yang diinginkan,
karena sebagaimana namanya, perusahaan ini fungsinya membantu orang yang
ingin membeli sesuatu dengan cara kredit dengan dana yang dimiliki
perusahaan tersebut. Namun biasanya perusahaan telah memiliki jaringan
dan kerjasama dengan pihak penjual/ dealer (pemilik barang). Setelah
permohonan kredit tersebut disetujui maka pihak perusahaan pembiayaan
pun berusaha mendatangkan barang tersebut.
Bagaimanakah hukum jual beli yang seperti ini?
Untuk mengetahui hukum permasalahan ini, kita harus mengetahui terlebih dulu sebenarnya apa peran pihak ketiga -yang dalam perkara ini disebut dengan perusahaan pembiayaan / leasing- dalam proses jual beli kredit? Jawabannya tidaklah akan keluar dari kemungkinan-kemungkinan berikut:
Kemungkinan Pertama:
Perusahaan pembiayaan berperan sebagai pemberi utang kepada pihak
pembeli, yaitu dengan membayarkan harga kepada pihak penjual secara
kontan, kemudian pembeli mencicil kepada perusahaan pembiayaan disertai
dengan tambahan harga.
Kemungkinan inilah yang pertama kali
terbetik ketika mendengar istilah “perusahaan pembiayaan” dan di banyak
artikel yang menjelaskan tentang proses kredit di lapangan kami dapati
memang inilah fungsi utama adanya pihak ketiga. Bahkan dengan
terang-terangan mereka menyatakan dalam syarat pengajuan kredit: “Mengisi formulir permohonan pembiayaan dan dokumen lainnya.”
Kemungkinan ini banyak dijumpai pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang diberikan oleh bank-bank yang ada.
Fenomena ini juga sangat jelas pada
kredit pembelian mobil bekas, karena dalam proses ini pembeli telah
mencari mobil yang diinginkan terlebih dulu yang dijual secara kontan
kemudian datang ke perusahaan pembiayaan untuk meminta mereka
membayarkan mobil tersebut. Setelah itu si pembeli mencicil kepada pihak
perusahaan pembiayaan. Dan hampir leasing-leasing konvensional yang ada
tidak keluar dari kemungkinan ini.
Proses yang seperti ini tidak ragu lagi tentang keharamannya. Inilah riba orang-orang jahiliyyah yang Alloh telah melarangnya dalam firmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda! dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” [QS. Ali Imron: 130]
Para ulama pun telah sepakat bahwa bentuk yang seperti ini adalah riba.
Kemungkinan kedua:
Perusahaan pembiayaan membeli barang atas nama mereka sendiri dari pihak
penjual, sehingga dengannya barang tersebut telah sah menjadi milik
perusahaan pembiayaan. Kemudian mereka menjual barang itu kepada calon
pembeli dengan mengambil laba. Namun pihak perusahaan pembiayaan
tidaklah membeli barang tersebut kecuali setelah adanya permintaan dari
calon pembeli.
Bentuk jual beli seperti ini dalam istilah fiqih disebut jual beli Murobahah. Para ulama, baik yang terdahulu maupun yang sekarang menyatakan bahwa proses seperti ini adalah boleh, tapi dengan
syarat bahwa pihak yang diminta untuk membelikan (yaitu perusahaan
pembiayaan) tidak boleh mengharuskan calon pembeli untuk membeli barang
yang dimintanya. Dalam artian, si calon pembeli masih memiliki hak untuk
membatalkan kesepakatan ketika barang yang diminta sampai ke tangan perusahaan pembiayaan.
Imam Asy-Syafi’I Rohimahulloh berkata:
وإذا أرى الرجل الرجل السلعة فقال: اشتر
هذه وأربحك فيها كذا، فاشتراها الرجل فالشراء جائز، والذي قال: أربحك فيها
بالخيار إن شاء أحدث فيها بيعا، وإن شاء تركه. وهكذا إن قال: اشتر لي
متاعا، ووصفه له أو متاعا أي متاع شئت وأنا أربحك فيه فكل هذا سواء.
“jika seseorang memperlihatkan
kepada orang lain suatu barang, kemudian berkata kepadanya: belikanlah
barang ini, dan aku akan memberikan keuntungan padamu! Maka orang (yang
disuruh) itupun membelinya. Pembelian seperti ini boleh. Orang yang
mengatakan: “Aku akan memberikan keuntungan padamu”, mempunyai pilihan: jika mau dia membeli barang (sebagaimana janjinya), jika mau dia meninggalkannya (tidak jadi membelinya).
Demikian pula jika dia mengatakan:
belikan barang untukku! Kemudian dia menyebutkan sifat barang (yang
diinginkannya), atau mengatakan: “(Terserah barang apa saja yang kau
beli, aku akan memberikan keuntungan padamu.” Semua ini hukumnya sama.” [Al-Umm: 3/ 39]
Diantara ulama masa kini yang juga
menyatakan bolehnya proses di atas dengan syarat tidak mewajibkan pihak
peminta barang untuk memenuhi janjinya adalah: Syaikh Ibnu Baz, Syaikh
Abdurrozzaq Afifi, dan Syaikh Muhammad Qu’ud. [Majallatul Buhuts
Al-Islamiyyah: 7/ 133]
Kenapa pembeli yang meminta untuk
dibelikan barang tidak diharuskan untuk membeli barang yang dimintanya,
padahal jika si pembeli tersebut tidak jadi membeli barang itu maka
pihak perusahaan pembiayaan akan merasa dirugikan?! Inilah pertanyaan
yang pasti akan muncul dan karena ini pula maka pihak perusahaan
pembiayaan yang ada saat ini mewajibkan orang yang meminta dibelikan
untuk membeli barang yang dimintanya itu.
Jawabnya:
Jika kesepakatan awal (yaitu permintaan
pembeli kepada pihak perusahaan pembiayaan untuk dibelikan suatu barang)
merupakan kesepakatan yang mengikat dan harus ditepati, berarti pada saat itu mereka telah menjadikannya sebagai sebuah transaksi jual beli.
Padahal barang yang diperjual belikan
antara konsumen dengan pihak perusahaan pembiayaan belum dimiliki oleh
perusahaan pembiayaan. Maka hal ini adalah bentuk transaksi jual beli
yang diharamkan. Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لا تبع ما ليس عندك
“Jangan kamu menjual sesuatu barang
yang bukan milikmu.” [HR. Abu Dawud (3503) dan yang lainnya, dengan
sanad yang shohih, telah menshohihkannya Syaikh Al-Albani di kitab
‘Irwaul Gholil: 5/ 132]
Proses tersebut juga menyelisihi sabda Nabi –Shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
إذا اشتريت مبيعا فلا تبعه حتى تقبضه
“Jika kamu membeli suatu barang
janganlah kamu jual sampai kamu menggenggamnya (maksudnya bahwa barang
tersebut benar-benar telah menjadi miliknya dan telah berpindah dari
tempat penjual ke tempatnya).” [HR. An Nasai: 4603, dan dishohihkan oleh
Syaikh Al-Albani di ‘Shohih jami’: 342]
Dengan ini jelaslah, bahwa aturan yang
ditetapkan oleh perusahaan pembiayaan berupa pengharusan pihak yang
meminta barang untuk membeli, adalah penyelisihan terhadap syareat.
Terlebih lagi jika perusahaan pembiayaan mewajibkan pihak yang meminta barang untuk membayar uang muka (DP) seketika itu pula.
Dengan ini pula kita ketahui bahwa
beberapa ketetapan yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN MUI) No. 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang MURABAHAH[1] tidaklah benar. Mereka menetapkan dalam Ketentuan Murabahah kepada Nasabah point ke-3:
“Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.”
Memang secara umum orang yang berjanji
itu wajib memenuhi janjinya, dan dalam perkara kita ini pihak yang
meminta dibelikan pun sudah seharusnya menepati janjinya berdasarkan
kesadaran pribadi. Adapun jika dibuat sebagai ketetapan dalam transaksi,
maka masuklah perkara ini dalam akad jual beli yang mempunyai syarat
dan hukum tersendiri. Oleh karena itulah para ulama baik yang terdahulu
maupun sekarang membedakan antara janji dan akad jual beli.
Kemudian pada point ke-4 dikatakan: “Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.”
Hal ini jelas masuk dalam larangan
hadits untuk menjual barang yang bukan miliknya. Sebab, saat kesepakatan
awal, bank tidaklah memiliki barang yang dipesan tersebut. Dan menuntut
pembayaran uang muka tidaklah diperbolehkan kecuali setelah akad jual
beli.
Para ulama telah menjelaskan bagaimana
jalan keluar yang syar’i agar pihak yang membelikan tidak mengalami
kerugian ketika si pemesan tidak jadi membeli, yaitu: Orang (yang membelikan) itu membeli barang dari pihak penjual dengan meminta khiyar
(tenggang waktu untuk bolehnya dia membatalkan jual beli) selama tiga
hari misalnya. Jika dalam tiga hari tersebut dia tidak memulangkan
barang yang dibeli berarti transaksinya berjalan. Adapun jika dia
mengembalikannya dalam tenggang waktu tersebut maka transaksinya batal.
Setelah mendapatkan barang dari penjual,
barulah dia segera menghubungi si pemesan. Jika pemesan tersebut jadi
membeli maka itu yang diharapkan. Namun jika tidak jadi membeli, maka
barang bisa dikembalikan ke pihak penjual karena masih dalam masa khiyar. Dengan cara ini penjual selamat dari kerugian di dunia dan akherat –insya Alloh- [lihat: I’lamul Muwaqi’in: 4/ 23, Az-Ziyadah wa Atsaruha: 1/ 394]
B. Pengenaan denda jika terjadi keterlambatan angsuran dari batas waktu yang telah ditentukan.
Perkara ini hampir tidak bisa terpisah
dari praktek jual beli yang ada saat ini. Sebab dengan cara ini pihak
perusahaan pembiayaan berusaha agar konsumen tertib dan
bersungguh-sungguh dalam menunaikan cicilannya. Denda ini dikenal pada
leasing konvensional dengan bunga telat bayar yang dihitung perhari
(misal: 0,3% – 0,5% perhari dari besar angsuran). Adapun leasing
syariah, mereka menamakan denda itu dengan infaq untuk fakir miskin,
misalnya Rp. 2500,- perhari.[2]
Apakah denda ini dibolehkan
syareat? Lalu apa perbedaan antara denda yang dituntut leasing
konvensional dengan infaq yang diwajibkan oleh leasing syariah?
Ikhwany –waffaqokumulloh-
sebelum kami jawab pertanyaan di atas, hendaknya kita ketahui bahwa
syariat agama kita yang mulia ini telah mengatur segala perkara yang
menyangkut kemaslahatan umatnya. Demikian pula dalam permasalahan kita
ini, tidaklah boleh seseorang menyamakan suatu hukum yang Alloh beserta
RosulNya telah membedakannya.
Seorang yang terlambat mencicil mempunyai dua kemungkinan yang hukum masing-masing dari keduanya tidak boleh disamakan:
Pertama: Orang tersebut
mempunyai udzur yang berupa kesulitan keuangan sehingga tidak bisa
untuk menunaikan kewajibannya dalam membayar cicilan.
Tentang orang yang keadaannya seperti ini Alloh telah berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”Dan jika (orang yang berhutang itu)
dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika
kamu mengetahui. (QS Al-Baqoroh: 280)
Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam- juga telah bersabda:
من أنظر معسرا أو وضع عنه، أظله الله في ظله
“Barangsiapa memberikan waktu
tangguh kepada seorang yang kesulitan atau menghapus (sebagian atau
semua utang orang tersebut) maka Alloh akan menaunginya dalam naungan
(‘Arsy-Nya pada hari kiamat).” (HR. Muslim: 3006)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan
bagaimana menyikapi seseorang yang ditimpa kesulitan. Tidak ada pilihan
kecuali menunggu sampai datang waktu lapang atau menyedekahkan sebagian
utang atau seluruhnya. Jika demikian keadaannya, maka tidaklah dibolehkan seseorang menuntut denda kepadanya, baik itu dinamakan bunga atau shodaqoh.
Harta setiap muslim tidaklah boleh
diambil dari pemiliknya kecuali dengan alasan yang syar’i. Demikian pula
tidak dibenarkan seseorang atau suatu pihak mewajibkan sesuatu yang
tidak diwajibkan oleh Alloh dan RosulNya kepada pihak yang lain.
Kedua: Orang tersebut tidak
punya udzur, karena sebenarnya dia mampu untuk membayar cicilan pada
waktunya. Akan tetapi mengulur-ulurnya dengan sengaja.
Semuanya sepakat bahwa perbuatan orang ini adalah haram dan merupakan kedzoliman. Rosululloh -Shollallohu ‘alaihi wasallam- telah mengatakan:
مطل الغني ظلم
“Pengulur-uluran dalam membayar
utang oleh seorang yang mampu untuk membayarnya adalah kedholiman.” [HR.
Bukhory: 2400 , Muslim: 1564 )
Bahkan mayoritas ulama menyatakan bahwa
orang yang melakukannya pantas untuk dihukumi fasik. [lihat: Fathulbary
syarh hadits di atas]
Akan tetapi, apakah dibolehkan bagi pihak yang didzolimi untuk menuntut denda? Ini perkaranya lain.
Sebelumnya, hendaknya kita mengetahui
bahwa tidaklah semua kedzoliman yang dilakukan suatu pihak kepada pihak
yang lain bisa diganti dengan denda yang bersifat keuangan. Agar semakin
jelas maka simaklah perincian permasalahan berikut ini:
Pertama: Jika kedua belah pihak (konsumen dan pihak yang memberikan utang/ kredit) sepakat
bahwa apabila terjadi keterlambatan dalam menunaikan angsuran dari
jangka waktu yang telah ditentukan maka wajib bagi konsumen untuk
membayar denda berupa uang dalam jumlah tertentu atau dalam persenan
tertentu, maka bentuk yang seperti ini adalah riba.
Riba akan semakin nampak jika pihak
leasing menetapkan harga tambahan sebagai akibat dari keterlambatan.
Misalnya: jika bayar tepat waktu maka angsurannya Rp. 300.000,- tapi
jika terlambat tiga hari dari batas akhir maka menjadi Rp. 310.000,-
Inilah riba jahiliyyah yang para ulama
telah ber-ijma’ (bersepakat) tentang keharamannya. Sebab pada bentuk ini
ditetapkan uang tambahan pada utang yang telah tetap jumlahnya sebagai
ganti atas keterlambatan menunaikan angsuran. [lihat: “Bai’ Taqsith”:
321]
Sama saja apakah denda itu dinamakan
bunga telat bayar sebagaimana yang dikenal pada leasing konvensional
atau dinamakan shodaqoh/ infaq untuk faqir miskin sebagaimana yang
diklaim oleh leasing syariah.
Sama saja apakah denda itu diambil oleh
pihak pemberi utang atau diberikan kepada orang lain. Sebab yang menjadi
landasan penetapan hukum adalah hakekat permasalahan bukan kata-kata
dan penamaan. Selama disana ada tambahan atas uang yang wajib diangsur
sebagai akibat dari keterlambatan pembayaran angsuran, berarti disana
telah terjadi transaksi riba.
Dan yang memprihatinkan, hampir semua
leasing yang ada baik konvensional maupun syariah menetapkan kesepakatan
terlarang ini dalam akad jual beli mereka. Wallohu Musta’an.
Padahal DSN MUI yang merupakan rujukan
leasing syariah telah menetapkan dalam kelanjutan fatwa mereka yang
telah kami kutip di depan: “Jika nasabah
menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.”
Kemudian, apabila ada leasing yang tidak menetapkan denda dan mengikuti fatwa di atas, apakah diperbolehkan bagi hakim untuk mendenda pihak berhutang?
Hal ini kembali kepada kebijaksanaan
hakim, tapi yang ingin ditekankan di sini bahwa hukuman untuk pihak
berutang yang mengulur-ulur hutangnya sehingga pihak yang menghutangi
merasa dirugikan karenanya, tidaklah terbatas pada denda yang bersifat
keuangan. Tidak pula hukuman tersebut harus kembali faidahnya kepada
pihak yang terdzolimi. Sebab yang diinginkan dengan hukuman adalah agar
orang yang berbuat dzolim itu jera dan meninggalkan kedzolimannya.
Namun kami ingatkan sekali lagi, bahwa
hal ini adalah wewenang hakim, tidak boleh masing-masing pihak
menetapkan kadar tertentu sebagai hukuman dalam akad jual beli yang
dilakukannya, walaupun semuanya sepakat dan saling ridho.
Selanjutnya, jika seseorang mengatakan bahwa pihak
leasing akan dirugikan akibat keterlambatan orang yang berhutang dalam
menunaikan angsuran, karena itu dia harus memberikan ganti rugi atasnya, maka kami katakan:
Ganti rugi dalam syariah Islam
ditetapkan setelah diketahui dengan pasti perkara yang yang hilang,
kemudian baru ditetapkan berapa jumlah yang harus diganti. Adapun jumlah
kerugian yang diakibatkan dari keterlambatan pihak berhutang menunaikan
angsurannya adalah sesuatu yang tidak riil. Siapakah yang menjamin
bahwa ketika angsuran dibayar tepat waktu, pihak leasing akan memperoleh
keuntungan dari uang tersebut. Dan sebaliknya, jika terlambat dari
waktu yang ditentukan, pihak leasing akan mengalami kerugian?! Buktinya
leasing syari’ah –menurut istilah mereka- tidak menuntut ganti rugi
untuk mereka atas keterlambatan. Mereka hanya menuntut infaq –menurut
mereka- dalam jumlah tertentu untuk fakir miskin.
Oleh karena itulah jumhur ulama
menyatakan bahwa tuntutan ganti rugi ini tidaklah diperbolehkan dalam
syariat. [lihat: Roudhotuth Tholibin: 4/ 137, Fathul Bary: 4/ 544,
Al-Mughny: 6/ 588, Majmu’ Fatawa: 30/ 22-24]
Majma’ Al-fiqhi Al Islamy telah menetapkan: “Diharamkan
atas orang yang berhutang dan memiliki keluasan, menunda-nunda/
mengulur-ulur pembayaran angsuran yang telah jatuh tempo. Walaupun
demikian, tidaklah diperbolehkan secara syar’i penetapan syarat ganti
rugi jika terjadi keterlambatan dalam pembayaran.” [Majallatul Majma’:
6/ 1/ 448]
Dalil permasalahan ini adalah hadits:
لي الواجد يحل عرضه، وعقوبته
“Pengulur-uluran seorang
yang mampu untuk membayar utangnya menjadikan halal kehormatannya
(untuk diterjang) dan halal (untuk dijatuhkan) hukuman kepadanya.” [HR. Abu Dawud: 3628 dan yang lain , dihasankan oleh Syaikh Al-Albany di “Al-Irwa’: 1434]
Seseorang yang menghutangi -berdasarkan
hadits ini- boleh melaporkan kejelekan si penghutang yang menunda-nunda
kepada hakim, dan si hakim berhak untuk menjatuhkan hukuman dengan
memasukannya ke penjara.
Dalam hadits sama sekali tidak
diterangkan bahwa harta orang yang menunda-nunda tersebut boleh diambil,
dan tidak kami dapati seorang pun ulama yang menjelaskan makna hadits
bahwa hukuman itu dapat berupa denda keuangan. [Lihat: Ma’alimussunan
dan ‘Aunul Ma’bud dalam syarh hadits: 3628]
Dengan ini jelaslah bahwa
tuntutan yang diminta pihak perusahaan pembiayaan/ leasing yang berupa
uang dalam jumlah tertentu atas keterlambatan pembeli adalah haram.
Keharaman semakin kuat jika si pembeli sedang dalam keadaan kesulitan
keuangan dan memiliki udzur syar’i atas keterlambatannya. Wallahu a’lam.
* * *
C. Penarikan barang dari pihak pembeli, jika dinyatakan tidak mampu untuk melunasi pembayaran.
Konsekuensi utama dari jual beli adalah
berpindahnya kepemilikan suatu barang dari penjual kepada pembeli, dan
kepemilikan harga barang tersebut dari pembeli kepada penjual. Oleh
karena itu, ketika pihak pembeli ini mengalami pailit (bangkrut) dan
dinyatakan tidak bisa lagi melunasi angsurannya, bukan berarti bahwa
barang yang belum lunas dibayar itu kembali kepada penjual. Barang telah
menjadi milik pembeli secara sah. Si penjual tidak punya hak lagi untuk
memintanya. Hak penjual adalah menuntut si pembeli untuk melunasi
hutangnya, sebagaimana halnya hak orang-orang yang menghutangi secara
umum.
Dengan ini kita ketahui bahwa perbuatan
yang dilakukan sebagian leasing atau bahkan kebanyakannya yang berupa
penyitaan barang yang tidak bisa terlunasi itu dari pembeli adalah
perbuatan haram. Terlebih lagi jika mereka mengambil secara paksa, juga
mengambil uang yang telah diangsur oleh pembeli. Alloh telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِل
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,” [QS. An Nisa’: 29]
Syariat ini telah mengatur bahwa apabila
orang yang pailit ini menanggung utang lebih dari satu pihak, maka
harta yang tersisa dihitung (termasuk barang yang dibelinya secara
kredit itu) kemudian dibagi sesuai dengan bagian masing-masing.
Rosululloh –Shollallohu ‘alahi wa sallam- telah bersabda:
أيما رجل أفلس فوجد رجل عنده ماله , ولم يكن اقتضى من ماله شيئا , فهو له.
“Siapa saja yang ditimpa pailit dan
seorang (yang mengutanginya) mendapatkan harta miliknya ada pada orang
yang pailit tersebut, dan orang yang pailit ini belum membayar sama
sekali, maka harta tersebut (kembali) menjadi miliknya (pihak yang
mengutangi).” [HR. Ahmad]
Dan diriwayatkan oleh Abu Dawud:
فإن كان قبض من ثمنها شيئا فهو أسوة الغرماء
“Jika (pihak yang mengutangi) telah
menerima sebagian dari harga (barang) maka dia hukumnya sebagaimana para
pemberi utang yang lain.” [Dishohihkan oleh syaikh Al-Albany di
“Al-Irwa’: 1444]
Sebagai contoh: seorang mengalami
kebangkrutan dan tidak tersisa dari hartanya kecuali motor yang belum
lunas cicilannya, misalnya seharga 15 juta dan baru terbayar 10 juta.
Disamping itu dia juga mempunyai hutang dengan pihak lain (B) senilai 15
juta. Setelah dinyatakan bahwa orang tersebut sudah tidak bisa lagi
melunasi hutang-hutangnya, maka pihak penjual motor (A) tidaklah berhak
mengambil motornya, karena pembeli telah membayar sebagian harga
–sebagaimana disebutkan dalam hadits-. Akan tetapi motor tersebut dijual
dan hasilnya dipakai untuk melunasi hutang-hutang yang ada. Jika hasil
penjualan tidak bisa menutupi seluruh hutang, maka masing-masing pemberi
hutang diberi sesuai prosentase masing-masing dari uang yang ada. Pada
kasus di atas misalnya motor laku dengan harga 10 juta, maka si A
dikasih 2,5 juta dan si B dikasih 7,5 juta. Adapun hutang yang masih
tersisa tidak ada pilihan lain kecuali menunggu sampai orang yang pailit
ini diberi keluasan atau menyedekahkan sisa utang kepadanya.
Namun, jika dia tidak menanggung utang
kecuali pada pihak leasing saja, maka jalan keluar yang dilakukan
leasing syariah -menurut istilah mereka- mungkin untuk ditempuh. Yaitu
dengan menjual barang tersebut, kemudian uang hasil penjualan diberikan
kepada pembeli yang bersangkutan setelah dipotong sisa hutangnya.
Inilah hukum syar’i yang telah Alloh dan
RosulNya tentukan. Sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk tunduk
dan berlapang hati dalam melaksanakannya.
* * *
Kesimpulan & Nasehat
Setelah kita lewati pembahasan demi
pembahasan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa jarang sekali
praktek jual beli kredit yang dilakukan dengan perantara pihak ketiga
(perusahaan pembiayaan / leasing) yang memenuhi prosedur syar’i. Bahkan,
transaksi yang terjadi adalah transaksi riba yang Alloh dan Rosul-Nya
telah melarangnya dengan keras. Alloh telah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا
اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ Ѳ
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا
تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut)
jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba tersebut), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka
bagimu pokok hartamu; sehingga kamu tidak berbuat dzolim dan tidak
(pula) didzolimi.” [QS. Al-Baqoroh: 278-279]
Apalah guna harta benda yang melimpah
jika Alloh Dzat pemilik semesta alam beserta Rosul-Nya memeranginya?!
Oleh karena itulah Rosululloh –Shollallohu ‘alahi wa sallam- memperingatkan umatnya untuk menjauhi dosa yang mencelakakan ini. Beliau bersabda:
اجتنبوا السبع الموبقات
“Jauhilah tujuh perkara yang mencelakakan!!”
Beliau ditanya: “Apa tujuh perkara tersebut, wahai Rosululloh?” beliaupun menjawab:
الشرك بالله، والسحر، وقتل النفس التي حرم
الله إلا بالحق، وأكل مال اليتيم وأكل الربا، والتولي يوم الزحف، وقذف
المحصنات الغافلات المؤمنات
“(Tujuh perkara tersebut adalah)
Syirik kepada Alloh, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali
dengan haq, memakan harta anak yatim, memakan harta riba, melarikan diri
saat berkecamuknya perang, dan menuduh seorang perempuan mukminah yang
menjaga dirinya dan tidak bersalah (telah berzina).” [HR. Bukhory: 2766,
Muslim: 89]
Apa pula yang diharapkan dari harta yang melimpah jika tidak memberikan ketenangan dan tidak ada keberkahan padanya?!
Rosululloh –Shollallohu ‘alahi wa sallam- telah bersabda:
ما أحد أكثر من الربا إلا كان عاقبة أمره إلى قلة
“Tidaklah seseorang memperbanyak
(hartanya) dengan riba kecuali akan berakibat kepada kesedikitan.” [HR.
Ibnu Majah: 2275 dan dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam kitab
“Shohihul Musnad”: 827 ]
Mungkin secara dzohir orang tersebut
telah mengumpulkan banyak uang, tapi karena Alloh telah mencabut
keberkahan darinya, maka harta yang terlihat melimpah itu tidak
memberikan manfaat pada pemiliknya. Bahkan siksaan yang pedih telah
menunggu dan akan segera menyambutnya. Rosululloh –Shollallohu ‘alahi wa sallam- telah bersabda:
رأيت الليلة رجلين أتياني، فأخرجاني إلى
أرض مقدسة، فانطلقنا حتى أتينا على نهر من دم فيه رجل قائم وعلى وسط النهر
رجل بين يديه حجارة، فأقبل الرجل الذي في النهر، فإذا أراد الرجل أن يخرج
رمى الرجل بحجر في فيه، فرده حيث كان، فجعل كلما جاء ليخرج رمى في فيه
بحجر، فيرجع كما كان، فقلت ما هذا؟ فقال: الذي رأيته في النهر آكل الربا
“Aku melihat (dalam mimpi) dua orang
laki-laki menghampiriku, kemudian membawaku keluar ke tanah suci.
Kamipun berjalan hingga sampai pada sungai darah yang di sungai tersebut
berdiri seorang laki-laki. Di tengah-tengah sungai ada seorang
laki-laki (lainnya) yang kedua tangannya memegang batu. Maka laki-laki
yang di sungai itu bergerak. Jika laki-laki ini mau keluar dari sungai,
maka laki-laki (yang membawa batu tadi) melemparkan batu itu ke mulutnya
dan mengembalikannya ke tempat semula. (Begitu seterusnya), setiap
datang ingin keluar, dilempar mulutnya dengan batu sehingga kembali ke
tempat semula. Akupun bertanya: “Apa ini?” Dia (Malaikat yang membawa
Rosululloh) menjawab: “Yang kamu lihat di sungai itu adalah pemakan
harta riba.” [HR. Bukhori: 2085]
Larangan dan ancaman bagi para pelaku
riba tidaklah terbatas pada orang yang makan dari hasil riba. Akan
tetapi mencakup semua pihak yang melakukan transaksi, baik penjual,
pembeli, penulis maupun saksi-saksi.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah –Rodhiyallohu ‘anhu- bahwa dia berkata:
لعن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- آكل الربا، ومؤكله، وكاتبه، وشاهديه
“Rosululloh –Shollallohu ‘alahi wa
sallam- telah melaknat orang yang makan harta riba, orang yang
memberikan makan (harta riba itu) kepadanya, dan orang yang menulisnya,
serta dua orang yang menjadi saksi atasnya.” [HR. Muslim: 1598]
Saudaraku, semoga Alloh memberikan
hidayahnya pada kita semua, tidaklah dunia yang fana ini kecuali jalan
untuk menuju ke akherat. Akankah seseorang mengorbankan keselamatan di
negeri yang kekal itu hanya dengan perhiasan-perhiasan dunia yang hina?!
Ketahuilah bahwa engkau kelak akan
dimintai pertanggungjawaban atas hartamu, darimana kamu dapat dan kemana
kau belanjakan. Maka persiapkanlah jawaban sebelum datang hari-hari
yang tidak berguna lagi tangis dan penyesalan.
Sungguh kita saat ini ada di zaman yang
banyak dari saudara-saudara kita kaum muslimin tidak tahu lagi tentang
aturan-aturan agamanya. Keharaman diterjang demi mendapatkan sekelumit
kepuasan. Rosululloh –Shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
يأتي على الناس زمان، لا يبالي المرء ما أخذ منه، أمن الحلال أم من الحرام
“Akan datang pada manusia suatu
zaman yang seseorang tidak peduli tentang apa-apa yang dia ambil, apakah
dari yang halal atau yang haram.” (HR. Al-Bukhory: 2053)
Oleh karena itulah, merupakan suatu
kewajiban kita bersama untuk mengingatkan satu sama lainnya dari dosa
besar yang sudah dianggap biasa ini, saling menasehati untuk kembali
mempelajari agama Islam yang merupakan kunci pembuka segala kebaikan.
Solusi dan Jalan Keluar:
Setelah kita ketahui kerasnya hukum
syar’i terhadap pelaku riba, terus bagaimana seharusnya seseorang
berbuat agar tidak terjatuh padanya??
Di sinilah ketaqwaan seorang muslim
diuji. Sebab dengan tersebarnya praktek riba dan praktek jual beli yang
menyelisihi syareat, berarti seorang muslim yang ingin selamat wajib
untuk berilmu sebelum bertindak serta berhati-hati dalam melangkahkan
kaki di ‘tempat yang penuh duri dan onak’.
Adapun dalam permasalahan jual beli
kredit, maka carilah bentuk kredit yang hanya melibatkan dua pihak saja
(pembeli & penjual) dan tidak menyertakan aturan-aturan yang telah
kami terangkan di atas. Memang sulit, tapi yakinlah dengan firman Alloh:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ
مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ
عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُه
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezki
dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
[QS. Ath-Tholaq: 2-3]
Demikian juga, kepada seluruh pihak yang
ingin menjual secara kredit hendaknya bertaqwa kepada Alloh, jauhilah
riba dan ikutlah dengan aturan yang telah Alloh dan RosulNya tentukan.
Padanya keberkahan dan jalan keselamatan.
Akhir kata, semoga tulisan ini bisa
memberikan manfaat bagi kita semua, teriring doa semoga Alloh memberikan
hidayah-Nya kepada saudara-saudara kita kaum muslimin untuk kembali
kepada agamanya dan tunduk kepada syareat yang telah ditetapkan oleh
Alloh Pencipta jagad raya.
سبحانك اللهم وبحمدك، لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
[1] lihat www.mui.or.id
[2] Hal ini sebagaimana yang dilakukan leasing syariah yang dimiliki BPR Al Salaam di Depok, Jawa Barat.
Sumber: ahlussunnah.web.id